Anda di halaman 1dari 14

Nur Latifah Kurnia Fachrudin 112017236

Cerebral Palsy

Pengertian Cerebral Palsy

Cerebral palsy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang permanen dan tidak
progresif yang terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) dan merintangi perkembangan
otak normal dengan gambaran klinis yang menunjukan kelainan dalam sikap dan pergerakan
disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastik dan kelainan mental. Istilah cerebral
palsy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gangguan
gerakan, postur tubuh, dan tonus yang bersifat non progresif, berbeda-beda kronis dan akibat
cedera pada sistem saraf pusat selama awal masa perkembangan (Arief M, 2003; Johnston MV,
2007).
Istilah cerebral palsy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok gangguan gerakan, postur tubuh, dan tonus yang bersifat non progresif, berbeda-
beda kronis dan akibat cedera pada sistem saraf pusat selama awal masa perkembangan (Rudolf
CD et al; 2003).

Etiologi

Etiologi dari Cerebral palsy dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan
pascanatal (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).

1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya
oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Kelainan yang
menonjol biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam
kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat
yang abnormal), terkena radiasi sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan
cerebral palsy (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
2. Perinatal
a. Anoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah brain injury. Keadaan
inillah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada kedaan
presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvis, partus lama, plasenta previa,
infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan instrumen tertentu dan lahir dengan
seksio caesaria (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007)
b. Perdarahan otak
Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah hingga terjadi anoksia.
Perdarahan dapat terjadi di ruang subarachnoid akan menyebabkan pennyumbatan
CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan spatium subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis (Staf Pengajar IKA
FKUI, 2007).
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak yang lebih
banyak dari pada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna (Staf Pengajar IKA FKUI,
2007; Rudolf CD et al; 2003).
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang
permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan
inkompatibilitas golongan darah (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
e. MeningitisPurulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya
akan mengakibatkan gejala sisa berupa Cerebral palsy (Staf Pengajar IKA FKUI,
2007).
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan cerbral palsy (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007) antara lain :
a. Trauma kapitis dan luka parut pada otak pasca-operasi.
b. Infeksi misalnya meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis,
ensefalomielitis.
c. Kern icterus. Seperti kasus pada gejala sekuele neurogik dari eritroblastosis fetal
atau defisiensi enzim hati (Ropper AH & Brown RH, 2005).
Cerebral palsy diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan
dibagi dalam 4 kategori, yaitu :

1. Cerebral palsy spastik


Merupakan bentukan cerebral palsy terbanyak (70-80%), otot mengalami
kekakuan dan secara permanan akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai
mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak
bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakteristik berupa
ritme berjalan yang dikenal dengan galt gunting (scissors galt). Anak dengan
spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis, dimana seseorang tidak
dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh. Jika tremor
memberat akan terjadi gangguan gerakan berat. Cerebral palsy spastik dibagi
berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu:
a. Monoplegi, bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan
b. Diplegia, keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat dari
pada kedua lengan
c. Triplegia, bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah
mengenai kedua lengan dan 1 kaki
d. Quadriplegia, keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama
e. Hemiplegia, mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena lebih berat.

2. Cereberal Palsy atetoid/diskinetik


Bentuk cereberal palsy ini mempunyai karakterisktik gerakan menulis yang tidak
terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan, atau
tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak-
anak menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat
selama periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur. Penderita juga
mengalami masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). Cereberal Palsy
atetoid terjadi pada 10-20% penderita cereberal palsy.
3. Cereberal palsy ataksid
Cerebral palsy ataksid merupakan tipe yang arang dijumpai, mengenai
keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang terkena sering menunjukan
koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka
lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi saling berjauhan; kesulitan dalam
melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis, mengancingkan baju.
Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter misalnya
buku, menyebabkan gerakan seperti menggigil pada bagian tubuh yang baru
digunakan dan tampak memburuk sama dengan saat penderita akan menuju objek
yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai 5-10% penderita cerebral palsy.

4. Cerebral palsy campuran


Sering ditemukan pada seseorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk
Cerebral palsy yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai
adalah spastik dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai
(Rudolf CD et al; 2003;Ropper AH & Brown RH, 2005).

Berdasarkan derajat kemampuan fungsional, cerebral palsy terbagi menjadi tiga :


1. Ringan : Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari- hari
sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan
khusus.
2. Sedang :Aktifitas penderita sangat terbatas. Penderita membutuhkan
bermacam- macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat
mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan
secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau
berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan
baik.
3. Berat : Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak
mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau
pendidikan khusus yang diberikan sangat Sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita
seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah perawatan
khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat, atau yang akan
menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi keluarganya maupun
lingkungannya.
Untuk penatalaksanan cerebral palsy, tidak ada terapi spesifik. Terapi bersifat
simptomatik, yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat
dini akan dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Tujuan terapi
pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi
motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan
sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan
diharapkan penderita bisa mandiri dalam melakukan aktivitas kehidupannya di
kemudian hari. Pada keadaan ini perlu tatalaksana terpadu/multi disipliner mengingat
masalah yang dihadapi sangat kompleks, sehingga dibutuhkan kerja sama
multidisipliner yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, dokter saraf,
dokter jiwa, dokter mata, dokter THT, dokter ortopedi, psikolog, fisioterapis, terapis
okupasi, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua penderita (Staf Pengajar
IKA FKUI, 2007).

(Sankar C and Mundkur N. Cerebral Palsy–Definition, Classification, Etiology and Early


Diagnosis. Indian Journal of Pediatrics, Volume 72—October, 2005:865)
Down Syndrome
Sindrom Down (DS) adalah kelainan kromosom yang paling umum di antara bayi hidup
lahir. Ini adalah bentuk yang paling sering cacat intelektual (keterbelakangan mental) yang
disebabkan oleh kelainan kromosom. Pada Sindrom Down teridentifikasi adanya trisomi dari
kromosom 21. Mayoritas kasus Sindrom Down merupakan hasil dari adanya non-disjunction
dari kromosom 21 pada meiosis I atau meiosis II dari salah satu orang tua. Sindrom Down
ditandai dengan berbagai malformasi kongenital, dan masalah kesehatan lainnya. Tidak semua
dari kriteria klinis sindrom down muncul pada setiap individu yang terkena. Manifestasi klinis
dari Sindrom Down antara lain :

1. Kelainan fisik
Kelainan fisik pada Sindrom Down ditandai dengan adanya mongoloid face, yaitu
adanya lipatan epikantus, wajah datar dengan jembatan hidung yang datar, telinga
displastik atau dapat dilipat, atau telinga yang kecil dan letak rendah, brakisefalik,
mulut terbuka, lidah menonjol, leher pendek dengan kulit yang berlebih pada tengkuk
leher, palatum sempit, dan gigi yang abnormal.
2. Retardasi mental
Hampir semua individu dengan Sindrom Down memiliki gangguan kognitif, dengan
IQ 50 sampai 70 atau 35 sampai 50, masing-masing, meskipun beberapa penderita
dapat memiliki IQ 20 sampai. Pada anak dengan Sindrom Down, penurunan
perkembangan jelas terlihat pada tahun pertama kehidupan. Secara umum, rata-rata
usia duduk (11 bulan), merangkak (17 bulan), dan berjalan (26 bulan), yang
merupakan dua kali usia rata-rata anak normal. Perkembangan bahasa juga lebih
lambat, dengan usia rata-rata untuk kata pertama pada 18 bulan.
3. Penyakit Jantung
Sekitar setengah dari individu dengan Sindrom Down memiliki penyakit jantung
bawaan. Dalam suatu studi berbasis populasi terbesar, kelainan kardiovaskular
teridentifikasi pada 342 (42 %) dari 821 bayi yang lahir dengan Sindrom Down 1985-
2006 di wilayah North East of England, dimana 23% memiliki lebih dari satu
anomali. Kelainan jantung yang telah teridentifikasi pada penderita Sindrom Down
antara lain: Complete Atrioventricular Septal defect (CAVSD) 37%,Ventricular Septal
Defect (VSD) 31 %, Atrial Septal Defect (ASD) 15 %, Partial Atrioventricular Septal
Defect (PAVSD) 6 %, Tetralogi Fallot (TOF ) 5 %,Patent Ductus Arteriosus (PDA) 4
% (1).
4. Kelainan Gastrointestinal
Penderita dengan trisomi 21 memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelainan saluran
pencernaan, yang terjadi pada sekitar 5% dari kasus. Kelainan yang paling khas antara
lain atresia duodenum atau stenosis, pankreas annular, dan Hirschprung Disease,
yang terjadi di 2,5 % penderita sindrom down.
6. Pertumbuhan terlambat
Anak-anak dengan sindrom down memiliki berat badan lahir, panjang, dan lingkar
kepala lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Panjang saat lahir hanya sekitar
0,5 standar deviasi kurang dari kontrol bayi baru lahir. Dalam sebuah studi dari 105
anak-anak dengan sindrom Down, panjang, berat, dan lingkar kepala berada di bawah
orang-orang dari anak-anak yang sehat normal saat lahir; tetap rendah sampai pubertas.
Laju pertumbuhan penderita sindrom down lebih rendah dibandingkan dengan anak-
anak normal, terutama pada anak- anak dengan penyakit jantung bawaan yang berat.
Pada orang dewasa dengan Sindrom Down, ketinggian rata-rata pada laki-laki dan
perempuan adalah 157 dan 144 cm, masing-masing, dan berat rata-rata adalah 71 dan
64 kg pada laki- laki dan perempuan.
7. Gangguan Endokrin
Kelainan endokrin pada sindrom down termasuk disfungsi tiroid dan diabetes.
Gangguan tiroid prevalensinya bervariasi, hipotiroidisme dapat terjadi pada 3 sampai
54 % penderita, sedangkan hipertiroidisme dapat terjadi pada 2,5 % penderita. Selain
itu, resiko terjadinya diabetes tipe I juga meningkat pada penderita sindrom down.
Patofisiologi
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan
susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks.
Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam
setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang
pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal
dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing
mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan
zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46
kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah
kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya
memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi
14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom
45.xx.t (14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi
tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui.
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih
besar untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.

