Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Laporan Kasus

I. Identitas Pasien
Nama : An. M
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 14 tahun
Tanggal lahir : Mei 2001
Agama : Islam
Alamat : Lakbok, Ciamis
Tanggal masuk rumah sakit : 7 Agustus 2015
No. rekam medis : 3030XX

II. Anamnesa
 Keluhan utama
Kejang 3 x sejak 4 hari yang lalu

 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke RSUD Banjar diantar keluarganya dengan keluhan kejang
sebanyak 3x sejak 4 hari yang lalu. Lama kejang ± 5 menit setelah kejang
pasien sadar sendiri. Kejang pertama yaitu pukul 04.00, kejang kedua pukul
10.00, dan kejang ketiga pukul 14.00. sebelum kejang pasien sadar. Saat
kejang tangan dan kaki tertekuk, tidak keluar busa, mata terbuka melihat ke
atas. Tidak ada aura atau tanda-tanda yang terlihat sebelum kejang. Tidak
ada demam sebelum kejang. Riwayat trauma kepala, mual dan muntah
disangkal.

 Riwayat penyakit dahulu


Pasien memiliki riwayat kejang sejak umur 7 bulan. Kemudian pasien berobat ke
dokter dan rutin kontrol sampai umur 9 tahun. Setelah umur 9 tahun pasien tidak
pernah kontrol ke dokter lagi.

Page 1
 Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat epilepsi. Adik pasien tidak
memiliki riwayat kejang. Riwayat darah tinggi, diabetes, ataupun asma disangkal.

 Riwayat sosial, ekonomi, dan lingkungan


Pasien merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara. Ayah pasien bekerja sebagai buruh
di luar negeri, sedangkan ibu pasien sudah meninggal. Kondisi ekonomi menengah
ke bawah.

 Riwayat lahir
Pasien dilahirkan cukup bulan secara norma. Tidak ada penyulit saat kehamilan.
Tidak ada kelainan yang ditemukan saat pasien lahir.

 Riwayat tumbuh kembang


Imunisasi lengkap. Tidak ada gangguan perkembangan tapi pasien memiliki
keterbatasan dalam berbicara.

III. Pemeriksaan Fisik :


 Keadaan umum : sakit sedang
 Kesadaran : somnolen
 Tanda vital
o Tekanan darah : 110/80 mmHg
o Nadi : 100 x/menit
o Laju nafas : 20 x/menit
o Suhu : 37oC
 Status generalis
Normosefal, tak tampak ada lesi, rambut hitam tak mudah
Kepala
dicabut.

Page 2
Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, lensa tidak
Mata
keruh.
Bentuk normal, tak tampak ada sekret dari hidung maupun
THT
telinga, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis.
Leher Tidak ditemukan pembesaran KGB, letak trakea ditengah
Toraks Tampak simetris, tidak tampak ada retraksi
 Inspeksi: pulsasi iktus kordis tidak tampak di sela iga 4
linea mid clavicula sinistra.
 Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga 4 linea mid clavicula
sinistra.
Jantung  Perkusi: batas jantung kanan pada sela iga 3 parasternal
kanan. Batas jantung kiri di sela iga 4 linea mid clavicula
sinistra. Batas jantung atas di sela iga 3 linea parasternal
sinistra.
 Auskultasi: S1S2 regular, murmur (-), gallop (-), aritmia (-)
 Inspeksi: simetris, tidak tampak retraksi interkosta.
 Palpasi: taktil fremitus simetris.
Paru  Perkusi: sonor pada kedua lapang paru.
 Auskultasi: suara nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-,
stridor -/-
 Inspeksi: datar, tak tampak lesi.
 Palpasi: supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tak
Abdomen teraba
 Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
 Auskultasi: bisung usus 12/menit
Akral hangat, edema tidak ada, tidak tampak sianosis, capillary
Ekstremitas
refill time < 2 detik.

Page 3
 Pemeriksaan neurologis
o Tanda rangsang meningeal: (-)
 Kaku kuduk : (-)
 Lassegue : > 70o / > 70o
 Kernig : > 135o / > 135o
 Brudzinski I : (-)
 Brudzinski 2 : (-)

o Pemeriksaan Saraf Kranial


I Daya pembau: normal
Visus: tidak diperiksa
II Lapang pandang: Normal
Funduskopi: tidak diperiksa
Pupil: refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
III, IV,
langsung +/+,nistagmus tidak ada
VI
Gerak bola mata: baik ke segala arah
Motorik: baik
V Sensorik: +/+
Refleks kornea: +/+
Angkat alis, kerut dahi: simetris
Tutup mata : baik, simetris
VII Kembung pipi: simetris
Menyeringai: baik
Rasa 2/3 anterior lidah: baik
Suara bisikan: kanan kiri normal
Rinne, Webber, Schwabach: tidak dilakukan
VIII Nistagmus: tidak ada
Berdiri dengan mata terbuka: tidak dilakukan
Berdiri dengan mata tertutup: tidak dilakukan

Page 4
Arkus faring: simetris
Uvula: terletak di tengah. Simetris
IX, X
Disfonia: tidak ada
Disfagia: tidak ada
Menoleh kanan-kiri: normal
XI
Angkat bahu: normal
Lidah di dalam mulut: tidak ada deviasi, fasikulasi, atrofi,
XII maupun tremor
Menjulurkan lidah: letak di tengah

o Pemeriksaan motorik
 Ekstremitas atas
 Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
 Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
 Kekuatan:

Tangan kanan: 5

Tangan kiri : 5

 Ekstremitas bawah
 Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
 Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
 Kekuatan:
Kaki kanan: 5
Kaki kiri : 5

o Pemeriksaan sensorik : normal


o Refleks fisiologis
 Bisep : +/+
 Trisep : +/+

Page 5
 Brachioradialis : +/+
 Patella : +/+
 Achilles : +/+
o Refleks patologis
 Babinski : +/+
 Chaddok : +/+
 Oppenheim : -/-
 Gordon : -/-
 Schaffer : -/-
 Hoffman trommer : -/-
o Koordinasi
 Tes tunjuk hidung : Tidak dilakukan
 Tes tumit lutut : Tidak dilakukan
o Fungsi otonom
 Miksi : normal
 Defekasi : normal
 Sekresi keringat : normal
IV. Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen Thorax
 CT-Scan

Page 6
Page 7
V. Resume
Anak M 14 tahun datang ke RSUD Banjar dengan keluhan utama kejang saat
dirumah sejak 4 hari yang lalu, kejang berlangsung ± 5 menit sebanyak 3x, saat kejang dan
setelah kejang anak sadar, saat kejang kedua tangan dan kaki lurus tertekuk. BAK dan BAB
lancar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen, tanda vital dalam batas
normal, refleks patologis (+).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis.

Page 8
VI. Follow Up
8/8/2015 10/8/15 11/8/15
S : kejang (-). Batuk (+) S: kejang (-), batuk (+)
S : pasien tidak kejang lagi,
batuk(+) .
O: O:
O:
KU/KS : SS/Somnolen KU/KS : SS/Somnolen
KU/KS : SS/Somnolen
TD: 100/80mmHg, TD: 100/80mmHg,
TD: 110/80mmHg,
HR: 72 x/menit, HR: 72 x/menit,
HR: 100 x/menit,
RR: 20x/ menit, RR: 20x/ menit,
RR: 20x/ menit,
S: 370C S: 370C
0
S: 37 C
Motorik: tonus normal, atrofi (-) Motorik: tonus normal, atrofi (-)
Motorik: tonus normal, atrofi (-)
Sensorik/ Veg baik Sensorik/ Veg baik
Sensorik/ Veg baik
FL tidak dilakukan FL tidak dilakukan
FL tidak dilakukan
Hb 16,9 mg/dl Hb 16,9 mg/dl
Hb 16,9 mg/dl
Leukosit 16.900/ul Leukosit 16.900/ul
Leukosit 16.900/ul
HT 55,1 % HT 55,1 %
HT 55,1 %
Trombosit 376.103 Trombosit 376.103
3
Trombosit 376.10

A: Epilepsi A: epilepsy
A: Epilepsi
P: P:
P:
 Terapi Lanjutkan  Terapi Lanjutkan
 Infus RL
 Manitol 200-150-150
 Omeprazole 2x1
 Dexamethason 3x1
 Ceftriaxone 1x1
 Fenitoin 3x1
 Ambroxol syrup 3x1

Page 9
13/8/15 14/8/15
S: kejang (-), batuk (+)
S: kejang (-), batuk (+)
O:
O:
KU/KS : SS/CM
KU/KS : SS/CM
TD: 130/80mmHg,
TD: 110/80mmHg,
HR: 87 x/menit,
HR: 80 x/menit,
RR: 20x/ menit,
RR: 20x/ menit,
S: 370C
0
S: 36 C
Motorik: tonus normal, atrofi (-)
Motorik: tonus normal, atrofi (-)
Sensorik/ Veg baik
Sensorik/ Veg baik
FL tidak dilakukan
FL tidak dilakukan
Hb 16,9 mg/dl
Hb 16,9 mg/dl
Leukosit 16.900/ul
Leukosit 16.900/ul
HT 55,1 %
HT 55,1 %
Trombosit 376.103
3
Trombosit 376.10

A: epilepsy
A: Epilepsi
P:
P:
 Terapi Lanjutkan
 Terapi Lanjutkan

VII. Diagnosis
Diagnosis kerja : epilepsy

VIII. Tatalaksana
Non medikamentosa
 Penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien kepada orang tua serta
bagaimana pengobatannya

Page 10
 Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk mengetahui tanda-
tanda awal kejang (aura), pencetus, dan mengetahui bentuk dan durasi kejang
 Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien kejang
 Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak berhenti dengan
pemberian diazepam rektal, kejang yang berulang dalam sehari atau kejang yang
tidak berhenti selama 15 menit.
Medikamentosa
o Infus RL
o Manitol 200-150-150
o Omeprazole 2x1
o Dexamethason 3x1
o Ceftriaxone 1x1
o Fenitoin 3x1
o Ambroxol syrup 3x1

IX. Prognosis
 Ad vitam : ad bonam

Page 11
BAB II
Tinjauan Pustaka

I. Definisi
Epilepsy merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure) yang
terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada
neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari bangkitan
serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau
tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf
di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

II. Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan
menjadi:
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,

A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

3. Dengan gejala autonom

4. Dengan gejala psikis

B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan


kesadaran

2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan

Page 12
C. Parsial yang menjadi umum sekunder

1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik

2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-


konik

2. Bangkitan Umum

A. Absence / lena / petit mal

Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam


beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam
tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4
sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh
ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang
dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan
peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan
gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang
bangkit secara menyeluruh.

B. Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3
detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti
oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

C. Tonik

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan
fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.

Page 13
D. Tonik-klonik /Grand mal

Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang
tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai
mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan
tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

E. Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot


skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

F. Atonik

Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan
terjatuh secara tiba-tiba.

III. Etiologi
1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu
mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minum-minuman
alkhohol atau mendapatkan terapi penyinaran.

2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :

- Brain malvormation

- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)

- Gangguan elektrolit

- Gangguan metabolisme janin

- Infeksi

Page 14
3. Saat usia bayi – anak-anak

- demam (kejang demam)

- tumor otak (jarang)

- infeksi

4. Saat usia anak – dewasa

- Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.

- Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka
kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.

- Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang)

- Trauma kepala

5. Saat usia tua/lanjut

- Stroke

- Penyakit Alzeimer

- Trauma

IV. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang
ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos
membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

Page 15
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal
ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara
klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersama- sama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong
ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya
dengan ion kalsium.28
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.11,29
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin )
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali

Page 16
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap
yang akan menambah rangsangan.11
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (
GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan.11
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital,
hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.30
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada
di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal
epilepsi dapatan.30
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek
ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada
neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan
neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan
metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan
tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor
genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
centrotemporal epilepsy. Walaupun
demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme
yang sama.27

Page 17
V. Diagnosa
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.33
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
33
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
o Pola / bentuk serangan
o Lama serangan
o Gejala sebelum, selama dan paska serangan
o Frekwensi serangan
o Faktor pencetus
o Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia saat serangan terjadinya pertama
o Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
o Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak- anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.34

3. Pemeriksaan penunjang
A. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.4

o Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

Page 18
o Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
o Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya
spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi
mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan
paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
B. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.35
C. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

VI. Tatalaksana
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni,

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan
keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan
efek samping dari pengobatan tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol


bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.

Page 19
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara
bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa
penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang
penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni,

1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana


penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

- Epilepsi simtomatik

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

- Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan
Page 20
selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka
pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

Page 21
BAB III

Daftar Pustaka

1. PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Kejang dan Epilepsi. Perhimpunan Dokter


Saraf 2007.
2. S. William, WM. Chelsea, SE Joseph. Adult onset epilepsies, DW Chadwick. From
Cell to Community-A practical guide to epilepsy. National Society for Epilepsy. 2007.
pp 127-132.
3. GJ Tucker. Textbook Of Traumatic Brain Injury: Seizures. American Psychiatric
Publication. 2005. pp. 309–321
4. J Mani,E Barry. Posttraumatic epilepsy: The Treatment of Epilepsy: Principles and
Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. pp. 521–524
5. Coulam CB, Annegers JF. Do anticonvulsants reduce the efficacy of the oral
contraceptive? Epilepsia. 20:519-25.
6. Shorvon SD, Tallis RC, Wallace HK. Antiepileptic drugs: coprescription of
proconvulsant drugs and oral contraceptives: a national study of antiepileptic drug
prescribing practice. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry.
2002;72:114-5.
7. Samren EB, van Duijn CM, Koch S, Hiilesmaa VK, Klepel H, Bardy AH, et al.
Maternal use of antiepileptic drugs and the risk of major congenital malformations: a
joint european prospective study of human teratogenesis associated with maternal
epilepsy. Epilepsia. 38:981-90.
8. Kaneko S, Battino D, Andermann E, Wada K, Kan R, Takeda A, et al. Congenital
malformations due to antiepileptic drugs. Epilepsy Research. 33:145-58.
9. Scottish Intercollegiates Guidelines Network. Diagnosis and Management of
Epilepsies in Adults. April 2003.

Page 22

Anda mungkin juga menyukai