1.1 Pendahuluan
Maraknya kasus dugaan malpraktik belakangan ini, menjadi peringatan dan sekaligus
sebagai dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas pelayanan. Melaksanakan tugas dengan
berpegang pada janji profesi dan tekad untuk selalu meningkatkan kualitas diri perlu untuk selalu
dipelihara. Kerja sama yang melibatkan segenap tim pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan
kejelasan dalam wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang
disebutkan tadi, maka konsekuensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan
kewenangan atau karena kelalaian. Sebagai contoh umpamanya, terlambat memberi pertolongan
terhadap pasien yang seharusnya segera mendapat pertolongan, merupakan salah satu bentuk
kelalaian yang tidak boleh terjadi.
Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari
penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif,
misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan.
Dari sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban
berdasarkan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi. Tanggung jawab dari
segi hukum perdata didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 BW (Burgerlijk Wetboek), atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Apabila tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian pada pasien, maka tenaga kesehatan tersebut
dapat digugat oleh pasien atau keluarganya yang merasa dirugikan itu berdasarkan ketentuan
Pasal 1365 BW, yang bunyinya sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati.”
Dari segi hukum pidana juga seorang tenaga kesehatan dapat dikenai ancaman Pasal 351
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana tersebut dikenakan kepada
seseorang (termasuk tenaga kesehatan) yang karena kelalaian atau kurang hati-hati menyebabkan
orang lain (pasien) cacat atau bahkan sampai meninggal dunia. Meski untuk mengetahui ada
tidaknya unsur kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam tindakan seseorang tersebut perlu
dibuktikan menurut prosedur hukum pidana. Ancaman pidana untuk tindakan semacam itu
adalah penjara paling lama lima tahun.
Tentu saja semua ancaman, baik ganti rugi perdata maupun pidana penjara, harus terlebih
dahulu dibuktikan berdasarkan pemeriksaan di depan pengadilan. Oleh karena yang berwenang
memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak adalah hakim dalam sidang pengadilan. Tanggung
jawab dari segi hukum administratif, tenaga kesehatan dapat dikenai sanksi berupa pencabutan
surat izin praktik apabila melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya.
Tindakan administratif juga dapat dikenakan apabila seorang tenaga kesehatan :
1. Melalaikan kewajiban;
2. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga
kesehatan;
3. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
4. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang.
Selain oleh aturan hukum, profesi kesehatan juga diatur oleh kode etik profesi (etika profesi).
Namun demikian, menurut Dr. Siswanto Pabidang, masalah etika dan hukum kadangkala masih
dicampur baurkan, sehingga pengertiannya menjadi kabur. Seseorang yang melanggar etika
dapat saja melanggar hukum dan tentu saja seseorang yang melanggar hukum akan melanggar
pula etika.
Pada pasal 52 UU yang sama diatur pula mengenai kewajiban dokter, yang meliputi:
Memberi pelayanan medis sesuai SP dan SOP, serta kebutuhan medis pasien.
Merujuk pasien bila tak mampu.
Menjamin kerahasiaan pasien.
Pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain yg
bertugas dan mampu.
Menambah / ikuti perkembangan iptek kedokteran.
Selain dokter, rumah sakit juga memiliki kewajiban dalam melayani pasiennya.
Kewajiban itu dituangkan dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Kewajiban rumah
sakit itu sudah tentu mengikat juga pada para tenaga medis. Dalam pasal 29 UU No.44
menyatakan kewajiban rumah sakit, diantaranya:
Menurut Kode Etik Rumah Sakit Indonesia terdapat beberapa kewajiban bagi tenaga
medis. Kewajiban itu meliputi kewajiban umum, kewajiban kepada masyarakat dan kewajiban
terhadap pasien.
Kewajiban umum rumah sakit terdiri dari menaati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia,
mengawasi dan bertanggungjawab terhadap semua kejadian di RS (corporate liability), memberi
pelayanan yang baik (duty of due care), memberi pertolongan darurat tanpa meminta
pembayaran uang muka, memelihara rekam medis pasien, memelihara peralatan dengan baik dan
siap pakai, dan merujuk kepada RS lain bila perlu.
Kewajiban rumah sakit kepada masyarakat terdiri dari berlaku jujur dan terbuka, peka
terhadap saran dan kritik masyarakat, berusaha menjangkau pasien di luar dinding RS
(extramural). Sedangkan Kewajiban rumah sakit kepada pasien adalah mengindahkan hak-hak
asasi pasien, memberikan penjelasan kepada pasien tentang derita pasien dan tindakan medis
atasnya, meminta informed consent, mengindahkan hak pribadi (privacy), menjaga rahasia
pasien.
