Anda di halaman 1dari 21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
2.1.1. Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil
tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya
(Depkes RI,
2007).
Tuberkulosis telah dikenali dalam beragam bentuknya selama ribuan
tahun. Deskripsi TB sudah ada sejak milenium pertama sebelum masehi
dalam teks medis dari Yunani ke India. Orang-orang Yunani menamakan
penyakit ini dengan sebutan phthisis, yang berarti “to waste.” Dalam dunia
berbahasa Inggris, consumption adalah nama umum yang diberikan pada penyakit
ini. Selama Era Pertengahan, ketika TB menjadi umum di benua Eropa,
dimana penyakit ini menjadi semakin dikenali sebagai white plague. Manifestasi
lain terdeskripsikan, meliputi destruksi paru yang cepat nan progresif dan
manifestasi kulit dari lupus vulgaris. Deskripsi Percival Pott mengenai TB
pada tulang belakang menghasilkan pemberian namanya kepada bentuk TB
ini. Dengan manifestasinya yang beraneka ragam, TB dianggap mewakili
banyak penyakit yang berbeda. Sampai akhirnya pada tahun 1804, dimana Rene
Laennec mengusulkan teorinya tentang pandangan untuk menyatukan dari
manifestasi beragam akibat penyakit ini. Pada 1839, Schönlein mengusulkan
entitas patologisnya dikenal sebagai tubercle yang menjadi dasar fundamental
penyakit dan menganjurkan kata tuberculosis digunakan sebagai nama generik
untuk semua manifestasi beragamnya. Pada 1882, Robert Koch menemukan
bahwa agen penyebab TB merupakan organisme kompleks Mycobacterium
tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis secara Global
Epidemiologi tuberkulosis bervariasi nilainya di seluruh dunia. Angka
tertinggi (100/100.000 atau lebih) ditemukan di Afrika sub-Sahara, India, China,
dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Mikronesia. Angka intermediat
tuberkulosis (26-100 kasus/100.000) muncul di Amerika Tengah dan Selatan,
Eropa Timur, dan Afrika Utara. Angka rendah (kurang dari 25 kasus per 100.000
penduduk) muncul di Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Jepang, dan
Australia . Dan diperkirakan 1 dari 14 kasus TB baru muncul pada individu yang
terinfeksi HIV, 85% kasus-kasus ini muncul di Afrika (Horsburgh, 2010).
Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 80-85% dari seluruh
kasus aktif; sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya (Fitzpatrick &
Braden, 2000).

2.2. Tuberkulosis Ekstraparu


2.2.1. Definisi
Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura, selaput otak,
selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kemih, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

2.2.2. Epidemiologi
Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang
berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang
berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB
pada situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa
proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga
oleh perkembangan dalam fasilitas diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma,
Joshi, dan Bates, 2008).
Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita, warga
berkulit hitam non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih beresiko
tinggi menderita TB ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika Serikat yang
lain

Universitas Sumatera Utara


menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun, warga Amerika
berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah faktor-faktor resiko
terhadap TB ekstraparu. Adapun suatu studi dari Turki menunjukkan bahwa
wanita mempunyai resiko lebih tinggi untuk perkembangan TB ekstraparu dan
resiko TB ekstraparu meningkat 5 tahun setelah kontak awal. Suatu studi yang
lain menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan penjamu
bervariasi menurut asal geografis dan faktor resiko terhadap TB ekstraparu
adalah berjenis kelamin perempuan untuk individu-individu yang berasal dari
Asia ataupun Afrika Utara, usia untuk individu-individu yang asalnya dari
Afrika sub-Sahara dan positif HIV untuk yang asalnya dari Eropa
(Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).
Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung pada derajat
penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4 cells/mL, TB
ekstraparu dan milier terhitung 70% dari seluruh bentuk TB (Beek, Werf, Richter,
dan Borgdorff, 2006).

