Anda di halaman 1dari 5

PROPOSAL PENELITIAN

TRADISI PERNIKAHAN ADAT MINANGKABAU DALAM NOVEL


TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA

OLEH

Nama : JERI ARIYANTO

Nim : J1B017050

Program studi : SASTRA INDONESIA


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra adalah sebuah seni yang diciptakan oleh manusia berdasarkan
daya imajinasi yang dimilikinya. Imajinasi merupakan daya berpikir atau angan-
angan manusia. Daya bepikir dengan imajinasi tinggi akan mampu menghasilkan
sebuah karya sastra yang bernilai tinggi. Karya satra lahir karena adanya
keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan pesan tertentu
yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang. Karya sastra
merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya
sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa
pengarang secara mendalam melalui proses imajinasi (Nurgiyantoro, 2010: 57).
Sebuah karya sastra akan menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia
dalam berinteraksi terhadap sesama manusia, lingkungan, dan Tuhannya.
Meskipun sebuah karya sastra merupakan hasil dari perenungan dan khayalan,
namun di dalamnya tetap ada penghayatan yang dilakukan dengan penuh
kesadaran serta ideologi-ideologi yang akan disampaikan.
Sastra dapat memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan
memberikan interpretasi yang luas. Sastra juga dapat memberikan penilaian
terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan manusia. Seperti politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan
Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Dalam dunia
kepenulisannya, ia banyak menulis tentang keagamaan, walaupun begitu ia juga
menulis beberapa novel yang syarat akan nilai-nilai agama, pendidikan, moral dan
kebudayaan, salah-satu diantaranya adalah “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck”. Novel ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1938 dan sangat
populer pada zamannya.
Dalam novel ini terdapat sebuah problematika yang cukup menghanyutkan
hati pembacanya, lantaran Hamka mengisahkan tentang sebuah romansa dimana
tokoh utama Zainuddin tidak bisa menikahi kekasihnya Hayati karena suatu
masalah adat yang ada di Minangkabau. Walaupun keduanya saling mencintai
tetapi tetap tidak bisa bersatu. Hamka menggambarkan bahwa perbedaaan suku
dan strata social menjadi hal yang sangat penting dalam pernikahan adat
Minangkabau. Zainuddin, yang berdarah campuran Minang-Bugis, dianggap tak
pantas menikahi Hayati yang orang Minang tulen, ditambah pula keturunan
pemuka suku di Batipuh, Padangpanjang, di negeri Minangkabau.
Pernikahan secara umum menurut Undang-Undang Perkawinan, yang dikenal
dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam pelaksaannya pernikahan
mempunyai tradisi khusus disetiap adat atau suku yang berada di Indonesia.
Minangkabau menganut sistem matrilineal. Artinya, garis keturunan
didasarkan pada ibu. Hal ini juga mengandung konsekuensi warisan adat
diturunkan ke anak perempuan tertua terlebih dahulu. Atau yang lebih dikenal
dengan istilah bundo kanduang. Dapat dianggap sebagai kemalangan, jika tidak
memiliki anak perempuan. Garis sukunya akan terputus.
Tradisi pernikahan dalam adat Minangkabau juga tidak sederhana. Peran
ninik-mamak begitu penting. Hubungan antara mamak (saudara laki-laki ibu)
dengan kemenakannya begitu erat. Mamak berkewajiban mendidik sang
kemenakan. Mamak juga yang berperan penting dalam musyawarah untuk
memutuskan calon suami bagi kemenakannya. Keputusan orang tua dan
mamaklah yang menentukan apakah seorang lelaki diterima atau tidak jadi
menantu di keluarga itu. Hal ini diperlihatkan tatkala Zainuddin melamar Hayati.
Para ninik-mamak bermusyawarah untuk menghasilkan keputusan menolak
Zainuddin.
Dari fenomena tersebut penulis tertarik untuk menganalisa lebih jauh
mengenai tradisi pernikahan dan adat istiadat Minangkabau dalam novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka, karena penulis memiliki
pandangan bahwa dalam novel ini syarat akan nilai sosial dan kebudayaan yang
meliputi tradisi serta adat istidatat Minangkabau.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat dua rumusan masalah yang
perlu dikaji dalam penelitian ini.
1. Bagaimanakah aspek sosial dan kebudayaan Minangkabau dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka?
2. Bagaimanakah tradisi pernikahan adat Minangkabau dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka?

C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan aspek sosial dan kebudayaan Minangkabau dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka.
2. Mendeskripsikan bagaimana sebuah tradisi pernikahan adat Minangkabau
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu manfaat teoritis dan praktis.

1. Secara Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberi kontribusi pada perkembangan

karya sastra, khususnya pengetahuan dalam menganalisa roman.

b. Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi peneliti berikutnya

yang tertarik dengan masalah ini.

2. Secara Praktis

a. Hasil Penelitian ini bisa digunakan oleh pembaca sebagai sarana pendidikan

dan menjadi sebuah model untuk belajar menganalisa karya sastra.

b. Hasil penelitian ini bisa menumbuhkan kritik sosial dan kebudayaan antara

pembaca dalam pengamatan dan mengerti nilai kehidupan yang terkandung

dalam karya sastra, khususnya roman.


DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Iva. (2015). Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya Bagi
Pengembangan Hak-hak Perempuan di Indonesia). Jurnal Filsafat, Vol. 25 (1).

Hamka. (1984). Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai