Oleh :
Nabilah 1102010198
Ashilah H Assegaff 1102013045
M Gilang Gumilar 1102011176
Pembimbing :
dr. Endah Sp.P
II. Anamnesis
Sesuai dengan rekam medis pasien
a. Keluhan utama
Badan terasa lemas, sesak nafas, mual dan disertai batuk-batuk.
e. Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat maupun makanan.
f. Keadaan sosial-ekonomi
Pasien tinggal bersama keluarganya.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
TB : 162cm
TD : 130/80
BB : 56 Kg
Nadi : 92x /mnt
Suhu : 36.5c
Status Generalis
Kepala :
Mata : Ikterik +/+
Telinga : DBN
Hidung : DBN
Gigi : DBN
Mulut : DBN
Leher : DBN
Thorax :
Paru : Vasikular +/+, Rhonki -/-, Mengi +/+
Jantung : S1 S2 (N), Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen :
Hati : dbn
Limpa : dbn
Ekstrimitas : DBN
h. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan pemeriksaan darah lengkap, LED, SGOT/SGPT, Bilirubin
direk/ indirek, Ureum/kreatinin.
i. Diagnosa Primer
Drug Induced Liver Injury
j. Diagnosa sekunder
PPOK
Asma
Sindrom Dispepsia
k. Tatalaksana
IVFD RL 500cc /8 jam
O2 3L/m
Lesicol 3x300 mg
Hp-Pro 3x1 tab (po)
Curcuma 3x1 tab (po)
Inj Omeprazole 1x 40 mg IV
Inj Ondancentron 3x8mg
Inhalasi Combivent 4x/hari
Inhalasi Pulmicort 2x/hari
Neurodex 2x1tab (po)
Codein 3x10mg (po)
l. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsional : dubia ad bonam
Quo as Sanationam : dubia ad bonam
m. Follow up
Tanggal S O A P
27 April Lemas, TSS, CM Drug Induced IVFD RL 500cc /8 jam
2018 Batuk TD : Liver Injury O2 3lpm
(+), 130/70 PPOK Lesicol 3x300 mg
Sesak N : 100 Asma Hp-Pro 3x1 tab (po)
Rr. 20 Sindroma Curcuma 3x1 tab (po)
S : 36.2 Dyspepsia Inj Omeprazole 1x 40 mg
IV
Inj Ondancentron 3x8mg
Inhalasi Combivent
4x/hari
Inhalasi Pulmicort 2x/hari
Neurodex 2x1tab (po)
Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
28 Batuk TD : Drug Induced IVFD RL 500cc /8 jam
April berdahak, 110/70 Liver Injury O2 3lpm
2018 sesak Hr : 110 PPOK Lesicol 3x300 mg
nafas, Rr : 24 Asma Hp-Pro 3x1 tab (po)
dan S : 36.5 Sindroma Curcuma 3x1 tab (po)
lemas Dyspepsia Inj Omeprazole 1x 40 mg
IV
Inj Ondancentron 3x8mg
Inhalasi Combivent
4x/hari
Inhalasi Pulmicort
2x/hari
Neurodex 2x1tab (po)
Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
29 April Batuk +, TSS, CM Drug Induced IVFD RL 500cc /8 jam
2018 Sesak TD : Liver Injury O2 3lpm
nafas - 120/80 PPOK Lesicol 3x300 mg
N : 120 Asma Hp-Pro 3x1 tab (po)
Rr : Sindroma Curcuma 3x1 tab (po)
22x/mnt Dyspepsia Inj Omeprazole 1x 40
S : 36.7 mg IV
Inj Ondancentron
3x8mg
Inhalasi Combivent
4x/hari
Inhalasi Pulmicort
2x/hari
Neurodex 2x1tab (po)
Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
30 April Basan Paru : Drug Induced IVFD RL 500cc /12
2018 Lemas, Vesikuler Liver Injury jam
Batuk - +/+ PPOK Drip Aiminopilin
Rh -/- Eksaserbasi 360mg/ 12 jam
Mengi Akut dd/ Asma Lesicol 3x300 mg
+/+ Sindroma Hp-Pro 3x1 tab
Dyspepsia (po)
Curcuma 3x1 tab
(po)
Inj Omeprazole 1x
40 mg IV
Inj
Metilprednisolon
3x33,25mg
Inhalasi
Combivent 4x/hari
Inhalasi Pulmicort
2x/hari
Neurodex 2x1tab
(po)
Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
1 Mei Batuk +, TSS, CM Drug Induced IVFD RL 500cc /12 jam
2018 Sesak TD : Liver Injury Drip Aiminopilin
nafas + 100/60 PPOK 360mg/ 12 jam
Rr : 26 Eksaserbasi Lesicol 3x300 mg
N : 70 Akut dd/ Hp-Pro 3x1 tab (po)
S : 36 Asma Curcuma 3x1 tab (po)
Pulmo : Sindroma Inj Omeprazole 1x 40
Vesikuler Dyspepsia mg IV
+/+ Inj Metilprednisolon
Mengi 3x33,25mg
+/+ Inj Ondancentron
Cor 3x8mg
S1 S2 (n) Inhalasi Combivent
Murmur 4x/hari
(-) Inhalasi Pulmicort
Gallop (-) 2x/hari
Neurodex 2x1tab (po)
Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
2 Mei Batuk TSS, CM Drug Induced IVFD RL 500cc /12 jam
2018 berkuran TD : Liver Injury Drip Aiminopilin
g, Sesak 120/70 PPOK 360mg/ 12 jam
Berkuran N : 110 Eksaserbasi Lesicol 3x300 mg
g S : 36 Akut dd/ Hp-Pro 3x1 tab (po)
Rr : 22 Asma Curcuma 3x1 tab (po)
Pulmo : Sindroma Inj Omeprazole 1x 40
Vesikuler Dyspepsia mg IV
+/+ Inj Metilprednisolon
Mengi +/+ 3x33,25mg
Rh -/- Inhalasi Combivent
Cor : 4x/hari
S1 S2 (n) Inhalasi Pulmicort
Murmur 2x/hari
(-) Neurodex 2x1tab (po)
Gallop (-) Codein 3x10mg (po)
ANALISA KASUS
Metabolisme Obat
Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam
tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel
intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam
hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim
sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi
reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini,
dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua.
Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ
diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana
hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan
mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat
merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat.
Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa
fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang
dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola
yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian
lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling
sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya
termasuk lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut.
Mekanisme Hepatotoksisitas
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan
yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang
yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung
pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap
antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).
Implikasi Klinis
Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan
bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran
klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan
hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga
pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya.
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi
nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel
(kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak
lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam
30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari
reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama
paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau
jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan
ulang obat.
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada
setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus
selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau
histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan
dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum
minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata
setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat.
Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati
akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga
paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis
bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau
minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya.
Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat.
Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap
bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis
asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat
yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas
hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat
tinggi, melebihi 3500 IU/L.
Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat
Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir
50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.
Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini
tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV
serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun
diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di
dunia.
Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman
baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang
disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati
disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi
sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga
menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB
Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol
(E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S).
Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip
dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat
gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah,
anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada
kegagalan hati akut.
Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan
acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkit
akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam,hilang selera makan, muntah-
muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat.
Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki
disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum
AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi
dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu
metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan
apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian
prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH
dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari
mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang
menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991
sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania
bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien
yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk
mencegah TB) terjangkit hepatitis.
Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap
awal terapi.
Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi
pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa
dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati.
Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8
minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien
menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000
pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan
hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan
terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama
Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah
merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten
tuberculosis.
Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama
terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang
dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin
antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal
hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi.
Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes
fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan
etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan
hepatotoksisitas.
Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan.
1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI.
Jakarta. 2006.
2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
4) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001
Prevention and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010,
10:267
7) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role of
Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of
Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care
Medicine
8) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of
Gastroenterology and Hepatology. 2010
9) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for
National Program. 2003