Anda di halaman 1dari 12

ADENOMIOSIS

A. PENDAHULUAN

Adenomiosis sering dijumpai pada wanita di usia reproduktif, terlebih lagi pada mereka
yang mengalami menorrhagia dan dysmenorrhea. Etiologi dan patofisiologi penyakit ini
masih belum jelas hingga saat ini, meskipun begitu, berbagai perkembangan terbaru di
bidang metode diagnostik dan berbagai penelitian tentang terapi telah banyak mengubah cara
seorang klinisi menatalaksana adenomiosis.

Seorang ahli patologi Jerman, Carl von Rokitamky pertama sekali emndeskripiskan
adenomiosis di tahun 1860 saat beliau mengamati adanya kelenjar endometrium di lapisan
miometrium, dan ia menyebutnya dengan nama ‘cystosarcoma adenoid uteri”. Barulah
kemudian pada tahun 1921 lesi tersebut diketahui ternyata berasal dari implant endometrium
yang mengalami perluasan jaringan epitel, dimana saat itu adenomiosis dan endometriosis
masih belum dipisahkan penamaannya. Pada tahun 1950, Sampson mengajukan hipotesis
bahwa proses menstruasi retrograde dapat memudahkan membedakan adenomiosis dengan
endometriosis. Kemudian barulah pada tahun 1972, Bird dkk mencoba mendefinisikan
adenomiosis dengan jelas, dimana adenomiosis didefginiskan sebagai ‘invasi benign jaringan
endometrium ke miometrium, yang mengakibatkan pembesaran ukuran uterus, yang mana
secara mikroskopis merupakan suatu kelenjar endometrium ektopik dan non-neoplastik
dengan stroma yang dijkelilingi oleh miometrium yang menagalmi hipertrofi dan hiperplasia.

Atas jasa peneliti-peneliti tersebutlah, saat ini berbagai perkembangan dalam metode
diagnostik dan terapi telah muncul. Ilmu kedokteran saat ini menyatakan bahwa tidak ada
metode pencegahan adenomiosis, namun begitu, histerektomi tidak lagi harus dilakukan guna
menegakkan diagnosis. Saat ini, diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan teknik
yang tidak terlalu invasif seperti USG dan MRI serta analisis spesimen sediaan jarinagn
melalui prosedur biopsi histeroskopi. Meskipun diagnosis penyakit ini sering dijumpai pada
wanita di usia 40 tahunan atau 50 tahunan yang memang mengeluhkan gejala, adenomiosis
sekali-sekali pada wanita usia muda yang mengeluhkan infertilitas atau mengeluhkan tanda
dan gejala dismenorrhea dan menorhagia. Menanggapi kenyataan bahwa adenomiosis sering
ditemukan pada wanita muda, maka teknik medis dan pembedahan baru perlu dicoba
ditemukan untuk menghindarkan keharusan menjalani histerektomi yang selama ini
merupakan standard prosedur. Penatalaksanaan medis yang tersedia saat ini meliputi pil
kontrasepsi oral, progestin, damarol, GnRH agonis, dan inhibitor aromatase. Prosedur
pembedahan invasif minimal memungkinkan pilihan terapi konservatif yang berupa ablasi
dan reseksi endometrium, eksisi laparoskopik dari adenomiosis, dan MRI dengan guidance
USG.

B. TUJUAN
a). Tujuan Umum
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai adenomiosis
b). Tujuan Khusus
Mampu memahami pengertian, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan, dan prognosis dari adenomiosis.

C. SKDI

D. DEFINISI

Adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan


miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis
kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh jaringan
miometrium hipertrofik dan hiperplastik. Definisi tersebut masih berlaku hingga sekarang
dengan modifikasi. Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium
pada sembarang lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab
batas JZ seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi
miometrium basalis minimal adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium
basalis minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama apakah ada hipertrofi miometrial
di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus
adenomiotik tidak lebih dari 25% total ketebalan miometrium. Sathyanarayana membagi
adenomiosis kedalam 3 kategori berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada
lapisan basal, lapisan dalam dan lapisan permukaan.

Penentuan klasifikasi dan stadium endometriosis sangat penting dilakukan untuk


menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Stadium
endometriosis tidak memiliki korelasi dengan derajat nyeri keluhan pasien maupun
prediksi respon terapi terhadap nyeri atau infertilitas. Hal ini dikarenakan endometriosis
dapat dijumpai pada pasien yang asimptomatik. Klasifikasi Endometriosis yang
digunakan saat ini adalah menurut American Society For Reproductive Medicine yang
berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi lesi, penyebaran penyakit dan
perlengketan. Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada endometriosis, dilakukan
penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan
densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai – nilai dari skoring
yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis. Nilai 1-4
adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-40 adalah sedang
(stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV).

E. EPIDEMIOLOGI
Karena diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka insidensi
yang pasti tidaklah dapaty ditentukan. Dalam berbagai penelitian, prevalensinya berkisar
antara 5 hingga 70%. Besarnya rentang ini mungkin dikarenakan oleh banyak faktor
termasuk klasifikasi diagnostik yang beragam, perbedaan jumlah jaringan yang diambil
sebagai sampel biopsi dan bias yang mungkin ntimbul dari hali patologinya sendiri karena
mempertimbangkan perjalanan penyakity pasien. Secara umum, rata rata frekluensi
kejadian adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20 hingga 30%.
Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan pada wanita umur 40
tahuna atau 50 tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis,
pervalensi akan meningkat pada wanitya yang lebih tua, mungkin karena tingginya
riwayat prosedur histerektomiu pada kelompok wanita tersebut. Mungkin juga ghal ini
idkarenakan paparan estrogen yang semakin meningkat seiring dengan pertmabhan usia.
Lima hingga 25 persen kasus adenomiosis dijumpai pada pasien berumur kurangt dari 39
tahun dan hanya 5 persen hiungga 10% saja yang dijumpai pada wanita usia lebih dari 60
tahun.
Meskipun insidensi adenomiosis pada wanita postmenopause cukup rendah,
mungkin insidensinya akan lebih tinggi padea kelompok wanita tua yang mengosumsi
tamoxifen. Tamoxifen adalah suatu senyawa estrogen sitetik lemah yang berikatan dengan
reseptor estrogen secara selektif dan dapat berperan sebagai agonis estrogen pada
reseptornya yang berada di sel endometrium. Karena jaringan endometrium ektopik
extrauterine merupakan tujuan dari stimulasi hormonal, maka jaringan adenomiosis dan
endometriosis dapat muncul atau reaktivasi kembali. Cohen dkk melaporkan 8 wanita
postmenopause dengan kanker payudara yang menjalani terapi dengan tamoxifen dean
kemudian menjalani histerektomi dengan diagnosis postoperativ adalah adenomiosis,
menunjukkan angka insidensi yang lebih tinggi pada wanita postmenopause yang
menjalani terapi pada populasi kecil ini.

F. ANATOMI

Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak di atas
penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur silindris di bawah,
yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri. Uterus adalah organ yang
memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm, lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Pada
setiap sisi dari uterus terdapat dua buah ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan
kandung kemih, ligamentum tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat
bertahan dengan baik. Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada
permukaan anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior. Pada bagian
atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina disebut
fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan dipisahkan dengan korpus oleh
ismus
G. HISTOLOGI

Dari segi histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan.


1. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.
2. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di uterus dan
terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan serat elastic. Berkas otot
polos ini membentuk empat lapisan yang tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan
keempat terutama terdiri atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan
sumbu panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar
3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang mengandung
kelenjar tubular simpleks. Sel – sel epitel pelapisnya merupakan gabungan selapis sel
– sel silindris sekretorus dan sel bersilia. Jaringan ikat lamina propia kaya akan
fibroblas dan mengandung banyak substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutama
berasal dari kolagen tipe III

Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona. Lapisan fungsional yang
merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapisan ini
akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. Lapisan basal yang paling dalam dan
berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia dan bagian awal
kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan
akan tetap bertahan pada fase menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis
pada wanita usia reproduksi. Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi sehubungan
dengan respon terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular dengan tujuan akhir agar
nantinya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan embrio pada kehamilan. Stimulasi
estrogen dikaitkan erat dengan pertumbuhan dan proliferasi endometrium, sedangkan
progesteron diproduksi oleh korpus luteum setelah ovulasi menghambat proliferasi dan
menstimulasi sekresi di kelenjar dan juga perubahan predesidual di stroma.
H. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium masih
belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferasi secara lebih
aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi tempat
implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi setelah
degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi kelenjar pada
lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada
stroma endometrium.
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum
basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung
antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah
ekstra-uteri misalnya pada plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara
embriologis dari sisa duktus Muller.
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada masih harus
dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan
peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA & siliogenesis di lapisan fungsional
endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi
blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium
akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel-sel
epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang
membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma
pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium adenomiosis
tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium
memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan
basalis endometrium ke dalam myometrium.
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang
menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya,
hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi semenjak ditemukan
banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen
yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya
endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan
pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan
gejala menoragia & dismenore.
I. FAKTOR RISIKO
Resiko tinggi terjadinya endometriosis ditemukan pada :
a. Wanita yang ibu atau saudara perempuannya menderita endometriosis.
b. Wanita usia produktif ( 15 – 44 tahun).
c. Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang
d. Usia menarche yang lebih awal dari normal
e. Lama waktu menstruasi
f. Adanya orgasme ketika menstruasi
g. Terpapar toksin dari lingkungan
Faktor risiko termasuk usia, peningkatan jumlah lemak tubuh perifer, dan gangguan
haid , kebiasaan merokok, kebiasaan hidup, dan genetik. Faktor genetik berperan 6 –9 kali
lebih banyak dengan riwayat keluarga terdekat menderita.

J. DIAGNOSIS
Gejala klinis seperti menorhagia dan dismenorhea serat pembesaran uterus cukup
mengarahkan ke dugaan adenomiosis, diagnosis akan lebih pasti ditegakkan dengan
analisis jaringan histologi. Karena adanya jaringan endometrium yang proliferatif di dalam
miometrium, amak akan dijumpai gambaran hiperplasia sel otot polos, dan juga hipertrofi,
yang menyebabkan pembesaran uterus secara global yang dapat diamati secara
makroskopis. Adenomiosis juga dapat muncul dalam bentuk fokal sbagai sel otot polos
yang mengalami penumpukan nodular, yang lazim dikenal sebagai adenomioma, dan dapat
juga muncul dalam bentuk massa polpoid dalam kavum endometrium.

Secara mikroskopis, adenomiosis menunjukkan adanya jarinagan endometrium di


miometrium. Adenomiosis cenderung merupakan suatu proses yang difus yang lebih
sering terjadi terutama di sebelah posterior dan sekali kali di bagian anterior, dan jarang
dijumpai di di daerah sekitar cervix.

Diagnosis adenomiosis terutama ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari sediaan


histopatologis yang diambil melalui histerektomi. Meski begitu, beberapa studi
menyatakan bahwa biopsi miometrium sewaktu prosedur histeroskopi ataupun laparoskopi
dapat juga digunakan sebagai dasar menegakkan diagnosis. Diagnosis secara histeroskopi
tidaklah memberikan suatu temuan yang patognomonik untuk adenomiosis, meskipun
sebagian bukti menyebutkan bahwa endometrium yang bentuknya berlekuk lekuk disertai
dengan gangguan vaskularisasi dan lesi kistik yang berdarah berkaitan dengan keadaan ini.
Biopsi miometrium yang rutin selagi proses histeroskopi operatif dapat berguna untuk
merencanakan tatalaksana selanjutnya jika diagnosis telah ditegakkan. Meski begitu
diagosis mungkin saja terlewatkan jika ternyata adenomiosisinya terlalu superfisial atau
jaringan adenomiosis bukan berada di tempat dilakukannya biopsi.

Walaupun diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, beberapa teknik


pencitraan telah terbukti berguna untuk membanmtu menegakkan differensial diagnosis
yaitu dengan menggunakan USG dan MRI. Baik USG transvaginal dan transabdominal
akan menunjukkan jaringan adenomiosis sebagai suatu kantung kantung berukuran 1
hingga 7 mm berbentuk bulat dan anekoik, distirsi dan memiliki tektur miometrium yang
abnormal. nHAsl temuan USG yang paling mengarahkan ke diagnosis adenomiosis adalah
jika ditemukan miometrium heterogen dengan batas yang tidak tegas. Temuan di MRI
menunjukkan suatu uterus yang membesar secara asimetris tanpa adanya leiomioma,
penebalan zona junctional ke lapisan otot hingga 40%. Penebalan zona junctional pada
MRI adalah sebagai akibat proliferasi miosit lapisan bawah yang tidak terkoordinasi yang
dikenal sebagai keadaan ‘hiperplasia zona junctional’. Hal ini tidaklah merefleksikan
deteksi adanya kelenjar endometrioum dan stromanya di otot, namun hal ini menekankan
bahwa teori yang menyatakan bahwa disrupsi zona junctional meningkatkan resiko
miometrium terhadap kejadian adenomiosis. Perubahan siklis akan meningkatkan
ketebalan zona junctional akibat perubahan hormon, dan oleh sebab inilah MRI dapat
digunakan untuk mendiagnosis pada wanita yang sudah menopause, dimana kriteria yang
digunakan adalah adanya 40% reasio zona junctional di ketebalan dinding mimetrium, dan
bahkan hanya diasarkan pada ketebalam zona junctional nya saja.
K. PENATALAKSANAAN
Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi. Tidak ada terapi obat
obatan yang dapat meredakan gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi untuk bisa
hamil. Terapi pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal supresif seperti penggunaan
pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi, dan AKDR yang mensejkresikan
levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis GnRH ternyata mampu menginduksi
pengecilan jaringan adenomiosisnya. Pilihan pilihan terapi ini, termasuk juga terapi
pembedahan akan didiskusikan lebih lanjut dalam tulisan ini.
a. Penggunaan Pil Kontrasepsi Oral dan Progestin

Meskipun belum ada studi acak ganda tersamar yang mencoba mengevaluasi
penggunaan pil kontrasepsi oral pada pasien dengan adenomiosis dengan
dismenorhea dan menorhagia, namun obat obatan tersaebuit dapat sedikit
mengurangi keluhan. Peggunaan progestin dosis tinggi seperti misalnya pil oral
norethindrone asetat jangka panjang atau medroxyprogesteron depo belum pernah
diteliti sebagai terapi adenomiosis, namun begitu, peranan mereka sebagai terapi
supresi hormon dapat sedikit banyak memicu regresi jaringan adenomiosis.

b. Histerektomi

Histerektomi merupakan pilihan pengobnatan adeniomiosis yang juga bernilai


diagnostik. Histerektomi dari vagina lebih disukai ketimbang histerektomi dari
dinding abdomen, berkaitan dengan angka kematian yang lebih rendah serta
kemungkinan pulih yang lebih cepat. Meski begitu, dalam suatu studi retrospektif
yang melibatkan 1246 histerektomi vaginal, 14 diangtaranya ternyata mengalami
cidera kandung kemih. Penleiti kemudian menyimpulkan bahwa alasan
melaksanakan operasi masihlah belum jelas., namumn kemungkinan hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa sulit untuk mengidentifikasi septum supravagina
dan bidang vesicovagina serta vesicocervix. Prosedur histerektomi laparoskopi
memungkinkan untuk mendiseksi area operasi tanpa menimbulkan cedera. Jika
dibandingakn dengan prosedur histerektomni dari vagina, maka angka kejadian
cedera kandung kemih justru banyak berkurang, namun resiko terhadap kejadian
perlukaan uterus justru meningkat. Prosedur ini juga lebih disukai ketimbang
histerektomi vagianl karena rasa nyeri post op yang ditimbulkan sangat lebih
minimal.
c. Embolisasi Arteri Uterina

Efektivitas dari tejknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hala tata laksana
adenomiosis simptomatik masihlah kontroversil. Studi jangka panjang
meniunjukkan angkan keberhasilan yang beragam, yang mungkin dikarenakan
olegh beragamnya agen pengemboli yang digunakan serta dipengaruhi pula
mioma uteri yang hadir bersamaan. Mioma cenderung memiliki pembuluh darah
yang besar besar yang tentunya memerlukan embolisasi yang lkebih besar dengan
agen pengemboli yang lebih besar pula, jika dibandinagkna dengan kasus
adenomiosis saja. Oleh sebab itu, studi menunjukkan angka kegagalan teknik ini
yang cukup tinggi pada pasien dengan penyerta mioma uteri. Namun untuk
diagnbosis adenomiosis saja tanpa ada penyerta, tingkat keberhasilannya cukup
tinggi.

d. Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma

Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus jaringan
dapat ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy, tindakan ini agak lebih
sulit dalam hal menentukan luasnya lesi, mengekspos lesi, mennetukan batas serta
kedalama invasi jaringan. Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut,
mungkin saja dalam prosedur tersebut jaringan adenomiosisnya masih tertinggal.

L. PROGNOSIS
Membaik jika ditangani segera dan dengan penata laksanaan yang tepat.

M. RINGKASAN
Adenomiosis adalah keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang
lokasi di kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ
seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium
basalis minimal adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi miometrium basalis
minimal. Klasifikasi Endometriosis yang digunakan saat ini adalah menurut American
Society For Reproductive Medicine yang berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman
invasi lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan. Berdasarkan visualisasi rongga pelvis
pada endometriosis, dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi,
keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan
nilai – nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi
endometriosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan (stadium II), 16-
40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat (stadium IV).

Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan pada wanita umur 40 tahuna
atau 50 tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, pervalensi
akan meningkat pada wanitya yang lebih tua, mungkin karena tingginya riwayat prosedur
histerektomiu pada kelompok wanita tersebut.

Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium masih


belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara fisiologis berproliferasi secara lebih
aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan lapisan fungsional menjadi
tempat implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi
setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi
kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk
gelondong pada stroma endometrium. Faktor resikonya berupa Wanita yang ibu atau
saudara perempuannya menderita endometriosis, Wanita usia produktif ( 15 – 44 tahun).,
Wanita dengan siklus menstruasi 27 hari atau kurang, Usia menarche yang lebih awal dari
normal, Lama waktu menstruasi dll.

Diagnosis adenomiosis dapat ditegakkan secara histologis dan beberapa teknik


pencitraan telah terbukti berguna untuk membanmtu menegakkan differensial diagnosis
yaitu dengan menggunakan USG dan MRI. Terapi pengobatan dengan menggunakan
terapi hormonal supresif seperti penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin
dosis tinggi, dan AKDR yang mensejkresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan
agonis GnRH ternyata mampu menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya.
N. DAFTAR PUSTAKA

1. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2013. Pennsylvania :
Lippincott Williams & Wilkins.
2. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract
Res Clin Obstet Gynaecol. 2014 Aug;20(4):449-63. Epub 2014 Aprl 3.
3. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and
Infertility. Obstetrics and Gynecology International Volume 2015, Article ID
786132.
4. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and
Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging,
J Ultrasound Med 2015; 25:617–627.
5. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2016. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
6. Edmonds DK. Dewhurst’s Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed.
2018. London : Blackwell Science, Ltd.
7. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update
2018; 4: 312-322.
8. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12
no.6 pp.1275–1279, 2018.
9. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology
10th Ed. 2017. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
10. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st 2018).
www.medscape.com.
11. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2018. London :
Blackwell Science, Ltd.
12. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2017;37(1):53-6.
13. Pernol ML. Benson and Pernol’s Handbook of Obstetrics and Gynecology 10th
Ed. 2017. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.2.
14. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
15. Shwayder J, Sakhel K. Imaging for uterine myomas and adenomyosis. Journal
of minimal invasive gynecol. 2014;21(3):362-76.

Anda mungkin juga menyukai