Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan
(luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau
Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia
semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya
sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah
Internasional
Kronologi sengketa
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi
ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota
ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa
dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah
dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan
Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun
1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan
pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak.Dalam
kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto
akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final
and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan
tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres
Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2]
kemudian pada hariSelasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang
kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan
Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16
hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17
hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan
pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia,
oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada
pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah
Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara
nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu
suar sejak 1960-an.Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia
tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Sumber
=====================================
Dan berikut ini adalah pernyataan Menteri Luar Negeri era SBY :