Hak Pasien
Kewajiban Pasien
Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak sadar,
penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin pasien, kepentingan
pasien, kepentingan masyarakat).
Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan nyawa
atau cegah cacat).
TRAUMA URETRA
2.1 Definisi
Ruptur adalah robeknya atau koyaknya jaringan secara paksa. Ruptur uretra adalah
robeknya uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang
panggul, khususnya os pubis.
2.2 Anatomi
Urethra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior.
Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan
sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang
dapat diperintah sesuai keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap
tertutup pada saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih
23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine
lebih sering terjadi pada pria.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang
dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di bagian posterior lumen uretra
prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar
prostat bermuara di dalam duktus prostatika yang tersebar di uretra prostatika .
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikularis, dan meatus uretra
eksterna. Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam
proses reproduksi, yaitu kelenjar cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis dan bermuara
di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra
pars pendularis.
Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar
periuretra, diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat
sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan
tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urine tetap berada di dalam buli-buli pada
saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra
akibat kontraksi otot destrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus trauma uretra posterior terjadi pada laki-laki
karena fraktur pelvis. Diantara trauma panggul yang terjadi pada laki-laki yang disertai cedera
uretra 1-25% dengan rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita yang disebabkan oleh trauma
panggul dilaporkan 4-6%. Trauma uretra anterior pada laki-laki jarang dilaporkan.
2.4 Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang
pelvis menyebabkan ruptura uretra pars amembranasea, sedangkan trauma tumpul pada
selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptura uretra pars bulbosa. Pemasangan
kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati- hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena false route atau salah jalan, demikian pula tindakan operasi transuretra dapat
menimbulkan cedera uretra iatrogenik.
2.5 Patofisiologi
Ruptur uretra dibedakan menjadi :
1. Ruptur uretra anterior
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan
fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine akan
keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinik terlihat
hematom yang terbatas pada penis. Tetapi jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin
dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum
atau ke dinding abdomen. Karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-
kupu sehingga disebut butterfly hematoma.
2. Ruptur uretra posterior
Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur
tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika
tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di
diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplet. Pada
ruptur total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga
buli-buli dan prostat terlepas ke kranial.
2.7 Diagnosis
1. Foto polos pelvis
Setiap pemeriksaan trauma uretra sebaiknya dibuat terlebih dahulu foto polos
pelvis. Yang harus diperhatikan pada foto ini adalah melihat adanya fraktur
pelvis.
2. Urografi retrograde
Merupakan jenis X-ray yang memungkinkan visualisasi kandung kemih, ureter,
dan pelvis ginjal. Indikasi untuk urografi retrograd adalah untuk melihat anatomi
traktus urinarius bagian atas dan lesi-lesinya. Pemeriksaan ini dilakukan jika
pielografi intravena tidak berhasil menyajikan anatomi dan lesi-lesi traktus
urinarius bagian atas.
Teknik Pemeriksaan
Urografi retrograd memerlukan prosedur sistoskopi. Kateter dimasukan oleh
seorang ahli urologi. Kerjasama antara ahli urologi dan radiologi diperlukan,
karena waktu memasukan kontras, posisi pasien dapat dipantau dengan
fluoroskopi atau televisi. Udara dalam kateter dikeluarkan, kemudian 25 % bahan
kontras yang mengandung yodium disuntikan, dengan dosis 5-10 ml, ini di bawah
pengawasan fluoroskopi. Harus dicegah pengisian yang berlebihan, sebab resiko
ekstravasasi ke dalam sinus renalis atau intravasai ke dalam kumpulan saluran-
saluran. Ekstravasasi kontras dapat menutupi bagian- bagian yang halus dekat
papilla.
Gambar : Trauma uretra Tipe III pada diafragma urogenital (tanda panah)
dan robekan uretra tipe IV di leher buli-buli (garis putus-putus).
Tipe V :
Terjadi di uretra anterior
Terlihat ekstravasasi kontras bagian inferior diafragma urogenital
Gambar : Straddle injury. Trauma uretra tipe V dengan ekstravasasi zat
kontras dari distal bulbous uretra.
3. CT-Scan
Penggunaan CT-Scan sebagai modalitas skrining awal untuk trauma akut pada
umumnya. Beberapa literatur menyebutkan aplikasi CT-Scan dalam mendiagnosis
trauma uretra. Pemeriksaan CT-Scan dapat digunakan untuk melihat trauma uretra
dengan ekstravasasi kontras.
4. USG
USG jarang digunakan untuk mendiagnosis trauma uretra. Namun, USG dapat
digunakan untuk menentukan ukuran hematom yang terjadi akibat trauma uretra.
2.8 Penatalaksanaan
Ruptur uretra anterior
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat
menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4-6 bulan perlu
dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial dengan
ekstravasasi ringan sebagian klinik hanya melakukan sistostomi dan setelah 2
minggu dilakukan uretrogram serta dicoba miksi. Jika didapatkan striktura, kateter
sistostomi dilepas. Tetapi jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau
sachse. Sebagian klinik lain melakukan reparasi primer jika pasien datang dalam
waktu kurang dari 6-8 jam yaitu dalam masa golden periode.
Jika tedapat rupture uretra anterior dengan ekstravasasi urin dan hematom yang luas
perlu dilakukan insisi hematom dan pemasangan kateter sistostomi.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, trauma,hematom, abses periuretral,
fistel uretrokutan dan epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra.
Khusus pada ruptur uretra posterior dapat timbul komplikasi disfungsi ereksi sebanyak 13- 30 %
sebagai akibat terputusnya persarafan parasimpatik dan pembuluh darah yang memelihara penis,
dan inkontinensia urin yang terjadi sebanyak 2- 4 % yang disebabkan karena kerusakan sfingter
uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura ( 12-15%) yang dapat diatasi
dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura ini
biasanya tidak memerlukan tindakan uretroplasti ulangan.
KATETERISASI
Dower kateter merupakan salah satu tipe kateter yang berupa selang yang dimasukkan
kedalam uretra melalui genitalia. Dower kateter termasuk ke dalam kateter indwelling (foley
kateter) atau kateter menetap, yang mana kateter ini tetap di tempat untuk priode waktu yang
lebih lama sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran
akurat perjam dibutuhkan.
3.2 Indikasi
Dengan memasukkan kateter Foley, memudahkan akses ke kandung kemih dan
isinya. Sehingga memungkinkan untuk menguras isi kandung kemih, tekanan udara kandung
kemih, mendapatkan spesimen, dan memperkenalkan bagian ke dalam saluran. Ini akan
memungkinkan untuk mengobati retensi urin, dan obstruksi kandung kemih.
1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik yang
disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing ( bekuan darah) yang
menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinarius bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk
buli-buli.
3.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi yang terjadi, adanya trauma uretra. Cedera uretra dapat terjadi pada pasien
dengan cedera multisistem dan fraktur panggul. Jika ini diduga, kita harus melakukan colok
dubur sebagai diagnosis pertama. Jika menemukan darah di meatus dari uretra, hematoma
skrotum, patah tulang panggul, atau prostat naik tinggi, maka kecurigaan tinggi terjadinya
trauma uretra. Selanjutnya dapat dilakukan urethrography retrograde (suntik 20 cc kontras ke
dalam urethra). Kateter tidak dapat digunakan pada pasien yang terinfeksi saluran kemih, dan
ekimosis daerah uretra.
3.5 Tujuan
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi. Tindakan
diagnosis antara lain adalah :
Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna pemeriksaan
kultur urin.
Mengukur residu ( sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai miksi.
Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain : sistografi atau
pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding cysto-
urethrography ( VCUG).
Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.
3.6 Persiapan Alat
1) Bak instrumen berisi :
a) foley kateter sesuai ukuran 1 buah
b) Urine bag steril 1 buah
c) Pinset anatomi 2 buah
d) Duk steril
e) Kassa steril yang diberi jelly
2) Sarung tangan steril
3) Kapas sublimat dalam kom tertutup
4) Perlak dan pengalasnya 1 buah
5) sampiran
6) Cairan aquades atau Nacl
7) Plester
8) Gunting verband
9) Bengkok 1 buah
10)Korentang pada tempatnya
3.7 Prosedur
Pada Wanita
Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih
pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra karena
terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra/ tumor
vaginalis/ serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih
dahulu.
Pada Pria
Teknik Kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin/ jelly dimasukkan ke dalam orifisium
uretra eksterna
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah sfingter uretra
eksterna akan tersa tahanan, pasien diperintahkan untuk mengambil nafas
dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari
lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 10-15 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinebag)
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.
1. Banyak minum, urin cukup sehingga tidak terjadi kotoran yang bisa mengendap dalam
kateter
2. Mengosongkan urine bag secara teratur
3. Tidak mengangkat urine bag lebih tinggi dari tubuh penderita agar urin tidak mengalir
kembali ke buli-buli
4. Membersihkan darah, nanah, sekret periuretra dan mengolesi kateter dengan antiseptik
secara berkala
5. Ganti kateter paling tidak 2 minggu sekali