Anda di halaman 1dari 34

SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.

htm

DRAFT 5 –April 2003


(Revisi Dari Hasil Pembahasan Pada Kolokium Psikologi Nasional IX, Semarang 25-26 Oktober 2002)

RANCANGAN
UNDANG-
UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …………………..
TENTANG
PROFESI PSIKOLOGI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

a. bahwa berdasarkan kesadaran diri atas nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, Profesi Psikologi menghormati harkat dan martabat manusia
serta menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak azasi manusia.
b. Bahwa jasa/praktik psikologi merupakan rangkaian kegiatan menerapkan
kemampuan profesional dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan
manusia yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya melalui registrasi,
sertifikasi, pendidikan dan pelatihan berkelanjutan serta pemantauan terhadap
Profesi Psikologi agar penyelenggaraan jasa/praktik psikologi sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c. Bahwa untuk melakukan penilaian yang obyektif tentang ada tidaknya kesalahan
dan atau kelalaian Profesional Psikologi dalam menyelenggarakan praktik/jasa
psikologi harus dilakukan secara bersama antara Ahli Hukum dan Profesi
Psikologi.
d. Bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup diatur
tentang penyelenggaraan jasa/praktik psikologi dan penyelesaian sengketa
yang timbul dalam penyelenggaraan jasa/praktik psikologi, oleh karena itu perlu
dibentuk Dewan Psikologi dan Peradilan Profesi Psikologi.
e. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Profesi Psikologi.

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1) dan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-
UNDANG- UNDANG TENTANG
PROFESI PSIKOLOGI
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Profesi Psikologi adalah keahlian dalam melakukan jasa/praktik psikologi sesuai
dengan kaidah yang berlaku, yang dilakukan oleh professional psikologi lulusan
perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri.
2. Profesional Psikologi adalah lulusan pendidikan profesi psikologi, sarjana
psikologi, magister psikologi dan doktor psikologi lulusan perguruan tinggi di
dalam maupun di luar negeri.
3. Jasa Psikologi adalah jasa kepada perorangan atau kelompok/
organisasi/institusi, yang dilakukan oleh Profesional Psikologi sesuai kompetensi
dan kewenangan keilmuan psikologi di bidang pengajaran, pendidikan,
pelatihan, konsultasi, penelitian dan penyuluhan masyarakat.
4. Praktik Psikologi adalah kegiatan jasa dan praktik kepada perorangan atau
kelompok/organisasi/institusi dalam pemecahan masalah psikologis yang
bersifat individual maupun kelompok yang dilakukan Profesional Psikologi yang
telah lulus pendidikan profesi psikologi dengan menerapkan prinsip
psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah
terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan diagnosis,
prognosis, konseling dan psikoterapi.
5. Organisasi Profesi adalah organisasi wadah berhimpunnya Profesional Psikologi,
dengan nama Himpunan Psikologi Indonesia, yang merupakan kelanjutan dari
organisasi Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia, didirikan pada tanggal 11 Juli 1959
di Jakarta.
6. Dewan Psikologi Indonesia adalah lembaga negara non struktural yang bersifat
independen dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Negara.
7. Sertifikasi adalah suatu proses penilaian dokumen yang berisi pernyataan
tentang kemampuan, pengetahuan, keterampilan, dan perilaku (kompetensi)
yang merupakan tanda kelulusan setelah yang bersangkutan menyelesaikan
suatu kegiatan pendidikan formal.
8. Registrasi Profesional Psikologi adalah pencatatan resmi terhadap profesional
psikologi yang telah mempunyai kualifikasi tertentu dan diakui secara hukum
untuk melakukan tindakan profesionalnya.
9. Registrar adalah seseorang yang bertanggung jawab dan berwenang melakukan
registrasi profesional psikologi.
10. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap profesional psikologi yang
telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
11. Izin Praktik adalah surat izin yang sah yang dikeluarkan oleh Organisasi Profesi
bagi Profesional Psikologi untuk melakukan Praktik Psikologi.
12. Alat tes psikologi adalah perangkat yang dipergunakan oleh Profesional
Psikologi untuk melakukan pengukuran psikologis.
13. Hakim adalah hakim pada Peradilan Profesi Psikologi dan atau hakim pada
Peradilan Tinggi Profesi Psikologi.
14. Pengguna jasa/praktik psikologi adalah masyarakat yang memanfaatkan
profesional psikologi untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Jasa/Praktik Psikologi dilaksanakan dengan berasaskan Pancasila dan didasarkan
pada nilai agama, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta
perlindungan dan keselamatan psikologis pengguna jasa psikologi.

Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Jasa/Praktik Psikologi bertujuan untuk :
1. Memberikan perlindungan kepada pengguna jasa/praktik psikologi;
2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan jasa/praktik psikologi
yang diberikan oleh Profesional Psikologi.
3. Memberikan kepastian hukum kepada peneriman dan penyelenggara
jasa/praktik psikologi.

BAB III
D EWAN PSIKOLOGI INDONESIA
Bagian Pertama
Nama dan Kedudukan
Pasal 4
1) Dalam rangka memberi perlindungan kepada pengguna pelayanan jasa/praktik
psikologi dan guna meningkatkan mutu pelayanan jasa/praktik psikologi serta
memberikan kepastian hukum kepada penerima dan penyelenggara jasa/praktik
psikologi, dibentuk Dewan Psikologi Indonesia.
2) Dewan Psikologi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah suatu
lembaga negara yang bersifat independen, non struktural dan bertanggung
jawab kepada Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 5
Dewan Psikologi Indonesia berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang
Pasal 6
Dewan Psikologi Indonesia dibagi dalam 3 komisi::
1. Komisi Pelayanan dan Kode Etik
Bertugas melakukan registrasi terhadap profesi psikologi dalam dan luar negeri;
Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan jasa dan praktik psikologi.
2. Komisi Pendidikan dan Kurikulum.
Bertugas menetapkan standar kurikulum, tata cara dan tata laksana pendidikan
profesi psikologi;
Menetapkan persyaratan kualifikasi penyelenggaraan pendidikan profesi
psikologi.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

3. Komisi Standardisasi Alat. Bertugas menapis dan merumuskan perkembangan


peralatan tes psikologi.

Pasal 7
1. Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 6 Dewan Psikologi
Indonesia mempunyai wewenang :
1. Menyetujui atau menolak permohonan registrasi profesi psikologi.
2. Membuat standar kurikulum, tata cara dan tata laksana pendidikan profesi
psikologi.
3. Membuat persyaratan, kualifikasi penyelenggaraan pendidikan profesi
psikologi.
4. Menetapkan peralatan tes psikologi yang dapat diterapkan dan
perkembangannya di Indonesia.
5. Melakukan pembinaan terhadap profesional psikologi mengenai
pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
6. Melakukan pencatatan terhadap profesional psikologi yang dikenai sanksi
oleh organisasi profesi dan perangkatnya karena melanggar ketentuan
etika profesi.
2. Tugas yang berkaitan dengan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
butir 1 dan butir 2 tersebut menjadi wewenang Ketua Dewan Psikologi.
3. Menetapkan pelaksanaan pemeriksaan psikologi oleh profesional psikologi, baik
diminta maupun tidak diminta terhadap anggota badan eksekutif, legislatif dan
yudikatif.

Bagian Ketiga
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 8
1. Organisasi Dewan Psikologi Indonesia terdiri dari :
Ø Seorang Ketua
Ø Seorang Sekretaris Eksekutif
Ø Anggota Komisi
2. Ketua dan Sekretaris Eksekutif merupakan unsur pimpinan Dewan Psikologi;
dipilih dan berasal dari Anggota Komisi.

Pasal 9
1. Keanggotaan Dewan Psikologi Indonesia terdiri dari unsur-unsur wakil organisasi
profesi, wakil pemerintah dan wakil masyarakat yang disetujui oleh organisasi
profesi.
2. Masa kerja keanggotaan Dewan Psikologi Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk masa kerja 1 (satu) periode berikutnya.
3. Untuk pertama kali personalia Dewan Psikologi Indonesia diangkat oleh Presiden
atas usul Organisasi Profesi.
4. Personalia Dewan Psikologi Indonesia sebelum memangku jabatan terlebih
dahulu harus mengangkat sumpah sesuai dengan agama atau kepercayaan
masing-masing.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 10
1. Jumlah anggota Pleno Dewan Psikologi paling banyak 25 (duapuluh lima) orang.
2. Jumlah keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari 19 orang
dari organisasi profesi, 3 orang wakil unsur pemerintah dan 3 orang wakil
masyarakat.
Pasal 11
1. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota Dewan Psikologi
Indonesia :
a. Warga Negara Republik Indonesia
b. Sehat rohani dan jasmani
c. Berkelakuan baik
d. Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun
e. Pernah melakukan jasa/praktik psikologi sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun dan memiliki registrasi profesional psikologi, kecuali untuk wakil
pemerintah dan masyarakat.
f. Memiliki moral dan etika yang tinggi.
2. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi Ketua dan Sekretaris Eksekutif
Dewan Psikologi Indonesia:
a. Memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 11 ayat 1
b. Lulusan pendidikan profesi psikologi

Pasal 12
Keanggotaan Dewan Psikologi Indonesia berakhir apabila :
a. Berakhir masa jabatan sebagai anggota
b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri
c. Meninggal dunia
d. Terganggu kesehatannya
e. Tidak mampu melakukan tugas
f. Bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia.
g. Sedang menjalani pidana penjara

Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 13
Dewan Psikologi Indonesia berkewajiban untuk memelihara dan menjaga registrasi
profesional psikolog.

Pasal 14
Setiap putusan Dewan Psikologi Indonesia yang bersifat mengatur harus dilakukan
melalui persetujuan anggota pleno.

Pasal 15
Dewan Psikologi Indonesia harus melakukan rapat pleno sekurang-kurangnya 4
(empat) kali dalam 1 (satu) tahun.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 16
Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Dewan Psikologi Indonesia dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber pendapatan lain yang sah.

Bagian Keenam
K etentuan Lain-
Lain- lain
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut tentang tata kerja, pemilihan ketua dan pembiayaan Dewan
Psikologi Indonesia ditetapkan oleh Dewan Psikologi Indonesia.

BAB IV
REGISTRASI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI
Profesional Psikologi
Pasal 18
1. Semua profesional psikologi lulusan pendidikan profesi psikologi yang akan
melakukan praktik psikologi di wilayah hukum negara Republik Indonesia
berhak memiliki Sertifikat Profesi Psikologi dari Organisasi Profesi.
2. Semua lulusan pendidikan profesi psikologi yang akan melakukan praktik
psikologi di wilayah hukum negara Republik Indonesia wajib memiliki Izin
Praktik dari Organisasi Profesi.
3. Untuk memperoleh Izin Praktik Psikologi dari Organisasi Profesi, profesional
psikologi harus memenuhi persyaratan :
a. Memiliki Sertifikat Profesi Psikologi
b. Telah menjadi anggota pada wilayah organisasi profesi setempat
c. Tidak sedang dalam proses atau dikenai sanksi administrasi dari organisasi
profesi.
4. Bagi lulusan pendidikan profesi psikologi warga negara asing yang akan
berpraktik di wilayah hukum negara Republik Indonesia harus memenuhi syarat :
a. Memiliki paspor
b. Memiliki surat Izin kerja dari instansi yang berwenang di Indonesia
c. Memiliki akreditasi dan penyetaraan dengan lulusan pendidikan profesional
psikologi Indonesia
d. Menguasai bahasa Indonesia dan memahami budaya Indonesia.
e. Memiliki Surat Izin Praktik dari Organisasi Profesi.
5. Lulusan pendidikan profesional psikologi yang telah memiliki Izin praktik
Psikologi berhak untuk menyelenggarakan :
a. Pelayanan jasa psikologi
b. Praktik psikologi termasuk kegiatan diagnosis, prognosis, konseling dan
psikoterapi.
6. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Dewan Psikologi dapat
menetapkan kewenangan lainnya berdasarkan pertimbangan dan atau
perkembangan jasa dan praktik psikologi.
7. Izin Praktik Psikologi berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap
5 (lima) tahun sekali dan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

pada ayat (3) dan sekurang-kurangnya mempunyai nilai kredit sebanyak 5 (lima)
sejak memperoleh Surat Izin Praktik Psikologi.
8. Izin Praktik Psikologi bagi lulusan pendidikan profesional psikologi warga
negara asing berlaku selama 1(satu) tahun dan diregistrasi ulang setiap tahun
dan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan
sekurang-kurangnya mempunyai nilai kredit sebanyak 5 (lima) sejak
memperoleh Surat Izin Praktik Psikologi.

Pasal 19
Izin Praktik Psikologi tidak berlaku lagi karena:
a. Dicabut atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Habis masa berlakunya dan tidak mendaftar ulang.
c. Atas permintaan sendiri.
d. Keputusan Peradilan Profesi Psikologi.

Pasal 20
Ketentuan teknis lebih lanjut tentang tata cara registrasi dan registrasi ulang
ditetapkan oleh Organisasi Profesi.

BAB V
PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOGI
Bagian Pertama
Pertama
Persyaratan
Pasal 21
Praktik psikologi hanya dapat dilakukan oleh profesional psikologi yang telah
memiliki Surat Izin Praktik Psikologi

Pasal 22
Untuk memperoleh Surat Izin Praktik Psikologi maka profesional psikologi harus
memenuhi persyaratan:
a. Memiliki Surat Rekomendasi Izin Praktik Psikologi dari Organisasi Profesi yang
diterbitkan oleh organisasi profesi di tingkat pusat dan diberikan oleh organisasi
profesi di tingkat wilayah.
b. Memiliki sarana dan prasarana praktik sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.

Pasal 23
Praktik psikologi dapat dilakukan secara perorangan, berkelompok atau pada
sarana pelayanan masyarakat (biro pelayanan jasa psikologi, balkesmas, puskesmas,
klinik, rumah sakit).

Pasal 24
Pimpinan sarana pelayanan masyarakat dilarang mempekerjakan profesional
psikologi yang tidak mempunyai Surat Izin Praktik Psikologi.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 25
Penyelenggaraan praktik psikologi harus sesuai dengan hukum, standar kompetensi
dan kode etik yang berlaku.

Pasal 26
Profesional psikologi dalam menyelenggarakan praktik psikologi tidak
diperbolehkan memberikan janji keberhasilan atas setiap tindakan praktik psikologi
yang dilakukan (inspanning verbintenis).

Pasal 27
Profesional psikologi wajib melakukan pencatatan segala sesuatu yang berkaitan
dengan klien/pengguna jasa psikologi dalam rekam psikologi.

Pasal 28
Rekam psikologi wajib dipelihara dan disimpan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
sejak kunjungan terakhir.

Pasal 29
Profesional psikologi dapat menggunakan rekam psikologi untuk kepentingan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi psikologi.

Pasal 30
1. Profesional psikologi wajib menjaga rahasia klien/pengguna jasa psikologi
2. Pengungkapan rahasia klien/pengguna jasa psikologi hanya dapat dilakukan
berdasarkan atas :
a. Persetujuan klien/pengguna jasa
b. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku
c. Perintah hakim pada sidang pengadilan
d. Kepentingan umum

BAB VI
ALAT TES PSIKOLOGI
Pasal 31
1. Profesional Psikologi berhak mengembangkan alat tes psikologi dan berhak
memperoleh hak intelektual untuk setiap karya ciptanya.
2. Penapisan dan perumusan perkembangan tes psikologi dilakukan oleh Dewan
Psikologi.
3. Tes psikologi yang mempunyai dampak etik yang berat apabila akan
diterapkan, harus mendapat persetujuan Dewan Psikologi.
4. Penggandaan, modifikasi, reproduksi dan penggunaan setiap alat tes psikologi
wajib diadministrasikan secara benar oleh organisasi profesi.

BAB VII
STANDAR PENDIDIKAN PROFESI PSIKOLOGI
Pasal 32
Organisasi Profesi bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan profesi
psikologi yang dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan Fakultas Psikologi.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 33
Standar kurikulum, tata cara dan tata laksana pendidikan profesi psikologi disusun
oleh Organisasi Profesi dan ditetapkan oleh Dewan Psikologi.

Pasal 34
Ujian pendidikan profesi psikologi diselenggarakan di Fakultas Psikologi oleh
Organisasi Profesi.

Pasal 35
Sertifikat pendidikan profesi psikologi dikeluarkan oleh Organisasi Profesi.

BAB VIII
PERADILAN DISIPLIN PROFESI PSIKOLOGI
Bagian Pertama
Penyelenggaraan Peradilan Disiplin
Disiplin Profesi Psikologi
Kedudukan
Pasal 36
1. Peradilan Disiplin Profesi Psikologi merupakan peradilan khusus yang
berkedudukan di lingkungan Peradilan Umum.
2. Peradilan Disiplin Profesi Psikologi merupakan salah satu pelaksanaan
kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan, baik terhadap
pemberi jasa profesional psikologi maupun terhadap pengguna jasa praktik
psikologi dalam sengketa akibat praktik psikologi.

Pasal 37
1. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi
dilaksanakan oleh :
a. Peradilan Negeri Disiplin Profesi Psikologi.
b. Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi.
2. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi.

Pasal 38
1. Peradilan Negeri Disiplin Profesi Psikologi berkedudukan di Pengadilan Negeri
2. Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi berkedudukan di Pengadilan Tinggi.

Pembinaan
Pasal 39
1. Pembinaan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dilakukan oleh Mahkamah Agung
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi
kekuasaan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pembentukan
Pasal 40
Peradilan Negeri Disiplin Profesi Psikologi dan Peradilan Tinggi Disiplin Profesi
Psikologi dibentuk dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Bagian Kedua
Susunan Pengadilan
Umum
Pasal 41
Pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diangkat Ketua, Wakil Ketua dan
Panitera serta Hakim ad hoc Peradilan Disiplin Profesi Psikologi.

