Anda di halaman 1dari 18

PENGERTIAN, DASAR DAN

TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM
TULISAN PERTAMA:

DEFINISI DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan


kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.

Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses


transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan
pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.

Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan


terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer
ilmu dan keahlian.

Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan Islam—sebagai


suatu system keagamaan—menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara
implicit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.

Pengertian pendidikan islam

Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren


dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara
bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut
manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan
saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang
lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.

Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan


generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai
Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan
memetik hasilnya di akhirat.

Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam.


Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia
supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya,
sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus,
profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya.

Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam


adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu


proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan
sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu
adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu
” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.
Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempattempat yang
tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke
arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud
dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan
untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib,
karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian
pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam
istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun
berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud
bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan
derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya
dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual,
maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari
pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat
sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan
tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan
adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka.
Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal
tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan
kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok,
komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus
berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang
selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif,
dipujikan serta terpuji.2

Tujuan pendidikan islam

Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam,
yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa
kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat
(lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).

Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik
dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang
dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.

Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui
pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya
tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan
kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam
tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang
telah dicapai.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya
manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah
menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.

Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan


hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu
menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :

“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah
kepada-Ku”.

Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada
menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah
Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua
amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah.
Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia
dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.

Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang
dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang
disangkutkan dengan Allah.

Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :

1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa


pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan
kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.

2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat,


tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat,
memperkaya pengalaman masyarakat.

3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai


ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.

Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi

1. Pembinaan akhlak.

2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.

3. Penguasaan ilmu.

4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.


Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi
:

1. Tujuan keagamaan.

2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.

3. Tujuan pengajaran kebudayaan.

4. Tujuan pembicaraan kepribadian.

Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :

1. Bahagia di dunia dan akhirat.

2. menghambakan diri kepada Allah.

3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.

4. Akhlak mulia.

Kesimpulan

Dengan pemaparan definisi pendidikan islam di atas dapat disimpulkan bahwa


definisi pendidikan islam adalah proses pembentukan kepribadian manusia
kepribadian islam yang luhur. Bahwa pendidikan islam bertujuan untuk
menjadikannya selaras dengan tujuan utama manusia menurut islam, yakni
beribadah kepada Allah swt.

Diharapkan dengan pemahaman hakikat pendidikan islam ini. Member motivasi


agar manusia khususnya muslim selalu mencari ilmu hingga akhir hayat, dalam
rangka merealisasikan tujuan yang telah disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat: 56
dapat diaplikasikan secara kontiniu.

TULISAN KEDUA

“Ta’dib”, Konsep Ideal Pendidikan Islam

Oleh: Amin Hasan

AWAL pendidikan Islam bermula dari tempat yang sangat sederhana, yaitu serambi
masjid yang disebut al-Suffah. Namun, walaupun hanya dari serambi masjid, tetapi
mampu menghasilkan ilmu-ilmu keislaman yang bisa dirasakan sampai dengan
sekarang. Tidak hanya itu, dari serambi masjid ini pula mampu mencetak ulama-
ulama yang sangat dalam keilmuannya dimana pengaruhnya sangat besar sekali
bagi peradaban Islam, bahkan juga mampu mempengaruhi peradaban-peradaban
lain. Sudah barang tentu, “pendidikan” menjadi syarat utama dalam membangun
sebuah peradaban yang besar. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan tema yang
tidak pernah sepi dan selalu manarik perhatian banyak kalangan. Sehingga,tarik-
ulur konsep yang ideal pun selalu mewarnai dalam sejarah perjalanan pendidikan.
Begitu pun yang terjadi dalam dunia Islam.

