CP Latifah
CP Latifah
Cerebral Palsy
Cerebral palsy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang permanen dan tidak
progresif yang terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) dan merintangi perkembangan
otak normal dengan gambaran klinis yang menunjukan kelainan dalam sikap dan pergerakan
disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastik dan kelainan mental. Istilah cerebral
palsy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gangguan
gerakan, postur tubuh, dan tonus yang bersifat non progresif, berbeda-beda kronis dan akibat
cedera pada sistem saraf pusat selama awal masa perkembangan (Arief M, 2003; Johnston MV,
2007).
Istilah cerebral palsy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
sekelompok gangguan gerakan, postur tubuh, dan tonus yang bersifat non progresif, berbeda-
beda kronis dan akibat cedera pada sistem saraf pusat selama awal masa perkembangan (Rudolf
CD et al; 2003).
Etiologi
Etiologi dari Cerebral palsy dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu prenatal, perinatal, dan
pascanatal (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
1. Prenatal
Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya
oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik. Kelainan yang
menonjol biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental. Anoksia dalam
kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat
yang abnormal), terkena radiasi sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan
cerebral palsy (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
2. Perinatal
a. Anoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah brain injury. Keadaan
inillah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada kedaan
presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvis, partus lama, plasenta previa,
infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan instrumen tertentu dan lahir dengan
seksio caesaria (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007)
b. Perdarahan otak
Perdarahan otak dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah hingga terjadi anoksia.
Perdarahan dapat terjadi di ruang subarachnoid akan menyebabkan pennyumbatan
CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan spatium subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis (Staf Pengajar IKA
FKUI, 2007).
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak yang lebih
banyak dari pada bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor
pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna (Staf Pengajar IKA FKUI,
2007; Rudolf CD et al; 2003).
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang
permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan
inkompatibilitas golongan darah (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007).
e. MeningitisPurulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya
akan mengakibatkan gejala sisa berupa Cerebral palsy (Staf Pengajar IKA FKUI,
2007).
3. Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat
menyebabkan cerbral palsy (Staf Pengajar IKA FKUI, 2007) antara lain :
a. Trauma kapitis dan luka parut pada otak pasca-operasi.
b. Infeksi misalnya meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis,
ensefalomielitis.
c. Kern icterus. Seperti kasus pada gejala sekuele neurogik dari eritroblastosis fetal
atau defisiensi enzim hati (Ropper AH & Brown RH, 2005).
Cerebral palsy diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan
dibagi dalam 4 kategori, yaitu :
1. Kelainan fisik
Kelainan fisik pada Sindrom Down ditandai dengan adanya mongoloid face, yaitu
adanya lipatan epikantus, wajah datar dengan jembatan hidung yang datar, telinga
displastik atau dapat dilipat, atau telinga yang kecil dan letak rendah, brakisefalik,
mulut terbuka, lidah menonjol, leher pendek dengan kulit yang berlebih pada tengkuk
leher, palatum sempit, dan gigi yang abnormal.
2. Retardasi mental
Hampir semua individu dengan Sindrom Down memiliki gangguan kognitif, dengan
IQ 50 sampai 70 atau 35 sampai 50, masing-masing, meskipun beberapa penderita
dapat memiliki IQ 20 sampai. Pada anak dengan Sindrom Down, penurunan
perkembangan jelas terlihat pada tahun pertama kehidupan. Secara umum, rata-rata
usia duduk (11 bulan), merangkak (17 bulan), dan berjalan (26 bulan), yang
merupakan dua kali usia rata-rata anak normal. Perkembangan bahasa juga lebih
lambat, dengan usia rata-rata untuk kata pertama pada 18 bulan.
3. Penyakit Jantung
Sekitar setengah dari individu dengan Sindrom Down memiliki penyakit jantung
bawaan. Dalam suatu studi berbasis populasi terbesar, kelainan kardiovaskular
teridentifikasi pada 342 (42 %) dari 821 bayi yang lahir dengan Sindrom Down 1985-
2006 di wilayah North East of England, dimana 23% memiliki lebih dari satu
anomali. Kelainan jantung yang telah teridentifikasi pada penderita Sindrom Down
antara lain: Complete Atrioventricular Septal defect (CAVSD) 37%,Ventricular Septal
Defect (VSD) 31 %, Atrial Septal Defect (ASD) 15 %, Partial Atrioventricular Septal
Defect (PAVSD) 6 %, Tetralogi Fallot (TOF ) 5 %,Patent Ductus Arteriosus (PDA) 4
% (1).
4. Kelainan Gastrointestinal
Penderita dengan trisomi 21 memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelainan saluran
pencernaan, yang terjadi pada sekitar 5% dari kasus. Kelainan yang paling khas antara
lain atresia duodenum atau stenosis, pankreas annular, dan Hirschprung Disease,
yang terjadi di 2,5 % penderita sindrom down.
6. Pertumbuhan terlambat
Anak-anak dengan sindrom down memiliki berat badan lahir, panjang, dan lingkar
kepala lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Panjang saat lahir hanya sekitar
0,5 standar deviasi kurang dari kontrol bayi baru lahir. Dalam sebuah studi dari 105
anak-anak dengan sindrom Down, panjang, berat, dan lingkar kepala berada di bawah
orang-orang dari anak-anak yang sehat normal saat lahir; tetap rendah sampai pubertas.
Laju pertumbuhan penderita sindrom down lebih rendah dibandingkan dengan anak-
anak normal, terutama pada anak- anak dengan penyakit jantung bawaan yang berat.
Pada orang dewasa dengan Sindrom Down, ketinggian rata-rata pada laki-laki dan
perempuan adalah 157 dan 144 cm, masing-masing, dan berat rata-rata adalah 71 dan
64 kg pada laki- laki dan perempuan.
7. Gangguan Endokrin
Kelainan endokrin pada sindrom down termasuk disfungsi tiroid dan diabetes.
Gangguan tiroid prevalensinya bervariasi, hipotiroidisme dapat terjadi pada 3 sampai
54 % penderita, sedangkan hipertiroidisme dapat terjadi pada 2,5 % penderita. Selain
itu, resiko terjadinya diabetes tipe I juga meningkat pada penderita sindrom down.
Patofisiologi
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom/23 pasang, merupakan
susunan diploid. Dari ke 23 pasang disebut sebagai otosom, dan 1 pasang kromosom seks.
Wanita memiliki 2 kromosom X, dan pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam
setiap sel. Dalam terminologi standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46 XX, seorang
pria normal ditandai dengan 46 XY. Kromosom yang terbentuk pada setiap individu berasal
dari kedua orangtua dalam porsi yang sama. Ovum dan sperma normal masing-masing
mengandung 23 kromosom, merupakan susunan haploid, sehingga pembuahan menghasilkan
zigot yang tersusun diploid dari 23 pasang yang homolog.
Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai penderita Sidrom Down yang hanya memiliki 46
kromosom. Individu ini ialah penderita Sidrom Down translokasi 46. t(14 q 21q). setelah
kromosom orang tuanya diselidiki terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya
memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, 1 autosom 14 dan satu autosom translokasi
14q 21q. jelaslah bahwa ibu itu merupakan “carrier” yang walupun memiliki 45 kromosom
45.xx.t (14q21q) ai adalah normal. Sebaliknya laki-laki “carrier” Sindrom Down translokasi
tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang belum diketahui.
Pada Down syndrome trisomi 21, dapat terjadi tidak hanya pada meiosis pada waktu
pembentukan gamet, tetapi juga pada mitosis awal dalam perkembangan zigot, walaupun
kejadian yang lebih sering terjadi adalah kejadian yang pertama. Oosit primer yang terhenti
perkembangannya saat profase pada meiosis I stasioner pada tahap tersebut sampai terjadi
ovulasi, yang jaraknya dapat mencapai hingga 40 sampai 45 tahun. Diantara waktu tersebut,
oosit mungkin mengalami disposisi. non-disjunction. Pada kasus Down syndrome, dalam
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung dua buah autosom 21, dan apabila dibuahi
oleh spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21.
Beberapa sebab dapat terjadinya non-disjunction ini adalah :
a. Infeksi virus atau radiasi dimana makin mudah berpengaruh pada wanita usia tua
b. Kandungan antibody tiroid yang tinggi
c. Mundurnya sel telur di tuba falopii setelah 1 jam tidak dibuahi. Oleh karena itu para
ibu yang berusia agak lanjut (>35 tahun) biasanya mempunyai risiko yang lebih
besar untuk mendapat anak sindroma Down Tripel-21.
Sindrom Down merupakan penyakit kongenital akibat kelainan pada kromosom 21.
Lingkar kepala yang kecil dan terjadinya keterlambatan perkembangan merupakan
karakteristik dari anak sindrom Down. Lingkar kepala merupakan prediktor terbaik dalam
melihat pertumbuhan dan perkembangan otak. Overekpresi gen trisomi 21 mengubah struktur
dan fungsi otak hingga akhirnya mengganggu perkembangan anak. Sindrom Down memiliki
manifestasi klinis berupa retardasi mental, karakteristik fisik yang khas, dan keterlambatan
perkembangan. Perkembangan otak anak sindrom Down mengalami keterlambatan karena
terjadinya overekspresi gen, yang berpengaruh pada fungsi dan struktur otak penderita sindrom
Down. Sehingga menyebabkan pertumbuhan lingkar kepala melambat pada awal masa anak-
anak, tidak jarang didapatkan mikrosefali pada anak sindrom Down. Perubahan lingkar kepala
karena pada anak sindrom Down telah terjadi overekspresi gen trisomi 21 sehingga
berpengaruh pada perubahan struktur dan jumlah dendritik, densitas sinaptik rendah,
pengurangan jumlah neurotransmitter, penundaan mielinisasi, serta penurunan berat dan
volume otak, hingga menyebabkan pertumbuhan lingkar kepala terganggu.
Cara menghitung umur anak adalah dengan cara mengurangi tanggal pemeriksaan terhadap
tanggal lahir.
Contoh :
Tanggal pemeriksaan 10 Mei 2004: 2004 05 10
Tanggal lahir 23 Juni 2002 : 2002 06 23
Umur kronologis: 1 10 17
Umur kronologis anak adalah 1 tahun, 10 bulan, 17 hari dan diplot sebagai 22 ½ bulan.
Menghitung Umur Anak yang Lahir Prematur
Untuk bayi prematur, dalam mengukur berat dan panjang badan serta lingkar kepala,
harus digunakan umur koreksi sampai anak berusia 2 tahun. Untuk bayi prematur dengan berat
kurang dari 1000 gram, umur koreksi digunakan sampai anak berusia 3 tahun. Cara menghitung
umur koreksi adalah dengan cara mengurangi umur kronologis terhadap jumlah minggu
prematur.
Contoh :
Bayi Lina lahir pada tanggal 20 Desember 2002, lahir dengan umur gestasi 33 minggu, dengan
berat lahir 2000 gram.
Tanggal pemeriksaan 5 Juli 2004: 2004 07 05
Tanggal lahir 20 Desember 2002: 2002 12 20
Umur kronologis: 1 06 15
Prematur 7 minggu: 01 21
Umur koreksi: 1 04 24
Umur anak adalah 1 tahun, 4 bulan, 24 hari dan diplot pada 16 ½ bulan.
Cara menggunakan chart Fenton
Premature Infants: All premature infants should be plotted on Fenton growth chart for
their corrected gestational age (CGA) until 40 weeks. After reaching CGA of 40 weeks
premature infants should only be plotted on standard growth chart to both their actual and
corrected age.
1. Note: The Olsen and 2013 Fenton growth charts are currently recommended for use in
premature infants but due to Electronic Health Record limitations we are currently using
the 2003 Fenton growth chart.
2. Correction for prematurity:
Weight should be corrected until 24 months of age
Length/height should be corrected until 40 months of age
Head circumference should be corrected until 18 months of age
3. Calculation for correction for prematurity:
Adjustment for prematurity = 40 weeks (term) – gestational age at birth
Corrected age = chronological age –adjustment for prematurity
Example: 4 month 2 week old born at 28 weeks
Adjustment for prematurity: 40 weeks – 28 weeks = 12 weeks or 3 months
Corrected age: 4 months 2 weeks – 3 months = 1 month 2 weeks
(Texas Children’s Hospital Pediatric Nutrition Reference Guide, 9th edition, 2010.)
The WHO growth standards did not include data on premature infants or very low birth
weight infants (less than 1500 g); the growth of these infants differs from infants born at an
appropriate age or size, such that they appear not to catch up during early childhood.
The growth of preterm infants (less than 37 weeks) after discharge from the neonatal intensive
care unit can be monitored using the WHO Child Growth Standards:
1. Measurements should be plotted using corrected postnatal age for prematurity (ie,
postnatal age in weeks – [40 weeks – gestational age in weeks]) until 24 or 36 months of
age.
➢ For example, at 12 weeks’ postnatal age, an infant born at 30 weeks’ gestational age
would be 12 – [40−30] or two weeks’ corrected postnatal age.
2. Breastfed infants born with low birth weight will be expected to track along the lower
percentiles of the WHO charts because exclusive breastfeeding does not change the fact
that they were small for age at birth.
○ Alternative charts to assess growth of preterm and low birth weight infants in the
neonatal intensive care unit or early postdischarge setting include
➢ Fenton’s updated Babson and Benda chart for tracking growth from 22 weeks’
gestational age to 10 weeks post-term, and
➢ the Infant Health and Development Program charts for tracking growth from two to 38
months.
3. Children with intellectual, developmental, genetic or other disorders often have growth
patterns that are different from healthy children. Their growth can also be monitored on
the WHO growth charts alone, or in conjunction with specific growth curves that exist for
some of these disorders
(A health professional’s guide for using the new WHO growth charts. Paediatr Child Health
Vol 15 No 2 February 2010.)