Gas buang mesin diesel sangat banyak mengandung partikulat karena banyak
dipengaruhi oleh faktor dari bahan bakar yang tidak bersih. Faktor lain yang sangat dominan
dalam memberikan sumbangan zat cemaran keudara adalah faktor Campuran udara kompresi
dengan bahan bakar yang disemprotkan. Pencampuran yang tidak sebanding (terlalu banyak
bahan)akan menghasilkan gas buangan yang mengandung partikulat berlebihan. Grafik dibawah
ini menunjukkan dimana pada kondisi pencampuran yang sangat kaya (lambda mendekati nol)
maka partikulat akan meningkat dengan tajam.
Residu / Kotoran
Partikulat pada gas buang mesin diesel berasal dari partikel susunan bahan
bakar yang masih berisikan kotoran kasar (abu, debu) dikarenakan pemrosesan bahan bakar yang
kurang baik.
Terutama bahan bakar diesel di Indonesia, biasanya solar tidak berwarna atau bening, namun
bahan bakar solar kita pasti berwarna agak ke gelapan. Ini menandakan adanya kotoran dalam
bahan bakar.
Sehingga pada saat terjadi pembakaran, kotoran tersebut akan tyerurai dari susunan partikel yang
lain dan tidak terbakar. Semakin banyak residu dalam bahan bakar, dengan mesin secanggih
apapun akan dihasilkan gas buangan dengan kepulan asap hitam.
Sulfat
Sulfur yang ada pada bahan bakar yang berasal dari fosil adalah hal yang
sudah lumrah., sulfur tersebut berbentuk sulfur organik maupun non organik. Pembakarn pada
mesin diesel dengan menggunakan bahan bakar fosil biasanya akan menghasilkan sulfur
dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) dengan perbandingan 30 : 1, berarti sulfur dioksida
merupakan bagian yang sangat dominan dalam gas buang diesel.
Sulfur dioksida yang ada diudara bila bertemu dengan uap air akan membentuk susunan asam,
selanjutnya bisa terjadi hujan asam yang sangat merugikan.
Lain-lain
B. Efek zat yang terkandung pada gas buang terhadap manusia dan
lingkungan.
Gas CO
Jika terhirup kedalam paru-paru maka gas ini akan beredar bersamaan
dengan darah dan menghalangi masuknya oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini karena
gas CO bersifat racun, ikut bereaksi secara metabolis dengan darah (Hb). Ikatan karbon
monoksida dengan darah (karboksihaemoglobin) lebih stabil daripada ikatan oksigen dengan
darah (oksihaemoglobin), sehingga darah menjadi lebih mudah menangkap gas CO dan fungsi
vital darah sebagai pengangkut terganggu.
Apabila peredaran darah terganggu maka efek yang dirasakan oleh tubuh
manusia adalah pusing, rasa tidak enak dimata, sakit kepala dan mual (jika konsentrasi gas CO
rendah). Ini bisa menjadi sangat berbahaya ketika konsentrasi gas CO tinggi, efeknya yaitu detak
jantung meningkat, rasa tertekan di dada, sulit untuk bernafas, kelemahan otot, serangan jantung
dan berujung pada kematian.
Timbal (Pb)
Gas CO2
Kabut karbon
A. Standar Eropa
B. Standar Amerika
PCV pertama kali diaplikasikan secara luas pada mesin mobil baru yang
dijual di California tahun 1961 dan pada tahun 1964 PCV menjadi
peralatan standar pengontrol emisi HC untuk semua kendaraan di seluruh
dunia.
Pada tahun 1966 untuk pertama kalinya mobil baru yang dijual di
California harus mengikuti aturan Negara Bagian tersebut dan tahun 1968
aturan itu semakin diperketat sesuai dengan amanat EPA.
Pada tahun 1974 keluarlah aturan standar emisi yang lebih ketat, sehingga
diperlukan teknik service/tune up yang lebih baik secara berkala agar
memenuhi standard emisi yang baku. Lalu pada tahun 1975 diumumkan
pemakaian catalytic converter guna mereduksi kandungan emisi
berbahaya pada gas buang, dan catalytic converter hanya bisa dipakai bila
mesin menggunakan bensin tanpa timbel
C. Standar Indonesia
Kita awali dengan menghitung karbon dari perusahaan dulu deh, dengan
asumsi jumlahnya akan jauh lebih besar dibandingkan emisi karbon dari rumah kita.
Banyak rujukan yang menyarankan kita untuk mengelompokan sumber emisi menjadi 3
kelompok, yaitu scope 1, 2 dan 3.
Scope 1 adalah emisi karbon dari kegiatan dimana kita punya kendali
penuh, misal pengoperasian boiler, genset atau alat/fasilitas lainnya yang menggunakan
bahan bakar fosil termasuk kendaraan milik perusahaan untuk transportasi orang/barang.
Sumber lainnya bisa dari proses produksi yang mengemisikan gas-gas rumah kaca (GRK)
lainnya , seperti CH4, PF5 dll (lihat tabel 1). Data yang kita perlukan adalah data jumlah
bahan bakar fosil yang dipakai, misal berapa liter solar dalam 1 tahun. Data ini bisa
didapat dari bukti pembelian solar dari bagian keuangan atau pembelian.
Scope 2 adalah emisi yang berasal dari energi yang kita beli atau
datangkan dari luar, misal listrik yang kita pakai dari PLN atau steam dari pemasok luar.
Data yang diperlukan adalah data jumlah listrik (dalam kWh) per tahun yang bisa di
dapat dari tagihan listrik PLN.
Scope 3 adalah emisi yang berasal dari kegiatan pemasok yang memasok
barang ke perusahaan kita. Biasanya emisi dari scope 3 ini jarang dihitung, selain karena
faktor kesulitan dalam akses data juga karena jumlahnya yang relatif kecil.
Data lainnya yang harus ada adalah Faktor Konversi (lihat tabel 2 dan 3)
untuk konversi satuan KWh dan volume bahan bakar ke jumlah emisi CO2 (ton
ekivalen). Jika emisi yang kita hitung adalah GRK diluar CO2 maka kita perlu data
Global Warming Potensial (GWP) (lihat tabel 1).
Jadi rumus untuk di scope 1, yaitu CO2 ton e = jumlah bahan bakar fosil
(liter) x Faktor konversi (sesuai jenis bahan bakarnya) x GWP/1000
Rumus untuk scope 2, yaitu CO2 ton e = jumlah pemakaian listrik (kWh)
x faktor konversi (kg/KWh)/1000
Contoh perhitungannya bisa dilihat di tabel 2 dan 3. Mudah bukan! Kalau
masih ada yang bingung atau kurang jelas atau kondisi di perusahaan kita yang
unik/spesifik, bisa kita diskusikan di blog ini, OK!
Oya, setelah kita hitung emisi karbonnya, kita bisa tahu berapa besar kontribusi
kita terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Setelah itu kita bisa mengidentifikasi
potensi-potensi pengurangan emisi karbon dan menetapkan target berapa besar target
pengurangan.
* Modifikasi pada pompa bahan bakar dan system injeksi bahan bakar
* Pengaturan waktu injeksi bahan bakar
* Pengaturan ukuran droplet dari bahan bakar yang diinjeksikan
* Injeksi langsung air ke dalam ruang pembakaran.
Metode sekunder pengurangan emisi ini ditujukan lebih kepada memberikan efek
positip kepada lingkungan secara keseluruhan. Efek positip yang diperoleh dari penurunan emisi
yang dihasilkan dari metode ini tidak boleh memberikan beban kepada lingkungan lain seperti
adanya sampah material dari produksi /proses yang dilakukan. Kontrol emisi dengan
menggunakan metode sekunder ini banyak dilakukan pada sektor industri dan juga perkapalan
disebabkan oleh semakin ketatnya regulasi lingkungan. Berikut 2 macam metode sekunder yang
saat ini banyak diterapkan:
Efisiensi dari sistem SCR ini sangat berarti untuk mengurangi emisi NOx yaitu
sebesar 90-95% dan menghasilkan nitrogen dan uap air yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Prinsip utama sistem ini adalah mendinginkan gas buang sampai pada titik embun
dari gas buang tersebut dan mengakibatkan terjadinya kondensasi pada SOx. Saat terjadinya
pendinginan akibat kontak gas buang dengan air laut, dimana air laut adalah asam natural dengan
pH 8.1, terjadi kombinasi kerja yaitu netralisasi dan pengenceran gas buang. Sistem ini awalnya
banyak digunakan sebagai sistem untuk de-sulphurisasi dalam industri, namun saat ini banyak
digunakan untuk aplikasi penurunan SOx di kapal. Dalam suatu kasus, emisi SOx menurun dari
497 ppm menjadi 48 ppm dengan pH water scrubber menurun dari 8.01 menjadi 2.95, dari sifat
basa menjadi sifat asam [5].