Namun, sungguh disayangkan bahwa dalam perkembangannya, kondisi


sebagaimana diawal pendidikan Islam terdahulu sudah kurang terasa lagi dari
institusi pendidikan Islam yang ada sekarang. Sebagaimana sebuah obor, maka obor
tersebut sudah hampir padam. Agar obor tersebut tidak padam dan terus menyala,
maka pendidikan Islam seperti yang telah diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu
harus dihidupkan kembali. Di sinilah tulisan ini hadir untuk mengeksplor konsep
pendidikan Islam yang akan dikhususkan pada konsep ta’dib yang ditawarkan oleh
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam yaitu at-tarbiyah,
al-ta’lim dan at-ta’dib. Umumnya, istilah pendikan Islam banyak menggunakan at
Tarbiyah. Padahal menurut Naquib Al Attas, pengertian ta’dib lebih tepat dipakai
untuk pendidikan Islam daripada ta’lim atau tarbiyah.

Ta’dib merupakan mashdar dari addaba yang secara konsisten bermakna mendidik.
Ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Seorang guru yang
mengajarkan etika dan kepribadian disebut juga mu’addib. Setidaknya. Seorang
pendidik (muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan,
pengembangan diri atau suatu ilmu agar anak didiknya terhindar dari kesalahan
ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan
dalam pribadi Rasulullah SAW. Cara mendidiknya perlu dengan menggunakan cara-
cara yang benar sesuai kaidah. Karena itu ta’dib berbeda dengan mengajarkan biasa
sebagai mana umumnya mengajarkan siswa di sekolah yang hanya dominan
mengejar akademis dan nilai.

Istilah ini menjadi penting untuk meluruskan kembali identitas dari konsep-konsep
pendidikan Islam yang secara langsung maupun tidak langsung telah terhegemoni
oleh pendidikan negara-negara sekuler.

Mengembalikan prioritas utama pendidikan Islam

Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan asas dalam pendidikan Islam. Sehingga, bisa
dipahami bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk mentauhidkan diri
kepada Allah. Artinya, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama
dalam pendidikan Islam selain dari tujuan keilmuan (IPTEK, keahlian, keterampilan
dan profesionalisme), membentuk manusia untuk menjadi khalifah, pembentukan
akhlak yang mulia, membentuk insan Islami bagi diri sendiri maupun bagi
masyarakat, serta mempersiapkan manusia bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
Oleh sebab itu, arah dan tujuan, muatan materi, metode, dan evaluasi peserta didik
dan guru harus disusun sedemikan rupa agar tidak menyimpang dari landasan
akidah Islam.

Bertauhid kepada Allah sebagai prioritas utama dalam pendidikan Islam secara
tidak langsung juga berarti pendidikan Islam juga bertujuan mencari keridhaan-
Nya.

Artinya, peningkatan individu-individu yang kuat pada setiap peserta didik


diperoleh melalui ridha Allah. Jadi tidak benar jika dalam pendidikan individu
peserta didik diletakkan pada posisi kedua setelah kebutuhan sosial-politik
masyarakat. Al-Attas menjelaskan, bahwa penekanan terhadap individu bukan
hanya sesuatu yang prinsipil, melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang.
(baca Aims and Objevtives) Di sinilah letak keunikan dari pendidikan Islam yang
tidak dimiliki oleh sistem pendidikan selain Islam, dimana pendidikan yang
dilakukan berpusat pada pencarian ridha Allah melalui peningkatan kualitas
individu.

Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika pendidikan dilihat sebagai ladang investasi
baik dalam kehidupan sosial masyarakat maupun negara. Sudah bisa dipastikan
bahwa dunia pendidikan akan melahirkan patologi psiko-sosial, terutama
dikalangan peserta didik dan orang tua, yang terkenal dengan sebutan “penyakit
diploma” (diploma disease), yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan
bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai
ekonomi dan sosial. (baca Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
Attas).

Hal tersebut, Al-Attas melanjutkan dalam karnyanya yang lain, dikarenakan


pendidikan menurut Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik, bukan
untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Hal ini sangat ditentukan
oleh tujuan mencari ilmu itu sendiri. Sebab semua ilmu datang dari Allah Swt, maka
ilmu merangkumi iman dan kepercayaan.

Dalam maksud yang sama bahwa ilmu tidak bebas nilai. Oleh karena itu, Al-Attas
menegaskan bahwa tujuan menuntut ilmu adalah penanaman kebaikan atau
keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri-pribadi, dan bukannya
sekadar manusia sebagai warga negara atau bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai penduduk dalam
kota-dirinya (self’s city), sebagai warga negara dalam kerajaan mikrokosmiknya
sendiri, sebagai ruh. Inilah yang perlu ditekankan, manusia bukan sekadar suatu diri
jasmani yang nilainya diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian yang
melihat kegunaannya bagi negara, masyarakat dan dunia. (baca: Islam and
Secularism).

Dalam semangat yang sama, Muhammad ‘Abduh juga mengkritik dengan tajam
pragmatisme yang terjadi dalam pendidikan yang secara khusus ia tujukan pada
sistem pendidikan Mesir. Inti dari semuanya adalah bahwa prioritas utama dalam
pendidikan Islam adalah membentuk orang menjadi terpelajar.

Menurut Al-Attas, orang terpelajar adalah orang “baik”. Pertanyaannya kemudian,


apakah sesederhana itu pendidikan Islam? Apakah pendidikan Islam hanya
membentuk orang hanya sekadar menjadi “baik”? Apa sebenarnya “baik” yang
dimaksud Al-Attas di atas?

Konsep Ideal

Konsep Ideal pendidikan Islam secara sistematis telah disampaikan Al-Attas dalam
sebuah Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Makkah pada awal
tahun 1977. Pada Konferensi tersebut, Al-Attas menjadi salah seorang pembicara
utama dan mengetuai komite yang membahas cita-cita dan tujuan pendidikan.

Dalam kesempatan ini, Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti
menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan Islam menjadi ta’dib. Konsep
ta’dib ini disampaikan kembali oleh Al-Attas pada Konferensi Dunia Kedua
mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980.

Sebenarnya apa yang menjadi alasan Al-Attas terus-menerus memperjuangkan


konsep ta’dib sebagai pengganti dari Pendidikan Islam? Itu tidak lain, karena
menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep
ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah
ataupun ta’lim. Sebab, Al-Attas melanjutkan, bahwa struktur kata ta’dib sudah
mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik
(tarbiyah). Sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam
adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.
(baca The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy
of Education).

Masih dalam karya yang sama, Al-Attas juga menegaskan bahwa istilah
“pendidikan” yang digunakan sekarang ini, secara normal, bersifat fisik dan material
serta berwatak kuantitatif. Hal tersebut lebih disebabkan oleh konsep bawaan yang
termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan
material dan fisik saja. Esensi sejati proses pendidikan telah diatur menuju
pencapaian tujuan yang berhubungan dengan intelek atau ‘aql yang ada hanya pada
diri manusia.

Dari sinilah kemudian, dengan konsep ta’dib-nya, Al-Attas menjelaskan bahwa


orang terpelajar adalah orang baik. “Baik” yang dimaksudkan di sini adalah adab
dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spiritual dan
material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang
diterimanya.” Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar menurut
perspektif Islam didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab. (baca: Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas).

Oleh sebab itu, pendidikan, menurut Al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman
adab dalam diri seseorang—ini disebut dengan ta’dib.” (baca: Aims and Objectives).
Sebagaimana al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab
adalan Nabi Muhammad Saw., yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut
sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Perkataan
adab sendiri memiliki arti yang sangat luas dan mendalam. Selain itu, Al-Attas
melanjutkan, ide yang dikandung dalam perkataan ini sudah diislamisasikan dari
konteks yang dikenal pada masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-
elemen spiritual dan intelektual pada dataran semantiknya.

Maka, berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu dan berangkat
dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya mengenai adab:
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu dan
segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan kategori-kategori
dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-
masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan
spiritualnya. (baca: The Semantics of Adab)

Al-Attas, sekali lagi menegaskan bahwa pendidikan sebagai penanaman adab ke


dalam diri, sebuah proses yang sebenarnya tidak dapat diperoleh melalui suatu
metode khusus. Dalam proses pembelajaran, siswa akan mendemonstrasikan
tingkat pemahaman terhadap materi secara berbeda-beda, atau lebih tepatnya
pemahaman terhadap makna pembelajaran itu. Hal ini karena ‘ilm dan hikmah yang
merupakan dua komponen utama dalam konsepsi adab benar-benar merupakan
anugerah Allah Swt. (baca: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Syed M. Naquib
Al-Attas).

Tegasnya, bahwa adab mensyaratkan ilmu pengetahuan dan metode mengetahui


yang benar. Dari sinilah kemudian, pendidikan Islam memainkan peranannya serta
tanggung jawabnya di dunia dan tujuan akhirnya di akhirat. Dari sini tampak sangat
jelas dalam mata hati kita bahwa kebenaran metafisis sentralitas Tuhan sebagai
Realitas Tertinggi sepenuhnya selaras dengan tujuan dan makna adab dan
pendidikan sebagai ta’dib. Dari sinilah kemudian, menurut Al-Attas, konsep ideal
pendidikan Islam adalah ta’dib.

Epilog

Alhasil, mentauhidkan diri kepada Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan
Islam. Hal tersebut tidak lain diperoleh melalui ridha Allah. Dengan mengajukan
konsep ta’dib sebagai pengganti dari pendidikan Islam diharapkan agar peserta
didik tidak hanya memperoleh intelek dan ‘aql saja. Tetapi lebih dari itu semua,
yaitu peserta didik benar-benar mampu menjadi orang yang terpejalar, dan orang
yang beradab. *

TULISAN KETIGA

Mendesain Tujuan Pendidikan

M. Syahrul Zaky Romadloni

Konon, sebelum penciptaannya manusia pernah bersaksi kepada Allah subhanahu


wa ta’ala bahwa Dia adalah Tuhan mereka (Al-A’raf:172). Janji ini menjadi fitrah
manusia, bahwasanya ketika jiwa mereka ditiupkan dalam rahim dan lahir ke dunia
ini, mereka dalam keadaan patuh dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Hal ini dibuktikan dengan ketaataan mereka terhadap aturan kosmos Allah SWT.
Baru setelah mereka berintekrasi dengan ayah bunda serta lingkungan, mereka
tersilap dari kesaksian yang mereka berikan dahulu. Akhirnya melencenglah mereka
dari fitrah penciptaan. Begitu kata Rasullullah SAW dalam haditsnya.

Sifat asali manusia adalah bersaksi dan beriman akan keesaan Allah Subhanahu wa
ta’ala. Maka dari itu dalam Islam tidak ada istilah pembaptisan karena mereka
dilahirkan dengan fitrah keimanannya. Dalam perpektif kita, manusia dikatakan
meraih kemerdekaannya yang hakiki apabila dapat kembali kepada fitrah mereka:
bersaksi dan beriman kepada Allah Sang Pencipta. Kemerdekaan dalam perspektif
Islam bukan bebas sebebas-bebasnya dari pelbagai aturan dan mengikuti hawa
nafsu manusia, karena hal itu cenderung mengarah ke perbuatan destruktif. Fakta
dan sejarah telah banyak mengajarkan kita tentang itu.

Konsekuensi dari kesaksian dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah
taat dan tunduk terhadap aturan yang digariskan Allah subhanahu wa ta’ala bagi
kesejahteraan manusia di muka bumi. Hal ini dapat dengan jelas dilihat dari aturan-
aturan yang terdapat dalam al-Quran ‘kecil’ dan al-quran ‘besar’. Al-Quran ‘kecil’
adalah ayat-ayat Allah yang termaktub dalam mushaf yang sering kita baca sehari-
hari sedangkan al-Quran ‘besar’ adalah ayat-ayat Allah yang terkandung dalam alam
semesta beserta isinya. Selain itu, panduan praktis dari Rasulullah SAW melalui
haditsnya juga dapat dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan.

Bagaimana dengan panduan yang berasal dari akal manusia, padahal Allah telah
‘bersusah payah’ memberikan anugerah tersebut bagi manusia dan dengannya
menjadikan mereka spesial dari makhluk hidup yang lainnya? Tentunya kita akan
dengan bijak menjawab bahwa produk akal manusia dapat digunakan untuk
membuat peraturan di muka bumi selagi digunakan dengan perspektif pandangan
hidup Islami yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah. Jangan khawatir untuk tidak
dapat mengeksplorasi ‘kebrilianan’ akal manusia karena toh kedua sumber utama
itu hanya memberikan garis besar bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia
ini. Selanjutnya, akal manusia berperan besar dalam menafsirkan implementasi
ayat-ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan itu lebih selamat, karena akal
kita dibimbing oleh wahyu. Jadi tidak perlu ribut-ribut dengan sekulerisasi,
menyimpan al-Quran dan as-sunnah dalam kehidupan pribadi setiap muslim,
karena itu menunjukkan arogansi kita pada Sang Pencipta. Kok tidak mau diatur
oleh Sang Pencipta, dasar tak tahu untung!

Menuju kemerdekaan yang hakiki itulah tujuan pendidikan harus dirumuskan mau
kemana. Hendaknya, pendidikan yang kita berikan kepada anak didik kita
membimbing mereka pada fitrah dan memperingatkan mereka apabila sewaktu-
waktu menyimpang dari kesaksian yang telah diberikan ketika ruh ditiupkan.
Pendidikan harus membuat manusia semakin memperbaharui keimanan dan
komitemen mereka akan tunduk dan patuh terhadap aturan yang diberikan oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala. Semakin mereka tahu, semakin mereka menyadari
kekurangan mereka dan betapa luasnya ilmu Allah, bukan sebaliknya, semakin
mereka congkak dan tidak mau patuh terhadap aturan Tuhan.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menitik beratkan pada keberhasilan
setiap individu untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil) dan beradab.
Pendidikan yang mencetak insan kamil merujuk kepada pendidikan holistik, dalam
artian proses pendidikan terjadi di seluruh aspek manusia baik itu kognitif,
psikomotorik, afektif, spiritual dan lain sebagainya. Menyeluruh dan tidak setengah-
setengah. Sedangkan pendidikan yang mencetak manusia beradab memiliki
semangat untuk membimbing manusia pada fitrahnya yang hakiki, yaitu kesaksian
terhadap keesaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Selain itu insan beradab juga
senantiasa melihat sesuatu dalam perspektif keadilan menyimpan sesuatu pada
tempatnya yang proporsional.

Lalu bagaimana sistem pendidikan holistik itu bisa diterapkan? Tentunya praxis
pendidikan nasional yang kita temui di negara kita tidak dapat dijadikan sebagai
model pendidikan holistik karena sangat menitikberatkan pada kemampuan kognitif
siswa. Pendidikan holistik tidak dapat diterapkan apabila implementasinya telah
direduksi menjadi sekumpulan pelajaran yang dibonsai dalam sekat kelas, sekolah
dan waktu meskipun dalam tataran praktis pendidikan tersebut dapat disimpan di
tempat-tempat tersebut asal tidak ada proses pembonsaian dan tetap
memperhatikan hal-hal esensial dari pendidikan holistik.

Maka seharusnya pendidikan holistik harus bertumpu pada ciri totalitasnya dimana
seluruh elemen yang ada dalam lingkungan peserta didik diarahkan pada proses
penciptaan lingkungan pendidikan (albiah atarbawiyah). Apa yang didengar,
dilihat dan dirasakan oleh peserta didik haruslah bagian dari proses pendidikan
yang membing mereka secara konstan ke arah yang lebih baik. Pihak pengelola
pendidikan harus bekerja sekuat mungkin secara kreatif untuk mentransformasikan
hal-hal yang secara sekilas tidak ada hubungan dengan proses pendidikan menjadi
salah satu komponen yang ikut serta mendidik para peserta didik.

Untuk lebih jelasnya, saya berikan contoh. Sekilas kegiatan antri di Kantor
Tabungan Pelajar adalah perihal sepele dan tidak ada kaitannya dengan proses
pendidikan, tetapi apabila pihak pengelola pendidikan jeli dalam memandang
kegiatan remeh ini ternyata di dalamnya terdapat proses pendidikan akhlak yang
sangat banyak. Dengan membudayakan sikap antri, berarti sekolah secara tidak
langsung mendidik peserta didik untuk bersikap sabar dalam meraih cita-cita
mereka. Selain itu, budaya tertib dalam beraktivitas akan tumbuh di benak para
peserta didik. Dan yang lebih penting adalah penanaman sikap jujur dalam kondisi
sulit sekalipun. Kita tahu bahwa dalam antri seringkali kita ingin cepat-cepat sampai
pada ujung antrian, meskipun hal itu harus dilakukan dengan hal-hal yang biadab.
Nah, jelas bahwa dari hal sepele seperti kegiatan antri, kita bisa menyisipkan aspek-
aspek pendidikan yang memiliki peran signifikan dalam perkembangan peserta
didik. Dan kita memiliki banyak contoh untuk merealisasikan hal tersebut.

Terwujudnya cita-cita pendidikan holistik tidak akan tercapai apabila pola pikir
bahwa pendidikan identik dengan kursi, bangku dan pengajaran searah guru-murid
dihapus dari benak para stakeholders pendidikan. Pendidikan tidak cukup dengan
itu saja. Pendidikan seyogyanya didefinisikan secara luas dimana proses pendidikan
dengan totalitasnya digiring ke arah usaha mendidik para peserta didik. Maka, hal
ini berimbas pada penggunaan secara paksa terma-terma ‘non-pendidikan’ menjadi
identik dengan proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah penugasan, dimana
ketika para peserta didik mendapatkan tugas, lalu mengerjakannya dan
menyelesaikannya adalah juga bagian proses pendidikan. Pendidikan juga adalah
proses pembiasaan, pemaksaan, pemberian hukuman, dan pemberian pujian bagi
setia peserta didik. Terma-terma ini digunakan tidak lain adalah untuk memberikan
defenisi seluas-luasnya bagi proses pendidikan agar pendidikan holistik dapat
terwujud.

Pada awalnya, pendidikan harus memfokuskan diri pada pembentukan individu-


individu supaya menjadi insan kamil dan beradab seperti yang telah dibahas di
muka tulisan. Lalu, ketika individu-indivdu peserta didik telah memahami dan
menghayati kemanusiaan mereka, hendaknya mereka digiring pada orientasi
pendidikan kemasyarakatan. Hal ini penting mengingat Rasulullah SAW pernah
berujar bahwa manusia yang terbaik di antara kita adalah mereka yang bermanfaat
bagi sesamanya. Outcome pendidikan tidak boleh menjadi menara gading yang
melangit tercerabut dari akarnya. Insya Allah model pendidikan seperti ini akan
mashlahat bagi kemajuang ummat. Amien.

Tugas Mandiri:

Buatlah artikel pendek (minimum 750 kata) dengan memilih tema-tema berikut ini:

1. Konsep Pendidikan Islam menurut al-Ghazali


2. Merumuskan Tujuan Pendidikan Islam
3. Memotret Tujuan Pendidikan Nasional
4. Tujuan Pendidikan Institusional

Tugas paling lambat terkumpul tanggal 24 Oktober 2011. Dikirim ke


mcdarknight@gmail.com dalam bentuk pdf atau doc.

Anda mungkin juga menyukai