Anda di halaman 1dari 11

UJI KEMAMPUAN DEGRADASI SERAT DARI ISOLAT BAKTERI

SELULOLITIK YANG BERASAL DARI RUMEN KERBAU (Bubalus Bubalis)

The Ability Test of Fiber from Isolates Selulolitik Bacterial Degradation


In The Rumen Buffalo (Bubalus Bubalis)

Munir1,2*, Ambo Ako3 ,Syahriani Syahrir3 dan Asmuddin Nasir3


1
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Peternakan dan Perikanan
Universitas Muhammadiyah Parepare,Jalan Jend.Ahmad Yani km 6 Lapadde (0421)22757
Sulawesi Selatan, Indonesia
2
Doktoral Student at Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar, Indonesia (munir@pasca.unhas.ac.id)
3
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia,
Jalan Urip Sumoharjo (0411) 587217 Indonesia
Korespondensi Penulis : asmuddin_natsir@unhas.ac.id

Abstrak
Kemampuan bakteri dalam mendegradasi serat merupakan faktor utama dalam
meningkatkan kualitas pakan dan sekaligus menjadi faktor pembatas dalam penyediaan
pakan, khususnya untuk pakan ternak ruminansia. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian
eksploratif yang dianalisis secara deskriptif untuk mengoptimalkan kinerja bakteri pada
ternak kerbau yang memiliki kemampuan dalam mencerna pakan berserat lebih baik dan
terbiasa mengkonsumsi bahan pakan berserat seperti jerami padi. Untuk menganalisis
kemampuan degradasi bakteri selulolitik dilakukan isolasi bakteri yang diambil dari sampel
cairan rumen kerbau dengan menumbuhkan bakteri pada empat media pertumbuhan yaitu
aerob padat, aerob cair, anaerob padat dan anaerob cair. Bakteri selulolitik diisolasi dengan
menggunakan media spesifik Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dengan metode pour plate
yang kemudian diinkubasi pada suhu 28oC selama 48 jam. Sebanyak 4 media pertumbuhan
dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perangkat lunak SPSS. Kemampuan degradasi bakteri selulolitik
yang ditandai dengan adanya zona bening di sekitar tempat tumbuh koloni untuk kemudian
diukur diameter koloni, diameter zona bening dan indeks selulolitik yang dihasilkan. Hasil
penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat pengaruh langsung perlakuan
(P<0,05) terhadap diameter koloni dengan nilai F .20.801 mm , dan zona bening dengan
nilai F .30.334 mm sedangkan dari indeks selulolitik menunjukkan tidak ada perbedaan
antara isolat. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa keempat jenis koloni bakteri
yang diisolasi dapat berkembang diluar lingkungan alaminya dan dari empat jenis isolat yang
terbaik dan memiliki kemampuan degradasi serat yang terbaik berdasarkan indeks selulolitik
adalah bakteri selulolitik yang dikembangkan dengan media anaerob padat.
Kata Kunci : Degradasi Serat, Isolat, Bakteri Selulolitik, Rumen Kerbau

1
Pengantar
Potensi jerami sebagai sumber pakan berserat bagi ternak ruminansia sangat potensial
khususnya di Sulawesi Selatan, menurut Nappu M.B, 2013 bahwa sisa hasil panen padi ini
berkolerasi positif dengan produksi yang dihasilkan pada setiap kabupaten. Total produksi
yang diperoleh 3.391.884 ton terdiri dari jerami 2.254.537 ton, sekam 814.816 ton dan dedak
sebanyak 322.531 ton dari total produksi padi 3.197.712 ton, Salah satu bahan pakan yang
memiliki serat yang tinggi dan memiliki potensi pakan yang besar dari sisa hasil tanaman
pangan serta tersedia sepanjang tahun adalah jerami padi, namun masih terkendala oleh daya
cerna jerami padi yang sangat rendah (Natsir A, 2012) sehingga diperlukan upaya
pengolahan untuk meningkatkan kualitasnya. Thalib et al (2000) Peningkatan nilai nutrisi
jerami padi dapat dilakukan dengan memanfaatkan jasa mikroba rumen kerbau dalam proses
insilase jerami padi. Selulosa yang terdapat dalam jerami padi merupakan salah satu fraksi
serat kasar tanaman yang sangat sulit dicerna oleh enzim pencertaan hewan. Nilai Nilai
kecemaan bahan kering jerami padi hanya mencapai 35-37% dengan kandungan protein kasar
sekitar 3-4%, sedangkan untuk hidup ternak ruminansia membutuhkan bahan hijauan pakan
dengan nilai kecernaan minimal 50-55% dan kandungan protein kasar sekitar 8%
(Djajanegara, 1983).
Potensi sisa hasil pertanian yang sangat besar, seperti jerami padi memerlukan
pengolahan yang lebih intensif untuk meningkatkan nilai atau kualitas dengan cara proses
degradasi serat secara biologi dengan menggunakan bakteri selulolitik yang berasal dari
ternak kerbau. Glass (1991) menjelaskan bahwa penanganan limbah secara biologi adalah
penanganan limbah pertanian dengan bantuan mikroba baik aerob maupun anaerob.
Pengolahan dan pengawetan sisa hasil pertanian dengan metode biologis ini sangat
tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk memanfaatkan senyawa kimia sebagai
sumber karbon dan energi dengan bantuan katalisator biologis yang disebut enzim. Salah satu
genus bakteri yang hidup di rumen dan membantu dalam pencernaan ternak kerbau
diantaranya adalah bakteri selulolitik yang memiliki kemampuan memecah lignoselulosa,
lignohemiselulosa dan selulosa pada serat pakan. Bakteri tersebut dapat mendegradasi
selulosa karena menghasilkan enzim dengan spesifikasi berbeda yang saling bekerjasama.
Enzim tersebut akan menghidrolisis ikatan (1,4)-ß-Dglukosa pada selulosa (Saratale, 2012)
Sumber bakteri selulolitik yang dapat digunakan untuk mendegradasi serat pakan
adalah berasal dari rumen kerbau yang berpotensi penghasilkan bakteri yang beragam karena
mengkonsumsi berbagai macam bahan pakan berserat. Kemampuan bakteri selulolitik dalam
menghasilkan enzim yang mampu menghidrolisis selulosa untuk menghasilkan glukosa yang
dapat digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri. Hal inilah yang membuat
Ternak kerbau memiliki kemampuan dalam mencerna serat lebih baik dibandingkan dengan
ternak ruminansia yang lain, dan menunjang ternak ini tetap survive dalam kondisi
kekurangan pakan dimusim kemarau, terutama dalam hal mencerna bahan pakan yang
memiliki serat yang tinggi seperti halnya jerami yang merupakan sisa hasil pertanian. Rifai
(2010) melaporkan bahwa isolat bakteri rumen kerbau secara tunggal mampu mencerna
bahan kering rumput gajah dan jerami padi hingga berturut-turut 48,8% dan 41,1%.
Penambahan kultur mikroba selulolitik rumen kerbau pada taraf 0,6% menghasilkan
kecernaan bahan kering dan bahan organik jerami padi sebesar 48,67% dan 55,10%.
(Budiana I.N Dan N. L. G Budiari. 2014).
Wahyudi dan Masduqie (2004) dan Prihantoro dkk (2012) melaporkan bahwa cairan
rumen kerbau lebih banyak mengandung mikroba selulolitik dibandingkan dengan ternak
ruminansia lainnya. Pada cairan rumen kerbau dijumpai tujuh koloni mikroba selulolitik
(kelompok Ruminococcus sp.) sedangkan pada ternak sapi hanya empat koloni. Hasil
penelitian Prabowo et al (2007) menunjukkan bahwa mikroba cairan rumen kerbau ternyata

2
mempunyai aktivitas selulolitik yang paling tinggi dibandingkan dengan mikroba selulolitik
yang bersumber dari rayap, feses gajah, dan cairan rumen sapi. Namun, jenis dan jumlah
populasi mikroba rumen tergantung pakan yang dikonsumsi ternak (Ismartoyo,2011). Isolasi
bakteri yang berasal dari rumen ternak kerbau sangat penting untuk dikaji lebih jauh
mengingat jumlah dan jenis bakteri dalam mencerna bahan pakan yang sangat beragam
Jaelani et al. (2008) bahwa fermentasi pakan berserat oleh mikroba perombak serat kasar
nyata dapat meningkatkan kandungan protein pakan. Isolat bakteri seluolitik mempunyai
aktivitas spesifik, dan memiliki nilai komersial dalam pengolahan jerami (Singleton, 2001).
Berdasarkan hal diatas sehingga perlu dilakukan kajian pengembangan untuk meningkatkan
kinerja bakteri dalam mendegradasi serat pakan dengan mencari isolat bakteri selulolitik
menggunakan media berbeda sehingga diperoleh bakteri yang mampu bekerja secara optimal
meskipun berada diluar lingkungan alaminya.

Bahan Dan Metode


Pengambilan sampel penelitian cairan rumen kerbau berasal dari ternak yang telah
dibiasakan mengkonsumsi jerami padi dan disembelih kemudian diambil isi rumen yang
masih bercampur dengan pakan yang masih kasar serta belum tercerna sempurna.
Pengambilan sampel dengan cara memeras isi rumen kerbau kemudian dimasukkan kedalam
termos yang telah disiapkan kurang lebih 500 ml untuk dianalisa di laboratorium.
Isolasi dimulai dengan Pengenceran cairan rumen dibuat suspensi sampel 10-2.
dengan cara 1 ml sampel diencerkan dengan 99 ml aquadest steril kedalam tabung yang
terpisah. Suspensi sampel pengenceran 10-2 diambil masing masing 1 ml untuk
diinokulasikan kedalam 4 media pertumbuhan dengan 3 kali ulangan yaitu Aerob Padat,
Aerob Cair, Anaerob Padat dan Anaerob cair , media padat menggunakan substrat Carboxy
Methyl Cellulosa (CMC) nutrien agar dan media cair menggunakan Nutrient Browth.
Sampel mikroba pada media anaerob cair ditempatkan pada tabung reaksi yang telah
divakum dan disimpan dalam tabung besar bersama sampel mikroba pada media anaerob
padat yang sudah divakum, selanjutnya semua media sampel Isolat bakteri diinkubasi selama
48 jam dengan suhu 37oC. Isolat yang tumbuh pada empat media tersebut diambil dan
digoreskan pada media CMC Nutrien agar dengan menggunakan ose dan disebar pada
petridish. Selanjutnya cawan petri diinkubasi secara terbalik pada suhu 37oC selama 48 jam
(Shajahan et al., 2017). Untuk isolat anaerob petridish dimasukkan pada tabung yang telah
divakum. Koloni bakteri yang berhasil tumbuh pada empat media diamati bentuk
morfologisnya.
Pengamatan morfologi koloni bakteri yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji
karakter morfologi koloni bakteri meliputi bentuk, tepian dan warna (Krairitthichai dan
Thongwai, 2005) pada media Nutrien Agar terseleksi atau medium CMC . Prinsip dari
isolasi mikroba adalah memisahkan suatu jenis mikroba dengan mikroba lain yang berasal
dari campuran bermacam -macam mikroba. Hal ini dapat dilakukan dengan
menumbuhkannya dalam media padat karena dalam padat sel-sel mikroba akan membentuk
suatu koloni sel yang tetap pada tempatnya (Mulyani, 1991). Mikroba selulolitik dengan ciri
khas zona bening di sekitar koloni, warna koloni krem, atau putih kecoklatan, tidak tembus
pandang. Prinsip kerja isolasi mikroba selulolitiki rumen kerbau berdasarkan metode
Wahyudi dan Masduqie (2004).
Uji kualitatif pada Koloni bakteri yang terbentuk pada media diukur dengan
menggunakan jangka sorong dan Uji aktivitas bakteri dilakukan metode pewarnaan Congo
Red 0,1% ditambahkan pada media Nutrien Agar yang mengandung CMC sebanyak 15 ml
dan didiamkan selama 30-60 menit. Setelah itu dibilas sebanyak 2-3 kali dengan 15 ml NaCl
1 M dan didiamkan selama 15 menit. Koloni bakteri yang menghasilkan zona bening

3
dimurnikan dengan metode cawan gores (Hadioetomo 1993 dan Ponnambalam et al. 2011) ).
Selanjutnya diameter zona bening yang tampak jelas dan terbentuk disekitar koloni terbentuk
diukur menggunakan jangka sorong. Menurut Anand et al., (2009) Congo Red akan
berikatan secara spesifik dengan polisakarida yang memiliki ikatan β-1,4 glikosida sehingga
zona bening yang terbentuk disekitar koloni terlihat jelas. Perhitungan nilai indeks selulolitik
(IS) dengan membandingkan nilai diameter zona bening dan nilai diameter koloni bakteri
(Shajahan et al., 2017). Terbentuknya zona bening disekitar koloni bakteri menunjukkan
bahwa isolat bakteri mempu menghasilkan enzim selulase. Secara kualitatif, besarnya
aktivitas selulase ini dinyatakan sebagai indeks selulolitik atau indeks aktivitas selulase
(IAS), diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Kader dan Oma 1998) :
𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑧𝑜𝑛𝑎 𝑏𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔 − 𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 (𝑚𝑚)
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑙𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑘 =
𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑘𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖 (𝑚𝑚)

Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang terkait dengan morfologi dianalisis
secara deskriptif sedangkan data untuk diameter koloni, diameter zona bening dan indeks
selulolitik dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) paket statistik dengan
perangkat lunak SPSS.
Hasil
Lebar Diameter koloni, diameter Zona Bening dan Indeks Selulolitik
Berdasarkan hasil analisis ragam dan pengamatan secara makroskopis yang dilakukan
dilaboratorium dengan menumbuhkan bakteri selulolitik pada empat media yang dirangkum
pada Tabel 1 diberoleh hasil pada keempat jenis isolat yang diuji kemampuan degradasinya
dalam menghasilkan selulase secara kualitatif, menunjukkan bahwa media perlakuan
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap diameter koloni dan zona bening sedangkan pada
pengukuran indeks selulolitik Tabel 1,pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa rata-rata
indeks selulolitik pada perlakuan dengan isolat Anaerob Padat rata-rata tertinggi sebesar
0.420 mm diikuti dengan ketiga isolat lainnya yaitu isolat Aerob Padat 0.35 mm, Anaerob
Cair 0.23 mm dan Aerob Cair 0.13 mm, secara startistik tidak berpengaruh nyata (P>0.05).

Tabel 1. Data rata rata hasil pengukuran diameter koloni, diameter zone bening serta indeks
selulolitik empat isolat bakteri dari dua media pertumbuhan

Jenis Isolat Diameter Koloni Diameter Zona


(Mm) Bening (Mm) Indeks Selulolitik
c c
Aerob Padat 18.783 24.975 0.35
b b
Aerob Cair 13.283 14.833 0.13
b b
Anaerob Padat 12.567 17.283 0.42
Anaerob Cair 3.25a 4.108a 0.23
Keterangan a, b dan c : notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0,05)
Pengamatan Morfologi Isolat bakteri selulolitik
Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis pada koloni yang diperoleh
dengan mengamati bentuk tepi dan warna koloni bakteri menunjukkan bahwa terdapat pola
pertumbuhan yang berbeda antar isolat dan pada umumnya bakteri yang berasal dari rumen
kerbau memiliki bantuk yang tidak beraturan mulai bulat kecil, bulat lonjong, bulat lonjong

4
bergerigi maupun bentuk seperti akar, ini menunjukkan kalau bakteri yang diperoleh cukup
beragam.

Tabel -2: Bentuk morfologi koloni bakteri selulolitik pada empat isolat

Nama isolat Morfologi koloni


Bentuk Tepi Warna

Bulat lonjong rata putih


Aerob Padat
Irregular berombak (Undulate) kuning
Aerob Cair
Bulat lonjong Bergerigi (erose) putih
Anaerob Padat
Bulat kecil rata putih
Anaerob Cair

Keterangan : Irregular (tidak beraturan), Undulate (berombak), Erose (bergerigi)

Gambar -1. Menyajikan penampakan isolase (Bentuk , tepi dan warna koloni ) bakteri
selulolitik pada 4 (empat ) media pertumbuhan yang telah ditetesi congo red 0.1% yaitu
sebagai berikut :

A B C D
Gambar 1. Zona bening isolat Bakteri yang ditumbuhkan pada media : A. Aerob Padat , B.
Aerob Cair , C. Anaerob Padat , D.Anaerob Cair .

Diskusi
Temuan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa lebar diameter koloni, lebar
diameter zona bening dan indek selulolitik serta morfologi isolat disajikan pada Tabel 1
menguraikan bahwa bakteri selulolitik yang diisolasi pada media CMC padat maupun CMC
cair yang ditandai dengan perubahan warna media yang menjadi keruh. Bakteri selulolitik
merupakan bakteri heterotrop yang termasuk golongan saprofit. Bakteri saprofit adalah
bakteri yang dapat memanfaatkan sisa-sisa tumbuhan yang telah mati untuk memenuhi
kebutuhan sel. Bakteri saprofit ini memerlukan gula (karbohidrat) dalam jumlah tertentu,
nitrogen organik, fosfor dan garam-garam mineral sebagai sumber energi, beberapa asam
amino, vitamin, sterol dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan sel (Campbell, 1985).
Pertumbuhan bakteri selulolitik pada media CMC melalui fase-fase tertentu. Pada fase

5
eksponensial terjadi pertambahan sel maksimal. Berdasarkan output deskriptif pada Tabel 1
diperoleh rata rata diameter masing masing koloni isolat dengan perlakuan Aerob Padat
18.7833 mm, Aerob Cair 13.2833 mm, Anaerob Padat 12.5667 mm dan Anaerob Cair 3.2500
mm
Dari hasil analisis ragam yang diperoleh bahwa terdapat pengaruh langsung perlakuan
terhadap diameter koloni (P<0,05). Hal ini terlihat dari nilai F sebesar 20.801 mm. Setelah
dilakukan uji lanjut diperoleh bahwa pada perlakuan dengan bakteri Anaerob Cair (3.2500
mm) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan antara perlakuan Anaerob Padat
(12.5667 mm) dan Aerob Cair (13.2883 mm) tidak ada perbedaan dan perlakuan dengan
Aerob Padat berbeda nyata dengan perlakuan lainya. Dengan demikian hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan dengan pertumbuhan diameter koloni yang tertinggi yaitu Aerob Padat
(18.7833 mm). Adanya perbedaan lebar koloni ini disebabkan oleh berbagai faktor menurut
Tarigan (1988). Bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya diameter koloni
misalnya hanya koloni koloni yang menyebar saja yang dapat diukur, karena koloni-koloni
ini cenderung memiliki diameter yang lebih besar daripada koloni yang bertumpuk-tumpuk.
Hal ini disebabkan karena persaingan pada koloni yang menyebar lebih kecil dari persaingan
yang terjadi pada koloni yang bertumpuk-tumpuk dan kurang mendapat hambatan dari zat-zat
hasil sampingan.
Untuk mengukur kemampuan isolat dalam mendegradasi substrat ditentukan dari
lebar diameter zona bening yang terbentuk pada medium yang mengandung CMC. Bakteri
yang diperoleh menunjukkan sifat positif dalam uji kemampuan selulolitik, sehingga dapat
diduga keempat isolat tersebut mampu mengekskresikan enzim selulase yang mampu
memecah ikatan 1,4 β-glukosida dalam media uji. Kemampuan selulolitik dapat dilihat dari
pertumbuhan koloni pada media CMC padat dan mampu tumbuh pada media CMC.
Pertumbuhan bakteri selulolitik pada media CMC cair dapat dilihat dari perubahan warna
media yang menjadi lebih keruh. Degradasi selulosa dilakukan dengan bantuan enzim
selulase menjadi hasil akhir glukosa.
Pembentukan zona bening menunjukkan bahwa selulosa yang terdapat di dalam
media dihidrolisis oleh enzim selulase menjadi senyawa yang sederhana yaitu selobiosa yang
Kemudian disederhanakan menjadi dua molekul glukosa (Perez et al .2002).Pengukuran zona
bening yang terbentuk disekitar koloni merupakan analisis semi Kuantitatif aktivitas bakteri
selulolitik (Coughlan & Mayer 1991). Koloni isolat yang ditumbuhkan pada media CMC
agar berumur 6 hari ditetesi dengan larutan congo red 0.1 %, untuk memperjelas
terbentuknya zona bening. Congo red memiliki interaksi yang kuat dengan polisakarida yang
mengandung rantai ikatan β -(1 4) D - glukopiranosil (Teather & Wood 1982).
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 1 bahwa lebar zona bening
yang dihasilkan tiap koloni berbeda-beda hal ini disebabkan karena hidrolisis selulosa
menjadi glukosa dalam media padat CMC, disekitar koloni terlihat bagian yang lebih terang
disekitar koloni, dan daerah ini disebut sebagai zona terang (Cleared zone), Kemampuan
isolat pada media selulosa membuktikan bahwa isolat tersebut mampu memanfaatkan
selulosa sebagai salah satu sumber nutriennya. Menurut Atlas (1981), selulosa dapat
dijadikan sebagai sumber karbon dan energi bagi mikroba. Masing-masing jenis bakteri
selulolitik mempunyai kemampuan tersendiri dalam mendegradasi selulosa. penelitian ini
juga menunjukkan bahwa bakteri selulolitik yang diisolasi dari cairan rumen kerbau tersebut
mampu tumbuh pada media padat dan media cair diluar lingkungan alaminya dan dapat
disimpan sebagai isolat pendegradasi serat. Seperti diungkapkan Widiawati dan Winugroho
(2009) bahwa isolat mikroba rumen kerbau yang disimpan dalam waktu yang cukup lama
(delapan bulan) ternyata masih mampu bersinergi positif pada saat dikombinasikan dengan
mikroba rumen sapi.

6
Hasil Analisis ragam dirangkum pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh langsung perlakuan terhadap diameter zona bening (P<0,05) dengan nilai F sebesar
30.334 mm. uji lanjut diperoleh hasil bahwa pada perlakuan Anaerob cair (4.108 mm)
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan Aerob Cair (14.883 mm) dan Anaerob
Padat (17.283 mm) tidak ada perbedaan, dan perlakuan Aerob Padat berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan diameter zona bening yang
tertinggi yaitu pada isolat Aerob Padat (24.975 mm). Perbedaan lebar zona bening ini
tergantung dari kelarutan enzim yang dihasilkan oleh bakteri, hal ini sesuai dengan
pernyataan Zverlova et al (2003) bahwa zone bening yang terbentuk terkait dengan kelarutan
dari enzim selulase. Semakin tinggi kelarutan suatu enzim maka akan semakin besar zona
bening yang terbentuk. Diameter zona bening umumnya berukuran lebih besar dibandingkan
dengan diameter koloni, karena enzim selulase disekresikan ke lingkungan sekitarnya oleh
bakteri pendegradasi selulosa. Bakteri tidak dapat memasukkan molekul selulosa, karena
ukuran selulosa lebih besar dari pada ukuran sel bakteri.
Pewarnaan congo red akan diserap oleh polisakarida yang memiliki ikatan α-D-
glukan.Terbentuknya zona bening menunjukkan bahwa polisakarida terdegradasi menjadi
sakarida dengan rantai yang lebih pendek sehingga tidak dapat menyerap pewarna Congo Red
(Zhang et al. 2006). Selain itu Sverlova et al. 2003 mengungkapkan bahwa zona bening yang
terbentuk terkait dengan kelarutan dari enzim selulase. Semakin tinggi tingkat kelarutan
suatu enzim maka akan semakin besar zona bening yang terbentuk. Diameter zona bening
umumnya berukuran lebih besar dibandingkan dengan diameter koloni, karena enzim selulase
disekresikan ke lingkungan sekitarnya oleh bakteri pendegradasi selulosa lebih besar daripada
ukuran sel bakteri.
Hasil analisis Indeks selulolitik pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan
isolat pada media Aerob Cair (0.1317 mm), Anaerob Cair (0.2267 mm), Aerob Padat (0.3500
mm dan Anaerob Padat (0.4200 mm) tidak ada perbedaan antar perlakuan namun keempat
isolat mampu tumbuh pada media terseleksi CMC dengan pertumbuhan yang berbeda, ini
menggambarkan keempat isolat yang digunakan memiliki kemampuan mendegradasi selulosa
yang memiliki ikatan α-D- glukan dan mampu bekerja diluar media alaminya didalam rumen
meskipun secara statistik tidak ada perbedaan antara perlakuan. Demikian pula pada lebar
zona bening keempat isolat yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan lebar koloni, hal
ini sesuai pernyataan oleh Sudiana et al (2001) dan Sari et al (2012) bahwa adanya perbedaan
indeks selulolitik tiap isolat disebabkan karena setiap spesies bakteri memiliki kemampuan
menghasilkan selulase yang berbeda dalam menghidrolisis substrat CMC. Selanjutnya
ditambahkan Shovitri dan Zahidah (2013) bahwa potensi selulolitik juga dapat diketahui
dalam mensekresikan enzim selulase melalui pengujian indeks selulolitik berdasarkan zona
bening yang terlihat disekitar koloni bakteri yang tumbuh pada medium Carboxy Methyl
Cellulose (CMC). Beberapa bakteri dapat menghasilkan selulase yang dapat mendegradasi
selulosa. Enzim selulase merupakan enzim yang mampu mendegradasi selulosa dengan
memutuskan ikatan β1,4 glikosida yang menghasilkan oligosakarida turunan selulosa dan
glukosa. Enzim ini diklasifikasikan menjadi 3 kelompok tergantung spesifitas dalam
menghidrolisis selulosa, yaitu endo-1,4- β -glukanase (CMCase), ekso-1,4- β -glukanase dan
β -D-glukosidase (Lynd et al., 2002).
Adanya bentuk pertumbuhan isolat yang berbeda pada medium agar cawan dalam
penelitian ini (gambar 1) mengindikasikan bahwa semua jenis isolat tersebut berasal dari
jenis bakteri yang berbeda dimana bentuk koloni menurut Volk dan Wheeler (1988) dapat
dijadikan dasar untuk identifikasi bakteri. Dari hasil pengamatan pada Tabel 2 menunjukkan
bahwa pada umumnya warna koloni yang diperoleh dalam penelitian ini berwarna putih.
Pertumbuhan bakteri pada media ditentukan oleh berbagai faktor seperti diungkapkan
Sudirman (2011) bahwa disamping sumber mikroba yang menentukan aktivitas pencernaan

7
serat, juga sangat ditentukan oleh tepatnya dosis inokulum mikroba, keseragaman jenis dan
populasi mikroba yang digunakan.
Bentuk koloni berbeda-beda tiap spesies dan merupakan ciri khas bagi suatu spesies
tertentu. Sifat-sifat yang diperlukan dalam menentukan identifikasi suatu spesies misalnya
seperti besar kecilnya koloni, mengkilat tidaknya, halus atau kasarnya permukaan dan warna
koloni kebanyakan bakteri mempunyai warna yang keputih-putihan, kelabu, kekuning-
kuningan, atau hampir bening, tetapi ada juga spesies yang mempunyai pigmen warna yang
lebih jelas. Keberadaan warna dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti teperatur, pH, dan
oksigen bebas. Ada beberapa spesies yang memerlukan fosfat, ada juga yang memerlukan
sulfat untuk menimbulkan pigmentasi (Dwidjoseputro, 1987). Pada bentuk tepi koloni bakteri
yang diperoleh pada penelitian ini terdapat perbedaan yang beragam mulai bentuk yang rata,
berombak dan bergerigi (Gambar 1), hal ini tergantung dari beberapa faktor menurut Tarigan
(1988) bahwa bagian tepi koloni bakteri bervariasi tergantung pada spesiesnya. Bentuknya
dapat melingkar rata seperti tepi (pinggir) suatu tetesan, atau tidak beraturan seperti tonjolan
yang melengkung, seperti benang atau seperti akar.
Kesimpulannya, berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kemampuan bakteri
selulolitik yang ditumbuhkan pada empat media pertumbuhan menghasilkan empat jenis
isolat koloni bakteri yang memiliki kemampuan degradasi serat yang berbeda dan mampu
berkembang diluar kondisi alaminya. Isolat bakteri yang menunjukkan potensi aktivitas
selulolitik tertinggi untuk mendegradasi serat berdasarkan Indeks selulolitik yang dihasilkan
yaitu pada isolat koloni bakteri Aneraob padat. Isolat yang dihasilkan dari koloni bakteri
yang berasal dari ternak kerbau tersebut dalam penelitian ini, diharapkan mampu
mendegradasi serat secara optimal yang nantinya dapat digunakan untuk diuji pada berbagai
macam substrat limbah pertanian yang memiliki serat kasar yang tinggi dan mampu
bersinergi dengan mikroba ternak lain sehingga dapat dijadikan starter pendegradasi bahan
organik untuk meningkatkan nilai dan kualitas pakan ternak.

Pengakuan
Para penulis sangat berterima kasih kepada laboran di laboratorium terpadu Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar dan para peternak kerbau serta pekerja di
Rumah Potong Hewan di Kelurahan Biringkanaya kota Makassar yang telah membantu
selama dalam penelitian ini.

Referensi

Anand, Vennison, Sankar, Prabhu, Vasan, Raghuraman, Geoffrey, dan Vendan. 2009.
Isolation and Characterization of Bacteria from the Gut Of Bombyx Mori that
Degrade Cellulose, Xylan, Pectin and Starch and Their Impact on Digestion. J of
Insect Science. 10(107): 1-20.
Budiana I.N Dan N. L. G Budiari. 2014. Penambahan kultur mikroba selulolitik rumen
kerbau pada jerami padi untuk meningkatkan kecernaan pakan secara in-vitro
Prosiding seminar nasional pertanian organik bogor, 18 – 19 Juni 2014

Coughland MP, Mayer F. 1991. The cellulose decomposing bacteria and their enzyme
systems. Di dalam Balows A, Triper HG, Dworkin M, Harder W, Schleifer KH,
editor. The Pro karyotes, A Handbook on Biology of Bacteria: Ecophysiology,

8
Isolation, Identification, Application . Vol I. New York: Springer Verlag. Hlm 460 -
516
Djajanegara A. 1983. Tinjaun Ulang Mengenai Evaluasi Suplement pada Jerami Padi.
Prosiding Seminar Pemanfaatan Limbah Pangan dan Limbah Pertanian untuk
Makanan Ternak. Ed. AT. KAROCERI. LIPI, p. 192-197.
Dwidjoseputro.1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Jakarta
Glass, D.J. 1991. Waste Management : Biological treatment of Hazard o us Wastes.
Enviroment. Heldreff Publication. New York.
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta.
Ismartoyo. 2011. Bahan Ajar Ilmu Nutrisi Ruminansia.: Fakultas Peternakan. Uiversitas
Hasanudin. Makasar.
Jaelani A, WG Piliang, Suryahadi, dan I Rahayu. 2008. Hidrolisis bungkil inti sawit (Elaeis
guineensis Jacq) oleh kapang Trichoderma reesei pendegradasi polisakarida mannan.
Animal Production Vol. 10 (1): 42-49.
Kader AJ dan Omar O, 1998. Isolation of cellulolytic fungi from sayap kinabalu park,sabah,
serawak.j.biodeversity bio –conserv (ARBEC) : 1- 6
Krairitthichai, S., dan N. Thongwai. 2005. Isolation and Screening for Cellulase Producing
Bacteria. Science and Technology of Thailand, Thailand.
Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl and I. S. Pretorius. 2002. Microbial cellulose
utilization: fundamentals and biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev 66 (3): 506-
577.
Mulyani. 1991. Dasar-dasar Mikrobiologi Tanah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nappu M B. 2013. Sebaran Potensi Limbah Tanaman Padi dan Jagung Serta Pemanfaatannya
di Sulawesi Selatan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Selatan.Makassar.
Natsir A. 2012. Fibre Utilization For Ruminants, 1sted Masagenae Press, Makassar Indonesia
Perez J, Dorado JM, Rubia T de la, Martinez J. 2002. Biodegradation and biochemical
treatments of cellulose, hemicellulose, and lignin: an overview.Int Microbiol 5: 53-63.
Ponnambalam, A.S., Deepthi, R.S., and Ghosh, A.R. 2011. Qualitative display and
measurement of enzymeactivityof isolated cellulolytic bacteria research article,
Biotechnol. Bioinf. Boeing.2011.1(1): 33-37
Prabowo A, S Padmowijoyo, Z Bachruddin, dan A Syulur. 2007. Potensi selulolitik
campuran dari ekstrak rayap, larutan feses gajah, dan cairan rumen kerbau. J of The
Indonesian Tropical Anim. Agric. 32 (3): 151-158.
Prihantoro I, Toharmat T, Evyernie D, Suryani, dan Abdullah L. 2012 Kemampuan isolat
bakteri pencerna serat asal rumen kerbau pada berbagai sumber hijauan pakan. JITV.
17(3):189-200.

9
Raul Franzolin R and T. C. Alves. 2010. The Ruminal Physiology in Buffalo Compared with
Cattle https://www.researchgate.net/publication/216798462 \Conference Paper ·
January 2010 DOI: 10.13140/2.1.1501.1522
Rifai, A. A. 2010. Peran Isolat Bakteri Selulolitik Fakultatif Asal Rumen Kerbau Pada
Hijauan Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saratale, G.D., Saratale, R.G., Oh, S.E. 2012. Production and Characterization Of Multiple
Cellulolytic Enzymes By Isolated Streptomyces sp. MDS. Biomass and Bioenergy.47:
302 -315.
Sari, M., Agustien, U dan Nurmiati, A. 2012. Screening and characterization of cellulolytic
thermophylic bacteria from sungai Medang hot Spring, Kerinci, Jambi. Jurnal Biologi
Andalas. 1(2):166-171.
Shajahan S., I.G. Moorthy, N. Sivakumar, dan G. Selvakumar. 2017. Statistical modeling and
optimization of cellulose production by Bacillus licheniformis NCIM 5556 isolated
from the hot spring, Maharashtra, India. Journal of King Saud University. 29: 302–
310.
Sudiana I.M., R.D. Rahayu, H. Imamuddin, dan M. Rachmansyah. 2001. Celluloytic Bacteria
of Soil of Gunung Halimun National Park. Jurnal Biologi. 5 (6): 703-710.
Teather RM, Wood PJ. 1982. Use of congo red polysacharide interactions in enumeration and
characterization of cellulolytics bacteria from the bovine rumen.Appl Environ
Microbiol 43:777 -780.
Thalib A, J Bestari, y Widiawati, H Hamid, dan D Suherman. 2000. Pengaruh perlakuan
silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cerna dan ekosistem
rumen sapi. JITV 5(1) : 276-281.
Volk dan Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Jilid I. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Wahyudi dan Z.B Masduqie. 2004. Isolasi mikroba selulolitik cairan rumen beberapa ternak
ruminansia (kerbau, sapi, Kambing, dan domba). Protein, Jurnal Ilmiah Peternakan
dan Perikanan 11 (2) : 181-186
Widiawati Y dan M. Winugroho. 2009. Aktivitas isolat mikroba rumen kerbau yang
disimpan pada suhu rendah. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2009.
Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
Shovitri, M dan Zahidah D. 2013.Isolasi, karakterisasi dan potensi bakteri Aerob sebagai
pendegradasi limbah organik. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(1):2337-3520.
Sudirman. 2011. Faktor faktor yang mempengaruhi penggunaan feses kerbau sebagai
pengganti cairan rumen. Available from http://www.ugm.ac.id/
index.php?page=rilis&artikel645 (diakses, 19 April 2012)
Tarigan.1988.Morfologi koloni bakteri. Available from. https://www.academia.edu/
25414187/LAPORAN_MIKROBIOLOGI_Morfologi_Koloni_Bakteri (diakses, 19
Juni 2019)

10
Zhang Y.H.P, Himmel M.E., & Mielenz J.R. 2006. Outlok for cellulase environment :
screening and selection strategies. Biotechnol Adv. 24: 452-481.
Zverlova, V.V., W.Holl, dan H.Schwartz. 2003. Enzymes for digestion of cellulose and other
polysaccharides in the gut of longhorn beetle larvae, Rhagium inquisitor L. (Col.,
Cerambiycidae). International Biodeterioration & Biodegation, 51 :175-179

11

Anda mungkin juga menyukai