Anda di halaman 1dari 14

A.

DEFINISI

a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana patogenis utamanya

diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama

disebabkan oleh serat).Patofisiologi Edisi 4 hal 448.

b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling

umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2008.

c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran kecil yang

mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi appendik pada daerah

illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding abdomen dibawah titik Mc

burney.

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :

1. Apendisitis akut, dibagi atas:

1. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.

2. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

2. Apendisitis kronis, dibagi atas:

1. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal.

2. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

C. PENYEBAB/ FACTOR PREDISPOSISI


Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang

dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor

apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari

kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang

apendiks, diantaranya :

a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith
dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan
kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks
yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi
apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga
terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara
yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat,
memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.
D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA
 Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :

a. Nyeri perut.

Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Nyeri

perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam

nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih

tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa

keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai

posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah,

punggung, atau di bawah pusar. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah

epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

b. Anoreksia (penurunan nafsu makan).

c. Mual dan muntah

Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien

hanya muntah satu atau dua kali.

d. Keinginan BAB atau kentut.

e. Demam

juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari 1 oC (37,8oC

– 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah

terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis).

 Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.

Berikut gejala yang timbul tersebut :

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum),

 Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal.
 Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti

berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.

 Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan

sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih

cepat dan berulang-ulang (diare).

 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan

frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan

akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui

setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak

khas.

E. PATOFISIOLOGI

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hyperplasia

folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan sebelumnya atau tumor.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa mengalami

bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas dinding appendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang

meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapendesis

bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri

epigastrium.

Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan

mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding. Karena

obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi yang bercampur

kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini dapat meluas dan mengenai

peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

appendisitis supuratif akut.


Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks yang

diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah

raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke

arah appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat appendikularis. Peradangan

appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

F. PEMERIKSAAN FISIK

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan

jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga

akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis.

Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda

Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa

nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

f. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak

apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri,

maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan

kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

g. Pemeriksaan uji psoas

Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan

rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul

kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas

mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.


h. Pemeriksaan uji obturator

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi

terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan

dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan

pada apendisitis pelvika.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
 Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi
 Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 –
97 %)
 CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
keakuratannya 93 – 98 %.

9. PENATALAKSANAAN
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah
segera dilakukan apendiktomi.
Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi
terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob
dan anaerob.
 Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan.
 Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan
melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi.
 Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis
serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah
dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.

c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan


 Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
 Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)

10. KOMPLIKASI YANG DAPAT TERJADI


Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis
atau abses apendiks
a. Tromboflebitis supuratif
b. Abses subfrenikus
c. Obstruksi intestinal

A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN

a. Identitas klien, Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku

bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin

dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun.

b. Keluhan utama

Keluhan utama nyeri bekas luka operasi.

c. Riwayat penyakit sekarang

Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri dirasakan pada luka

bekas operasi dengan skala (0-10) dan nyeri timbul memberat ketika bergerak.

d. Riwayat penyakit dahulu

Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga

meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan

meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga menjadi appendisitis akut.

e. Pola – pola fungsi kesehatan

1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di rumah sakit.

2. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.

3. Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan dower chateter

karena masih dalam pengaruh anastesi, dan pasien akan dilatih untuk berkemih.

4. Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah. Namun, setelah 6

jam pasien diharapkan pasien sudah mampu untuk bergerak miring kanan dan miring kiri

dan dilanjutkan dengan duduk kemudian berjalan.

5. Pola tidur dan istirahat


Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6. Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba
danPenghidu tidak mengalami gangguan.
7. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan post operasi
appendiks.
8. Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi
hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
9. Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada hubungannya
dengan alat reproduksi.
10. Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan post
operasi. Gali
adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya dower chateter dan nyeri post
operasi memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa pre-tindakan

1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi

gastrointestinal.

2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.

3) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

4) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.


Diagnosa post-tindakan

1) Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi

2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat

pembedahan

3) Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan

informasi mengenai perawatan luka post operasi.

3. RENCANA TINDAKAN

Diagnosa pre-tindakan

1. Dx 1 :

Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi

gastrointestinal.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan pasien dapat melakukan

manajemen nyeri dengan kriteria hasil :

 Pasien tampak lebih tenang.

 Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.

 Pasien tidak meringis kesakitan lagi.

INTERVENSI :

1. Observasi skala nyeri pasien.

R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan

intervensi.

2. Beri lingkungan yang nyaman.

R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.

3. Lakukan tehnik distraksi.

R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri

sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.

4. Pantau perkembangan nyeri pasien.

R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami pasien sudah tidak

dapat ditoleransi lagi.


2. Dx 2 :

Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dapat

turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).

INTERVENSI :

1. Observasi TTV.

R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.

2. Beri lingkungan yang nyaman.

R/ : Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keadaan pasien.

3. Lakukan kompres air hangat.

R/ : Untuk mengembalikan fungsi termostat dalam keadaan normal.

4. Ukur TTV.

R/ : Untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pasien.

3. Dx 3 :

Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan pasien
dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :
 Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit normal, mukosa bibir tidak
kering)
 Pasien tidak merasa haus.
 Pasien tampak segar.

INTERVENSI :
1. Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.

R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat mengetahui

tindakan yang harus dilakukan.

2. Awasi cairan masuk dan cairan keluar.

R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.

3. Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui intravena.


R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral karena pasien

yang akan dilakukan tindakan apendiktomi harus dipuasakan.

4. Dx 4 :

Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan cemas pasien berkurang,

dengan kriteria hasil :

 Pasien tampak tenang.

 Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis yang akan dilakukan..

INTERVENSI :
1. Kaji keadaan emosi pasien.

R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat menentukan tindakan dan waktu

yang tepat untuk melakukan tindakan keperawatan.

2. Lakukan BHSP apabila keadaan emosi pasien saat itu memungkinkan.

R/ : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus melaksanakan pendekatan agar tindakan

keperawatan yang dilakukan lebih mudah.

3. Eksplorasi perasaan pasien.

R/ : Untuk menggali lebih jauh apa yang dirasakan pasien.

4. Biarkan pasien mengungkap perasaannya.

R/ : Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.

5. Berikan feed back positif dan berikan support kepada pasien.

R/ : Agar pasien merasa nyaman dan merasa ada yang mendukungnya.

Diagnosa post-tindakan

1. Dx 1 :

Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami

pasien berkurang dengan kriteria hasil :


 Pasien tidak meringis.

 Pasien tampak tenang.

 Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.

INTERVENSI :
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3. Lakukan tehnik distraksi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri
sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4. Beri analgetik
R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.
2. Dx 2 :
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan luka pasien tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
INTERVENSI :
1. Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.
R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, dan perubahan
fungsi), pus, jaringan nekrotik.
2. Lakukan perawatan luka.
R/ : Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.
3. Jaga luka agar tetap steril.
R/ : Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.
4. Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka, menjaga luka agar tetap
kering.
R/ : Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat berkembang.

5. Berikan salep betadine di atas luka pasien.

R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.


3. Dx 3 :

Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya

paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan tingkat pengetahuan orang

tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.

INTERVENSI :

1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua pasien.

R/ menentukan cara penyampaian informasi kepada keluarga pasien.

2. Lakukan BHSP.

R/ mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan.

3. Berikan penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua pasien.

R/ memberikan penjelasan kepada orang tua pasien.

4. Berikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan perasaannya.

R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkap kesulitan yang dihadapi.

5. Evaluasi tingkat pengetahuan pasien.

R/ untuk mengetahui keberhasilan intervensi.


4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.
5.EVALUASI
Diagnosa pre-tindakan
1. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
3. Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4. Cemas pasien berkurang
Diagnosa post-tindakan
1. Nyeri yang dialami pasien berkurang

2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan

fungsi)

3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta : EGC

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC

Mansjoer A,. dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai