Makalh Fix Gerontik Inkontinensia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap


keterbatasannya, pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur. Pada usia
lanjut, terjadi penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi psikologis, serta perubahan
kondisi sosial.

Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang terjadi pada
lansia yang disebabkan karena faktor degeneratif, maupun lainnya, yang mengenai
setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Selain itu, masalah pada sistem
pencernaan juga tak jarang ditemui pada lansia, salah satunya adalah konstipasi.
Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, konstipasi merupakan
keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan dengan
bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi.

Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius. Definisi


paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter, ketika tekanan di
dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra. Sedangkan Konstipasi adalah
kondisi sulit atau jarang untuk defekasi. Konstipasi merupakan keluhan paling sering
dalam praktik klinis.

Inkontinensia urin maupun konstipasi yang dialami oleh pasien dapat


menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan nyamanan
akibat nyeri, kecemasan maupun menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Inkontinensia urine dan


Konstipasi ?

C. Tujuan
1. Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan mahasiswa dapat
memahami asuhan keperawatan pada lansia.

1
2. Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan mahasiswa dapat
memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urine.
3. Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan dapat menambah
pengetahuan bagi mahasiswa tentang penanganan pada lansia dengan gangguan
inkontinensia urine.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius. Definisi


paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter, ketika tekanan di
dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra. Agency for Health Care
Policy and Research (AHCPR) Guidline mendefinisikan inkontinensia urine sebagai
pengeluaran urine involunter yang cukup menimbulkan masalah (Mass, L, Meridean,
2001).

Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan


sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan
higiene serta secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin dapat merupakan suatu
gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan merupakan bagian yang normal
dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan peningkatan
usia.

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat


sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan
Perry, 2005).

Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot


sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara
umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar
prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa

3
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Tipe-Tipe Inkontinensia Urin


Menurut Hidayat, 2006, tipe-tipe inkontinensia urin yaitu :
1. Inkontinensia Dorongan
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi
segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia
dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali)
dan spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin
kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan
kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
2. Inkontinensia Total
Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan
tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain:
disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis,
fistula, neuropati.
3. Inkontinensia Stress
Stres Inkontinensia Urin (SUI) didefinisikan oleh Internasional Continence
Society (ICS) adalah keluarnya urin tanpa disadari pada saat aktifitas atau saat
bersin atau saat batuk. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra
tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, maupun tertawa.(Mass, L,
Meridean, dkk. (2001)
4. Inkontinensia Reflex
Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis
(lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi
atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur.
5. Inkontinensia Fungsional keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin
secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

4
C. Epidemiologi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang mengenai


setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Studi epidemiologi pun telah
dilakukan untuk mengukur besarnya populasi wanita dengan inkontinensia, dan untuk
mendapatkan faktor risiko spesifik dari para penderita inkontinensia (B, Pribakti,
20+11).

Meskipun inkontinensia dianggap merupakan konsekuensi normal dari proses


penuaan dan persalinan, namun banyak faktor predisposisi lain yang penting.
Hubungan antara prolaps genital dan inkontinensia urine juga perlu diingat, seperti
juga perbedaan antara inkontiensi jaringan dan wanita yang inkonten (B, Pribakti,
2011).

Inkontinensia urin adalah tahap akhir dari banyak proses patologik, dan
penelitian akhir-akhir ini memfokuskan pada dua hal : diagnosis yang akurat dan
penanganan selanjutnya. Acuan dari semua panelitian ini adalah klasifikasi umum dari
disfungsi saluran kemmih bagian bawah yang distandarisasi oleh Komite International
Continence Society (ICS) (B, Pribakti, 2011).

D. Etiologi Inkontinensia Urin

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. (Darmojo, 2009). Penyebab utama
Inkontinensia urin dapat terdaftar sebagai berikut :

1. GSI (Genuine stress incontinence)


GSI adalah diagnosis yang dibuat oleh penilaian urodinamik. GSI didefinisikan
sebagai pengeluaran urin yang tidak disadari ketika tekanan intra vesikalis
melebihi tekanan penutupan uretra maksimal, dan tidak ada aktivitas detrusor. Hal
ini terjadi karena tidak kompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan
komponen mekanisme sfingter uretra (B, Pribakti, 2011).
2. Ketidakstabilan Detrusor

5
Detrusor (lapisan muskuler) yang tidak stabil adalah salah satu yang ditampilkan
objektif untuk berkontraksi, secara spontan atau provokasi, selama fase pengisian
sistrometri sementara pasien berusaha menahan berkemih. Kontransi ini dapat
mengakibatkan kebocoran urin. Insiden ini meningkat dengan usia, dan DI adalah
penyebab paling umum inkontinensia urin pada orang tua (B, Pribakti, 2011).
Kontraksi detrusor dapat berupa phasic atau sistolik, dimana mereka meniru refleks
berkemih normal, atau kandung kemih bisa menunjukkan tingkat pengosongan
lambat. (B, Pribakti. 2011)
3. Overflow Inkontinensia
Inkontinensia overflow adalah kondisi ekstrim yang mengakibatkan kesulitan
untuk menahan keinginan berkemih, dan setiap kondisi yang dapat menyebabkan
aliran yang jelak dan pengosongan kandung kemih inkomplit, tanpa terjadinya
inkontinensia (B, Pribakti, 2011).
Ini suatu kondisi dimana kandung kemih menjadi lembek dengan aktivitas detrusor
sedikit atau tidak ada. Kadang terdapat obstruksi kronis kandung kemih menjadi
kecil karena fibrosis, namun tetap hanya sedikit atau tidak ada aktivitas detrusor.
Wanita itu gagal untuk mengosongkan dan kansung kemih bocor setiap kali penuh.
Selain itu karena kapasitas kandung kemih fungsional sangat kecil, frekwensi
berkemih meningkat dan infeksi saluran kemih berulang (B, Pribakti, 2011).
Kandung kemih perempuan sangat sensitif terhadap overdistensi bahkan satu
episode retensi urin akut bisa mengakibatkan atoni kronis kandung kemih dan
seringkali membutuhkan kateterisasi jangka panjang. Diagnosis inkontinensia
overflow dibuat bila sisa urin lebih dari 50% dari kapasitas kandung kemih (B,
Pribakti, 2011).
4. Infeksi
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis
atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi
impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat,
mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai
sebab (Darmojo, 2009).
5. Kehamilan
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya
otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Faktor risiko yang lain

6
adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga
berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

E. Tanda dan Gejala Inkontinensia Urin

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis


2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
4. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus
 Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi
juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih
belum mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil
karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia
usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut.
Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat.
Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses,
sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu
pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga
terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008). Inkontinensia urine lebih umum di
perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dan prevalensi meningkat dengan
membahayakan usia. Banyak wanita tua sebenarnya menganggap gejala
berkemih mereka merupakan bagian normal dari proses penuaan dari pada
manifestasi penyakit (B, Pribakti, 2011). Fungsi kandung kemih menjadi
kurang efisien seiring bertambahnya umur dan Malone Lee telah
menunjukkan bahwa perempuan tua memiliki penurunan tingkat aliran urine,
peningkatan risidu urine, kapasitas kandung kemih berkurang, dan telakan
maksimum yang legih rendah.
5. Dimensia
6. Infeksi saluran kemih
7. Penurunan mobilitas
8. Masalah ginjal
9. Diet

7
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol,
dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan
pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga
pengeluaran utine menjadi terganggu (Asmadi, 2008).
10. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat
(Asmadi, 2008).
11. Hormon Sex
Memburuknya fungsi ovarium yang berhubungan menopause dimana terjadi
penurunan produksi estrogen endogen dan peningkatan insidensi gejala urin, termasuk
disuria, nokturia dan inkontinensia. Selain itu, infeksi saluran kemih (UTI) menjadi
lebih umum (B, Pribakti, 2011).
12. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena
meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan
cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine
menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi
anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
13. Obat-obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).

A. Patofisiologi Inkontinensia Urin


Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling
dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur
aferen membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis
(Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul
(Potter & Perry, 2006).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang


menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih

8
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya
berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia
sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana
gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Potter & Perry,
2006).

B. Penatalaksanaan Inkontinensia Urin


1. Non-Farmakologi
Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa dilakukan
dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot dasar panggul menjadi
lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik (Setiati, 2001). Latihan dasar panggul
melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur
penyokong panggung dan mengelilingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rektum.
Manfaat dari latihan Kegel ini adalah :
 Menghentika aliran urine ketika berkemih, dengan tujuan menguatkan pintu keluar
kandung kemih.
 Meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan ambang berkemih, yang
mengakibatkan urgensi.
 Mampu meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menunda episode
inkontinensia.
2. Farmakologis
Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk merelaksasikan kandung
kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non farmakologis tidak dapat menyelesaikan
masalah inkontinensia urin (Setiati,2001). Obat tersebut meliputi :
1. Propantelin (Pro-Banthine): Mengurangi kontraksi kandung kemih.
2. Efredin (Sudafed) : Menguatkan pintu kandung kemih.
3. Estrogen (Premarin) : Meningkatkan jaringan penopangan di sekitar uretra.
3. Pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita) (Setiati,2001).
4. Modalitas lain
Selain farmakologis dan non farmakologis yang menyangkut penyebab inkontinensia
urin karena sumbatan atau keadaan patologik dilakukan dengan pembedahan. Sambil
melakukan terapi dan masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat
pula digunakan beberapa alat bantu yang digunakan oleh lansia yang mengalami

9
inkontinensia urin seperti kateter, pampers, dan komod (Setiati,2001). Sambil
melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkaninkontinensia urin,
dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia
urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod
dan bedpan (Setiati,2001).

10
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Adapun data-data yang akan di kumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan klien dengan
diagnosa medis inkontinensia urine :
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis
b. Keluhan utama
Pada kelayan inkontinensia urine keluhan-keluhan yang ada adalah nokturia, urgence,
disuria, poliuria, oliguri, dan strategi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah
dilakukan untuk mengatasi keluhan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK ( infeksi saluran kemih ) yang
berulang, penyakit kronis yang pernah di derita.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit inkontinensia urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM,
hipertensi.
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
1) B1 (breathing)
Kaji adanya pernafasan adanya gangguan pada palo nafas, sianosis karena suplai
oksigen menurun. Kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi
2) B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
3) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder)
 Inspeksi :
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktifitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta
disertai keluhan keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada neatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat
berkemih mendadah disurea akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
 Palpasi :

11
rasa nyeri disapat pada daerah supra pubik atau pelvis, seperti rasa terbakar
di uretra luar sewaktu kencing atau dapat juga diluar waktu kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adalah peningkatan atau penurunan, adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkan dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kantung
kemih.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu yang lama.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk berkemih
dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung kemih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinesia.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinesia dan rasional penatalaksaan.
Intervensi :
1) Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi
kandung kemih
2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari
Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya
enurasis
3) Bila masih terjadi inkontinesia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung
volume urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4) Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak
ada kebocoran yang lebih dulu.
Rasional : Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.
5) Pantau pemasukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus dibatasi.
Rasional : Dehidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal

12
6) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkontinensia.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinesia, imobilitas dalam waktu yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat berkemih
dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukan tidak adanya
bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal segera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra .
2) Jika dipasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (Merupakan
bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air
besar.
Rasional : Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung,
pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang
terjadi (Memberikan perawatan perineal, pengosongan kantung drainase urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik aseptik bila melakukan
kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter Indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang
4) Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2 jam dan anjurkan
masukan sekurang-kurangnya 2400ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai
dengan kebutuhan .
Rasional : Untuk mencegah stasis urine.
5) Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
a) Tingkatkan masukan sari buah berri .
b) Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
c) R : Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah
beri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan
masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran
kemih.
c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi kontras oleh urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit
teratasi.
Kriteria hasil:

13
1) Jumlah bakteri <100.000/ml
2) Kulit periostomal penuh
3) Suhu 37c
4) Urine jernih dengan sendimen minimal.
Intervensi
1) Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam
Rasional : untuk mengindetifikasi kemajuan atau penyimpanan dari hasil yang
diharapkan
2) Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdefekasi. Yakinkan kulit
bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-
kira setengah inci lebih besar dan diameter stoma untuk menjamin ketepatan
ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periastomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal,memungkinkan kebocoran urin. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urin dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.
d. Resiko kekurangan volume tubuh berhubungan dengan intake yang adekuat
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan seimbang
Kriteria hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1) Awasi tanda-tanda vital
Rasional : pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravaskular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2) Catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan.
3) Awasi berat jenis urine
Rasional : untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikan urine
4) Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
Rasional : membantu periode tanpa cairan meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5) Timbang BB setiap hari
Rasional : untuk mengawasi status cairan
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan radiasi daripada rencana tindakan
keperawatan yang telah diterapkan. Meliputi tindakan independent, dependent, dan
interpendent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, validasi, rencana
keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan memberikan asuhan keperawatan
dan pengumpulan data. (Susan Martin, 1998).

14
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk mengetahui sampai
dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat menemukan intervensi yang
akan dilanjutkan. (Susan Martin, 1998)

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah diatas dapat diambil kesimpulan bahawa Inkontinensia urin
yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada
pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi
dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah
diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000),yang
dimana inkontinensia pasti dialami oleh seseorang yang memasuki usia lansia.

B. Saran
Saran pada makalah ini adalah dimana Inkontinensia urin adalah salah satu
permasalahan yang terjadi pada lansia adalah yang dimana kata lain dari
inkontinensi urin adalah biasa kita sebut dengan melakukan intensitas buang air
kecil secara terus menerus,karena disebabkan fungsi organ di dalam perekemihan
lansia sudah mulai menurun fungsinya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, I. 2017. Makalah dan Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Sistem
Perkemihan dan Pencernaan. Diakses pada tanggal 02 Mei 2019 pada pukul 10.11 WIB
dari https://www.academia.edu
Ana, O. 2016. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Genitourinenaria : Inkontinensia Urine. Dikases pada tanggal 02 Mei 2019 pada pukul
09.33 WIB dari https://www.academia.edu
Junanda, D, Febriantara, D. 2017. Inkontinensia Urin pada Lanjut Usia di Panti Werdha
Provinsi Riau. Diakses pada tanggal 05 Mei 2019 pada pukul 19.21 WIB dari
http://jkm.fk.unri.ac.id
Purba, A. 2015. Askep Inkontinensia Urin. Diakses pada tanggal 02 Mei 2019 pada pukul
10.00 WIB dari https://www.academia.edu

16

Anda mungkin juga menyukai