BAB II Minipro
BAB II Minipro
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STUNTING
2.1.1. Definisi
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita
pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang
badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar
baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi
stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-
scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely
stunted) (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).
2.1.2. Prevalensi
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu
masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau
sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%
(Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting
di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit
di Asia Tengah (0,9%) (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia
Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di
Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017
adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi
balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan
prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017
adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah
Bali. (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Gambar 2.1. Peta Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2017
(Kementerian Kesehatan RI, 2018)
2.1.3. Etiologi
Pengkajian determinan penyebab stunting di Indonesia digambarkan melalui gambar
2.2. (a) dan (b) :
Gambar 2.2.
Kerangka Konsep
Stunting Di Indonesia
(Trihono, dkk, 2015; Beal, T., dkk, 2018)
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Stunting Di Indonesia
(Trihono, dkk, 2015; Beal, T., dkk, 2018)
2.1.4. Cara Penilaian Status Gizi Balita
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi
badan/panjang badan (TB/PB). Variabel BB dan TB/PB balita disajikan dalam bentuk
tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi
balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam
nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri balita WHO 2005 (Trihono,
dkk, 2015).
Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut
ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut (Trihono, dkk, 2015) :
a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U:
Gizi buruk : Zscore < -3,0
Gizi kurang : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0
Gizi baik : Zscore ≥ -2,0
b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:
Sangat pendek : Zscore <-3,0
Pendek : Zscore ≥- 3,0 s/d < -2,0
Normal : Zscore ≤-2,0
c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB:
Sangat kurus : Zscore < -3,0
Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0
Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d ≤ 2,0
Gemuk : Zscore > 2,0
2.1.5 Diagnosis
Secara klinis, membedakan antara yang fisiologis dan patologis dapat diperkirakan
dari kecepatan tumbuh, ada tidaknya disproprosi tubuh, dismorfism / kelainan genetik
dan perbedaan bermakna (>-2SD) tinggi badan saat pengukuran dibandingkan dengan
tinggi potensi genetik (IDAI DKI Jakarta, 2013).
Langkah pertama diagnosis perawakan pendek adalah pengukuran yang tepat.Setelah
memastikan pada kurva pertumbuhan bahwa anak tersebut benar berada dibawah
persentil-3 kurva yang relevan, langkah berikutnya adalah menentukan kecepatan
pertumbuhan dan melihat potensi tinggi genetiknya. Selanjutnya langkah menuju etiologi
SS dapat dilihat pada algoritma. Dengan memperhatikan algoritma( gambar 2.3) terlihat
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang terarah untuk mencari gejala dan tanda klinis yang
sesuai (tabel 2) (IDAI DKI Jakarta, 2013).
Gambar 2.3. Algoritma Pada Perawakan Pendek
(IDAI DKI Jakarta, 2013)
2.1.6 Dampak dari Stunting
Permasalahan stunting pada usia dini terutama pada periode 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK), akan berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Stunting menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan berkembang secara optimal.
Balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan
menyebabkan 55 juta Disability-Adjusted Life Years (DALYs) yaitu hilangnya masa
hidup sehat setiap tahun.
Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh, hambatan
perkembangan kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya ukuran fisik tubuh
serta gangguan metabolisme.
Dalam jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas intelektual.
Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang bersifat permanen dan
menyebabkan penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah yang
akan berpengaruh pada produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, kekurangan gizi
juga menyebabkan gangguan pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan
meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, hipertensi,
jantung kroner, dan stroke.
Gambar 2.4. Dampak Stunting (Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional
2.1.7 Pencegahan
Dalam mengatasi permasalahan gizi, pemerintah telah menetapkan Peraturan
Presiden Nomor 42 Tahun 2013 yang mengatur mengenai Pelaksanaan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Peta Jalan Percepatan Perbaikan Gizi terdiri dari
empat komponen utama yang meliputi advokasi, penguatan lintas sektor,
pengembangan program spesifik dan sensitif, serta pengembangan pangkalan data.
Intervensi gizi baik yang bersifat langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif) perlu
dilakukan secara bersama-sama oleh kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan
lainnya. Penanganan stunting tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri (scattered) karena
tidak akan memiliki dampak yang signifikan. Upaya pencegahan stunting harus
dilakukan secara terintegrasi dan konvergen dengan pendekatan multi sektor. Untuk itu,
pemerintah harus memastikan bahwa seluruh kementerian/lembaga serta mitra
pembangunan, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat madani,
perusahaan swasta, dan media dapat bekerjasama bahu-membahu dalam upaya
percepatan pencegahan stunting di Indonesia. Tidak hanya di tingkat pusat, integrasi
dan konvergensi upaya pencegahan stunting juga harus terjadi di tingkat daerah sampai
dengan tingkat desa (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Sejak akhir tahun 2017, Kementerian PPN/Bappenas telah meluncurkan
“Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi” sebagai upaya komprehensif dengan
pendekatan multi sektor. Upaya ini mencakup intervensi multi sektor yang cukup luas
mulai dari akses makanan, layanan kesehatan dasar termasuk akses air bersih dan
sanitasi, serta pola pengasuhan. Hal ini menegaskan kembali bahwa permasalahan
stunting bukanlah semata-mata masalah sektor kesehatan tetapi melibatkan faktor-
faktor lain di luar kesehatan. Sebagai langkah awal, pada tahun 2018 sebanyak 100
kabupaten/kota dan 1000 desa telah terpilih sebagai fokus area intervensi. Selanjutnya,
untuk tahun 2019, 60 kabupaten/kota dan 600 desa tela h ditambahkan sebagai area
fokus intervensi pencegahan stunting terintegrasi (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Gambar 2.5 Pendekatan Multisektor dan Intervensi
Terintegrasi dalam Strategi
a. Tugas sebelum hari buka Posyandu atau disebut juga tugas pada H - Posyandu, yaitu
berupa tugas-tugas persiapan oleh kader agar kegiatan pada hari buka Posyandu
berjalan dengan baik.
b. Tugas pada hari buka Posyandu atau disebut juga pada H Posyandu, yaitu berupa
tugas-tugas untuk melaksanakan pelayanan 5 kegiatan.
c. Tugas sesudah hari buka Posyandu atau disebut juga tugas pada H + Posyandu, yaitu
berupa tugas-tugas setelah hari Posyandu. Penyelenggaraan Posyandu 1 bulan penuh,
hari buka Posyandu untuk penimbangan 1 bulan sekali.
Melakukan pembagian tugas antar kader, meliputi kader yang menangani pendaftaran,
penimbangan, pencatatan, penyuluhan, pemberian makanan tambahan, serta
pelayanan yang dapat dilakukan oleh kader.
Kader melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan atau petugas lainnya. Sebelum
pelaksanaan kegiatan kader melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan dan
petugas lainnya terkait dengan jenis layanan yang akan
diselenggarakan. Jenis kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan Posyandu
sebelumnya atau rencana kegiatan yang telah ditetapkan berikutnya.
Melakukan pendaftaran, meliputi pendaftaran balita, ibu hamil, ibu nifas, ibu
menyusui, dan sasaran lainnya.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak. Untuk pelayanan kesehatan anak pada Posyandu,
dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, pengukuran lingkar
kepala anak, deteksi perkembangan anak, pemantauan status imunisasi anak,
pemantauan terhadap tindakan orang tua tentang pola asuh yang dilakukan pada anak,
pemantauan tentang permasalahan balita, dan lain sebagainya.
Melakukan penyuluhan tentang pola asuh balita, agar anak tumbuh sehat, cerdas, aktif
dan tanggap. Dalam kegiatan itu, kader bisa memberikan layanan konsultasi,
konseling, diskusi kelompok. dan demonstrasi dengan orang tua/ keluarga balita.
Memotivasi orang tua balita agar terus melakukan pola asuh yang baik pada anaknya,
dengan menerapkan prinsip asih-asah-asuh.
Menyampaikan penghargaan kepada orang tua yang telah datang ke Posyandu dan
minta mereka untuk kembali pada hari Posyandu berikutnya.
Menyampaikan informasi pada orang tua agar menghubungi kader apabila ada
permasalahan yang terkait dengan anak balitanya, jangan segan atau malu.
Melakukan pencatatan kegiatan yang telah dilakukan pada hari buka Posyandu
Melakukan kunjungan rumah pada balita yang tidak hadir pada hari buka Posyandu,
pada anak yang kurang gizi, atau pada anak yang mengalami gizi buruk rawat jalan,
dan lain-lain.
Mempelajari sistem informasi Posyandu (SIP). SIP adalah sistem pencatatan data atau
informasi tentang pelayanan yang diselenggarakan di Posyandu, dan memasukkan
kegiatan Posyandu tersebut dalam SIP. Manfaat SIP ini adalah sebagai acuan bagi
kader untuk memahami permasalahan yang ada, sehingga dapat mengembangkan
jenis kegiatan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan sasaran.
2.2.4 SOP (Standar Operasional Prosedur) Pengukuran Panjang Badan (PB) dan
Tinggi Badan (TB) Balita
Mengukur panjang atau tinggi anak tergantung dari umur dan kemampuan
anak untuk berdiri. Mengukur panjang dilakukan dengan cara anak telentang.
Sedangkan mengukur tinggi anak berdiri tegak.