Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM
TULISAN PERTAMA:
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam,
yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat
(lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik
dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang
dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui
pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya
tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan
kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam
tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang
telah dicapai.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah
menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah
kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada
menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah
Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua
amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah.
Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia
dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah.
1. Pembinaan akhlak.
3. Penguasaan ilmu.
1. Tujuan keagamaan.
4. Akhlak mulia.
Kesimpulan
TULISAN KEDUA
AWAL pendidikan Islam bermula dari tempat yang sangat sederhana, yaitu serambi
masjid yang disebut al-Suffah. Namun, walaupun hanya dari serambi masjid, tetapi
mampu menghasilkan ilmu-ilmu keislaman yang bisa dirasakan sampai dengan
sekarang. Tidak hanya itu, dari serambi masjid ini pula mampu mencetak ulama-
ulama yang sangat dalam keilmuannya dimana pengaruhnya sangat besar sekali
bagi peradaban Islam, bahkan juga mampu mempengaruhi peradaban-peradaban
lain. Sudah barang tentu, “pendidikan” menjadi syarat utama dalam membangun
sebuah peradaban yang besar. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan tema yang
tidak pernah sepi dan selalu manarik perhatian banyak kalangan. Sehingga,tarik-
ulur konsep yang ideal pun selalu mewarnai dalam sejarah perjalanan pendidikan.
Begitu pun yang terjadi dalam dunia Islam.
Ta’dib merupakan mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna mendidik.
Ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Seorang guru yang
mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib. Setidaknya. Seorang
pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan,
pengembangan diri atau suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan
ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan
dalam pribadi Rasulullah SAW. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-
cara yang benar sesuai kaidah. Karena itu ta’dib berbeda dengan mengajarkan biasa
sebagai mana umumnya mengajarkan siswa di sekolah yang hanya dominan
mengejar akademis dan nilai.
Istilah ini menjadi penting untuk meluruskan kembali identitas dari konsep-konsep
pendidikan Islam yang secara langsung maupun tidak langsung telah terhegemoni
oleh pendidikan negara-negara sekuler.
Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan asas dalam pendidikan Islam. Sehingga, bisa
dipahami bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk mentauhidkan diri
kepada Allah. Artinya, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama
dalam pendidikan Islam selain dari tujuan keilmuan (IPTEK, keahlian, keterampilan
dan profesionalisme), membentuk manusia untuk menjadi khalifah, pembentukan
akhlak yang mulia, membentuk insan Islami bagi diri sendiri maupun bagi
masyarakat, serta mempersiapkan manusia bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
Oleh sebab itu, arah dan tujuan, muatan materi, metode, dan evaluasi peserta didik
dan guru harus disusun sedemikan rupa agar tidak menyimpang dari landasan
akidah Islam.
Bertauhid kepada Allah sebagai prioritas utama dalam pendidikan Islam secara
tidak langsung juga berarti pendidikan Islam juga bertujuan mencari keridhaan-
Nya.
Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika pendidikan dilihat sebagai ladang investasi
baik dalam kehidupan sosial masyarakat maupun negara. Sudah bisa dipastikan
bahwa dunia pendidikan akan melahirkan patologi psiko-sosial, terutama
dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit
diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan
bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai
ekonomi dan sosial. (baca Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
Attas).
Dalam maksud yang sama bahwa ilmu tidak bebas nilai. Oleh karena itu, Al-Attas
menegaskan bahwa tujuan menuntut ilmu adalah penanaman kebaikan atau
keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri-pribadi, dan bukannya
sekadar manusia sebagai warga negara atau bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai penduduk dalam
kota-dirinya (self’s city), sebagai warga negara dalam kerajaan mikrokosmiknya
sendiri, sebagai ruh. Inilah yang perlu ditekankan, manusia bukan sekadar suatu diri
jasmani yang nilainya diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian yang
melihat kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia. (baca: Islam and
Secularism).
Dalam semangat yang sama, Muhammad ‘Abduh juga mengkritik dengan tajam
pragmatisme yang terjadi dalam pendidikan yang secara khusus ia tujukan pada
sistem pendidikan Mesir. Inti dari semuanya adalah bahwa prioritas utama dalam
pendidikan Islam adalah membentuk orang menjadi terpelajar.
Konsep Ideal
Konsep Ideal pendidikan Islam secara sistematis telah disampaikan Al-Attas dalam
sebuah Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Makkah pada awal
tahun 1977. Pada Konferensi tersebut, Al-Attas menjadi salah seorang pembicara
utama dan mengetuai komite yang membahas cita-cita dan tujuan pendidikan.
Dalam kesempatan ini, Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti
menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan Islam menjadi ta’dib. Konsep
ta’dib ini disampaikan kembali oleh Al-Attas pada Konferensi Dunia Kedua
mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980.
Masih dalam karya yang sama, Al-Attas juga menegaskan bahwa istilah
“pendidikan” yang digunakan sekarang ini, secara normal, bersifat fisik dan material
serta berwatak kuantitatif. Hal tersebut lebih disebabkan oleh konsep bawaan yang
termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan
material dan fisik saja. Esensi sejati proses pendidikan telah diatur menuju
pencapaian tujuan yang berhubungan dengan intelek atau ‘aql yang ada hanya pada
diri manusia.
Oleh sebab itu, pendidikan, menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman
adab dalam diri seseorang—ini disebut dengan ta’dib.” (baca: Aims and Objectives).
Sebagaimana al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab
adalan Nabi Muhammad Saw., yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut
sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Perkataan
adab sendiri memiliki arti yang sangat luas dan mendalam. Selain itu, Al-Attas
melanjutkan, ide yang dikandung dalam perkataan ini sudah diislamisasikan dari
konteks yang dikenal pada masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-
elemen spiritual dan intelektual pada dataran semantiknya.
Maka, berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu dan berangkat
dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya mengenai adab:
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan
segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori
dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-
masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan
spiritualnya. (baca: The Semantics of Adab)
Epilog
Alhasil, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan
Islam. Hal tersebut tidak lain diperoleh melalui ridha Allah. Dengan mengajukan
konsep ta’dib sebagai pengganti dari pendidikan Islam diharapkan agar peserta
didik tidak hanya memperoleh intelek dan ‘aql saja. Tetapi lebih dari itu semua,
yaitu peserta didik benar-benar mampu menjadi orang yang terpejalar, dan orang
yang beradab. *
TULISAN KETIGA
Sifat asali manusia adalah bersaksi dan beriman akan keesaan Allah Subhanahu wa
ta’ala. Maka dari itu dalam Islam tidak ada istilah pembaptisan karena mereka
dilahirkan dengan fitrah keimanannya. Dalam perpektif kita, manusia dikatakan
meraih kemerdekaannya yang hakiki apabila dapat kembali kepada fitrah mereka:
bersaksi dan beriman kepada Allah Sang Pencipta. Kemerdekaan dalam perspektif
Islam bukan bebas sebebas-bebasnya dari pelbagai aturan dan mengikuti hawa
nafsu manusia, karena hal itu cenderung mengarah ke perbuatan destruktif. Fakta
dan sejarah telah banyak mengajarkan kita tentang itu.
Konsekuensi dari kesaksian dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah
taat dan tunduk terhadap aturan yang digariskan Allah subhanahu wa ta’ala bagi
kesejahteraan manusia di muka bumi. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari aturan-
aturan yang terdapat dalam al-Quran ‘kecil’ dan al-quran ‘besar’. Al-Quran ‘kecil’
adalah ayat-ayat Allah yang termaktub dalam mushaf yang sering kita baca sehari-
hari sedangkan al-Quran ‘besar’ adalah ayat-ayat Allah yang terkandung dalam alam
semesta beserta isinya. Selain itu, panduan praktis dari Rasulullah SAW melalui
haditsnya juga dapat dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan.
Bagaimana dengan panduan yang berasal dari akal manusia, padahal Allah telah
‘bersusah payah’ memberikan anugerah tersebut bagi manusia dan dengannya
menjadikan mereka spesial dari makhluk hidup yang lainnya? Tentunya kita akan
dengan bijak menjawab bahwa produk akal manusia dapat digunakan untuk
membuat peraturan di muka bumi selagi digunakan dengan perspektif pandangan
hidup Islami yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah. Jangan khawatir untuk tidak
dapat mengeksplorasi ‘kebrilianan’ akal manusia karena toh kedua sumber utama
itu hanya memberikan garis besar bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia
ini. Selanjutnya, akal manusia berperan besar dalam menafsirkan implementasi
ayat-ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu lebih selamat, karena akal
kita dibimbing oleh wahyu. Jadi tidak perlu ribut-ribut dengan sekulerisasi,
menyimpan al-Quran dan as-sunnah dalam kehidupan pribadi setiap muslim,
karena itu menunjukkan arogansi kita pada Sang Pencipta. Kok tidak mau diatur
oleh Sang Pencipta, dasar tak tahu untung!
Menuju kemerdekaan yang hakiki itulah tujuan pendidikan harus dirumuskan mau
kemana. Hendaknya, pendidikan yang kita berikan kepada anak didik kita
membimbing mereka pada fitrah dan memperingatkan mereka apabila sewaktu-
waktu menyimpang dari kesaksian yang telah diberikan ketika ruh ditiupkan.
Pendidikan harus membuat manusia semakin memperbaharui keimanan dan
komitemen mereka akan tunduk dan patuh terhadap aturan yang diberikan oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala. Semakin mereka tahu, semakin mereka menyadari
kekurangan mereka dan betapa luasnya ilmu Allah, bukan sebaliknya, semakin
mereka congkak dan tidak mau patuh terhadap aturan Tuhan.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menitik beratkan pada keberhasilan
setiap individu untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil) dan beradab.
Pendidikan yang mencetak insan kamil merujuk kepada pendidikan holistik, dalam
artian proses pendidikan terjadi di seluruh aspek manusia baik itu kognitif,
psikomotorik, afektif, spiritual dan lain sebagainya. Menyeluruh dan tidak setengah-
setengah. Sedangkan pendidikan yang mencetak manusia beradab memiliki
semangat untuk membimbing manusia pada fitrahnya yang hakiki, yaitu kesaksian
terhadap keesaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Selain itu insan beradab juga
senantiasa melihat sesuatu dalam perspektif keadilan menyimpan sesuatu pada
tempatnya yang proporsional.
Lalu bagaimana sistem pendidikan holistik itu bisa diterapkan? Tentunya praxis
pendidikan nasional yang kita temui di negara kita tidak dapat dijadikan sebagai
model pendidikan holistik karena sangat menitikberatkan pada kemampuan kognitif
siswa. Pendidikan holistik tidak dapat diterapkan apabila implementasinya telah
direduksi menjadi sekumpulan pelajaran yang dibonsai dalam sekat kelas, sekolah
dan waktu meskipun dalam tataran praktis pendidikan tersebut dapat disimpan di
tempat-tempat tersebut asal tidak ada proses pembonsaian dan tetap
memperhatikan hal-hal esensial dari pendidikan holistik.
Maka seharusnya pendidikan holistik harus bertumpu pada ciri totalitasnya dimana
seluruh elemen yang ada dalam lingkungan peserta didik diarahkan pada proses
penciptaan lingkungan pendidikan (albiah atarbawiyah). Apa yang didengar,
dilihat dan dirasakan oleh peserta didik haruslah bagian dari proses pendidikan
yang membing mereka secara konstan ke arah yang lebih baik. Pihak pengelola
pendidikan harus bekerja sekuat mungkin secara kreatif untuk mentransformasikan
hal-hal yang secara sekilas tidak ada hubungan dengan proses pendidikan menjadi
salah satu komponen yang ikut serta mendidik para peserta didik.
Untuk lebih jelasnya, saya berikan contoh. Sekilas kegiatan antri di Kantor
Tabungan Pelajar adalah perihal sepele dan tidak ada kaitannya dengan proses
pendidikan, tetapi apabila pihak pengelola pendidikan jeli dalam memandang
kegiatan remeh ini ternyata di dalamnya terdapat proses pendidikan akhlak yang
sangat banyak. Dengan membudayakan sikap antri, berarti sekolah secara tidak
langsung mendidik peserta didik untuk bersikap sabar dalam meraih cita-cita
mereka. Selain itu, budaya tertib dalam beraktivitas akan tumbuh di benak para
peserta didik. Dan yang lebih penting adalah penanaman sikap jujur dalam kondisi
sulit sekalipun. Kita tahu bahwa dalam antri seringkali kita ingin cepat-cepat sampai
pada ujung antrian, meskipun hal itu harus dilakukan dengan hal-hal yang biadab.
Nah, jelas bahwa dari hal sepele seperti kegiatan antri, kita bisa menyisipkan aspek-
aspek pendidikan yang memiliki peran signifikan dalam perkembangan peserta
didik. Dan kita memiliki banyak contoh untuk merealisasikan hal tersebut.
Terwujudnya cita-cita pendidikan holistik tidak akan tercapai apabila pola pikir
bahwa pendidikan identik dengan kursi, bangku dan pengajaran searah guru-murid
dihapus dari benak para stakeholders pendidikan. Pendidikan tidak cukup dengan
itu saja. Pendidikan seyogyanya didefinisikan secara luas dimana proses pendidikan
dengan totalitasnya digiring ke arah usaha mendidik para peserta didik. Maka, hal
ini berimbas pada penggunaan secara paksa terma-terma ‘non-pendidikan’ menjadi
identik dengan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah penugasan, dimana
ketika para peserta didik mendapatkan tugas, lalu mengerjakannya dan
menyelesaikannya adalah juga bagian proses pendidikan. Pendidikan juga adalah
proses pembiasaan, pemaksaan, pemberian hukuman, dan pemberian pujian bagi
setia peserta didik. Terma-terma ini digunakan tidak lain adalah untuk memberikan
defenisi seluas-luasnya bagi proses pendidikan agar pendidikan holistik dapat
terwujud.
Tugas Mandiri:
Buatlah artikel pendek (minimum 750 kata) dengan memilih tema-tema berikut ini: