Anda di halaman 1dari 19

ETIKA MEDIK

1.1 Pendahuluan
Maraknya kasus dugaan malpraktik belakangan ini, menjadi peringatan dan sekaligus
sebagai dorongan untuk lebih memperbaiki kualitas pelayanan. Melaksanakan tugas dengan
berpegang pada janji profesi dan tekad untuk selalu meningkatkan kualitas diri perlu untuk selalu
dipelihara. Kerja sama yang melibatkan segenap tim pelayanan kesehatan perlu dieratkan dengan
kejelasan dalam wewenang dan fungsinya. Oleh karena tanpa mengindahkan hal-hal yang
disebutkan tadi, maka konsekuensi hukum akan muncul tatkala terjadi penyimpangan
kewenangan atau karena kelalaian. Sebagai contoh umpamanya, terlambat memberi pertolongan
terhadap pasien yang seharusnya segera mendapat pertolongan, merupakan salah satu bentuk
kelalaian yang tidak boleh terjadi.
Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari
penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif,
misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan.
Dari sudut hukum, profesi tenaga kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban
berdasarkan hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum administrasi. Tanggung jawab dari
segi hukum perdata didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 BW (Burgerlijk Wetboek), atau Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Apabila tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian pada pasien, maka tenaga kesehatan tersebut
dapat digugat oleh pasien atau keluarganya yang merasa dirugikan itu berdasarkan ketentuan
Pasal 1365 BW, yang bunyinya sebagai berikut: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hati.”
Dari segi hukum pidana juga seorang tenaga kesehatan dapat dikenai ancaman Pasal 351
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana tersebut dikenakan kepada
seseorang (termasuk tenaga kesehatan) yang karena kelalaian atau kurang hati-hati menyebabkan
orang lain (pasien) cacat atau bahkan sampai meninggal dunia. Meski untuk mengetahui ada
tidaknya unsur kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam tindakan seseorang tersebut perlu
dibuktikan menurut prosedur hukum pidana. Ancaman pidana untuk tindakan semacam itu
adalah penjara paling lama lima tahun.
Tentu saja semua ancaman, baik ganti rugi perdata maupun pidana penjara, harus terlebih
dahulu dibuktikan berdasarkan pemeriksaan di depan pengadilan. Oleh karena yang berwenang
memutuskan seseorang itu bersalah atau tidak adalah hakim dalam sidang pengadilan. Tanggung
jawab dari segi hukum administratif, tenaga kesehatan dapat dikenai sanksi berupa pencabutan
surat izin praktik apabila melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya.
Tindakan administratif juga dapat dikenakan apabila seorang tenaga kesehatan :
1. Melalaikan kewajiban;
2. Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga
kesehatan;
3. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
4. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang.
Selain oleh aturan hukum, profesi kesehatan juga diatur oleh kode etik profesi (etika profesi).
Namun demikian, menurut Dr. Siswanto Pabidang, masalah etika dan hukum kadangkala masih
dicampur baurkan, sehingga pengertiannya menjadi kabur. Seseorang yang melanggar etika
dapat saja melanggar hukum dan tentu saja seseorang yang melanggar hukum akan melanggar
pula etika.

1.2 Kewajiban dan Hak Tenaga Medis


Di dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pada pasal 50 disebutkan
adanya hak-hak dokter, yakni:

 Memperoleh perlindungan hukum sepanjang sesuai standar profesi dan SOP.


 Memberikan layanan medis menurut standar profesi (SP) dan standar operasional
prosedur (SOP).
 Memperoleh info yg jujur dan lengkap dari pasien atau keluarga pasien.
 Menerima imbalan jasa.
Adanya perlindungan hukum bagi dokter ini mengingat bahwa pekerjaan dokter dianggap
sah sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan bahwa dalam bekerja seorang
dokter harus bebas dari intervensi pihak lain, dan bebas dari kekerasan. Jika pun terdapat dugaan
“malpraktik” harus melalui proses pembuktian hukum terlebih dahulu, termasuk diantaranya
tentu saja seorang dokter bebas memperoleh pembelaan hukum.

Pada pasal 52 UU yang sama diatur pula mengenai kewajiban dokter, yang meliputi:

 Memberi pelayanan medis sesuai SP dan SOP, serta kebutuhan medis pasien.
 Merujuk pasien bila tak mampu.
 Menjamin kerahasiaan pasien.
 Pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain yg
bertugas dan mampu.
 Menambah / ikuti perkembangan iptek kedokteran.

Selain dokter, rumah sakit juga memiliki kewajiban dalam melayani pasiennya.
Kewajiban itu dituangkan dalam UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Kewajiban rumah
sakit itu sudah tentu mengikat juga pada para tenaga medis. Dalam pasal 29 UU No.44
menyatakan kewajiban rumah sakit, diantaranya:

 Informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat.


 Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, tidak diskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
 Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya.
 Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya.
 Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin.
 Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien
tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis,
pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan.
 Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien.
 Menyelenggarakan rekam medis.
 Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir,
ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia.
 Melaksanakan sistem rujukan.
 Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan perundang-undangan.
 Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien.
 Menghormati dan melindungi hak-hak pasien.
 Melaksanakan etika rumah sakit.
 Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana.
 Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun
nasional.
 Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi
dan tenaga kesehatan lainnya.
 Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws).
 Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam
melaksanakan tugas.
 Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.

Menurut Kode Etik Rumah Sakit Indonesia terdapat beberapa kewajiban bagi tenaga
medis. Kewajiban itu meliputi kewajiban umum, kewajiban kepada masyarakat dan kewajiban
terhadap pasien.

Kewajiban umum rumah sakit terdiri dari menaati Kode Etik Rumah Sakit Indonesia,
mengawasi dan bertanggungjawab terhadap semua kejadian di RS (corporate liability), memberi
pelayanan yang baik (duty of due care), memberi pertolongan darurat tanpa meminta
pembayaran uang muka, memelihara rekam medis pasien, memelihara peralatan dengan baik dan
siap pakai, dan merujuk kepada RS lain bila perlu.
Kewajiban rumah sakit kepada masyarakat terdiri dari berlaku jujur dan terbuka, peka
terhadap saran dan kritik masyarakat, berusaha menjangkau pasien di luar dinding RS
(extramural). Sedangkan Kewajiban rumah sakit kepada pasien adalah mengindahkan hak-hak
asasi pasien, memberikan penjelasan kepada pasien tentang derita pasien dan tindakan medis
atasnya, meminta informed consent, mengindahkan hak pribadi (privacy), menjaga rahasia
pasien.

1.3 Kewajiban dan Hak Pasien

 Menurut UU no. 29 Tahun 2004 : UU tentang Praktik Kedokteran pasal 50 dan 51 :

Hak Pasien

Pasien, dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak:

1. .Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud


dalam pasal 45 ayat (3), yaitu :

 Diagnosis dan tata cara tindakan medis;


 Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
 Alternatif tindakan lain dan resikonya;
 Risiko dan komplikasi yang mukin terjadi; dan
 Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis; dan
5. Mendapat isi rekam medis.

Kewajiban Pasien

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :

1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;


2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
4. Memberikan imbalan atas pelayanan yang diterima.

 Hak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:

 Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak sadar,
penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
 Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin pasien, kepentingan
pasien, kepentingan masyarakat).
 Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan nyawa
atau cegah cacat).

TRAUMA URETRA

2.1 Definisi
Ruptur adalah robeknya atau koyaknya jaringan secara paksa. Ruptur uretra adalah
robeknya uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan kebanyakan disertai fraktur tulang
panggul, khususnya os pubis.

2.2 Anatomi
Urethra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior.
Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan
sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang
dapat diperintah sesuai keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap
tertutup pada saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih
23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine
lebih sering terjadi pada pria.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang
dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di bagian posterior lumen uretra
prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar
prostat bermuara di dalam duktus prostatika yang tersebar di uretra prostatika .
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikularis, dan meatus uretra
eksterna. Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam
proses reproduksi, yaitu kelenjar cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis dan bermuara
di uretra pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra
pars pendularis.
Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar
periuretra, diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat
sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan
tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urine tetap berada di dalam buli-buli pada
saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra
akibat kontraksi otot destrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat sebagian besar kasus trauma uretra posterior terjadi pada laki-laki
karena fraktur pelvis. Diantara trauma panggul yang terjadi pada laki-laki yang disertai cedera
uretra 1-25% dengan rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita yang disebabkan oleh trauma
panggul dilaporkan 4-6%. Trauma uretra anterior pada laki-laki jarang dilaporkan.

2.4 Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang
pelvis menyebabkan ruptura uretra pars amembranasea, sedangkan trauma tumpul pada
selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptura uretra pars bulbosa. Pemasangan
kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati- hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena false route atau salah jalan, demikian pula tindakan operasi transuretra dapat
menimbulkan cedera uretra iatrogenik.
2.5 Patofisiologi
Ruptur uretra dibedakan menjadi :
1. Ruptur uretra anterior
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan
fasia Colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine akan
keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinik terlihat
hematom yang terbatas pada penis. Tetapi jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin
dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum
atau ke dinding abdomen. Karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-
kupu sehingga disebut butterfly hematoma.
2. Ruptur uretra posterior
Ruptur uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur
tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika
tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di
diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplet. Pada
ruptur total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga
buli-buli dan prostat terlepas ke kranial.

2.6 Manifestasi Klinis


 Ruptur uretra anterior
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan peruretram. Jika terdapat
robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau butterfly
hematoma. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.
 Ruptur uretra posterior
Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali dating dengan keadaan syok
karena terdapat fraktur pelvis/ cedera organ lain yang menimbulkan banyak
perdarahan.
Rupture uretra posterior tidak jarang memberikan gambaran yang khas berupa :
 Perdarahan peruretram
 Retensi urin
 Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostat (prostat
melayang) di dalam suatu hematom.

2.7 Diagnosis
1. Foto polos pelvis
Setiap pemeriksaan trauma uretra sebaiknya dibuat terlebih dahulu foto polos
pelvis. Yang harus diperhatikan pada foto ini adalah melihat adanya fraktur
pelvis.
2. Urografi retrograde
Merupakan jenis X-ray yang memungkinkan visualisasi kandung kemih, ureter,
dan pelvis ginjal. Indikasi untuk urografi retrograd adalah untuk melihat anatomi
traktus urinarius bagian atas dan lesi-lesinya. Pemeriksaan ini dilakukan jika
pielografi intravena tidak berhasil menyajikan anatomi dan lesi-lesi traktus
urinarius bagian atas.
Teknik Pemeriksaan
Urografi retrograd memerlukan prosedur sistoskopi. Kateter dimasukan oleh
seorang ahli urologi. Kerjasama antara ahli urologi dan radiologi diperlukan,
karena waktu memasukan kontras, posisi pasien dapat dipantau dengan
fluoroskopi atau televisi. Udara dalam kateter dikeluarkan, kemudian 25 % bahan
kontras yang mengandung yodium disuntikan, dengan dosis 5-10 ml, ini di bawah
pengawasan fluoroskopi. Harus dicegah pengisian yang berlebihan, sebab resiko
ekstravasasi ke dalam sinus renalis atau intravasai ke dalam kumpulan saluran-
saluran. Ekstravasasi kontras dapat menutupi bagian- bagian yang halus dekat
papilla.

Klasifikasi trauma uretra berdasarkan hasil pemeriksaan urografi retrograde


(Goldman Classification) :
 Tipe I
 Ruptur ligamentum puboprostatika
 Prostat bergeser ke superior
 Uretra tetap intak
 Tidak ada ekstravasasi zat kontras
Gambar : Tipe I trauma uretra dengan peregangan lumen uretra posterior
dan tidak ada ekstravasasi kontras.
 Tipe II :
 Trauma uretra posterior dan diafragma urogenital
 Terlihat ekstravasasi kontras dalam pelvis extra peritoneal
 Zat kontras tidak ada dalam perineum

Gambar : Robekan uretra tipe II, tampak ekstravasasi kontras di superior


dengan diafragma urogenital yang masih intak.
 Tipe III :
 Kerusakan meluas sampai ke proksimal uretra pars bulbosa
 Terlihat ekstravasasi kontras pada rongga pelvis ekstraperitoneal
dan perineum.
Gambar : Trauma uretra Tipe III, ekstravasasi zat kontras di kedua ruang
pelvis ekstraperitoneal dan di dalam perineum (di atas dan di bawah
diafragma urogenital).
 Tipe IV :
 Terjadi dekat buli-buli, meluas ke uretra proksimal
 Ekstravasasi kontras pada pelvis ekstraperitoneal dan sekitar
proksimal uretra
 Dapat merusak sfingter uretra interna

Gambar : Trauma uretra Tipe III pada diafragma urogenital (tanda panah)
dan robekan uretra tipe IV di leher buli-buli (garis putus-putus).
 Tipe V :
 Terjadi di uretra anterior
 Terlihat ekstravasasi kontras bagian inferior diafragma urogenital
Gambar : Straddle injury. Trauma uretra tipe V dengan ekstravasasi zat
kontras dari distal bulbous uretra.
3. CT-Scan
Penggunaan CT-Scan sebagai modalitas skrining awal untuk trauma akut pada
umumnya. Beberapa literatur menyebutkan aplikasi CT-Scan dalam mendiagnosis
trauma uretra. Pemeriksaan CT-Scan dapat digunakan untuk melihat trauma uretra
dengan ekstravasasi kontras.

Gambar : CT-Scan memperlihatkan ekstravasasi kontras di dasar pelvis.

4. USG
USG jarang digunakan untuk mendiagnosis trauma uretra. Namun, USG dapat
digunakan untuk menentukan ukuran hematom yang terjadi akibat trauma uretra.

2.8 Penatalaksanaan
 Ruptur uretra anterior
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat
menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4-6 bulan perlu
dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial dengan
ekstravasasi ringan sebagian klinik hanya melakukan sistostomi dan setelah 2
minggu dilakukan uretrogram serta dicoba miksi. Jika didapatkan striktura, kateter
sistostomi dilepas. Tetapi jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau
sachse. Sebagian klinik lain melakukan reparasi primer jika pasien datang dalam
waktu kurang dari 6-8 jam yaitu dalam masa golden periode.
Jika tedapat rupture uretra anterior dengan ekstravasasi urin dan hematom yang luas
perlu dilakukan insisi hematom dan pemasangan kateter sistostomi.

 Ruptur uretra posterior


Ruptur uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen dan
fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena itu sebaiknya
di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra. Tindakan yang
berlebihan akan menyebabkan perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat
serta menambah kerusakan pada uretra dan striktur neovaskuler di sekitarnya. Kerusakan
neovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi dan inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistosomi untuk diversi
urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi, melakukan primary endoscopic
realligment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntutan
uteroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling
didedakatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra
dipertahankan selama 14 hari.
Sebagian ahli lain mengerjakanreparasi uretra (uretroplasti0 setelah 3 bulan pasca trauma
dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan
rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.

2.9 Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, trauma,hematom, abses periuretral,
fistel uretrokutan dan epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra.
Khusus pada ruptur uretra posterior dapat timbul komplikasi disfungsi ereksi sebanyak 13- 30 %
sebagai akibat terputusnya persarafan parasimpatik dan pembuluh darah yang memelihara penis,
dan inkontinensia urin yang terjadi sebanyak 2- 4 % yang disebabkan karena kerusakan sfingter
uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura ( 12-15%) yang dapat diatasi
dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura ini
biasanya tidak memerlukan tindakan uretroplasti ulangan.

KATETERISASI

3.1 Definisi Dower Kateter

Dower kateter merupakan salah satu tipe kateter yang berupa selang yang dimasukkan
kedalam uretra melalui genitalia. Dower kateter termasuk ke dalam kateter indwelling (foley
kateter) atau kateter menetap, yang mana kateter ini tetap di tempat untuk priode waktu yang
lebih lama sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran
akurat perjam dibutuhkan.

3.2 Indikasi
Dengan memasukkan kateter Foley, memudahkan akses ke kandung kemih dan
isinya. Sehingga memungkinkan untuk menguras isi kandung kemih, tekanan udara kandung
kemih, mendapatkan spesimen, dan memperkenalkan bagian ke dalam saluran. Ini akan
memungkinkan untuk mengobati retensi urin, dan obstruksi kandung kemih.

Berikut beberapa indikasi pemasangan kateter :

1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik yang
disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing ( bekuan darah) yang
menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinarius bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk
buli-buli.
3.3 Kontraindikasi
Kontraindikasi yang terjadi, adanya trauma uretra. Cedera uretra dapat terjadi pada pasien
dengan cedera multisistem dan fraktur panggul. Jika ini diduga, kita harus melakukan colok
dubur sebagai diagnosis pertama. Jika menemukan darah di meatus dari uretra, hematoma
skrotum, patah tulang panggul, atau prostat naik tinggi, maka kecurigaan tinggi terjadinya
trauma uretra. Selanjutnya dapat dilakukan urethrography retrograde (suntik 20 cc kontras ke
dalam urethra). Kateter tidak dapat digunakan pada pasien yang terinfeksi saluran kemih, dan
ekimosis daerah uretra.

3.4 Komplikasi Pemasangan Kateter


1. Bila pemasangan dilakukan tidak hati-hati bisa menyebabkan luka dan perdarahan uretra
yang berakhir dengan striktur uretra seumur hidup
2. Balon yang dikembangkan sebelum memasuki buli-buli juga dapat menimbulkan luka
pada uretra. Karenanya, balon dikembangkan bila yakin balon akan mengembang di
dalam buli-buli dengan mendorong kateter sampai ke pangkalnya
3. Infeksi uretra dan buli-buli
4. Nekrosis uretra bila ukuran kateter terlalu besar atau fiksasi yang keliru
5. Merupakan inti pembentukan batu buli-buli
6. Pada penderita tidak sadar, kateter dengan balon terkembang bila dicabut dapat berakibat
perdarahan dan melukai uretra
7. Kateter tidak bisa dicabut karena saluran pengembang balon tersumbat

3.5 Tujuan
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi. Tindakan
diagnosis antara lain adalah :
 Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna pemeriksaan
kultur urin.
 Mengukur residu ( sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai miksi.
 Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain : sistografi atau
pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding cysto-
urethrography ( VCUG).
 Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
 Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.
3.6 Persiapan Alat
1) Bak instrumen berisi :
a) foley kateter sesuai ukuran 1 buah
b) Urine bag steril 1 buah
c) Pinset anatomi 2 buah
d) Duk steril
e) Kassa steril yang diberi jelly
2) Sarung tangan steril
3) Kapas sublimat dalam kom tertutup
4) Perlak dan pengalasnya 1 buah
5) sampiran
6) Cairan aquades atau Nacl
7) Plester
8) Gunting verband
9) Bengkok 1 buah
10)Korentang pada tempatnya

3.7 Prosedur
Pada Wanita
Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih
pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra karena
terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra/ tumor
vaginalis/ serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih
dahulu.
Pada Pria
Teknik Kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin/ jelly dimasukkan ke dalam orifisium
uretra eksterna
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah sfingter uretra
eksterna akan tersa tahanan, pasien diperintahkan untuk mengambil nafas
dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari
lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 10-15 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinebag)
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.

3.9 Perawatan Kateter Menetap


Kateter merupakan benda asing pada uretra dan buli-buli, bila tidak dirawat dengan baik
akan menimbulkan komplikasi serius. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk merawat
kateter menetap :

1. Banyak minum, urin cukup sehingga tidak terjadi kotoran yang bisa mengendap dalam
kateter
2. Mengosongkan urine bag secara teratur
3. Tidak mengangkat urine bag lebih tinggi dari tubuh penderita agar urin tidak mengalir
kembali ke buli-buli
4. Membersihkan darah, nanah, sekret periuretra dan mengolesi kateter dengan antiseptik
secara berkala
5. Ganti kateter paling tidak 2 minggu sekali

Anda mungkin juga menyukai