Anda di halaman 1dari 13

FISIKA LINGKUNGAN

Topik : Lingkungan Tanah


Judul : Upaya Penanggulangan Daerah Rawan Longsor dengan Pendekatan Fisika

Bencana gerakan tanah terjadi pada daerah dengan tataguna lahan yang sedikit
vegetasinya,topografi lerengnya agak curam hingga curam, dan pada litologi batuan penyusun
berupa produk gunungapi tua tak teruraikan dengan curah hujan sedah hingga tinggi. (A)
Menurut Pulmmer (1982: 329) lapisan tanah berkembang dari bawah ke atas, tahapannya
merupakan lapisan lapisan sub horizontal yang merupakan derajat pelapukan. Setiap lapisan
mempunyai sifat fisik, kimia dan biologi yang berbeda. Lapisan tanah berbeda dengan lapisan
sedimen karena tanah berada tidak jauh dari tempat terjadinya, sedangkan sediment sudah
tertransportasi oleh angin, air atau gletser dan di endapkan kembali. Horizon-horizon
membentuk lapisan tanah.

Horizon paling atas adalah Horizon O merupakan lapisan akumulasi bahan organik di
permukaan yang menutupi tanah mineral. Bahan organik yang terkumpul merupakan sisa
tumbuhan dan binatang yang sudah terurai oleh bakteri dan proses kimia. Horizon A adalah
horizon di bawah horizon O, horizon A berwarna kehitam-hitaman atau abu-abu gelap karena
mengandung humus. Pada horizon A telah kehilangan sebagian unsur aslinya karena yang
berukuran lempung terbawa air ke bawah. Di bawah horizon A terdapat horizon B yang
berwarna kecoklatan atau kemerahmerahan. Pada horizon ini terjadi pengayaan lempung,
hidroksida besi dan alumunium. Horizon B mempunyai struktur yang menyebabkan pecah-
pecah menjadi blok-blok berbentuk prisma. Horizon terdalam berada di bawah horizon B
adalah horizon C. Horizon C terdiri dari batuan dasar dari berbagai tingkat pelapukan. Oksida
batuan dasar memberikan warna terang yaitu coklat kekuningkuningan. Tanah mempunyai
jenis yang berbeda, diantaranya adalah pedocal dan laterit. Pedocal berarti tanah yang kaya
akan calcium carbonate(calcite) yang dicirikan oleh akumulasi kalsium karbonat. Jenis tanah
ini terdapat di daerah kering dan panas, padang rumput dan semak-semak. Dalam tanah pedocal
tidak terjadi pelapukan kimia sehingga mineral lempung yang terkandung sedikit. Laterit
merupakan tanah yang terdapat di daerah equator dan tropis, berwarna merah bata.
Pembentukan tanah dimana curah hujan tinggi dan suhu rata-rata panas dicirikan oleh
pelapukan kimia yang eksterm. Daerah equator mengandung banyak lempung dan karena
perubahan cuaca tanah jenis ini akan mengembang saat hujan dan mengkerut saat panas
(Pulmmer 1982: 329).
Tekstur Tanah Batuan dan mineral yang mengalami pelapukan baik secara fisik maupun
kimia menghasilkan partikel dengan berbagai macam ukuran, yaitu batu, kerikil, pasir,
lempung, dan tanah liat. Yang tergolong material tanah adalah partikel yang mempunyai
diameter lebih kecil dari 2 mm, atau lebih kecil dari kerikil. Tekstur tanah merupakan
perbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah,
terutama perbandingan antara fraksi-fraksi liat, lempung dan pasir (Ristianto 2007: 16).
Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil dari tanah, akibat melekatnya butir-butir
tanah satu sama lain. Satu unit struktur tersebut disebut ped (terbentuk karena proses alami).
Dengan tersusunnya partikel-partikel atau fraksifraksi (liat, lempung,dan pasir) tanah primer,
terdapat ruang kosong atau pori-pori diantaranya. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi
pori-pori kasar dan poripori halus. Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang
mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler atau udara
(Ristianto 2007: 17). Geseran tanah yang sering terjadi adalah tanah longsor yang merupakan
proses perpindahan massa tanah secara alami dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih
rendah. Longsoran umumnya terjadi jika tanah sudah tidak mampu menahan berat lapisan
tanah di atasnya karena ada penambahan beban pada permukaan lereng dan berkurangnya daya
ikat antarbutiran tanah akibat tidak ada pohon keras (berakar tunggang). Faktor pemicu utama
kelongsoran tanah adalah air hujan. Tanah longsor banyak terjadi di perbukitan dengan ciri-
ciri: kecuraman lereng lebih dari 30 derajat, curah hujan tinggi, terdapat lapisan tebal (lebih
dari 2 meter) menumpang di atas tanah/batuan yang lebih keras, tanah lereng terbuka yang
dimanfaatkan sebagai permukiman, ladang, sawah atau kolam (Suseno 2007: 16). (C)
Suhu tanah merupakan suatu konsep yang berarti luas, karena dapat digunakan untuk
menggolongkan sifat-sifat panas dari suatu sistem. Selain itu, suhu tanah merupakan faktor
penting dalam menentukan proses-proses fisika yang terjadi didalam tanah., serta pertukaran
energi dan massa dengan atmosfer. (Sifat Fisik Tanah Dan Metode Analisisnya, Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan pengembangan pertanian,
Departemen Pertanian 2006)

Faktor Internal dan Eksternal yang Berpengaruh Terhadap Gerakan Tanah


1. Faktor Internal
a. Litologi
Litologi dapat tersusun oleh batuan atau soil yang merupakan hasil dari lapukan batuan
tersebut. Litologi merupakan faktor yang penting dalam terjadinya gerakan tanah. Litologi
dengan tingkat resistensi yang tinggi seperti batuan beku mempunyai kemungkinan yang kecil
untuk terjadi gerakan tanah. Sedangkan litologi dengan resistensi yang rendah seperti soil lebih
berpotensi untuk terjadi gerakan tanah. Proses erosi dan pelapukan juga sangat berperan dalam
mengontrol tingkat resistensi suatu litologi.
b. Struktur Geologi
Struktur geologi merupakan zona lemah pada suatu batuan atau litologi. Rekahan yang terjadi
mengurangi daya ikat batuan sehingga mengurangi tingkat resistensi batuan tersebut. Selain itu
rekahaan yang terbentuk juga menjadi jalan tempat masuknya air sehingga pelapukan dan erosi
berjalan dengan lebih intensif. Batuan yang terkena struktur cukup intensif mempunyai potensi
yang lebih besar untuk terjadinya gerakan tanah.
2. Faktor Eksternal
a. Kelerengan
Kelerengan merupakan tingkat kemiringan yang tercermin dalam morfologi. Semakin besar
tingkat kelerengan pada umumnya akan semakin menambah kemungkinan terjadinya gerakan
tanah pada suatu daerah. Hal ini juga berhubungan dengan adanya gaya gravitasi yang menarik
massa batuan dari atas ke bawah. Semakin tinggi tingkat kelerengan maka batuan akan semakin
mudah tertarik ke bawah sehingga mengakibatkan terjadinya gerakan tanah
b. Tata Guna Lahan dan Vegetasi
Tata guna lahan adalah hasil budaya yang dihasilkan oleh manusia. Beberapa diantaranya
adalah pemukiman, jalan, sawah dan sebagainya. Tataguna lahan juga berpengaruh terhadap
terjadinya gerakan tanah. Tataguna lahan dapat menambah beban yang harus ditanggung suatu
litologi. Apaila beban yang ditanggung lebih besar dari kekuatan litologi untuk menahan beban,
maka akan terjadi pergerakan.
Vegetasi adalah segala jenis tumbuhan yang ada di wilayah terebut. Contohnya adalah rumput
dan semak belukar. Vegetasi juga berpengaruh terhadap tingkat kestabilan lereng. Beberapa
vegetasi dapat meningkatkan kestabilan lereng karena akarnya dapat mengikat massa batuan
sehingga lebih kompak. Namun sebaliknya beberapa jenis vegetasi yang mempunyai akar yang
lemah justru dapat mengurangi tingkat kestabilan dari suatu lereng yang dapat berdampak pada
terjadinya gerakan tanah.
Ishihara (1982), menyusun hubungan antara nilai pergeseran tanah dengan kondisi lapisan
tanah permukaan. Semakin besar nilai pergeseran tanah akan menyebabkan lapisan tanah
mudah mengalami deformasi, seperti retakan tanah, liquefaksi dan longsoran. Sebaliknya,
semakin kecil pergeseran tanah menujukkkan lapisan batuan semakin kokoh dan sulit terjadi
deformasi. (D)

Karnawati (2005) menjelaskan penyebab terjadinya gerakan tanah dapat dipengaruhi oleh 2
(dua) faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol merupakan faktor-
faktor yang membuat kondisi suatu lereng atau tebing menjadi rentan dan siap bergerak,
meliputi: (1) kondisi geomorfologi, (2) kondisi stratigrafi (jenis batuan/tanah), (3) kondisi
struktur geologi, (4) kondisi hidrologi dan (5) kondisi tata guna lahan. Faktor pemicu
merupakan proses-proses yang mengubah suatu lereng dari kondisi rentan atau siap bergerak
menjadi kondisi kritis dan akhirnya bergerak, meliputi: (1) curah hujan, (2) getaran gempa
bumi, dan (3) aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan perubahan beban. Kedua faktor
tersebut saling berhubungan dan memberikan dampak besar terhadap terjadinya gerakan tanah.
Karnawati (2005) mendefinisikan gerakan tanah/batuan sebagai gerakan menuruni atau keluar
lereng oleh massa tanah atau batuan penyusun lereng, maupun percampuran keduanya sebagai
bahan rombakan, akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut.
Apabila gaya tekanan untuk menurunkan material ke bawah lebih besar dari gaya tekanan
untuk menahan pergerakan maka akan terjadi gerakan tanah, demikian juga sebaliknya. Jenis
gerakan tanah menurut Cruden dan Varnes (1992) dalam Hardiyatmo (2006) dibagi menjadi 5
macam berdasarkan karak-teristiknya yaitu jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran
(slides), sebaran (spreads) dan aliran (flow).
Lokasi-lokasi yang rawan longsor umumnya dipengaruhi oleh kondisi geometri lokasi, pola
drainase, dan kondisi geologi lokal atau kondisi tanah / batuan (Hardiyatmo, 2007). Berikut ini
akan diuraikan hal - hal yang berkaitan dengan faktor-faktor tersebut.
- Lereng di sisi jalan
Lereng bekas galian badan jalan merupakan lokasi yang rawan longsor. Kaki lereng di
sepanjang galian sangat mudah tergerus air sehingga menghilangkan dukungan tanah terhadap
longsoran.
- Lereng yang terjal
Menurut Karnawati (2005) lereng dengan kemiringan > 400 sangat rentan terhadap longsor.
Lereng terjal yang banyak batuan lepas sangat berbahaya, terutama bagi kendaraan yang
melintas di bawahnya.
- Buruknya sistem drainase
Tidak berfungsinya drainase dengan baik akan memicu aliran air kemana-mana. Air akan
berusaha mencari tempat yang lebih rendah dan sebagian akan berinfiltarsi kedalam tanah. Air
yang mengalir di dalam tanah dapat menjenuhkan dan melunakkan tanah timbunan dan tanah
pondasi jalan yang dapat berakibat rusaknya konstruksi. Demikian pula air permukaan (run off)
yang tidak mengalir dengan baik ke luar struktur timbunan, akan menjenuhkan tanah atau
merembes masuk ke dalam rekahan batuan yang akan mengurangi kestabilan lereng.
- Muka air tanah memotong lereng
Air tanah yang memotong lereng akan menimbulkan munculnya mata air pada daerah ini. Mata
air ini diakibatkan oleh terakumulasinya air yang berinfiltrasi ke dalam lereng yang akan
melunakkan tanah atau batuan pembentuk lereng. (E)

Tanah Longsor
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,
tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya
tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan
menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan
sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan
bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.
Ada 6 jenis tanah longsor (ESDM 2007), yakni :
1. Longsoran translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk
rata atau menggelombang landai.
2. Longsoran rotasi
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk
cekung.
3. Pergerakan blok
Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata.
Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
4. Runtuhan batu
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah
dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung
terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang
parah.
5. Rayapan tanah
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran
kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup
lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah
miring ke bawah.
6. Aliran bahan rombakan
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran
tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya
terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat
bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini
dapat menelan korban cukup banyak.
Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran
yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. Pada
prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada gaya
penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah.
Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis
tanah batuan. Sedangkan faktorfaktor penyebab tanah longsor adalah hujan, lereng terjal, tanah
yang kurang padat dan tebal, batuan yang tidak kompak, jenis penggunaan lahan, getaran,
penyusutan permukaan danau/waduk, beban tambahan, erosi, material timbunan pada tebing,
bekas longsoran lama, adanya bidang diskontinuitas dan penggundulan hutan (RAD PRB prov.
jateng 2008). (C)
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar daripada
gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan
tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta
berat jenis tanah batuan. Faktor-faktor penyebab tanah longsor antara lain : hujan, lereng terjal,
tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat, jenis tata lahan, getaran, susut
muka air danau atau bendungan, adanya beban tambahan, pengikisan/erosi, adanya material
timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak
sinambung), penggundulan hutan, daerah pembuangan sampah (ESDM 2007). (B)
Gaya- gaya Penyebab Longsor

Gaya - gaya Penahan


Gaya penahan utama gerakan longsor adalah tahanan geser material di sepanjang bidang
longsor. Tahanan geser di sepanjang bidang geser terkait dengan sudut gesek terdrainase
(drained friction angle) tanah pada bidang longsor.
Tahanan terhadap longsoran juga dapat tereduksi oleh naiknya tekanan air pada bidang longsor.
Kenaikan tekanan air ini mengurangi tahanan gesek, karena gaya normal pada bidang longsor
menjadi berkurang.
Prinsip Kestabilan Lereng
Penyebab terjadinya longsor pada lereng secara mekanik dapat dipahami dengan pendekatan
prinsip kestabilan lereng. Dengan prinsip ini akan diketahui gaya-gaya apa saja yang
mengontrol kestabilan suatu lereng. Kestabilan pada lereng ditentukan oleh gaya-gaya yang
berusaha melongsorkan (driving forces) tanah atau batuan dan gaya-gaya yang berusaha
mempertahankan (resisting forces) tanah atau batuan itu tetap pada posisinya. Besarnya kuat
geser tanah atau batuan dikontrol oleh kohesi (c) dan sudut gesek dalam antara partikel-partikel
penyusun tanah atau batuan (φ). Besarnya nilai kohesi tergantung pada kekuatan ikatan antara
atom-atom atau molekul-molekul penyusun partikel-partikel tanah atau batuan ataupun
tergantung pada kekuatan sementasi antar partikel-partikel tanah atau batuan. Sudut gesek
dalam merupakan nilai yang mengekspresikan kekuatan friksi antara partikel-partikel
penyusun tanah atau batuan.
Kestabilan suatu lereng yaitu perbandingan antara gaya-gaya penahan logsor dan gaya-gaya
penyebab longsoran, atau dapat dirumuskan sebagai berikut :
longsor penyebab Gaya longsor penahan Gaya FK
FK merupakan faktor keamanan (Factor of Safety) yang menggambarkan kondisi suatu lereng.
Lereng dalam kondisi stabil, jika FK > 1; lereng dalam kondisi kritis, jika FK = 1; lereng dalam
kondisi tidak stabil atau telah longsor, jika FK < 1.

Indeks Storie
Indeks Storie merukan salah satu metode semi kuantitatif untuk penilaian tanah yang awalnya
digunakan untuk mengklasifikasikan tanah guna keperluan tata guna lahan pertanian
berdasarkan produktivitas tanamannya (Storie, 1978; Reganold and Singer 1979). Namun pada
perkembangannya, indeks Storie dapat juga digunakan untuk menganalisa kerentanan gerakan
tanah (Sitorus, 1995 ; Arifin et al .,2006).
Analisis metode Storie ini mudah dilakukan: parameter-parameter yang ditetapkan untuk
dievaluasi yaitu :
A : Kedalaman tanah dan tekstur
B : Permeabilitas Tanah
C : Sifat kimia tanah
D : Drainase, limpasan permukaan
E : Iklim
Indeks dihitung dengan perkalian parameterparameter,
yaitu :
Indeks =A x B x C x D x E.............................(1)
Metode storie ini memiliki kelemahan yaitu jika salah satu parameter memiliki nilai nol, maka
hasil perkalian akan menjadi nol dan tanah dianggap memiliki keterbatasan fisik dan tidak
sesuai untuk keperluan lahan pertanian. Metode storie ini dalam perkembangannya telah
dilakukan revisi dengan menggunakan algoritma discrete dan fuzzy logic untuk mendapatkan
tingkatan yang lebih akurat dan mengurangi unsur subjektifitas dalam pemberian bobot.
(O’Green dan Southard, 2005)
Metode storie ini yang awal mulanya digunakan untuk pengklasifikasian jenis tanah untuk
pertanian juga telah digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan gerakan tanah (Sitorus,
1995; Arifin et al., 2006; Khori Sugianti et al., 2014) dengan modifikasi parameter pada Indeks
Storie sebagai berikut:
L = A x B/10 x C/10 x D/10 x................... (2)
Keterangan :
A : tataguna lahan
B : kemiringan lereng
C : jenis tanah
D : curah hujan
Akan tetapi pada penelitian ini, penulis menambah satu faktor lagi untuk menentukan tingkat
klasifikasi kerentanan lahan yaitu parameter kerapatan kelurusan sungai fault fracture density
(FFD) sehingga rumus nya menjadi :
L = A x B/10 x C/10 x D/10 x E/10........... (2)
Keterangan :
A : tataguna lahan
B : kemiringan lereng
C : jenis tanah
D : curah hujan
E : FFD
L : Kerentanan gerakan tanah
A. Tataguna lahan
Penggunaan lahan pada suatu wilayah akan mempengaruhi tingkat kerentanan gerakan tanah
disuatu wilayah. Wilayah tataguna lahan hutan yang memiliki vegetasi cukup banyak akan
memiliki tingkat erosi yang rendah dan kemungkinan pergerakan tanahnya lebih sedikit
dibanding daerah yang peka terhadap erosi seperti wilayah terbuka yang tidak memiliki
vegetasi.
B. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor yang berkaitan langsung dengan bahaya
pergerakan tanah. Daerah dengan topografi lereng yang curam akan memiliki potensi
pergerakan tanah yang lebih besar dibanding daerah yang topografi lerengnya landai. Hal ini
disebabkan karena perbandingan antara gaya penahan dan gaya pendorong pada lereng yang
curam relatif lebih kecil dibanding lereng yang lebih landai.
C. Curah hujan
Informasi data untuk parameter curah hujan didapatkan dari Peta Rata-Rata Curah Hujan
Tahunan Periode 1981-2010 di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat (BMKG). Pembobotan
didasarkan pada klasifikasi intensitas curah hujan (Puslit Tanah, 2004)
D. Jenis tanah
Data jenis tanah yang digunakan pada penelitian kali ini didapatkan dari Peta Jenis Tanah
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Garut Tahun 2011-2031 (Dinas Perumahan, Tata
Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Garut). Klasifikasi dan penentuan nilai bobot jenis tanah
dilakukan berdasarkan tingkat kepekaan erosi jenis tanah (Sobirin, 2013).
E. Kerapatan Struktur (FFD)
Metode Fault Fracture Density (FFD) adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
daerah panas bumi berdasarkan densitas kelurusan. Kelurusan disini diasumsikan sebagai
bidang lemah yang berasosiasi dengan fault atau fracture yang menjadi jalur pergerakan fluida
yang berasal dari reservoir yang muncul di permukaan sebagai manifestasi seperti mata air
panas atau fumarol.

Geolistrik adalah salah satu metode dalam geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik di
dalam bumi. Pendeteksian di atas permukaan meliputi pengukuran medan potensial, arus dan
elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah maupun akibat penginjeksian arus ke dalam
bumi. Dalam penelitian ini, pembahasan dikhususkan pada metode geolistrik tahanan jenis.
Pada metode geolistrik tahanan jenis, arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua
elektroda arus (terletak di luar konfigurasi). Beda potensial yang terjadi di ukur melalui dua
elektroda potensial yang berada di dalam konfigurasi. Dari hasil pengukuran arus dan beda
potensial untuk setiap jarak elektroda tertentu, dapat ditentukan variasi harga hambatan jenis
masing-masing lapisan di bawah titik ukur (Adhi 2007: 1).
Geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam
bumi dan bagaimana cara mendeteksinya di dalam maupun di permukaan bumi (Hendrajaya,
1990). Dalam pelaksanaan survey dikenal beberapa metode pengambilan data sesuai dengan
peletakan elektroda yang dilakukan, dimana elektroda-elektroda tersebut diinjeksikan kedalam
tanah lalu di aliri arus listrik. Sehingga di dalam penelitian akan di dapatkan nilai V dan I yang
nantinya akan digunakan untuk menghitung nilai resistivitas.

Umumnya, metode resistivitas ini hanya baik untuk eksplorasi dangkal, sekitar 100 m. Jika
kedalaman lapisan lebih dari harga tersebut, informasi yang diperoleh kurang akurat, hal ini
disebabkan karena melemahnya arus listrik untuk jarak bentang yang semakin besar. Karena
itu, metode ini jarang digunakan untuk eksplorasi dalam. Sebagai contoh eksplorasi minyak.
Metode resistivitas lebih banyak digunakan dalam bidang engineering geology (seperti
penentuan kedalaman batuan dasar), pencarian reservoir air, pendeteksian intrusi air laut, dan
pencarian ladang geothermal (Adhi 2007: 1).
Sifat Listrik Batuan
Menurut Telford et al. (1982: 445 - 447) aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara
elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik.
1. Konduksi secara elektronik
Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus
listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron bebas tersebut. Aliran listrik
ini juga dipengaruhi oleh sifat atau karakteristik masing-masing batuan yang dilewatinya. Salah
satu sifat atau karakteristik batuan tersebut adalah resistivitas (tahanan jenis). Resistivitas
adalah karakteristik bahan yang menunjukkan kemampuan bahan tersebut untuk
menghantarkan arus listrik. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka semakin sulit
bahan tersebut menghantarkan arus listrik. Begitu pula sebaliknya apabila nilai resistivitasnya
rendah maka akan semakin mudah bahan tersebut menghantarkan arus listrik. Resistivitas
mempunyai pengertian yang berbeda dengan resistansi (hambatan), dimana resistansi tidak
hanya tergantung pada bahan tetapi juga bergantung pada faktor geometri atau bentuk bahan
tersebut. Sedangkan resistivitas tidak bergantung pada faktor geometri.

Jika ditinjau silinder konduktor dengan panjang L, luas penampang A, dan


resistansi R, maka dapat dirumuskan :

dimana ρ adalah resistivitas (tahanan jenis) (Ωm), L adalah panjang silinder


konduktor (m), A adalah luas penampang silinder konduktor (m2), R adalah
resistansi (Ω).
Sedangkan menurut hukum Ohm, resistansi R dirumuskan :
dimana R adalah reistivitas (Ω), V adalah beda potensial (volt), I adalah kuat
arus (ampere).
Dari kedua rumus tersebut didapatkan nilai resistivitas (ρ) sebesar :

Banyak orang sering menggunakan sifat konduktivitas (σ ) batuan yang merupakan kebalikan
dari resistivitas (ρ) dengan satuan mhos/m.

Di mana J adalah rapat arus (ampere/m2), E adalah medan listrik (volt/m).


Faizana, F., Nugraha, A. L., & Yuwono, B. D. (2015). Pemetaan Risiko Bencana Tanah
Longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip, 4(1), 223-234.

Prawiradisastra, S. (2012). Analisis morfologi dan geologi bencana tanah longsor di Desa
Ledoksari Kabupaten Karanganyar. Jurnal sains dan teknologi Indonesia, 10(2).

Jamil, M., & Togubu, J. (2016). Implementasi Teknologi Wireless Sensor Network (WSN)
untuk Monitoring Pergeseran Tanah. PROtek, 3(2), 87-89.

Nurdian, S., Setyanto, S., & Afriani, L. (2015). Korelasi Parameter Kekuatan Geser Tanah
dengan Menggunakan Uji Triaksial dan Uji Geser Langsung Pada Tanah Lempung Substitusi
Pasir. Jurnal Rekayasa Sipil dan Desain, 3(1), 13-26.

Khoirunisa, R., Yuwono, B. D., & Wijaya, A. P. (2015). Analisis Penurunan Muka Tanah Kota
Semarang Tahun 2015 Menggunakan Perangkat Lunak Gamit 10.5. Jurnal Geodesi
Undip, 4(4), 341-350.

Anda mungkin juga menyukai