Ketua, Wakil Ketua dan Hakim


Pasal 42
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

Pasal 43
1. Pembinaan dan Pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
2. Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
mengurangi kekuasaan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 44
1. Hakim pada Peradilan Negeri Disiplin Profesi Psikologi dan Peradilan Tinggi
Disiplin Profesi Psikologi terdiri dari ahli hukum dan dibantu oleh tim profesional
psikologi.
2. Hakim yang berasal dari profesional psikologi dapat berupa hakim ad hoc
3. Hakim ad hoc sebelum melaksanakan tugasnya harus mengucapkan sumpah.
4. Hakim yang berasal dari ahli hukum dapat dilaksanakan oleh hakim yang
bertugas pada pengadilan tersebut.

Pasal 45
1. Untuk dapat diangkat menjadi hakim pada Peradilan Negeri Disiplin Profesi
Psikologi, seorang calon harus memenuhi syarat :
a. Warga Negara Indonesia
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
d. Berumur serendah-rendahnya 35 tahun.
e. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.
2. Untuk dapat diangkat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Peradilan Disiplin Profesi
Psikologi, harus berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun
sebagai hakim.

Pasal 46
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim pada Peradilan Tinggi Disiplin Profesi
Psikologi, seorang calon harus memenuhi syarat:
a. Syarat sebagaimana dimaksud pada pasal 45 ayat (1) huruf a,b,c,d dan e.
b. Berumur serendah-rendahnya 40 tahun.
c. Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai hakim pada Pengadilan
Negeri.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 47
Untuk dapat diangkat sebagai Ketua, Wakil Ketua Peradilan Tinggi Disiplin Profesi
Psikologi, harus berpengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim pada
Pengadilan Negeri atau sekurang-kurangnya 5 tahun bagi hakim pada Pengadilan
Negeri yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 48
1. Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
2. Ketua dan Wakil Ketua Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dan Peradilan Tinggi
Disiplin Profesi Psikologi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 49
1. Sebelum memangku jabatan Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan, wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
2. Bunyi sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga”

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau untuk tidak


melakukan dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan


mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar 1945, dan
segala Undang-Undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia”.

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan


saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan Keadilan”.
3. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada Peradilan Disiplin Profesi Psikologi diambil
sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri.
4. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi
diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.

Pasal 50
1. Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan Undang-Undang, Hakim Peradilan
Disiplin Profesi Psikologi dan Hakim Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi
tidak boleh merangkap menjadi :
a. Pelaksana putusan pengadilan;
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

b. Wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang
diperiksa olehnya;
c. Pengusaha
2. Hakim Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dan Hakim Peradilan Tinggi Disiplin
Profesi Psikologi tidak boleh merangkap menjadi penasehat hukum.
3. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
1. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim dapat diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya apabila :
a. Atas permintaan sendiri
b. Sakit jasmani atau rohani terus menerus
c. Telah berumur enam puluh tahun bagi Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada
Peradilan Profesi Psikologi dan enam puluh tiga tahun bagi Ketua, Wakil
Ketua dan Hakim pada Peradilan Tinggi Profesi Psikologi
d. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
2. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 52
1. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari
jabatannya dengan alasan ;
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
b. Melakukan perbuatan tercela
c. Terus menerus melalaikan kewajibannya dalam menjalankan tugas
pekerjaannya.
d. Melanggar sumpah/janji jabatan
e. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50
2. Pengusulan pemberhentian dengan tidak hormat dengan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf c dilakukan setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim.
3. Pembentukan, susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara
pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 53
Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 54
1. Ketua dan Wakil Ketua sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (1), dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
2. Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud
dalam pasal 52 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

3. Terhadap usul pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dan ayat 2 berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat 2.

Pasal 55
1. Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara
dari jabatannya.
2. Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negeri dalam perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No.8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat dan pemberhentian sementara, serta hak-hak
pejabat yang terhadapnya dikenakan pemberhentian, diatur lebih lanjut oleh Ketua
Mahkamah Agung.

Pasal 57
1. Kedudukan Protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
2. Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diatur
dengan keputusan Presiden.

Pasal 58
1. Ketua, Wakil Ketua dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah
Ketua Mahkamah Agung.
2. Dalam hal :
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau
c. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim dapat ditangkap tanpa perintah dan persetujuan
Ketua Mahkamah Agung.

Panitera
Pasal 59
1. Pada setiap Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dan Peradilan Tinggi Disiplin
Profesi Psikologi ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang
panitera.
2. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu oleh seorang Wakil
Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera
Pengganti.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal
Pasal 60
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Peradilan Disiplin Profesi Psikologi, seorang
calon harus memenuhi syarat :
a. Warga Negara Indonesia
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Serendah-rendahnya berijazah Sarjana Muda Hukum/Sarjana Hukum
e. Berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera atau
tujuh tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan atau menjabat sebagai Wakil
Panitera Pengadilan Negeri.

Pasal 61
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi,
seorang calon harus memenuhi syarat :
a. Syarat sebagaimana dimaksud pasal 60 huruf a,b dan c
b. Berijazah Sarjana Hukum
c. Berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera atau
delapan tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi atau empat tahun
sebagai Panitera Pengadilan Negeri.

Pasal 62
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Peradilan Disiplin Profesi Psikologi,
seorang calon harus memenuhi syarat :
a. Warga Negara Indonesia
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
enam tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan negeri.

Pasal 63
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Peradilan Tinggi Disiplin Profesi
Psikologi, seorang calon harus memenuhi syarat :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a,b dan c
b. Berijazah Sarjana Hukum
c. Berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau
tujuh tahun sebagai Panitera Pengganti Peradilan Tinggi Profesi Psikologi atau
empat tahun sebagai Wakil Panitera Peradilan Disiplin Profesi Psikologi, atau
menjabat sebagai Panitera Pangadilan Negeri.

Pasal 64
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Peradilan Disiplin Profesi Psikologi,
seorang calon harus memenuhi syarat :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a,b,c dan d;
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Negeri
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 65
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Peradilan Tinggi Disiplin Profesi
Psikologi, seorang calon harus memenuhi syarat :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a,b,c dan d;
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti
Peradilan Tinggi Profesi Psikologi atau empat tahun sebagai Panitera Muda atau
delapan tahun sebagai Panitera Pengganti Peradilan Profesi Psikologi atau
menjabat sebagai Wakil Panitera Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi.

Pasal 66
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Peradilan tinggi Disiplin Profesi
Psikologi, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a,b,c dan d;
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pegawai negeri pada
Peradilan Tinggi Profesi Psikologi.

Pasal 67
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Peradilan Tinggi Disiplin Profesi
Psikologi, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a,b,c dan d;
b. Berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pegawai negeri pada
Peradilan Tinggi Profesi Psikologi atau sepuluh tahun sebagai pegawai negeri
pada Peradilan Tinggi Profesi Psikologi.

Pasal 68
1. Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera tidak
boleh merangkap menjadi wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan
perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai panitera.
2. Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasehat hukum.
3. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera selain jabatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah
Agung.

Pasal 69
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti diangkat dan
diberhentikan dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 70
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan
Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau
kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau janji
itu adalah sebagai berikut :

“Saya bersumpah/menerangkan dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk


memperoleh jabatan ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama
atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada
siapapun”.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan


sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.

“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
ideologi nasional, Undang-Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang serta
peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia”.
“Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti
layaknya bagi seorang Panitera/Wakil Panitera Muda/Panitera Pengganti yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.

Pasal 71
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja kepaniteraan
pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Bagian Ketiga
Kekuasaan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dan
Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi
Pasal
Pasal 72
Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dan Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan pelanggaran
kode etik psikologi dan sengketa antar pemberi dan pengguna jasa psikologi yang
dilakukan oleh profesi psikologi dalam praktik psikologi.

Pasal 73
1. Peradilan Disiplin Profesi Psikologi bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan pelanggaran kode etik psikologi yang dilakukan
oleh profesi psikologi dalam praktik psikologi, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 38 ayat (1) di tingkat pertama.dan sengketa antar pemberi dan pengguna
jasa psikologi.
2. Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus sengketa sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (2) di tingkat
banding.
3. Peradilan Disiplin Profesi Psikologi juga bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan menjadi
antar peradilan profesi psikologi di dalam daerah hukumnya.

Pasal 74
1. Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atau pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Ketua, Wakil Ketua, Hakim dan Panitera Peradilan Profesi Psikologi.
2. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan atas :
a. Pelaksanaan tugas dan tingkah laku Ketua, Wakil Ketua, Hakim dan Panitera
Peradilan Tinggi Profesi Psikologi.
b. Jalannya pengadilan di Peradilan Profesi Psikologi dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

3. Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan


ayat (2) Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi dapat
memberikan petunjuk, teguran dan peringatan yang dipandang perlu.
4. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan
perkara.

Bagian Keempat
Hukum Acara
Pengaduan
Pasal 75
1. Setiap orang atau badan yang merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan
profesional psikologi dalam menyelenggarakan jasa/praktik psikologi, yang
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, atau
sengketa antara pemberi dan pengguna jasa/praktik psikologi dapat
mengajukan tuntutan secara tertulis atau gugatan kepada Peradilan Disiplin
Profesi Psikologi.
2. Alasan yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. Tindakan yang dilakukan profesional psikologi bertentangan dengan standar
pelayanan jasa/psikologi.
b. Tindakan yang dilakukan profesional psikologi dapat merusak kepercayaan
terhadap profesi psikologi;
c. Melakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan berdasarkan
standar profesional psikologi;
d. Melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban pelayanan jasa/
praktik psikologi;
e. Tidak melakukan yang seharusnya dilakukan berdasarkan standar profesi
profesional psikologi;
f. Ketidakmampuan profesional psikologi untuk menjalankan profesinya;
g. Melakukan tindakan asusila dengan kliennya;
h. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Psikologis yang tidak
benar.

Pasal 76
1. Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ditujukan kepada
Peradilan Disiplin Profesi Psikologi yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan profesional psikologi tergugat.
2. Apabila profesional psikologi tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak
dalam satu daerah hukum Peradilan Disiplin Profesi Psikologi, gugatan diajukan
kepada Peradilan Displin Profesi Psikologi yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan salah satu profesional psikologi tergugat.
3. Dalam hal tempat kedudukan profesional psikologi tergugat tidak berada dalam
daerah hukum tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Peradilan Displin Profesi Psikologi yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Peradilan Disiplin
Profesi Psikologi yang bersangkutan.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 77
Gugatan hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak pemeriksaan psikologis dilakukan.

Pasal 78
1. Gugatan harus memuat :
a. Identitas penggugat, yang bisa merupakan perorangan (individu) atau
lembaga/institusi/organisasi yang berbadan hokum dan kuasanya;
b. Nama dengan tempat jasa/praktik psikologi diselenggarakan dan waktu
c. pemberian jasa/pemeriksaan psikologis dilakukan;
d. Dasar gugatan dalam hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
2. Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang atau beberapa orang
kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.

Pasal 79
1. Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili
oleh seorang atau beberapa orang kuasa
2. Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat
dilakukan secara lisan di persidangan.

Pasal 80
Apabila dipandang perlu hakim yang berwenang memerintahkan kedua belah pihak
yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekaligus sudah
diwakili oleh kuasa.

Pasal 81
1. Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara,
yang besarannya ditaksir oleh panitera.
2. Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, penggugat dicatat
dalam daftar perkara oleh Panitera.

Pasal
Pasal 82
1. Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang
menangani perkara Peradilan Disiplin Profesi Psikologi untuk bersengketa
dengan cuma-cuma.
2. Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai
surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat kediaman
penggugat.
3. Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa penggugat betul-betul tidak
mampu membayar biaya perkara.

Pasal 83
1. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 harus diperiksa dan
ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa.
2. Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

3. Penetapan pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk


bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama juga berlaku di tingkat
banding dan kasasi.

Pasal 84
1. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 hari sesudah penggugat dicatat, Ketua
Peradilan Disiplin Profesi Psikologi mengadakan permusyawaratan.
2. Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Peradilan Disiplin Profesi Psikologi
berwenang memutuskan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan
bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak
berdasar dalam hal :
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
pengadilan profesi psikologi;
b. Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diberitahu dan diperingatkan;
c. Gugtan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. Gugatan yang diajukan telah lewat waktunya.

Pasal 85
1. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 84 ayat (2) diucapkan dalam
rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditetapkan dengan
memanggil penggugat dan professional psikologi tergugat yang diajukan untuk
mendengarkannya.
2. Panggilan penggugat dan profesional psikologi tergugat dilakukan dengan surat
tercatat oleh Panitera atas perintah Ketua Pergadilan Profesi Psikologi.

Pasal 86
1. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 85 ayat (1) dapat
diajukan perlawanan kepada Peradilan Profesi Psikologi dalam tenggang waktu
empat belas hari setelah diucapkan.
2. Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperiksa dan diputuskan oleh
pengadilan dengan acara singkat.
3. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan
sebagaimana dimaksud pasal 85 ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan
akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
4. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum.

Pasal 87
1. Dalam hal gugatan dapat dilakukan pemeriksaan, Peradilan Profesi Psikologi
menetapakn Tim Hakim yang ditugasi memeriksa dan memutus perkara tersebut.
2. Tim Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya berjumlah
3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang.
3. Ketua tim harus seorang Hakim yang mempunyai latar belakang sebagai ahli
hukum.
4. Hakim anggota terdiri atas profesional psikologi yang mempunyai latar belakang
keahlian dan pengalaman yang sama dengan profesional psikologi yang
diadukan.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

5. Dalam hal profesional psikologi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak ada
maka Ketua Peradilan Profesi Psikologi dapat mengangkat Hakim ad.hoc.

Pasal 88
Ketua Peradilan Disiplin Profesi Psikologi selain menunjuk hakim sebagaimana
dimaksud dalam pasal 87 menetapkan seorang Panitera dan seorang Panitera
pengganti.

Pasal 89
1. Sebelum melakukan pemeriksaan pokok perkara, tim hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
2. Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim :
a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki dan
melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 14 hari.
b. Dapat meminta penjelasan kepada profesional psikologi tergugat.
3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
penggugat belum menyempurnakan gugatan maka hakim menyatakan dengan
putusan gugatan tidak dapat diterima.
4. Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan
upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

Pasal 90
1. Dalam menentukan hari sidang, hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya
tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
2. Jangka waktu antara panggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 3 hari.

Pasal 91
Panggilan terhadap pihak yang bersengketa dianggap sah, apabila masing-masing
telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.

Pasal 92
1. Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik
Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan
dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan
tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
2. Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang
besarta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalam wilayah tempat yang
bersangkutan berkedudukan atau berada.
3. Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari sejak
dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada Pengadilan
yang bersangkutan.

Pemeriksaan
Pasal 93
1. Peradilan Disiplin Profesi Psikologi memeriksa dan memutus sengketa dalam
penyelenggaraan praktik psikologi dengan sekurang-kurangnya 5 orang hakim.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

2. Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan


3. Pemeriksaan perkara dalam persidangan dipimpin oleh hakim ketua sidang
4. Hakim ketua sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap
ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik.

Pasal 94
1. Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah
laku, dan ucapan yang mempunyai tinggi wibawa, martabat dan kehormatan
pengadilan dan menaati tata tertib persidangan.
2. Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas perintah Hakim Ketua
Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang.

Pasal 95
1. Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan
menyatakannya terbuka untuk umum.
2. Apabila majelis hakim memandang bahwa sengketa yang sedang disidangkan
menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat
dinyatakan tertutup untuk umum.
3. Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menyebabkan batalnya putusan demi hukum.

Pasal 96
1. Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil
dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya
perkara.
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya
perkara.

Pasal 97
1. Dalam hal profesional psikologi tergugat atau kuasanya tidak hadir di
persidangan dua kali sidang berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali dipanggil
dengan patut, maka hakim ketua sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan
pemeriksaan sengketa dilanjutkan.
2. Putusan terhadap gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan
mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.

Pasal 98
1. Dalam hal terdapat lebih dari seorang profesional psikologi yang digugat dan
seorang atau lebih di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu
dapat ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

2. Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang terhadap
pihak yang tidak hadir oleh hakim ketua sidang diperintahkan untuk dipanggil
sekali lagi.
3. Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
profesional psikologi tergugat atau kuasanya masih tidak hadir, sidang
dilanjutkan tanpa kehadirannya.

Pasal 99
1. Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membaca isi gugatan dan surat yang
memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban,
pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
2. Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing.

Pasal 100
1. Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai
dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan profesional psikologi tergugat dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan seksama oleh hakim.
2. Profesional psikologi tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari
jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta
tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan seksama oleh hakim.

Pasal 101
1. Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum profesional
psikologi tergugat memberikan jawaban.
2. Apabila profesional psikologi tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan
itu pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya
apabila disetujui profesional psikologi tergugat.

Pasal 102
1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu
selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan
absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib
menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan.
2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan
jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok
sengketa diperiksa.
3. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat
diputuskan bersama dengan pokok sengketa.

Pasal 103
1. Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang Hakim Anggota
atau Panitera.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

2. Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan penggugat
profesional psikologi yang diajukan penasehat hukum.
3. Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan
sengketa telah telah diputuskan maka sengketa tersebut wajib segera diadili
ulang dengan susunan yang lain.

Pasal 104
1. Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila ia berkepentingan
langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
2. Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan atas
kehendak Hakim atau Panitera atau atas permintaan salah satu atau pihak-pihak
yang bersengketa.
3. Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat pengadilan yang berwenang yang
menetapkan.
4. Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan
sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang
dengan susunan yang lain.

Pasal 105
Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam
sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya
hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.

Pasal 106
Dengan izin Ketua Pengadilan, profesional psikologi tergugat dan penasehat hukum
dapat mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan
di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya.

Pasal 107
Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau
petikan segala surat pemeriksaan perkaranya dengan biaya sendiri setelah
memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 108
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa
sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa Hakim dapat
masuk dalam sengketa dan bertindak sebagai :
a. Pihak yang membela haknya ; atau
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau
ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara
sidang.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

3. Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama
dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.

Pasal 109
1. Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui
batas wewenangnya pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis
disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan.
2. Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan maka
hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang
bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita
acara pemeriksaan.
3. Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan atau diberitahukan
kepada para pihak yang bersangkutan.

Pasal 110
1. Atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang
dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.
2. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan
untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat
memberi perintah supaya saksi dibawa oleh polisi ke persidangan.
3. Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan yang
bersangkutan tidak diwajibkan datang di pengadilan tersebut, tetapi
pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman saksi.

Pasal 111
1. Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
2. Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama atau
kepercayaan, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja
dengan penggugat atau tergugat.
3. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agama atau kepercayaannya.

Pasal 112
Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa.
2. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai;
3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
4. Orang sakit ingatan.

Pasal 113
1. Orang yang dapat diminta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberi
kesaksian adalah :
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu
pihak;
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan
atau jabatannya itu.
2. Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala seuatu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan
hakim.

Pasal 114
1. Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan
melalui Hakim Ketua Sidang.
2. Apabila pernyataan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang tidak
ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak.

Pasal 115
1. Apabila penggugat atau saksi tidak paham Bahasa Indonesia, Hakim Ketua Sidang
dapat mengangkat seorang ahli bahasa.
2. Sebelum melaksanakan tugasnya seorang ahli alih bahasa tersebut wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk
mengalihkan bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan
sebaik-baiknya.
3. Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih
bahasa dalam sengketa tersebut.

Pasal 116
1. Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat menulis,
Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan
penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
2. Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya.
3. Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim
Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya,
dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada penggugat atau saksi tersebut
dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan
dan jawaban harus dibacakan.

Pasal 117
1. Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar dalam persidangan
pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
2. Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat didengar
keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa.
3. Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena
halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh panitera
datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan
mendengar saksi tersebut.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 118
1. Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan,
pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
2. Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi
mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.
3. Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata
tidak datang pada hari persidangan selanjutnya, Hakim Ketua Sidang menyuruh
memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan tanggal persidangan
berikutnya.
4. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut,
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.

Pasal 119
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan
memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang
mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.

Pasal 120
1. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.
2. Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda
untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam
ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan
sengketa tersebut.
3. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dicapai permufakatan bulat putusan diambil dengan
suara terbanyak.
4. Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis
berikutnya.
5. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara
terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
6. Putusan pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang
terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan
kepada kedua belah pihak.
7. Putusan pengadilan dapat berupa :
a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan;
c. Gugatan tidak diterima;
d. Gugatan gugur.
8. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat
ditetapkan sanksi dan atau kewajiban yang harus dilakukan oleh profesional
psikologi tergugat.
9. Sanksi dan atau kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dapat berupa:
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

a. Pencabutan Surat Izin Praktik untuk waktu paling lama satu tahun, dan atau
b. Pencabutan Surat Penugasan untuk waktu paling lama satu tahun, dan atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan profesi psikologi di Fakultas Psikologi.
10. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
ganti rugi atau mengganti biaya pemeriksaan praktik/jasa psikologi dalam
rangka rehabilitasi.
11. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) paling banyak sejumlah Rp.
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

Pembuktian
Pasal 121
1. Alat bukti ialah ;
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan hakim.
2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Pasal 122
Surat sebagai alat bukti meliputi persetujuan tindakan pelayanan jasa psikologi,
rekam pemeriksaan psikologi dan bukti tulisan lain.

Pasal 123
1. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
2. Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan pasal 112 tidak
boleh memberikan keterangan ahli.

Pasal 124
1. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya
Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.
2. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat
maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut
kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Pasal 125
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri.

Pasal 126
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang
kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

Pasal
Pasal 127
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 128
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian peserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat
bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Putusan Pengadilan
Pasal 129
1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
2. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan
pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat
putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 130
1. Putusan Pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan
para pihak yang bersengketa;
c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
2. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan pengadilan.
3. Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan pengadilan diucapkan,
putusan itu harus ditandatangani oleh hakim yang memutus dan panitera yang
turut bersidang.
4. Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan cara cepat
Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan pengadilan
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya
Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.
5. Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan
pengadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.

Pasal 131
Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagaian dihukum membayar biaya
perkara.

Pasal 132
Yang termasuk dalam biaya perkara ialah :
a. Biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

b. Biaya saksi, ahli dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta
pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang
lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. Biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang
diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.

Pasal 133
Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau tergugat disebut
dalam amar putusan akhir pengadilan.

Pasal 134
1. Putusan pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam
sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan
dalam berita acara sidang.
2. Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan pengadilan dapat meminta
supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya
salinan.

Pasal 135
1. Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang
memuat segala sesuatu yang terjadi di dalam sidang.
2. Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Panitera,
apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam
berita acara tersebut.
3. Apabila Hakim Ketua Sidang dan Panitera berhalangan menandatangani maka
berita acara ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut.

Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pasal 136
Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
dapat dilaksanakan.

Pasal 137
1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari.
2. Tiga bulan setelah putusan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, Dewan Psikologi Indonesia yang berwenang
wajib melaksanakan putusan Pengadilan.
3. Tiga bulan setelah putusan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, profesional psikologi yang diadukan belum
memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132, maka
penggugat dapat memohon kepada Ketua Peradilan Disiplin Profesi Psikologi
agar memerintahkan profesional psikologi tergugat melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

4. Jika profesional psikologi tergugat tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua


Pengadilan dapat melakukan sita jaminan atas kekayaan yang berada di bawah
kekuasaan profesional psikologi tergugat.
5. Harta kekayaan yang dikenakan sita jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) dapat dilakukan pelelangan dan hasilnya diberikan kepada penggugat.
6. Dalam hal masih terdapat sisanya dikembalikan kepada profesional psikologi
tergugat.
7. Dalam hal profesional psikologi tergugat tidak memiliki harta kekayaan, maka
profesional psikologi tergugat dapat dihukum kurungan.

Pemeriksaan di Tingkat Banding


Pasal 138
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri untuk Peradilan Disiplin Profesi Psikologi dapat
dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau profesional psikologi
tergugat kepada Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi

Pasal 139
1. Permohonan pemeriksaan banding dilakukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Peradilan Disiplin Profesi
Psikologi yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan gugatan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
2. Pemohon pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka perkara
banding lebih dahulu yang besarnya ditaksir oleh Panitera.

Pasal 140
1. Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara.
2. Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.

Pasal 141
1. Selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan pemeriksaan banding dicatat,
Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat
melihat berkas perkara di kantor Pengadilan yang menangani perkara Peradilan
Disiplin Profesi Psikologi dalam tenggang waktu tujuh hari setelah mereka
menerima pemberitahuan tersebut.
2. Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan
kepada Panitera Peradilan Tinggi Profesi Psikologi selambat-lambatnya empat
belas hari setelah (sesudah) pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
3. Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding
serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Peradilan Disiplin Profesi
Psikologi dengan ketentuan bahwa salinan memori dan atau kontra memori
banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Panitera
Pengadilan.

Pasal 142
1. Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi memeriksa dan memutus perkara
banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim.
2. Apabila Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi berpendapat bahwa
pemeriksaan Peradilan Disiplin Profesi Psikologi kurang lengkap, maka
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sidang tersendiri untuk


mengadakan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan yang
menangani perkara Peradilan Disiplin Profesi Psikologi yang bersangkutan
melaksanakan pemeriksaan tambahan itu.
3. Terhadap putusan Pengadilan yang menangani Peradilan Disiplin Profesi
Psikologi yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang diajukan
kepadanya, sedang Peradilan Tinggi Disiplin Profesi Psikologi berpendapat lain,
Pengadilan Tinggi tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu
atau memerintahkan Pengadilan yang meannagani perkara Peradilan Disiplin
Profesi Psikologi yang bersangkutan memeriksa dan memutusnya.
4. Panitera Pengadilan Tinggi yang menangani Peradilan Disiplin Profesi Psikologi
dalam waktu tiga puluh hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi
beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Peradilan Disiplin Profesi
Psikologi yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama.

Pasal 143
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 dan pasal 104 berlaku juga
bagi pemeriksaan di tingkat banding.
2. Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku juga antara hakim dan/atau Panitera di tingkat banding dengan Hakim
atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan memutus perkara
yang sama.
3. Apabila seorang hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi
Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa
perkara yang sama di tingkat banding.

Pasal 144
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Peradilan Tinggi Disiplin
Profesi Psikologi, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon,
dan dalam hal pemohon pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding
belum lampau.

Pasal 145
Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Peradilan Disiplin Profesi
Psikologi, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka
waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau.

Pemeriksaan di Tingkat Kasasi


Pasal 146
1. Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung.
2. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pemeriksaan Peninjauan Kembali


Pasal 147
1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2. Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Ketentuan Lain
Pasal
Pasal 148
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

Pasal 149
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan atau surat lainnya yang
berhubungan dengan sengketa yang diajukan ke Pengadilan ke Majelis Hakim untuk
diselesaikan.

Pasal 150
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan diputus
berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang menyangkut
kepentingan umum dan yang harus segera diperiksa, maka pemeriksaan perkara itu
didahulukan.

Pasal 151
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.

Pasal 152
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti bertugas membantu
Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan.

Pasal 153
1. Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan.
2. Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi
catatan singkat tentang isinya.

Pasal 154
Panitera membuat salinan putusan pengadilan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 155
1. Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan,
dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat
berharga, barang bukti dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan.
2. Semua daftar, catatan , risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh
dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 156
Pemerintah dan Organisasi Profesi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa/praktik psikologi.

Pasal 157
Pembinaan dan Pengawasan diarahkan untuk:
1. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan jasa/praktik psikologi
yang dilakukan profesional psikologi.
2. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan profesional psikologi.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 158
Barangsiapa dengan sengaja melakukan pemberian praktik psikologi :
1. Tanpa memiliki sertifikat profesi psikologi dan Surat Izin Praktik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dan pasal 21;
2. Tidak mengikuti Hukum, Standar Kompetensi dan Kode Etik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 25;
3. Menjanjikan suatu keberhasilan Praktik Psikologi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26;
4. Tidak melaksanakan dan memelihara rekam psikologi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 27 dan pasal 28;
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 159
Barangsiapa :
a. Memperkerjakan profesi psikologi yang tidak mempunyai Surat Izin Praktik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24;
b. Menerapkan tes psikologi yang berdampak etika berat tanpa persetujuan Dewan
Psikologi sebagaimana dimaksud dalam pasl 31 ayat (3);
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 160
1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 158 adalah pelanggaran.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 159 adalah kejahatan.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 161
Semua peraturan tentang profesi psikologi yang berkaitan dengan pelaksanaan
jasa/praktik psikologi, pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau telah diganti berdasarkan ketentuan
undang-undang ini.
SUMBER http://www.himpsi.org/RUUdraft5.htm

Pasal 162
1. Dengan disahkannya undang-undang ini maka profesi psikologi yang telah
memiliki Surat Izin Praktik Psikologi dianggap telah sah memiliki Surat Izin
Praktik Psikologi.
2. Surat Izin Praktik Psikologi sebagaimana ayat (1) di atas hanya berlaku 5 tahun
sejak diundangkannya undang-undang ini.

Pasal 163
1. Dengan disahkannya undang-undang ini profesi psikologi yang telah memiliki
Surat Izin Praktik dianggap telah memiliki Surat Izin Praktik berdasarkan undang-
undang.
2. Surat Izin Praktik sebagaimana dimaksud ayat (1) berlaku untuk 5 tahun sejak
diundangkannya undang-undang ini.

Pasal 164
1. Sengketa praktik psikologi yang pada saat terbentuknya Peradilan Profesi
Psikologi menurut undang-undang ini belum diputus oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum.
2. Sengketa praktik psikologi yang pada saat terbentuknya Peradilan Profesi
Psikologi menurut undang-undang ini sudah diajukan kepada pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada
pengadilan di lingkungan Peradilan Profesi Psikologi.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 165
Undang-undang ini berlaku sejak tanggal diundangkan dan penerapannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya satu tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal ……………
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal …………….
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ……. NOMOR……

Anda mungkin juga menyukai