2.2.3. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi Mycobacterium


tuberculosis
Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain,
setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw
oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA).
Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini
(Karnadihardja, 2004).
M. tuberculosis umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB paru
atau TB laringeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang ter-aerosolisasi
oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius per
batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan
tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal
ketika terinhalasi. Ada dua pengecualian lain yang dilaporkan adalah prosector's
wart (kutil pada orang yang mendiseksi mayat) disebabkan inokulasi pada
kulit dari instrumen tajam yang terkontaminasi dan penularan orang-ke-orang
melalui
Universitas Sumatera Utara
bronkoskop yang terkontaminasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke
pejamu dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di
ruang udara. Resiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang
kekurangan volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya
ultraviolet (Fitzpatrick
& Braden, 2000; Raviglione & O’Brien, 2005).
Sedangkan menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam mikobakteria
penyebab TB, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam
susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum, dapat
menyebabkan TB usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di
udara yang berasal dari penderita TB terbuka. Orang yang rentan dapat terinfeksi
TB bila menghirup bercak ini, ini merupakan cara penularan terbanyak.
Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya.
Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang
biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut
afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan
menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya
granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar
limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer
yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau
membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%) (Karnadihardja, 2004).
Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa
penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus.
Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan
lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian
paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen
itu bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua.
Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan
pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya “tidur” (Karnadihardja, 2004).
Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil
yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak,
kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama
bertahun-

Universitas Sumatera Utara


tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila
terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah
besar, atau pada infeksi HIV (Karnadihardja, 2004).
TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan
selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan
fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat
menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004).
Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan
bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif
tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau “tidur” selama
bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu
inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian
basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat,
vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik
sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB
pascaprimer. TB kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya
merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai
dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat
vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke
peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke tulang adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang
spongiosa yang menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain
dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran
ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah
terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004).
Penyebaran ke otak dan meningen juga melalui penyebaran hematogen
setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke
perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak langsung dari pleura yang
tembus ke perikardium (Karnadihardja, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas
rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil
dengan cara lisis (bakteriolisis) (Karnadihardja, 2004).

2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi
atas:
a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang
belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).

2.2.5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis


Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB ekstraparu adalah
sbb:
- Kelenjar Limfe (44%).
Limfadenitis TB (skrofula) merupakan bentuk paling umum dari TB
ekstraparu. Beberapa nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai servikal dan
supraklavikular paling sering terkena. Pasien datang untuk perhatian medis
dengan adenopati yang tidak nyeri, yang sering berdrainase secara
spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan padat dan diskret. Pada
tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan menjadi lembek dan
berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada gejala sistemik jika
penyakit ini tidak ada di tempat lainnya. Diagnosis adalah dengan
peralatan aspirasi jarum halus atau biopsi insisional pada nodus yang
terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan nodus biasanya
menunjukkan BTA dan organisme M. tuberculosis (Fitzpatrick & Braden,
2000).
- Rongga Pleura (19%).
Penyakit pleura biasanya bermanifestasi dengan nyeri dada pleuritik

