Anda di halaman 1dari 7

Pembahasan

Percobaan ini dilakukan dengan membandingkan standar, sampel (minyak


yang sudah dipakai berulang), dan blanko untuk mengetahui perbedaan bilangan
peroksida. Karena selama penggorengan terjadi hidrolisa, oksidasi dan
dekomposisi minyak yang dipengaruhi oleh bahan pangan dan kondisi
penggorengan (Chatzilazarou, et al, 2006). Produksi komponen - komponen di
dalam minyak selama penggorengan ditransfer dari bahan makanan yang
digoreng, beberapa dari komponen tersebut dapat menurunkan daya terima
konsumen dan memberikan efek yang merugikan kesehatan (Galeone, et al,
2006).

Hal yang seharusnya terjadi adalah bilangan peroksida pada sampel lebih
tinggi daripada blanko serta standar minyak yang masih disegel. Hal ini
dikarenakan dalam proses penggorengan terjadi penurunan kualitas minyak
setelah digunakan secara berulang. (Yoon dan Choe, 2007). Juga dikarenakan
penggunaan suhu tinggi selama penggorengan memacu terjadinya oksidasi
minyak. Menurut deMan (1999) setiap peningkatan suhu 10°C laju kecepatan
oksidasi meningkat dua kali lipat. Kecepatan oksidasi lemak akan bertambah
dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah. (Ketaren, 1986). Selain
dengan adanya suhu yang lebih tinggi, bilangan peroksida dapat meningkat
seiring dengan lamanya waktu pemanasan. Dengan meningkatnya suhu dan waktu
pemanasan atau penggorengan, maka bilangan peroksida juga akan meningkat
signifikan (Alyas dkk, 2006). Jika standar atau minyak goreng baru sudah
memiliki nilai bilangan peroksida yang tinggi, hal itu bisa disebabkan karena
minyak didistribusikan dalam bentuk tanpa kemasan atau ditaruh ditempat yang
terbuka (wadah tidak tertutup) yang berarti bahwa minyak goreng standar sebelum
digunakan sudah banyak terpapar oksigen. (Prasetyawan, 2007; Aminah dan
Isworo, 2009)

Salah satu parameter penurunan mutu minyak goreng adalah


bilangan peroksida. Sebagian besar kerusakan minyak disebabkan oleh proses
oksidasai dan hidrolisis (secara enzimatik ataupun non-enzimatik). Pada saat
pertama proses oksidasi, akan terbentuk senyawa peroksida yang merupakan
senyawa labil dan mudah bereaksi lebih lanjut. Selanjutnya terbentuk senyawa
keton dan aldehid yang menyebabkan bau dan cita rasa tengik pada minyak
sehingga menjadi pertanda minyak telah rusak (Ketaren, 1986).

Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar


peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi
lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan
laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat
mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006). Peroksida
terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini hidrogen diambil dari
senyawa oleofin menghasikan radikal bebas. Keberadaan cahaya dan logam
berperan dalam proses pengambilan hidrogen tersebut. Radikal bebas yang
terbentuk bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi, selanjutnya dapat
mengambil hidrogen dari molekul tak jenuh lain menghasilkan peroksida dan
radikal bebas yang baru (deMan, 1999; Ericson, 2002). Peroksida dapat
mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki
dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida lebih dari 100 meq peroksid/kg
minyak akan bersifat sangat beracun dan mempunyai bau yang tidak enak.
Kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator bahwa minyak akan berbau
tengik (Ketaren, 1986).

Pada praktikum ini kami menggunakan dua sampel minyak, yaitu sampel
minyak A (minyak fresh) dan sampel minyak B (minyak bekas). Sampel minyak
A adalah sampel minyak baru yang belum mengalami oksidasi, tetapi kualitasnya
belum tentu bagus karena faktor penyimpanannya sedangkan sampel minyak B
adalah minyak goreng bekas yang sudah mengalami oksidasi beberapa kali.

Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan cara titrasi yang


menggunakan larutan tio sulfat 0.05 N sebagai penitar. Prinsip dari bilangan
peroksida adalah : senyawa dalam lemak (minyak) akan dioksidasi oleh Kalium
lodida (KI) dan lod yang dilepaskan akan dititar dengan tio sulfat. Fungsi
penambahan KI adalah untuk membebaskan iodin yang ditandai dengan
terbentuknya warna kuning pada sampel. Selain itu menggunakan asam asetat
glasial dan kloroform juga untuk menyatukan fasa minyak (sampel) dan fasa air
(air suling) yang ada (ASA, 2000).

Penambahan campuran larutan kloroform dan asam asetat glasial serta


alkohol dilakukan sebanyak 25 ml. Menurut IFRA (International Fragrance
Association) perbandingan asam asetat glasial : kloroform adalah 3:2 agar
mencapai larutan yang sempurna. Kloroform digunakan untuk melarutkan minyak
karena minyak mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut,
sedangkan asam asetat glasial digunakan untuk menjadikan suasana asam padaa
saat reaksi berlangsung. Alkali iodida akan bereaksi sempurna dalam larutan
bersuasana asam. Alkohol juga berfungsi sebagai pelarut, selain itu fungsinya juga
untuk melarutkan lemak dalam sampel agar dapat bereaksi dengan basa
alkali. Permasalahan yang terjadi pada praktikum kali ini adalah tidak terjadinya
reaksi antara larutuan dengan alkali iodide (KI). Seharusnya pada saat reaksi
terjadi perubahan warna menjadi kuning, namun hal tersebut tidak terjadi pada
sampel kelompok kami. Penyebab dari permasalahan tersebut adalah tidak
homogennya saat pencampuran asam asetat glasial, alkohol, dan kloroform,
sehingga reaksi alkali tidak sempurna karena kurangnya suasana asam.

Ketika minyak direaksikan dengan KI, senyawa peroksida akibat proses


oksidasi yang terdapat dalam sampel minyak, mengoksidasi KI menjadi I2.
Pelepasan I2 yang dihasilkan dari reaksi antara senyawa peroksida dengan KI
ditandai dengan larutan yang berubah menjadi warna kuning. Senyawa I2 yang
dibebaskan inilah yang kemudian akan dititrasi oleh Na2S2O3. Sebelum titrasi,
dilakukan penambahan indikator kanji agar dapat diketahui perubahannya.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, percobaan tersebut mengalami


kesalahan fatal yaitu fasa minyak dan fasa air tidak tercampur dan juga larutan
Kalium Iodida lewat jenuh sehingga saat mendekati warna kuning muda, warna
berubah kembali menjadi kuning pekat dengan serbuk KI yang tadinya tidak larut
menjadi larut dalam sampel. Oleh karena itu hasil percobaan tidak objektif
(Bilangan Peroksida tidak bisa diukur).
Namun jika dilihat dari hasil yang didapatkan oleh kelompok lain,
perbedaan nilai bilangan peroksida minyak baru dan minyak bekas cukup
signifikan. Nilai bilangan peroksida yang diperoleh pada sampel minyak baru
pada percobaan pertama dan kedua yaitu, 17,512 mekO2/kg dan 30,699
mekO2/kg. Sedangkan bilangan oksidasi yang diperoleh dari sampel minyak
bekas pada percobaan pertama dan kedua yaitu, 159,867 mekO2/kg dan 175,736
mekO2/kg.
Hasil tersebut tentu saja jauh dari nilai ambang batas bilangan peroksida
(nilai ketengikan) suatu minyak berdasarkan SNI 3741 tahun 2013 yaitu sebesar
10 mekO2/kg.

Sampel minyak baru pada percobaan pertama dan kedua melebihi nilai
ambang batas peroksida. Hal ini dapat terjadi karena adanya proses oksidasi pada
minyak tersebut oleh udara dan cahaya, selain itu juga karena kesalahan yang
disebabkan oleh reaksi antara alkali iodida dengan oksigen dari udara (Ketaren,
1986).
Sedangkan sampel minyak bekas pada percobaan pertama dan kedua,
keduanya relative menghasilkan nilai ambang batas peroksida yang sangat tinggi.
Penggunaan berulang ini ditunjukkan dengan bilangan peroksida tertinggi akibat
proses oksidasi yang berlangsung secara terus menerus. Minyak bekas ini
dikatakan tidak berkualitas dan sangat tidak aman untuk dikonsumsi. Minyak
goreng bekas atau yang dikenal dengan minyak jelantah ini memiliki bilangan
peroksida yang lebih tinggi karena adanya factor pemanasan atau suhu tinggi.
Setiap peningkatan suhu 10℃ laju kecepatan oksidasi akan meningkat dua kali
lipat (deMan, 1999). Selain akibat suhu yang lebih tinggi, bilangan peroksida juga
dapat meningkat seiring lamanya waktu pemanasan atau penggorengan. Dengan
meningkatnya suhu dan waktu pemanasan atau penggorengan, maka bilangan
peroksida juga akan meningkat signifikan (Alyas dkk, 2006).

Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempercepat kerusakan


minyak (pembentukan peroksida). Proses pembentukan peroksida ini dipercepat
oleh adanya cahaya, suasana asam, kelembaban udara dan katalis. Beberapa jenis
logam atau garam-garam yang terdapat dalam minyak merupakan katalisator
dalam proses oksidasi, misalnya logam tembaga, besi, kobalt, vanadium, mangan,
nikel, chromium, sedangkan aluminium kecil pengaruhnya terhadap proses
oksidasi (Siswanti, dkk. 2004). Menurut Aminah (2010), penggunaan suhu tinggi
selama penggorengan juga dapat menyebabkan turunnya kualitas minyak goring
curah. Pokorny (1989) menambahkan bahwa air yang terkandung dalam bahan
pangan juga mempengaruhi kecepatan kerusakan minyak, karena air tersebut akan
tergantikan oleh minyak selama proses penggorengan.
DAFTAR PUSTAKA

Alyas, S.A., Abdullah, A., Idris, N.A. 2006. Change of -Carotene Content During
Heating of Red Palm Olein. Journal of Oil Research (Special Issue-
April 2009), p.99-120.
Aminah, S., dan Isworo T.J. 2009. Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak
Goreng Sisa pada Rumah Tangga Rt.05 Rw. III Kedungmundu Tembalang
Semarang. Laporan penelitian Internal UNIMUS Tahun 2009.
ASA 2000. Feed Quality Management Workshop . Penentuan Bilangan Peroksida.
Ciawi.
Chatzilazarou, A., Gartzi O., Lalas, S., Zoidis, E., and Tsaknis, J. 2006.
Physicochemical Changes Of Olive Oil and Selected VegeTabel Oil
During Frying. Journal Food Lipids 13: 27-35.
deMan, M.J, 1999. Principles of Food Chemistry. Third Edition. Aspen Publicher,
Inc. Gaithersburg, Maryland.
Ericson, M.C., 2002 Lipid Oxidation of Muscle Foods dalam Akoh.C.C., and
Min.B.D. 2002. Food Lipid: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology. 2nd
Ed. Marcel Dekker Inc. New York-Basel.
Galeone, C., Talamini R., Levi F., Pelucchi C., Negri E., Glacosa A., Montnella
M., Franceschi S., and Vecchic, 2006. Fried Foods, olive oil and colorectal
cancer. Eur Soc Med Onc 13:689-92.

International Fragrance Association. IFRA Analytical Method: Determination of


the Peroxide Value (October 17th, 2011)

Ketaren.S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press.


Jakarta.
Pokorny, J. 1989. Flavor Chemistry of Deep-Fat Frying ini Oil. Di dalam :
Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada
Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang
Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
Prasetyawan, E.A. 2007. Uji Kualitas Minyak Goreng Pada Para Penjual
Gorengan di lingkungan Kampus Universitas Jember.
http://digilib.unej.ac.id. Diakses 27 Maret 2019.
Siswanti, dkk. 2004. Pemanfaatan Antioksidan Alami Flavonol untuk Mencegah
Proses Ketengikan Minyak Kelapa.
Raharjo, S., 2006. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Yoon, Y., and Choe, E. 2007. Oxidation of Corn Oil During Frying of Soy-Flour-
Added Flour Dough. Journal of Food Science. Vol 72, Nr.6, Institut of
Food Technologists.

Anda mungkin juga menyukai