Non-disjunction hanya ditemukan terjadi pada oogenesis, sementara tidak pernah


ada non-disjunction dalam spermatogenesis, karena spermatogenesis terjadi setiap hari dan
tidak ada waktu penundaan spermatogenesis seperti halnya pada oogenesis. Akibat dari adanya
trisomi 21 dalam zigot, kromosom penderita Down syndrome jenis ini mempunyai 47
kromosom (47,XX,+21 atau 47,XY,+21).
Jika pada trisomi 21 karena non-disjunction mempengaruhi seluruh sel tubuh, pada
kasus Down syndrome mosaik (46,XX/47,XX,+21), terdapat sejumlah sel yang normal dan
yang lainnya mempunyai mengalami trisomi 21. Kejadian ini dapat terjadi dengan dua
cara:non-disjunction pada perkembangan sel awal pada embryo yang normal menyebabkan
pemisahan sel dengan trisomi 21, atau embryo dengan Down syndrome mengalami non-
disjunction dan beberapa sel embryo kembali kepada pengaturan kromosom normal.
Penderita Down syndrome translokasi mempunyai 46 kromosom t(14q21q). Setelah
kromosom orang tua diselidiki, ternyata ayah normal, tetapi ibu hanya mempunyai 45
kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom translokasi 14q21q.
Ibu merupakan karier, sehingga normal walaupun kariotipenya 45,XX,t (14q21q). Perkawinan
laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan karier Down syndrome secara teoritis
menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2 normal : 1 Down syndrome. (Suryo,
2005). Pada Down syndrome translokasi, susunan kromosom tidak sesuai dengan susunan
kromosom normal. Jumlah kromosom tetap 46, tetapi karena terdapat bagian tambahan dari
kromosom ke-21, anak akan memiliki fitur Down syndrome.6
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down
akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak
– anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi,
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang
tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan
penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada
kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita
sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio
21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama
retardasi mental dan defek jantung.
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme tiroid dan
malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun
yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism
dan juga penyakit Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita
hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine
dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh, anak – anak dengan sindrom Down yang
menderita leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses
metabolik menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi
terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita
Sindrom Down (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
(Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104. Accessed on November13th
2018)

Hubungan lingkar kepala dengan perkembangan anak sindrom down ?

Sindrom Down merupakan penyakit kongenital akibat kelainan pada kromosom 21.
Lingkar kepala yang kecil dan terjadinya keterlambatan perkembangan merupakan
karakteristik dari anak sindrom Down. Lingkar kepala merupakan prediktor terbaik dalam
melihat pertumbuhan dan perkembangan otak. Overekpresi gen trisomi 21 mengubah struktur
dan fungsi otak hingga akhirnya mengganggu perkembangan anak. Sindrom Down memiliki
manifestasi klinis berupa retardasi mental, karakteristik fisik yang khas, dan keterlambatan
perkembangan. Perkembangan otak anak sindrom Down mengalami keterlambatan karena
terjadinya overekspresi gen, yang berpengaruh pada fungsi dan struktur otak penderita sindrom
Down. Sehingga menyebabkan pertumbuhan lingkar kepala melambat pada awal masa anak-
anak, tidak jarang didapatkan mikrosefali pada anak sindrom Down. Perubahan lingkar kepala
karena pada anak sindrom Down telah terjadi overekspresi gen trisomi 21 sehingga
berpengaruh pada perubahan struktur dan jumlah dendritik, densitas sinaptik rendah,
pengurangan jumlah neurotransmitter, penundaan mielinisasi, serta penurunan berat dan
volume otak, hingga menyebabkan pertumbuhan lingkar kepala terganggu.
Cara menghitung umur anak adalah dengan cara mengurangi tanggal pemeriksaan terhadap
tanggal lahir.
Contoh :
Tanggal pemeriksaan 10 Mei 2004: 2004 05 10
Tanggal lahir 23 Juni 2002 : 2002 06 23
Umur kronologis: 1 10 17
Umur kronologis anak adalah 1 tahun, 10 bulan, 17 hari dan diplot sebagai 22 ½ bulan.
Menghitung Umur Anak yang Lahir Prematur
Untuk bayi prematur, dalam mengukur berat dan panjang badan serta lingkar kepala,
harus digunakan umur koreksi sampai anak berusia 2 tahun. Untuk bayi prematur dengan berat
kurang dari 1000 gram, umur koreksi digunakan sampai anak berusia 3 tahun. Cara menghitung
umur koreksi adalah dengan cara mengurangi umur kronologis terhadap jumlah minggu
prematur.
Contoh :
Bayi Lina lahir pada tanggal 20 Desember 2002, lahir dengan umur gestasi 33 minggu, dengan
berat lahir 2000 gram.
Tanggal pemeriksaan 5 Juli 2004: 2004 07 05
Tanggal lahir 20 Desember 2002: 2002 12 20
Umur kronologis: 1 06 15
Prematur 7 minggu: 01 21
Umur koreksi: 1 04 24
Umur anak adalah 1 tahun, 4 bulan, 24 hari dan diplot pada 16 ½ bulan.
Cara menggunakan chart Fenton

Premature Infants: All premature infants should be plotted on Fenton growth chart for
their corrected gestational age (CGA) until 40 weeks. After reaching CGA of 40 weeks
premature infants should only be plotted on standard growth chart to both their actual and
corrected age.

1. Note: The Olsen and 2013 Fenton growth charts are currently recommended for use in
premature infants but due to Electronic Health Record limitations we are currently using
the 2003 Fenton growth chart.
2. Correction for prematurity:
 Weight should be corrected until 24 months of age
 Length/height should be corrected until 40 months of age
 Head circumference should be corrected until 18 months of age
3. Calculation for correction for prematurity:
 Adjustment for prematurity = 40 weeks (term) – gestational age at birth
 Corrected age = chronological age –adjustment for prematurity
 Example: 4 month 2 week old born at 28 weeks
 Adjustment for prematurity: 40 weeks – 28 weeks = 12 weeks or 3 months
 Corrected age: 4 months 2 weeks – 3 months = 1 month 2 weeks

(Texas Children’s Hospital Pediatric Nutrition Reference Guide, 9th edition, 2010.)

The WHO growth standards did not include data on premature infants or very low birth
weight infants (less than 1500 g); the growth of these infants differs from infants born at an
appropriate age or size, such that they appear not to catch up during early childhood.

The growth of preterm infants (less than 37 weeks) after discharge from the neonatal intensive
care unit can be monitored using the WHO Child Growth Standards:

1. Measurements should be plotted using corrected postnatal age for prematurity (ie,
postnatal age in weeks – [40 weeks – gestational age in weeks]) until 24 or 36 months of
age.

➢ For example, at 12 weeks’ postnatal age, an infant born at 30 weeks’ gestational age
would be 12 – [40−30] or two weeks’ corrected postnatal age.

2. Breastfed infants born with low birth weight will be expected to track along the lower
percentiles of the WHO charts because exclusive breastfeeding does not change the fact
that they were small for age at birth.
○ Alternative charts to assess growth of preterm and low birth weight infants in the
neonatal intensive care unit or early postdischarge setting include
➢ Fenton’s updated Babson and Benda chart for tracking growth from 22 weeks’
gestational age to 10 weeks post-term, and
➢ the Infant Health and Development Program charts for tracking growth from two to 38
months.
3. Children with intellectual, developmental, genetic or other disorders often have growth
patterns that are different from healthy children. Their growth can also be monitored on
the WHO growth charts alone, or in conjunction with specific growth curves that exist for
some of these disorders

(A health professional’s guide for using the new WHO growth charts. Paediatr Child Health
Vol 15 No 2 February 2010.)

Anda mungkin juga menyukai