Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ANEMIA DALAM KEHAMILAN

Dokter Pembimbing :
Dr. Mathius S.Gasong, Sp. OG

Disusun Oleh:
ANGGI SURYATI 1102014025

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTERI & GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 29 JULI – 05 OKTOBER 2019
RS TK II MOH.RIDWAN MEURAKSA

1
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin
di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang dari
10,5 gr% pada trimester dua (Centers for Disease Control, 1998). Perbedaan nilai batas
diatas dihubungkan dengan kejadian hemodilusi. 1
Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan
produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah
(eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang
lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi penurunan
konsentrasi hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi. 2
Volume plasma yang terekspansi menurunkan hematokrit (Ht), konsentrasi
hemoglobin darah (Hb), dan hitung eritrosit, tetapi tidak menurunkan jumlah absolut
Hb atau eritrosit dalam sirkulasi. Ekspansi volume plasma di mulai pada minggu ke-6
kehamilan dan mencapai maksimum pada minggu ke-24 kehamilan, tetapi dapat
terus meningkat sampai minggu ke-37. Penurunan hematokrit, konsentrasi hemoglobin,
dan hitung eritrosit biasanya tampak pada minggu ke-7 sampai ke-8 kehamilan, dan
terus menurun sampai minggu ke-16 sampai ke-22 ketika titik keseimbangan tercapai.
Sebab itu, apabila ekspansi volume plasma yang terus-menerus tidak diimbangi dengan
peningkatan produksi eritropoetin sehingga menurunkan kadar Ht, konsentrasi Hb, atau
hitung eritrosit di bawah batas normal, timbullah anemia. Umumnya ibu hamil dianggap
anemia jika kadar hemoglobin di bawah 11 g/dl atau hematokrit kurang dari 33 %. 2
Penyebab anemia tersering adalah defisiensi zat-zat nutrisi. Sekitar 75 % anemia
pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi yang memperlihatkan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. 2
Badan Kesehatan Dunia (1992) dalam Abel (1998) melaporkan bahwa prevalensi
ibuibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75 % serta semakin meningkat
seiring dengan pertambahan usia kehamilan.
Di Indonesia prevalensi anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 63,5%.
Lautan (2001) dalam Riswan (2003) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada
trimester II didapati 23 (74 %) menderita anemia. Di Malaysia Rosline dkk (2001)

2
melaporkan dari 52 orang wanita hamil yang menderita iron deficiency erythropoesis
adalah 7 (13,5 %) dan 11 (61,1 %) mengalami anemia defisiensi besi. Riswan (2003)
melaporkan dari 60 wanita hamil, yang terdiri dari 20 orang trimester I, 20 orang
trimester II, dan 20 orang trimester III, bila diambil batasan kadar Hb < 11 gr/dl adalah
anemia pada wanita hamil, maka didapatkan 32 orang (53,3 %) mengalami anemia
dengan distribusi 4 orang (20 %) pada trimester I, 14 orang (70 %) pada trimester II,
dan 14 orang (70 %) pada trimester III.
Perbedaan ini terjadi sesuai dengan proses perkembangan dan pertumbuhan masa
janin yang ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang cepat dan penyempurnaan susunan
organ tubuh.
Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak
terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Sedangkan pada awal trimester
kedua pertumbuhan janin sangat cepat dan janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan
menelan air ketuban sehingga lebih banyak kebutuhan oksigen yang diperlukan.2
Akibatnya kebutuhan zat besi semakin meningkat untuk mengimbangi peningkatan
produksi eritrosit dan rentan untuk terjadinya anemia, terutama anemia defisiensi besi.
Anemia pada kehamilan dapat berakibat buruk baik terhadap ibu maupun janin yang
dikandungnya.
Menurut World Health Organization (WHO) 40 % kematian ibu-ibu di negara
berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan. Menurut Hidayat (1994) dalam
Riswan (2003) disamping pengaruhnya kepada kematian, anemia pada saat hamil akan
mempengaruhi pertumbuhan janin, berat bayi lahir rendah dan peningkatan kematian
perinatal. Merchan dan Agarwal (1991) dalam Riswan (2003) melaporkan bahwa hasil
persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 12-28 %
angka kematian janin, 30 % kematian perinatal, dan 7-10 % angka kematian neonatal.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. DEFINISI ANEMIA DEFISIENSI BESI


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi
dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang
ditandai dengan gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum
(Serum Iron = SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron
Binding Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta
ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara
lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi
diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi seperti
pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit. Mengingat
besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi besi pada wanita hamil dan janin, oleh
karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini. Dengan diagnosa
yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat diatasi serta akan
mendapatkan prognosa yang lebih baik.

2.1. PATOFISIOLOGI
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan,
dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun
sedikit menjelang aterm serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan
sekresi aldesteron.
Anemia defisiensi besi ditandai ciri –ciri yang khas, yaitu mikrositosis dan
hipokromasia. Anemia yang ringan tidak selalu menunjukan hal itu, bahkan banyak yang
bersifat normositer dan normokrom. Hal itu disebabkan karena defisiensi besi dapat
berdampingan dengan defisiensi asam folat. Sifat lain yang khas bagi defisiensi besi
adalah :

4
• kadar besi serum rendah
• daya ikat besi serum tinggi
• protoporfirin eritrosit tinggi
• tidak ditemukan hemosiderin dalam sumsum tulang

2.2. ETIOLOGI

Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu:

a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.

Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma


meningkat sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit.
Penurunan ini lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume
darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta.
Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke
dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua ( Smith et al., 2010 ).

5
Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang jika dibandingkan dengan
bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di mana pertambahan tersebut
adalah sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%. Pengenceran
darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan dan
bermanfaat bagi wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan beban jantung yang
harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat hipervolemia tersebut,
keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini lebih ringan apabila
viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak
naik. 2
b. Kurangnya zat besi dalam makanan.
c. Kebutuhan zat besi meningkat.
d. Gangguan pencernaan dan absorbsi.

2.3. GEJALA KLINIS


Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi
sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya
yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala
penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi,
berkunangkunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem neuromuskular,
lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa. 2
Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah
dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Dan secara klinis dapat dilihat
tubuh yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu
menderita anemia atau tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan
pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan
standar. 2
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap:
awalnya terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk fertin di hati, saat
konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, fertin inilah yang diambil. Daya serap zat
besi dari makanan sangat rendah, Zat besi pada pangan hewan lebih tinggi
penyerapannya yaitu 20 – 30 % sedangkan dari sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia,
kerja jantung akan dipacu lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ
tubuh, akibatnya penderita sering berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah
6
lemas, cepat lelah, letih, mata berkunang kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak
mata, dan kuku pucat. 8

2.4. DERAJAT ANEMIA


Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil,
didasarkan pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu
normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl).
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil
adalah sebesar 11.28 mg/dl, kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00
mg/dl.
Klasifikasi anemia yang lain adalah : 2,3,4

a. Hb 11 gr% : Normal

b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan

c. Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang

d. Hb < 7 gr% : Anemia berat.

2.5. TATALAKSANA
Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi per os. Biasanya diberikan garam
besi sebanyak 600 – 1000 mg sehari, seperti sulfas-ferrosus atau glukonas ferrosus. Hb
dapat dinaikan sampai 10 g/dl atau lebih asal masih ada cukup waktu sampai janin lahir.
Peranan vitamin C dalam pengobatan mempunyai khasiat untuk mengubah ion ferri
menjadi ion ferro yang lebih mudah diserap oleh selaput usus.
Terapi parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan obat besi per
os, ada gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan, atau apabila kehamilannya
sudah tua. Besi parenteral diberikan dalam bentuk ferri. Secara intamuskulus dapat
disuntikan dekstran besi atau sorbitol besi. Hasilnya lebih cepat dicapai, hanya penderita
merasa nyeri di tempat suntikan.
Terapi besi secara intravena perlahan – lahan dapat diberikan, seperti ferrum
oksidum sakkaratum, sodium diferat, dan dekstrat besi. Akhir-akhir ini Imferon banyak
pula diberikan dengan infuse dalam dosis total antara 1000 – 2000 mg dengan unsur besi
sekaligus, dengan hasil yang sangat memuaskan. Walaupun pemberian terapi besi

7
melalui intravena dengan infus kadang – kadang menimbulkan efek samping, namun
apabila ada indikasi yang tepat, cara ini dapat dipertanggungjawabkan. 8
Terapi intravena yang biasa digunakan adalah venofer. Venofer adalah komplek
besi polinuklir berwarna coklat, steril berair hidroksida dalam sukrosa untuk penggunaan
intravena. Injeksi sukrosa besi memiliki berat molekul sekitar 34.000- 60.000 dalton.

Farmakodinamik :
Iron Sucrose, Bahan aktif dari Venofer tersusun dari besi polinuklear-inti hidroksida
yang dikelilingi oleh sejumlah besar molekul sukrosa yang terikat secara non kovalen.
Kompleks ini memiliki berat molekul rata-rata 43 kDa. Inti besi polinuklear memiliki
struktur yang mirip dengan inti dari feritin, yang dirancang untuk menyediakan zat besi
yang dapat digunakan untuk transportasi zat besi dan simpanan protein dalam tubuh
(transferrin dan feritin).
Setelah pemberian intravena, inti besi polinuclear diambil sebagian besar oleh sistem
retikuloendotel di hati, limpa dan sumsum tulang. Langkah kedua, besi digunakan untuk
sintesis Hb, mioglobin dan enzim yang mengandung zat besi lainnya, atau disimpan
terutama di hati dalam bentuk feritin.
Farmakokinetik :
Distribusi setelah pemberian melalui intravena dengan dosis tunggal 100 mg dari Iron
sucrose pada sukarelawan sehat, konsentrasi besi serum dicapai 10 menit setelah injeksi dan
memiliki konsentrasi rata-rata 538 molL
Biotransformasi : setelah pemberian IV, sukrosa sebagian besar terdisosiasi dan inti besi
polinuklear diambil oleh retikulumendotelial hati, limpa, dan sumsum tulang
Eliminasi : besi sukrosa dengan berat molekul 43 kDa, dapat dieliminasi melalui ginjal.
Eliminasi teradi 4 jam pertama setelah pemberian IV dosis 100 mg.
Indikasi Venofer :
A. Anemia defisiensi besi dengan CKD :
1. Anemia defisiensi besi dikonfirmasi dengan :
a. Saturasi transferin  30 %
b. Serum feritin  500 ng/mL bila menerima erythropoiesis-stimulating
agent
2. Jika CKD tidak memerlukan hemodialisis atau dialisis peritoneal, terapi besi
oral tidak optimal karena :
8
a. Saturasi transferin < 12%
b. Hb < 7 g/dL
c. Gejala anemia
d. Kehilangan darah berat atau yang sedang terjadi
e. Intoleransi pada pemberian besi secara oral
f. Tidak dapat mencapai target terapi dengan pemberian oral
B. Anemia Defisiensi Besi tanpa CKD
1. Diagnosis anemia defisiensi besi yang dikonfirmasi oleh:
a. Serum feritin < 15 ng/mL atau < 30 ng/mL pada wanita hamil
b. Serum feritin  41 ng/mL dan Hb < 12 g/dL (wanita)/ < 13 g/dL (Pria)
c. Saturasintransferin < 20 %
d. Meningkatnya kadar eritrosit protophyrin
2. Oral terapi tidak optimal karena salah satu dari berikut :
a. Saturasu transferin < 12 %
b. Hb < 7 g/dL
c. Gejala anemia
d. Kehilangan darah berat atau yang sedang terjadi
e. Intoleransi pada pemberian besi secara oral
f. Tidak dapat mencapai target terapi dengan pemberian oral

9
Cara Pemberian :
Intravena drip  venofer harus dilarutkan dalam NaCl 0,9 % m/V, pengenceran harus
dilakukan segera sebelum diberikan dan larutan harus diberikan sebagai berikut :

2.6. DEFINISI ANEMIA MEGALOBLASTIK ( ANEMIA APLASTIK )

Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat merupakan penyebab kedua


terbanyak setelah anemia defisiensi besi. Anemia megaloblastik adalah kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis DNA dan ditandai dengan adanya sel-sel
megaloblastik dalam sumsum tulang.Sel megaloblas adalah sel precursor eritrosit dengan
bentuk sel yang besar disertai adanya kejadian dimana maturasi sitoplasma normal tetapi
inti besar dengan susunan kromosom yang longgar. 2

10
Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 selama
kehamilan sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B12
karena tidak adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat
jarang pada wanita dengan kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih
mungkin dijumpai pada mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa
lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus
halus. 3,5

2.7. ETIOLOGI

Penyebab anemia megaloblastik adalah sebagai berikut : 3,5,11

1. Defisiensi vitamin B12.


2. Defisiensi asam folat
3. Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat
4. Gangguan sintesis DNA akibat dari :
a. Defisiensi enzim congenital
b. Didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu.

2.8. PATOFISIOLOGI
Timbulnya megaloblas adalah akibat gangguan maturasi sel karena terjadi
gangguan sintesis DNA sel-sel eritroblast akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12,
dimana vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan
secara khusus untuk vitamin B12 penting dalam pembentukan mielin. Akibat gangguan
sintesis DNA pada inti eritoblas ini, maka meturasi ini lebih lambat sehingga kromatin
lebih longgar dan sel menjadi lebih besar Karena pembelahan sel yang lambat. Sel
eritoblast dengan ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar di
sebut sebagai sel megaloblast. sel megaloblast ini fungsinya tidak normal,dihancurkan
saat masih dalam sumsum tulang sehhingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup
eritrosit lebih pendek yang berujung pada terjadinya anemia. 5,11

2.9. KLASIFIKASI
Menurut penyebabnya anemia megaloblastik di bagi beberapa jenis yaitu : 5,6

1. Anemia megaloblastik karena defisiensi Vitamin B12


a. Penderita yang tidak makan daging hewan atau ikan,telur serta susu yang
mengandung vitamin B12.

11
b. Adanya malabsorpsi akibat kelainan berikut ini,
• Kelainan lambung (anemia pernisiosa, kelainan congenital,factor
intrinsic, serta gastrektomi total atau parsial)
• Kelainan usus (intestinal loop syndrome, tropical sprue dan post
reseksi ileum)
2. Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat
a. disebabkan oleh makanan yang kurang gizi asam folat
b. Malabsorpsi asam folat karena penyakit usus
c. Kebutuhan yang meningkat akibat keadaan fisiologis (hamil,laktasi
prematuritas) dan keadaan patologis (anemia hemolitik, keganasan serta
penyakit kolagen).
d. Ekskresi asam folat yang berlebihan lewat usus biasanya terjadi pada
penyakit hati yang aktif atau kegagalan faal jantung.
e. Obat-obatan antikonvulsan dan sitostatik tertentu.
3. Anemia megaloblastik karena kombinasi defisiensi vitamin B12 dan asam folat
Merupakan anemia megaloblastik akibat defisiensi enzim congenital atau pada
eritroleukemia.
2.10. GEJALA KLINIS
1. Anemia karena eritropoesis yang inefektif
2. Ikterus ringan akibat pemecahan hemoglobin meninggi karena usia eritrosit memendek
3. Glositis (lidah bengkak, merah), stomatitis, angularis, gejala-gejala syndrom
malabsorbsi ringan.
4. Purpura trombositopenik karena maturasi megakariosit terganggu
5. Neuropati pada defisiensi vitamin B12. pada penderita dengan defisiensi vitamin B12
yang berat dapat terjadi kelainan saraf sensorik pada kolumna posterior dan neuropati
bersifat simetris, terutama mengenai kedua kaki. Penderita mengalami kesulitan
berjalan dan mudah jatuh. 5,6
2.11. TATALAKSANA

Untuk mencegah kekambuhan anemia,terapi vitamin B12 harus diteruskan selama


hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat
dikoreksi.
Terapi pengobatan yang biasa digunakan adalah sebagai berikut : 3,5,6

12
1. Terapi suportif
Transfusi bila ada hipoksia dan suspensi trombosit bila trombosotopenia mengancam
jiwa.
2. Terapi untuk defisiensi vitamin B12
Terapi yang biasa digunakan untuk mengatasi terapi defisiensi vitamin B12 adalah
sebagai berikut:
a. Diberikan vitamin B12 100-1000 Ug intramuskular sehari selama dua
minggu,selanjutnya 100-1000 Ug IM setia bulan. Bila ada kelainan
neurologist,terlebih dahulu diberikan setiap dua minggu selama enam bulan,baru
kemudian diberikan sebulan sekali. Bila penderita sensitive terhadap pemberian
suntikan dapat diberikan seara oral 1000 Ug sekali sehari,asal tidak terdapat gangguan
absopsi.
b. Transfusi darah sebaiknya di hindari,kecuali bila ada dugaan kegagaln faal jantung,
hipotensi postural,renjatan atau infeksi berat. Bila diperlukan transfuse darah
sebaiknya diberi eritrosit yang di endapkan.
3. Terapi untuk defisiensi asam folat
Diberikan asam folat 1-5 mg/hari per oral selama empat bulan, tanpa gangguan
absorpsi.
4. Terapi penyakit dasar
Menghentikan obat-obatan penyebab anemia megaloblastik.

2.12. DEFINISI ANEMIA APLASTIK


Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan
komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum
tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita
mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit. 1,2

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai
dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia aplastik terjadi
penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan
retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah
anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan
pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain

13
hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia
hipoplastik dan anemia paralitik toksik.

2.13. ETIOLOGI
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan
tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak
diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit
lain.
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi
hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan
mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik
lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan
kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya.9

2.14. DIAGNOSIS
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala
objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan
objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi
dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti
anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang.
Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah penting sebab semakin dini penyakit ini
didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau parsial semakin besar

2.14. GEJALA KLINIS

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang
timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe
d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal
maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di
kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal

14
dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun
demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi dengan pendarahan, lemah badan dan
pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.

2.15. TATALAKSANA

Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia


dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien. Terapi pada pasien hamil
dengan anemia tipe ini adalah dengan terminasi kehamilan elektif, terapi suportif,
6,7,9
imunosupresi atau transplantasi sum-sum tulang setelah persalinan. a. Terapi
Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor.
Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau
saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG
diindikasikan pada :

- Anemia aplastik bukan berat


- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan
tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3

15
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Karena merupakan produk biologis,
pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan
bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya
dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.

2.16. DEFINISI ANEMIA HEMOLITIK ( PENYAKIT SEL SABIT)


Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung
lebih cepat dari pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik sukar menjadi hamil,
apabila ia hamil, maka anemianya biasanya menjadi lebih berat. Sebaliknya mungkin
pula bahwa kehamilan menyebabkan krisis hemolitik pada wanita yang sebelumnya
tidak menderita anemia. 2,3

Frekuensi anemia hemolitik dalam kehamilan tidak tinggi. Terbanyak anemia ini
ditemukan pada wanita negro yang menderita anemia sel sabit, anemia sel
sabithemoglobin C, sel sabit-thalassemia, atau penyakit hemoglobin C. Di Indonesia
terdapat juga penyakit thalassemia. 4

2.17. KLASIFIKASI
Secara umum anemia hemolitik dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yakni : 2,4

• Golongan yang disebabkan oleh faktor intrakorpuskuler, seperti pada


sferositosis, eliptositosis, anemia hemolitik herediter, thalassemia, anemia sel
sabit, hemoglobinopatia C, D, G, H, I, dan paroxysmal nocturnal
haemoglobinuria.
• Golongan yang disebabkan oleh faktor ekstrakorpuskuler, seperti pada infeksi,
keracunan arsenikum, neoarsphenamin, timah, sulfonamide, kinin, paraquin,
pimaquin, nitrofurantoin, racun ular, pada defisiensi G-6-PD, antagonismus,
rhesus atau ABO, leukemia, penyakit Hodgkin, limfosarkoma, penyakit hati, dan
lain – lain.

16
2.18. GEJALA KLINIS
Gejala – gejala yang lazim dijumpai ialah gejala – gejala proses hemolitik, seperti
anemia, hemoglobinemia, hemoglobinuria, hiperbilirubinemia, hiperurobilinuria, dan
sterkobilin lebih banyak dalam faeses. Disamping itu terdapat pula sebagai tanda
regenerasi darah seperti retikulositosis dan normoblastemia, serta hyperplasia
erithropoesis dalam sumsum tulang. Pada hemolisis yang berlangsung alam dijumpai
pembesaran limpa (splenomegali) karena limpa membersihkan sel-sel yang mati hingga
menimbulkan krisis akut dan anemia hemolitik yang herediter kadang – kadang disertai
kelainan pada tengkorak dan tulang – tulang lain. 2,3,6

Sumsum tulang menunjukan gambaran normoblastik dengan hyperplasia yang


nyata, terutama sistem eritropoetik. Perbandingan mieloit : eritoit yang biasanya 3:1 atau
2:1 dalam kehamilan berubah menjadi 1:1 atau 1:2.

2.19.TATALAKSANA
Pengobatan anemia hemolitik dalam kehamilan tergantung pada jenis dan
beratnya. Obat – obat penambah darah tidak memberi hasil. Tranfusi darah, yang kadang
– kadang diulang beberapa kali, diperlukan pada anemia berat untuk meringankan
penderitaan ibu dan untuk mengurangi bahaya hipoksia janin.
Splenektomi dianjurkan pada anemia hemolitik-bawaan dalam trimester II atau III. Pada
anemia hemolitik yang diperoleh harus dicari penyebabnya. Sebab – sebab itu harus
disingkirkan, misalnya pemberian obat – obat yang dapat menyebabkan kelumpuhan
sumsum tulang harus segera dihentikan. 10

KELAINAN HEMORAGIK DALAM KEHAMILAN


 Kelainan Bawaan
A. Penyakit von willbrand
Penyakit von willbrand adalah kelainan perdarahan bawaan yang paling sering
ditemui dengan prevalensi antara 1-3 % dalam populasi. Mayoritas vWD diwariskan
secara autosomal dominan, sehingga implikasinya pada perempuan dalam masa
reproduksi sangat bermakna. Kelainan ini dibagi menjadi tipe 1,2 dan 3 berdasarkan
mekanisme patofisiologik spesifikyang terlibat. Dalam consensus yang dibuat oleh the
internasional society on thrombosis and haemostasis, terdapat revisi yang membagi
tipe 2 menjadi empat subtype lagi berdasarkan hasil laboratorium dan data klinik.
17
Mayoritas VWD adalah tipe 1 (70-80%) yang hanya menyebabkan perdarahan
ringan,0 % berikutnya adalah tipe 2 dan 10 % sisanya tipe 3.
Manifestasi klinis klasik VWD adalah perdarahan mukokutan, yang mungkin tidak
terdeteksi sampai penderita terpapar oleh stress akibat cedera, pembedahan, atau
pemberian obat antitrombus.

B. Hemofilia
Hemophilia A ( defisiensi faktor VIII) dan hemophilia B (defisiensi faktor IX)
diwariskan secara X-Linked recessive. Perempuan dari keluarga penderita hemophilia
umumnya adalah pembawa ( carrier) Yang asimtomatik. Namun,10-20 % perempuan
pembawa dapqt berisiko terhadap komplikasi perdarahan yang bermakna karena
penurunan faktor VIII atau IX dibawah jumlah minimal untuk mempertahankan
keseimbangan hemostatic.
Terdapat dua keadaan yang dapat disebabkan rendahnya kadar faktor VIII
dalam kehamilan. Yang pertama adalah vWD tipe 2N ( Normandy), yang terdiri atas
mutase missense tertentu yang menginaktivasi tempat peningkatan faktor VIII pada
faktor von willbrand. Fungsi thrombosis dan pola multimer normal, tetapi
terbandingan F VIII : C rendah, kurang dari 10 % yang menyebabkan pasien
menyerupai penderita hemophilia ringan. Yang kedua sindrom turner ( disgenesia
gonadal) yaitu kariotipe 45, X tampak pada 50 % kasus, akan menyebabkan
infertilitas. Sekitar 25 % dari individu penderita mungkin mempunyai mosaicism 45
xx/45 ,X dan 25% lainnya 46 , DD dengan struktur kromosom x yang abnormal.
Sejumlah kecil penderita mungkin mempunyai cukup folikel-folikel untuk hamil dan
jika mereka merupakan anggota keluarga dengan hemophilia A, mreka dapat
mengalami defisiensi faktor yang berat.

C. Defisiensi Faktor XI

Defisiensi Faktor XI merupakan kelainan genetic yang banyak dijumpai pada


populasi yahudi Ashkenazi, dengan frekuensi heterozigot sekitar 8 %. Pola
pewarisannya adalah autosomal. Individu homozigot akan mengalami defisiensi berat,
sedangkan individu heterozigot akan mengalami defisiensi parsial. Kadar faktor XI
plasma normal adalah 70-150 IU /dl. Individu homozigot umumnya mempunyai
faktor XI kurang dari 15 IU / dl, sedangkan heterezigot antara 15-70 IU/dl.

18
 Kelainan didapat
 Trombositopenia
 Trombositofenia gestasional
 ITP ( purpura trombositopenik imun)
 Trombositopenia aloimun
 Sindrom HELLP
 Kelainan koagulasi herediter dan DIC ( disseminated intravascular coagulation)
 Trombofilia dalam kehamilan
 Tromboemboli vena dalam kehamilan

2.20. PENGARUH ANEMIA PADA KEHAMILAN DAN JANIN


1. Pengaruh anemia terhadap kehamilan 12
a. bahaya selama kehamilan
• Risiko abortus
• Persalinan premature
• Hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim
• Mudah terjadi infeksi
• Ancaman dekompesasi kordia (Hb < 6 gr% )
• Mola hidatidosa
• Hiperemesis gravidarum
• Perdarahan antepartum
• Ketuban pecah dini (KPD)
b. Bahaya saat persalinan 12

• Gangguan his ( kekuatan mengejan)


• Kala I dan kala II berlangsung lama
• Kala III berisiko untuk terjadi retensio plasenta dan perdarahan
postpartum karena atonia uteri
• Kala IV dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri
c. Pada waktu nifas 12

• Terjadi subinvolusi uteri menimbulkan perdarahan postpartum


• Risiko infeksi puerperium
• Produksi ASI berkurang
• Dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan
• Anemia saat nifas
• Mastitis

19
2. Bahaya terhadap janin 12

• Abortus
• Intrauterine fetal death (IUFD)
• Persalinan premature
• Berat badan lahir rendah
• Kelahiran dengan anemia
• Dapat terjadi cacat bawaan

• Sistem imun tubuh bayi yang rendah  mudah terinfeksi Tahap


intelligensi rendah

2.21. DIAGNOSA ANEMIA


Diagnosa anemia dalam kehamilan dapat di tegakkan dengan :
a. Anamnesis 12
Pada anemnesis akan didapatkan keluhan lelah, sering pusing, mata berkunang -
kunang dan keluhan mual, muntah lebih berat pada hamil muda. Bila terdapat keluhan
lemah, Nampak pucat, mudah pingsan,sementara masih dalam batas normal, maka perlu
dicurigai anemia defesiensi zat besi.
b. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah Hb dan darah tepi akan memberikan kesan pertama.
Pemeriksaan Hb dengan Spektofotometri merupakan standar, kesulitan adalah alat ini
hanya tersedia di kota. Di Indonesia penyakit kronik seperti : malaria dan tuberculosis
(TBC) masih relatif sering dijumpai sehingga pemeriksaan khusus darah tepi dan sputum
perlu dilakukan. Dengan pemeriksaan khusus untuk membedakan dengan defisiensi
asam folat dan thalassemia. Pemeriksaan Mean Corpuscular Volume (MCV) penting
untuk menyingkirkan thalassemia. Bila terdapat batas MCV < 80 uL dan kadar RDW (red
cell distribution width) > 14% mencurigai akan penyakit ini kadar Hemoglobin Fetal
(HbF) >2% dan HbA2 yang abnormal akan menentukan jenis thalassemia. 10,11,12

2.22. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN ANEMIA


a. Pencegahan Anemia 12
Untuk menghindari terjadinya anemia sebaiknya ibu hamil melakukan pemeriksaan
sebelum hamil sehingga dapat di ketahui data dasar kesehatan ibu tersebut, dalam

20
pemeriksaan kesehatan di sertai pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan tinja
sehingga di ketahui adanya infeksi parasit.
b. Penanganan pada Anemia sebagai berikut : 4
1. Anemia Ringan
Pada kehamilan dengan kadar Hb 9-10 gr% masih di anggap ringan sehingga hanya
perlu di perlukan kombinasi 60 mg/hari zat besi dan 500 mg asam folat peroral
sekali sehari.
2. Anemia Sedang
Pengobatan dapat di mulai dengan preparat besi feros 600-1000 mg/hari seperti sulfat
ferosus atau glukonas ferosus.
3. Anemia Berat
Pemberian preparat besi 60 mg dan asam folat 400 mg, 6 bulan selama hamil,
dilanjutkan sampai 3 bulan setelah melahirkan.

2.23. TRANSFUSI DARAH


Transfusi darah adalah memasukkan sel darah merah (darah segar, pack red cell)
ke dalam tubuh melaui vena. Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam tubuh
seseorang adalah sel darah merah,trombosit, plasma, sel darah putih. Transfusi darah
adalah suatu pengobatan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah
yang hilang atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi. Tentu saja transfusi darah
hanya merupakan pengobatan simptomatik karena darah atau komponen darah yang
ditransfusikan hanya dapat mengisi kebutuhan tubuh tersebut untuk jangka waktu tertentu
tergantung pada umur fisiologi komponen yang ditransfusikan; walaupun umur eritrosit
adalah 120 hari namun bila ditransfusikan pada orang lain maka kemampuan transfusi
tadi mempertahankan kadar hemoglobin dalam tubuh resipien hanya rata-rata satu
bulan.Hal-hal mengenai transfusi darah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 7Tahun 2011 Tentang Pelayanan Darah. 13
Pasien-pasien di bidang obstetri dan ginekologi banyak yang berpotensi
memerlukan transfuse darah. Seksio cesaria (SC) dan histerektomi adalah dua tindakan
bedah yang sering dan berpotensi terjadi perdarahan sehingga memerlukan transfusi
darah. Kondisi lainnya adalah perdarahan post partum, placenta previa dan ruptur
kehamilan ektopik. Perdarahan di bidang obstetri masih merupakan penyebab kematian
ibu yang tinggi di Indonesia.

21
Salah satu pemeriksaan laboratorium rutin untuk setiap wanita hamil saat
kunjungan pertama prenatal care adalah pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus
serta skrining antibodi untuk mendeteksi antibodi yang berpotensi menyebabkan
hemolytic disease of the newborn (HDN). 14

2.24. Indikasi transfusi darah 14

Anemia pada kehamilan didefinisikan dengan kadar hemoglobin (Hb) kurang dari
11 g/dL pada trimester I dan III serta 10,5 g/dL pada trimester II. Diagnosis dan terapi
yang efektif terhadap anemia kronik pada kehamilan merupakan tindakan yang penting
untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah. Keputusan untuk transfusi darah tidak
boleh hanya berdasar kadar Hb saja, tetapi juga berdasar indikasi klinis pasien.
Perdarahan yang terjadi pada persalinan normal atau SC sebenarnya tidak memerlukan
transfusi darah jika kadar Hb ibu sebelum persalinan > 10g/dl. Sebaliknya transfusi darah
hampir selalu diindikasikan jika Hb < 7g/dl.

Uji yang Dilakukan Sebelum Transfusi Darah


Sebelum melakukan transfusi darah perlu dilakukan beberapa uji untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan. Uji tersebut meliputi : 14
1. Pemeriksaan golong darah
2. Reaksi silang
Tujuan pelaksanaan uji reaksi silang adalah sebagai berikut
• Memastikan di dalam serum resipien atau plasma donor tidak terdapat
antibody yang reaktif terhadap eritrosit donor atau resipien.
• Menghindari reaksi transfusi hemolitik.
• Memastikan efektivitas transfusi.
Medium reaksi pada reaksi silang meliputi : salin (NaCL 0,85%), albumin
(bovine albumin), dan Coomb’s (anti-human globulin). Ada dua jenis reaksi
silang, yaitu:
• Reaksi silang mayor
Mendeteksi adanya antibody di dalam serum donor yang dapat merusak
eritrosit resipien yang akan ditransfusikan
• Reaksi silang minor

22
Mendeteksi adanya antibodi di dalam plasma donor yang dapat merusak
eritrosit resipien yang akan ditransfusikan.

Transfusi boleh dilakukan bila hasil reaksi mayor dan minor negatif.
Jenis Transfusi Darah
Ada beberapa jenis transfusi yang diberikan, yaitu: 14
1. Darah utuh (whole blood/WB)

Ada beberapa jenis WB, yaitu:


• Sangat segar (< 6 jam) mengandung eritrosit, trombosit, dan semua faktor
pembekuan darah, termasuk faktor labil (FV).
• Segar (6-24 jam) mengandung eritrosit, trombosit dan semua faktor
pembekuan, kecuali faktor labil (FV).
• Simpan (24 jam-batal simpan) mengandung eritrosit, albumin, dan faktor
pembekuan darah, kecuali faktor V dan VIII. Indikasi WB untuk hipovolemia
ISI  Hematokrit 35-45%
 Tidak ada trombosit dan faktor koagulasi
labil (V dan VIII) yang fungsional

Penyimpanan  Disimpan pada suhu 2-6°C di blood bank


refrigerator
 Masa simpan 28 hari
 Darah harus sudah ditransfusikan kepada
pasien dalam 30 menit setelah darah keluar
dari blood bank refrigerator

Indikasi  Penggantian sel darah merah pada


perdarahan akut disertai hipovolumia
 Transfusi tukar
 Pasien yang membutuhkan penggantian sel
darah merah tetapi komponen PRC tidak
tersedia.

Kontraindikasi  Anemia kronis


 Pasien gagal jantung

23
Cara transfusi  Golongan darah ABO dan Rh antara
pasien dan donor harus
 kompatibel/cocok
 Tidak boleh menambahkan obat dalam
kantong darah
 Transfusi 1 unit WB diselesaikan maksimal
dalam 4 jam

Catatan :

fresh whole blood (FWB) adalah darah lengkap dengan masa simpan ≤36 jam.
3
Dalam masa simpan tersebut komponen darah selain sel darah merah seperti trombosit
dan faktor koagulasi diharapkan masih viable dan bermanfaat bagi pasien.
Tidak setiap kabupaten/kota di Indonesia memiliki Unit Transfusi Darah (UTD)
yang dikelola PMI atau RSUD dan tidak setiap UTD mampu memproses pemisahan
komponen darah. Pada kondisi seperti ini, kebutuhan transfusi darah hanya dapat
dipenuhi dengan WB. Monitor ketat transfusi perlu dilakukan untuk menghindari
kemungkinan overload cairan.
2. Darah endap (Packed Red Cell-PRC)
Darah endap /PRC diperoleh dari WB yang disentrifuse, kemudian diendapkan,
setelah itu plasma dipisahkan. Indikasi untuk anemia kronis.
Isi  Hematokrit 55-75%
Penyimpanan  Disimpan pada suhu 2-6°C di
blood bank refrigerator
 Masa simpan 28 hari
 Darah harus sudah ditransfusikan
kepada pasien dalam 30 menit
 setelah darah keluar dari blood
bank refrigerator

Indikasi  Penggantian sel darah merah pada


pasien anemia: -Hb<7 g/dL

24
 Hb <10 g/dL dengan gejala
anemia dan atau tanda vital tidak
stabil

Cara transfusi  Golongan darah ABO dan Rh


antara pasien dan donor harus
kompatibel/cocok
 Tidak boleh menambahkan obat
dalam kantong darah
 Transfusi 1 unit PRC diselesaikan
maksimal dalam 4 jam
 Untuk memperlancar aliran
transfusi, dapat ditambahkan
normal saline (50-100 mL)
menggunakan set infuse Y-
pattern

Tujuan transfusi PRC adalah penggantian kapasitas angkut oksigen oleh sel
darah merah. Dosis awal biasanya 2-4 unit.7 Transfusi 1 unit PRC diharapkan
menaikkan kadar hematokrit sekitar 3%.

Washed Red Cell (WRC), indikasi untuk pasien yang mengalami reaksi alergi
terhadap protein plasma.
3. Trombosit konsentrat
Indikasi untuk perdarahan trombositopenia dan trombositopatia, dosis 1 unit/kg
berat badan.
Isi 3,9 – 4,3 x 109 trombosit
Penyimpanan  Disimpan pada suhu 20-24°C di platelet agitator
 Masa simpan 5 hari
 Penyimpanan lebih lama meningkatkan risiko
kontaminasi bakteri

Indikasi Trombositopenia:
1. Jumlah trombosit <15.000/mmk
2. Jumlah trombosit <50.000/mmk dengan
perdarahan atau pembedahan
3. Jumlah trombosit <100.000/mmk dengan perdarahan
masif atau p Gangguan/kelainan kualitas trombosit
erdarahan terus-menerus.

25
Kontraindikasi Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)
Thrombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP)
Untreated Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC)
Hipersplenisme

Catatan :
- 1 unit TC diharapkan menaikkan jumlah trombosit sekitar 3000-5000/mmk sehingga
transfusi 6 unit TC diharapkan menaikkan jumlah trombosit 18.000-30.000/mmk.
- Kenaikan jumlah trombosit kurang tercapai jika terdapat splenomegali, DIC, atau
septicemia pada pasien.
- Keberhasilan transfusi trombosit dapat dievaluasi dengan menilai corrected platelet
count increment (CCI)
4. Fresh frozen plasma ( FFP)
Indikasi untuk perdarahan defisiensi faktor pembekuan, PT dan APTT yang
kurang dari 1,5 kali normal, serta koreksi perdarahan akibat overdosis warfarin.
a) PT dan APTT >1,5 kali nilai kontrol
b) Overdosis obat antikoagulan
c) Diketahui menderita defisiensi faktor koagulasi dengan perdarahan
d) PT>16 detik atau INR>1,8 dengan perdarahan atau untuk mengantisipasi
tindakan invasif.
e) DIC
f) TTP
g) Transfusi masif >10 unit PRC
h) >1500 ml cell saver blood reinfused
i) PT>35 detik dengan perdarahan atau untuk mengantisipasi tindakan invasif.

Fresh Frozen Plasma berisi semua faktor pembekuan, AT III, protein C dan S,
albumin serta imunoglobulin. Dosis awal biasanya 2-6 unit.7 Kadar faktor koagulasi labil
akan menurun dengan cepat sehingga harus ditransfusikan dalam 6 jam setelah dicairkan.
Plasma golongan A dapat diberikan pada pasien golongan A atau O; plasma golongan B
dapat diberikan pada pasien golongan B atau O; plasma golongan O hanya dapat
diberikan pada pasien golongan O; dan plasma golongan AB dapat diberikan pada semua
pasien. Reaksi transfusi yang sering terjadi pada transfusi FFP berupa reaksi alergi akut
sampai anafilaksis terutama dengan kecepatan infus cepat.

26
5. Cyro precipitate
Indikasi untuk perdarahan akibat hemofilian, penyakit Von Wilebrand dan
Afibrinogemia (defisiensi fibrinogen).
Indikasi:
1. Isolated Factor VIII, Factor IX, Factor XIII deficiency or von Willebrand’s
disease
2. Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen <80-100 mg/dL) dan disfibrinogenemia
3. Pasien dengan surgical coagulopathy
4. Digunakan sebagai local factor coagulant selama pembedahan
Cryoprecipitate berisi kurang lebih setengah faktor VIII dan fibrinogen dari
kadarnya dalam darah lengkap, misal 56-75 IU/unit, fibrinogen 105-210 mg/unit. Dosis
awal biasanya 10-20 unit.7
Berdasar laporan pengeluaran darah UPTD RSUP DR Sardjito Januari - April 2010,
rata-rata penggunaan darah oleh Bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP DR. Sardjito
sebanyak 195 unit/bulan atau 8% dari total pengeluaran darah. Perbandingan penggunaan
WB dibanding komponen darah adalah 3:7. Komponen darah yang dipakai adalah PRC
(66%) dan TC (4%). Jumlah unit darah yang diminta ke UPTD dibanding jumlah darah
yang digunakan adalah 2:1 sehingga banyak unit darah yang tidak jadi terpakai. Data ini
menunjukkan bahwa penggunaan darah di Bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP DR.
Sardjito sudah cukup baik dengan indikasi penggunaan komponen darah sampai 70% tetapi
rencana penggunaan darah belum efektif. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dan
komunikasi yang baik antara klinisi pengguna darah dan penyedia darah (UPTD).

EFEK SAMPING/REAKSI TRANSFUSI

Transfusi darah mungkin merupakan sutu tindakan yang menyelamatkan hidup


tetapi bukan tanpa risiko. Sebelum dokter memutuskan transfusi darah bagi pasien, ia
harus harus selalu mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Risiko terbesar transfusi
darah adalah jika pasien ditransfusi dengan darah yang ‘salah’ (terbanyak disebabkan
clerical error). Oleh karena itu prosedur baku untuk mendapatkan sampel yang tepat,
crossmatch, skrining infeksi menular lewat transfusi darah dan pemberian transfusi harus
dilakukan secara ketat bahkan untuk kasus emergency.
Berikut ini adalah efek samping/reaksi dari transfusi darah, yaitu: 14

27
I. Komplikasi akut, yaitu reaksi transfusi yang terjadi selama dan segera setelah
transfusi (dalam 24 jam):
• Hipersensitif
• Febrile non hemolytic reaction
• Overload cairan
• Anafilaksis
• Hemolisis intravaskuler akut
• Kontaminasi bakteri dan syok septik
• TRALI (transfusion-associated acute lung injury)
• Komplikasi metabolik (hiperkalemia, toksisitas sitrat dan hipokalsemia)

II. Komplikasi lambat, yaitu reaksi transfusi dengan tanda dan gejala yang muncul ≥
5-10 hari setelah transfusi :
• Reaksi hemolitik lambat
• Post-transfusion purpura
• Graft versus host disease (GvHD)
• Overload besi khususnya pada transfusion-dependent patient
• Penularan infeksi menular lewat transfusi darah seperti HIV, HBV, HCV, sifilis,
malaria, CMV, atau lainnya (toxoplasmosis, Epstein-Barr virus, chagas disease,
brucellosis, human parvovirus B19, infectious mononucleosis, dan Lymes disease)

28
Alternatif Farmakologis Transfusi Darah 14
Bila pemberian transfusi darah menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan, maka
dapat dilakukan upaya alternatif farmakologis pemberian transfusi darah, di antaranya
pemberian:
1. Eritropoetin (epoetin alfa) merupakan penanganan alternatif yang efektif pada
klien anemia kronis akibat penyakit ginjal kronis. Efek utama obat ini adalah
merangsang eritropoesis. Obat ini dapat diberikan secara intravena atau subkutan.
2. DDAVP merupakan bentuk sintesis vasopresin L-arginin, yaitu suatu antidiuretik
yang dihasilkan secara alamiah oleh tubuh. Obat ini efektif untuk mengangani
kelainan perdarahan sehubungan dengan disfungsi trombosit atau
trombositopenia. Obat ini banyak dipakai pada klien dengan hemofilian A,
penyakit Von Willebrand, serta gagal ginjal akut dan kronis. Obat ini diberikan
secara intravena, subkutan, dan intranasal.

29
BAB III
KESIMPULAN
• Anemia dalam kehamilan adalah suatu kondisi ibu dengan kadar nilai hemoglobin
di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga, atau kadar nilai hemoglobin kurang
dari 10,5 gr% pada trimester dua (Centers for Disease Control, 1998).
• Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan
produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah
(eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi
yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi
penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb) akibat hemodilusi. 2
• Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk deteksi anemia adalah
pemeriksaan laboratorium darah yang meliputi Hb, indeks eritrosit, serum ferritin,
EDW, dan pemeriksaan sumsum tulang.
• Transfusi darah adalah memasukkan sel darah merah (darah segar, pack red cell)
ke dalam tubuh melaui vena. Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam
tubuh seseorang adalah sel darah merah,trombosit, plasma, sel darah putih
• Teori barunya yaitu pemberian preparat besi secara oral contohnya Ferrous
fumarate. Per hari dibutuhkan kurang lebih 200 mg.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Kenneth J.L., et all . Anemia in Williams Manual of Obstetrics, 21rd edition, Mc Graw
Hill, United States, 2003.
2. Abdulmuthalib, Kelainan Hematologik. Dalam : Winkjosastro H, Saifuddin A.B.,
Rachimhadhi T (editor). Ilmu kebidanan, edisi ke-4. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Praworiharjo, Jakarta; 2010. hal 775-94..
3. DeCherney A, Nathan L, Laufer N, Roman A. Hematologic Disorder in Pregnancy in
Current Diagnosis and Treatment Obstetrics & Gynecology, 10th edition, Mc Graw Hill ;
2008.
4. Hudono S.T., Penyakit darah. Dalam : Winkjosastro H, Saifuddin A.B.,
Rachimhadhi T (editor). Ilmu kebidanan, edisi ke-3. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Praworiharjo, Jakarta; 1994. hal 448-51.
5. Huch R, Breymann C. Anaemia in pregnancy and the puerperium. International
Medical Publishers Bremen; 2005
6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani W.I, Setiowulan W (Editor). Kapita
selekta kedokteran, edisi ke-3. Media Aesculapius FKUI,Jakarta; 1999. hal. 54950
7. Samuels P. hematological Complications of Pregnancy. Dalam : gabbe:
Obstetrics-Normal and problem Pregnancies, 4th ed. Churshill Livingstone;
Philadelphia: 2002. hal. 1179
8. Hercberg G, Galan P, Preziosi P, et al.Consequences of iron deficiency in pregnant
women. Clin Drug Invest 2000; 19 Suppl. 1:1-7.
9. Soemantri S, Ratna L, Budiarso, et al. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),
199 . Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 199 .p. 39- 40
10. Bernard J. Brabin, Mohammad Hakimi and David Pelletier, An Analysis of Anemia
and Pregnancy-Related Maternal Mortality, Journal of
Nutrition.2001;131:604S-615S
11. Corwin E.J. Anemia in Handbook of Pathophysiology, 3rd ed, Lippincott William
and Wilkins, USA ; 2008: pg 410-9.
12. Manuaba I.B.G. Ilmu Kebidanan,Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan, EGC : 1998; hal. 29-32.
13. Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah
http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/588.pdf

31
14. Sacher, Ronald A. Transfusion in Widmann’s Clinical Interpretation of Laboratory
Test.
11th ed, F.A Davis Company, Philadelphia:2000 ; pg 250-70.

32

Anda mungkin juga menyukai