Universitas Sumatera Utara


ringan hingga berat, yang dapat diiringi dispnoe. Gejala lainnya meliputi
demam,

Universitas Sumatera Utara


keringat malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk
akut atau kronik dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan
efusi yang halus. Efusi umumnya unilateral dan mengiringi penyakit
parenkim aktif pada 70% pasien. TB pleura akan berkembang beberapa
tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai manifestasi penyakit
primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB (Fitzpatrick &
Braden, 2000).
- Tulang dan/atau Sendi (11%).
Vertebral TB (Pott's disease) terhitung untuk 50-70% dari semua kasus
TB tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang
belakang, jadi pasien akan bisa mengalami gejala neurologik atau
motorik. Vertebra torakal bawah dan lumbal atas merupakan situs
tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai riwayat 2 minggu
sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan berat
badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan
Pott’s disease biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan
tulang belakang, dan 50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah
satu TB paru lama atau aktif. Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur
dari tulang yang terinfeksi (Fitzpatrick & Braden, 2000).
TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah artritis
monoartikular dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul,
pergelangan). Nyeri merupakan gejala paling umum, dan pembengkakan
dengan rentang pergerakan yang menurun pada sendi yang dapat terlihat.
Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi jaringan sinovial dapat
mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk M.
Tuberculosis 60-70% dari waktu itu (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul dalam
bentuk demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara perlahan,
yang dapat dengan cepat berakibat fatal jika tidak ditangani segera.
Menurut Fitzpatrick dan Braden (2000), meningitis TB
disebabkan
penyebaran secara hematogen dari organisme mikobakterial menuju ruang
meningeal. Proses ini terjadi dalam berminggu-minggu hingga bertahun-
tahun setelah infeksi, dan tampilan TB sistem saraf pusat (SSP) bisa akut
ataupun subakut. Penyakit dapat bermanifestasi klinis sebagai meningitis
bakterial. Gejal-gejala akut dapat meliputi sakit kepala, demam, atau
perubahan status mental. Gejala-gejala lain dapat berlangsung selama
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan
berat badan, anoreksia, keringat malam, malaise, dan kelumpuhan saraf
kranialis. Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB SSP, tetapi nervus
II, III, dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan bisa
menunjukkan meningismus dan papilledema.
TB SSP dapat berkembang dalam tiga tahapan. Tahap 1 ditandai
gejala-gejala nonspesifik dengan sedikit atau tanpa tanda-tanda klinis
meningitis. Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis
seperti meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3
ditandai koma dan gangguan neurologis seperti paralisis (Fitzpatrick &
Braden,
2000).
Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan
keberadaan faktor resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan
radiograf dada. Pasien dengan TB SSP sering mempunyai respon
memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi diawali dengan cepat
(sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan klinis
tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung
diagnosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Peritoneum dan/atau Usus (5,5%).
Fitzpatrick dan Braden (2000) mengatakan TB peritoneal tidak umum dan
sering memunculkan dilema dalam diagnosis. Patogenesisnya tidak
dipahami dengan jelas, tetapi penyakit dipikirkan berkembang setelah
penyebaran secara hematogen, seperti halnya penyakit ekstraparu
yang lain. Gejala-gejala beraneka ragam dari pasien ke pasien tetapi
paling umumnya meliputi nyeri abdominal, distensi, demam,
penurunan berat
badan, dan malaise. Gejala-gejala dapat menjadi kronik, dan penyakit
dapat berkembang menjadi asites atau massa abdominal, yang mungkin
adalah omentum yang terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di
pemeriksaan fisik. Sebanyak 30% dari pasien-pasien mungkin akan
mengalami efusi pleura.
- Saluran Genitourinarius (4%).
TB genitourinarius berkembang dengan lamban. Dapat memunculkan
tanda dan gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi sistemik, atau
penyakit mungkin saja asimptomatis (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Keterlibatan saluran genitourinarius mengakibatkan disuria, frekuensi
urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri pinggang. Penyakit di
antara wanita dapat menyebabkan nyeri pelvik, ketidakteraturan
menstruasi, dan infertilitas. Laki-laki dapat mempunyai massa skrotum
yang tidak nyeri. Seperlima pasien dengan pyuria dapat mengalami tanpa
gejala. Penyakit dicurigai ketika urinalisis menunjukkan sel darah
putih dan hematuria tanpa bakteri (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur urine. Hasil kultur urine adalah
negatif untuk bakteri yang umum (sterile pyuria) dan positif untuk M.
Tuberculosis. Hasil diagnostik yang terbaik dari spesimen pagi hari awal.
Tiga spesimen diambil untuk dikultur. Temuan pada IVP (Intravenous
Pyelography) biasanya nonspesifik dan sering tidak membantu. Dua
pertiga pasien dengan TB genitourinarius mempunyai radiograf
dada abnormal yang menunjukkan tanda-tanda penyakit paru aktif atau
lama (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Milier (1.8%).
Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan infeksi diseminata (penyakit
milier) dapat muncul tanpa adanya bukti infeksi paru aktif. TB milier,
penyakit yang tersembunyi dan secara klinis dalam bentuk yang sukar
dipahami, berkembang setelah diseminasi secara hematogen dari basil
TB. Diseminasi menghasilkan pola milier (demikan dinamakan karena
menyerupai millet seeds (padi-padian) 2 mm dalam diameter) pada
radiograf dada atau pada spesimen biopsi dari sumsum tulang belakang,
hati atau limpa. Penyakit milier biasanya muncul di antara grup berisiko
tinggi, meliputi orang-orang dengan infeksi HIV atau penyakit
imunosupresif yang lain, penyakit jaringan ikat, atau neoplasma
hematologik, orang-orang yang menyalahgunakan alkohol dan
mereka yang menjalani pengobatan imunosupresif, termasuk steroid dosis
tinggi (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Pasien dapat mengalami penyakit ringan selama beberapa minggu
atau bulan sebelum mencari perhatian medis. Demam merupakan gejala
paling umum pada penyakit milier, tetapi banyak pasien dilaporkan
mendapat gejala-gejala nonspesifik seperti malaise, anoreksia,
penurunan berat badan, dan keringat malam. Pemeriksaan fisik
adalah non-fokal (Fitzpatrick & Braden, 2000).
Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan riwayat klinis,
keberadaan pola milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif untuk
M. tuberculosis dari darah atau sebuah situs biopsi seperti hati, atau
sumsum tulang belakang (Fitzpatrick & Braden, 2000). TST adalah
indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberculosis sebelumnya di
antara orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah dilaporkan positif
pada 25 - 75% kasus. Pada kasus yang mana diagnosis laboratorium sulit
untuk ditegakkan, pengawasan respon klinis terhadap terapi anti-TB dapat
membantu. Demam mereda di antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di
antara 60 - 70% pasien dalam 4 minggu (Fitzpatrick & Braden, 2000).
- Dan Lain-lain (11%)
Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid, kelenjar
ludah, jaringan lunak (Kreider & Rossman, 2008; Sreeramareddy et al.,
2008).

2.2.6. Diagnosis
2.2.6.1. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test
Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk screening infeksi
laten M. tuberculosis. Tes ini mempunyai keterbatasan nilai dalam
mendiagnosis
TB aktif karena berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah
dan ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif
(Raviglione & O’Brien, 2005).
Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman TB, yang bila
disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi TB (baik yang aktif maupun yang
“tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam
akibat akumulasi sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang
kulit lebih dari 10 mm disebut positif, kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi
negatif palsu (false-negative) umum pada pasien yang mengalami imunosupresi
dan mereka dengan TB yang membludak. Reaksi positif palsu (false-positive)
bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium nontuberkulosis dan oleh vaksinasi
bacille Calmette- Guérin (BCG) (Karnadihardja, 2004; Raviglione & O’Brien,
2005).

2.2.6.2. Pemeriksaan Patologi


Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi
radang di sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid
yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan
berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi
nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit. Struktur
histologi ini merupakan gambaran patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan
hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik
seperti ini pula. Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya meskipun
tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran hampir
sama (Karnadihardja, 2004).
Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB mililer, penyakit TB
berkembang lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas,
tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses,
disebut “abses dingin”. (Karnadihardja, 2004)
Kadang radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada
pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa, atau perikarditis eksudativa.
Jika
banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika.
Nekrosisnya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga disebut
pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa (Karnadihardja, 2004).
Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin karena tidak ada demam
umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari
limfadenitis TB di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada
vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui
fasia otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu
mungkin terjadi ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal
(Karnadihardja,
2004).

2.2.6.3. Pemeriksaan
Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak
akan adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan
dengan pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabet-Tan. Biakan kuman
dilakukan dengan medium L’weinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan
yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau
debris bergantung pada letak penyakit (Karnadihardja, 2004).
Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu
enam sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat
dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh
setelah enam minggu. Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam
(Karnadihardja,
2004).

2.2.6.4. Pemeriksaan
Radiologi
Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun
diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis (Karnadihardja, 2004).

2.2.6.5. Diagnosis Terapi


Percobaan
Diagnosis dapat juga ditegakkan secara exjuvantibus dengan terapi
percobaan dengan menggunakan anti-TB. Pada sebagian penderita tersangka
TB
tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara
diagnosis ini dapat dilakukan. Efek anti-TB ini paling sedikit baru dapat
dinantikan setelah tiga minggu (Karnadihardja, 2004).

2.2.7. Terapi
2.2.7.1. Terapi Obat
Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan
pengobatan dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif
dengan sama baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan
banyak macam anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya
berbeda- beda. Umumnya anti-TB aktif terhadap kuman yang sedang giat
membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah
lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman
yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh.
Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu, kuman TB
mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu, kemoterapi TB
selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek
terapinya dan mengurangi timbulnya resistensi (Karnadihardja, 2004).
Untuk menyembuhkan TB diperlukan pengobatan yang lama karena
basil TB tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu, kuman yang
semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau
kuman tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini, kuman
yang tidur tetap tidak dapat dijangkau (Karnadihardja, 2004).
Dikenal dua macam paduan terapi (regimen) anti-TB, yaitu paduan jangka
panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan.
Pengobatan TB diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif selama dua
bulan yang dilanjutkan dengan 4-6 bulan fase lanjutan. Pada fase intensif
biasanya digunakan 3-4 macam obat, misalnya isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada fase lanjutan diberikan lebih
sedikit macam obat. Pilihan macam obat dan lamanya pengobatan bergantung
pada beratnya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, dan riwayat
pengobatan sebelumnya. Selain itu
adanya kontraindikasi dan efek samping obat harus jadi
pertimbangan
(Karnadihardja, 2004).
Efek samping penting yang penting diingat adalah kerusakan N. VIII oleh
streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada defisiensi vitamin B6,
gangguan penglihatan akibat etambutol, dan hepatotoksisitas INH dan
rifampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan
bersama-sama (Karnadihardja, 2004).
Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani dengan empat
obat pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total lama pengobatan dapat
diperpanjang menjadi 9 bulan. Pasien TB ekstraparu diberikan
pengobatan
2H3R3Z3/4H3R3 selama 6 bulan. Bagaimanapun, pada bentuk yang parah
diberikan 2H3R3Z3E3/4H3R3. Pada TB meningeal, pengobatan akan diperpanjang
selama 9 bulan dengan tambahan steroid. Walaupun pengobatan memberikan
hasil yang bagus pada kebanyakan bentuk TB ekstraparu, ada beberapa
pengecualian, seperti meningitis dan TB spiral yang mana hasil pengobatan
tergantung diagnosis awal. Jika, bagaimana pun, TB ekstraparu bersamaan
dengan infeksi HIV, idealnya pengobatan anti-retroviral aktif tinggi (HAART /
Highly Active Anti-retroviral Treatment) harus diberikan juga. Interaksi antara
rifampasin dan komponen HAART perlu untuk diketahui dan diingat juga (Kant,
2004).

2.2.7.2. Terapi Bedah


Pusat radang TB terdiri atas pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa.
Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi
antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif.
Oleh karena itu, sarang infeksi di berbagai organ, misalnya kaverne di paru dan
debris di tulang, harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak
untuk hasil baik terapi medis. Selain itu, tindak bedah juga diperlukan untuk
mengatasi penyulit, misalnya pada TB paru yang menyebabkan destruksi luas
dan empiema, pada TB usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan
osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat (Karnadihardja, 2004).
2.2.8. Pencegahan dan Pengendalian
Menurut Brooks, Butel, dan Morse (2007), pencegahan dan pengendalian
TB secara umum adalah sbb:
1. Pengobatan pasien TB aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut
terhadap kontak mereka melalui uji tuberkulin, foto rontgen sinar X, dan
pengobatan yang sesuai dengan saksama adalah tujuan utama
pengendalian TB kesehatan masyarakat. Timbulnya kembali penyakit TB
menunjukkan bahwa metode pengendalian ini belum dilakukan secara
adekuat.
2. Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif
pada kelompok umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi
(misalnya, anak-anak) dan orang yang uji tuberkulinnnya positif yang harus
menerima obat-obatan imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi.
3. Resistansi seorang pejamu: faktor-faktor nonspesifik dapat
mengurangi resistansi pejamu sehingga membantu konversi infeksi
asimtomatik menjadi sebuah penyakit. Faktor-faktor tersebut meliputi
kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas selular dengan obat (misalnya,
kortikosteroid) atau infeksi. Infeksi HIV adalah faktor resiko utama untuk
TB.
4. Imunitas: berbagai macam basil tuberkel avirulen, terutama BCG
(bacille Calmette-Guérin, organisme attenuated bovin), telah digunakan
untuk menginduksi sejumlah tertentu resistansi pada orang yang sangat
terpajan dengan infeksi. Vaksinasi dengan organisme ini, sama dengan
infeksi primer dengan basil tuberkel virulen tanpa disertai bahaya di
kemudian hari. Vaksin yang tersedia tidak adekuat menurut banyak sudut
pandang teknis dan biologis. Walaupun demikian, BCG diberikan kepada
anak-anak pada banyak negara. Di Amerika Serikat, BCG hanya diberikan
pada orang dengan hasil uji tuberkulin negatif yang sangat terpajan (anggota
keluaraga pasien TB , petugas kesehatan). Bukti statistik menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan resistansi untuk periode tertentu yang muncul
setelah vaksinasi BCG.
5. Eradikasi TB pada sapi dan pasteurisasi susu telah sangat mengurangi infeksi
M.bovis.
2.3. Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menjelaskan pengetahuan sebagai suatu hasil ‘tahu’,
dan hasil ‘tahu’ ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia, yakni:
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.
4. Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjalarkan materi atau
suatu suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian
atau responden.
2.4. Tingkat Pengetahuan terhadap TB Ekstraparu dan TB secara Umum
Tujuan dari edukasi pasien adalah untuk mempengaruhi atau mengubah
perilaku kesehatan pasien dengan menyediakan mereka informasi yang
memotivasi untuk mengikuti rencana pengobatan. Inti elemen-elemen
pengetahuan dari keterkaitannya kepada penghentian penularan penyakit dan
ikatannya dengan terapi berhubungan dengan: apakah TB, apakah yang
menyebabkannya, bagaimanakah penularannya, tindakan apakah yang dapat
diambil untuk membatasi penularannya, bagaimanakah pengobatannya, apa
pentingnya mengambil pengobatan secara teratur, selama berapa lama, apa
konsekuensi dari menghentikan pengobatan, apa efek samping dan komplikasi
yang mungkin dan apakah TB penyakit dapat disembuhkan. Semua ini adalah
pesan-pesan edukasi yang penting yang pasien seharusnya ketahui (Mohamed,
Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).
Pengetahuan tentang penyakit ini dipercaya menjadi penentu penting dari
perilaku menjaga kesehatan dan mencari pertolongan medik sebagaimana halnya
keterikatan untuk tindakan pencegahan dan pengobatan. Ketidakterikatan kepada
pengobatan sering kali dihasilkan dari ketidakadekuatan pengetahuan atau
pemahaman tentang penyakit dan pengobatanya. Sebaliknya, pengetahuan yang
lebih besar tentang TB akan meningkatkan penerimaan tindakan pengendalian
dengan menghasilkan penurunan penyebaran penyakit (Mohamed, Yousif, Ottoa,
dan Bayoumi, 2007).
TB ekstraparu sedang berada dalam peningkatan di seluruh dunia.
Keragaman ekstraparu sekarang sedang memulai untuk muncul dari bayangan
TB paru. Di negara-negara dengan surveilans data yang baik seperti Amerika
Serikat, dimana angka TB paru telah menurun ke tingkat terendahnya pada 2001,
statistik mengindikasikan peningkatan relatif kasus ekstraparu dari 16% pada
1992 menjadi 20% pada 2001. Lebih dari 70% pasien positif HIV dengan TB
telah mempunyai presentasi ekstraparu, ketika prevalensinya 15-30% orang-
orang imunokompeten (Kant, 2004).
Jittimanee et al. (2009) meneliti tentang stigma sosial dan pengetahuan TB
dan HIV di antara pasien dengan kedua penyakit di Thailand. Dari 769 pasien,
500 (65%) dilaporkan mempunyai stigma TB yang tinggi, 177 (23%)
berpengetahuan TB yang rendah, and 379 (49%) berpengetahuan HIV yang
rendah. Pasien pasien yang dilaporkan berstigma TB yang tinggi lebih
berkemungkinan untuk telah mengambil antibiotik sebelum pengobatan TB,
telah melakukan kunjungan pertama ke penyembuhan tradisional, mengetahui
bahwa monogami dapat mengurangi resiko mendapatkan infeksi HIV, dan telah
dihospitalisasi. Pasien dengan pengetahuan TB rendah lebih berkemungkinan
unutk mempunyai penyakit TB yang parah, untuk dihospitalisasi, dirawat
di rumah sakit rujukan penyakit infeksi nasional dan mempunyai pengetahuan
HIV yang rendah. Pasien dengan pengetahuan HIV rendah lebih
berkemungkinan mengetahui seorang pasien TB dan mempunyai pengetahuan TB
yang rendah. Adapun kesimpulannya stigma dan pengetahuan spesifik penyakit
yang rendah adalah umum di antara pasien TB terinfeksi HIV dan berhubungan
dengan faktor yang sama.
Legesse, Ameni, Mamo, Medhin, Bjune dan Abebe (2011) meneliti
tentang pengetahuan TB limfadenitis servikal dan pengobatannya di komunitas
peternakan di wilayah Afar, Ethiopia. Dari 818 orang terwawancara [357 (43,6%)
perempuan and 461 (56,4%) laki-laki], 742 (90,7%) yang dilaporkan bahwa
mereka mempunyai pengetahuan tentang TB limfadenitis, menyatakan
bahwa pembengkakan di leher yang menghasilkan lesi dan parut adalah gejala
umum. Bagaimanapun, hanya 11 (1,5%) individu menyatakan bahwa bakteri atau
kuman merupakan agen penyebab TB limfadenitis. Tiga orang yang
terwawancara dan seorang diskusiwan laki-laki menyatakan meminum susu
mentah sebagai penyebab TB limfadenitis. Proporsi yang sangat banyak
(34,2%) dari orang-orang terwawancara dan hampir semua diskusiwan
mengesankan pengobatan herbal sebagai pengobatan yang efektif. Partisipan
studi laki-laki adalah 1,82 kali lebih berkemungkinan untuk mempunyai
pengetahuan menyeluruh tentang TB limfadenitis daripada partisipan studi
perempuan.
Mohamed, Yousif, Ottoa dan Bayoumi (2007) meneliti tentang
pengetahuan TB di antara pasien di Omdurman, Sudan. Subjek penelitian adalah
pasien TB paru dan ekstraparu, yang berusia di atas 15 tahun, terdiagnosa, dan
dirawat di di fasilitas kesehatan yang berbeda di Provinsi Greater
Omdurman. Dari jumlah total responden hanya 547 (54,9%) mengetahui bahwa
TB adalah sebuah penyakit infeksius, 402 (40,4%) mengetahui bahwa TB sebuah
penyakit yang ditularkan melalui udara dan 584 (58,7%) menyatakan bahwa
mereka mempraktikkan tindakan pencegahan yang berbeda di tingkat
perlengkapan rumah dan/atau tempat kerja. Durasi pengobatan TB diketahui
480 (48,2%) dan mengenai fakta bahwa penyakit ini dapat tersembuhkan, 800
(80,3%) dari responden mengetahui bahwa penyakit dapat disembuhkan. Dari
segi usia, responden yang lebih muda (kurang dari 30 tahun) mengetahui
lebih banyak dibanding yang lainnya bahwa mereka terinfeksi TB (62,3%).
Orang - orang yang berusia di atas 50 tahun menunjukkan angka pengetahuan
yang terendah (42,0%). Lebih lanjut, tingkat kesadaran secara signifikan
menurun seiring dengan pertambahan usia. Pasien yang lebih tua menunjukkan
angka pengetahuan yang terendah tentang penyebab penyakit TB (0,6%).
Sekitar 67,3% dari responden yang lebih muda (20-29 tahun) mengetahui
bahwa TB menular dibanding dengan
42.9% dari responden yang lebih tua (di atas 50 tahun). Pada keterkaitan
pengetahuan tentang durasi pengobatan TB dengan usia responden, responden
yang lebih muda menunjukkan angka kesadaran yang tertinggi (52,2%). Dari segi
jenis kelamin, pengetahuan tentang infeksi terkini berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi dari laki-laki (58,0%) yang
mengetahui dibanding perempuan (48.4%). Secara signifikan laki-laki juga
mengetahui bahwa penyakit TB infeksius (60.2%) dibanding perempuan
(52,8%). Laki-laki (43,6%) meyakini bahwa TB adalah penyakit yang ditularkan
melaui udara dibanding dengan perempuan (33,5%). Proporsi laki-laki yang
terbiasa mempraktikkan ukuran pencegahan adalah 60,2% dibanding perempuan
(55,3%) dan laki-laki yang mengetahui jangka waktu pengobatan aktual (49,3%)
lebih banyak dibanding perempuan (46,0%). Dari segi tingkat pendidikan, pada
umumnya, pengetahuan tentang TB dan pengobatannya meningkat secara
signifikan seiring dengan tingkat pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai