Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

DILI (Drug Induced Liver Injury)

Oleh :
Nabilah 1102010198
Ashilah H Assegaff 1102013045
M Gilang Gumilar 1102011176

Pembimbing :
dr. Endah Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2018
I. Identitas Pasien
 Nama : Tn. H
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Nomor RM : 0903XX
 Umur : 58 tahun
 Alamat : JL. Bunga Rampai
 Agama : Islam
 Suku Bangsa :
 Status Pernikahan : Menikah
 Status Pekerjaan : TNI AD
 Tanggal Masuk : 27 April 2018
 Tanggal Keluar :
 Ruangan : Lavender

II. Anamnesis
Sesuai dengan rekam medis pasien
a. Keluhan utama
Badan terasa lemas, sesak nafas, mual dan disertai batuk-batuk.

b. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan badan lemas disertai mual tanpa
muntah sejak satu minggu yang lalu, pasien juga mengeluhkan batuk-
batuk tanpa disertai dahak. Pasien mengeluh sesak, sesak dirasakan
memberat ketika batuk terutama di pagi dan malam hari. Tidak
terdapat penurunan berat badan selama sebulan terakhir, tidak ada
keringat malam. Pasien sudah minum obat batuk warung namun tidak
ada perbaikan.

c. Riwayat penyakit dahulu


Pasien mempunyai riwayat mengkonsumsi OAT pada tahun 1990
selama 6 bulan.

d.Riwayat penyakit keluarga


Keluhan yang sama tidak terdapat pada anggota keluarga lainya

e. Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat maupun makanan.

f. Keadaan sosial-ekonomi
Pasien tinggal bersama keluarganya.

g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
 TB : 162cm
 TD : 130/80
 BB : 56 Kg
 Nadi : 92x /mnt
 Suhu : 36.5c

Status Generalis
 Kepala :
 Mata : Ikterik +/+
 Telinga : DBN
 Hidung : DBN
 Gigi : DBN
 Mulut : DBN
 Leher : DBN

Thorax :
 Paru : Vasikular +/+, Rhonki -/-, Mengi +/+
 Jantung : S1 S2 (N), Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen :
 Hati : dbn
 Limpa : dbn

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstrimitas : DBN

Kulit : Tampak Ikterik

Status lokalis : DBN

h. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan pemeriksaan darah lengkap, LED, SGOT/SGPT, Bilirubin
direk/ indirek, Ureum/kreatinin.

i. Diagnosa Primer
Drug Induced Liver Injury

j. Diagnosa sekunder
 PPOK
 Asma
 Sindrom Dispepsia

k. Tatalaksana
 IVFD RL 500cc /8 jam
 O2 3L/m
 Lesicol 3x300 mg
 Hp-Pro 3x1 tab (po)
 Curcuma 3x1 tab (po)
 Inj Omeprazole 1x 40 mg IV
 Inj Ondancentron 3x8mg
 Inhalasi Combivent 4x/hari
 Inhalasi Pulmicort 2x/hari
 Neurodex 2x1tab (po)
 Codein 3x10mg (po)

l. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungsional : dubia ad bonam
Quo as Sanationam : dubia ad bonam

m. Follow up
Tanggal S O A P
27 April Lemas, TSS, CM  Drug Induced  IVFD RL 500cc /8 jam
2018 Batuk TD : Liver Injury  O2 3lpm
(+), 130/70  PPOK  Lesicol 3x300 mg
Sesak N : 100  Asma  Hp-Pro 3x1 tab (po)
Rr. 20  Sindroma  Curcuma 3x1 tab (po)
S : 36.2 Dyspepsia  Inj Omeprazole 1x 40 mg
IV
 Inj Ondancentron 3x8mg
 Inhalasi Combivent
4x/hari
 Inhalasi Pulmicort 2x/hari
 Neurodex 2x1tab (po)
 Codein 3x10mg (po)

HEMATOLOGI (27 APRIL 2018)


Jenis pemeriksaan Hasil NIlai Satuan
Refrensi
HEMATOLOGI
LENGKAP
 Hemoglobin 13.3 13.2-17.3 g/dL
 Jumlah leukosit 7.5 3.8-10.6 Ribu/uL
 Jumlah hematocrit 39* 40-52 %
 Jumlah trombosit 251 150-440 Rubu/uL
 Laju endap darah 96* <10 mm/Jam
HITUNG JENIS <1
 Basofil 0 %
2 <3 %
 Eusinofil
 Batang 1 <6 %
 Segmen 77* 50-70 %
 Limfosit 18* 20-40 %
 Monosit 2 <8 %
KIMIA DARAH
FUNGSI HATI
 Bilirubin
Total 0.89 <1 mg/dL
Direk 0.5* < 0.4
mg/dL
Indirek < 0.6
0.39 mg/dL
 SGOT/ASAT < 37
42* < 42 U/L
 SGPT/ALAT
FUNGSI GINJAL 162* U/L
 Ureum 10-50 mg/dL
 Kreatinin 29 0.7-1.3 mg/dL
1.05

Tanggal S O A P
28 Batuk TD :  Drug Induced  IVFD RL 500cc /8 jam
April berdahak, 110/70 Liver Injury  O2 3lpm
2018 sesak Hr : 110  PPOK  Lesicol 3x300 mg
nafas, Rr : 24  Asma  Hp-Pro 3x1 tab (po)
dan S : 36.5  Sindroma  Curcuma 3x1 tab (po)
lemas Dyspepsia  Inj Omeprazole 1x 40 mg
IV
 Inj Ondancentron 3x8mg
 Inhalasi Combivent
4x/hari
 Inhalasi Pulmicort
2x/hari
 Neurodex 2x1tab (po)
 Codein 3x10mg (po)

Tanggal S O A P
29 April Batuk +, TSS, CM  Drug Induced  IVFD RL 500cc /8 jam
2018 Sesak TD : Liver Injury  O2 3lpm
nafas - 120/80  PPOK  Lesicol 3x300 mg
N : 120  Asma  Hp-Pro 3x1 tab (po)
Rr :  Sindroma  Curcuma 3x1 tab (po)
22x/mnt Dyspepsia  Inj Omeprazole 1x 40
S : 36.7 mg IV
 Inj Ondancentron
3x8mg
 Inhalasi Combivent
4x/hari
 Inhalasi Pulmicort
2x/hari
 Neurodex 2x1tab (po)
 Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
30 April Basan Paru : Drug Induced  IVFD RL 500cc /12
2018 Lemas, Vesikuler Liver Injury jam
Batuk - +/+ PPOK  Drip Aiminopilin
Rh -/- Eksaserbasi 360mg/ 12 jam
Mengi Akut dd/ Asma  Lesicol 3x300 mg
+/+ Sindroma  Hp-Pro 3x1 tab
Dyspepsia (po)
 Curcuma 3x1 tab
(po)
 Inj Omeprazole 1x
40 mg IV
 Inj
Metilprednisolon
3x33,25mg
 Inhalasi
Combivent 4x/hari
 Inhalasi Pulmicort
2x/hari
 Neurodex 2x1tab
(po)
 Codein 3x10mg (po)

Tanggal S O A P
1 Mei Batuk +, TSS, CM  Drug Induced  IVFD RL 500cc /12 jam
2018 Sesak TD : Liver Injury  Drip Aiminopilin
nafas + 100/60  PPOK 360mg/ 12 jam
Rr : 26 Eksaserbasi  Lesicol 3x300 mg
N : 70 Akut dd/  Hp-Pro 3x1 tab (po)
S : 36 Asma  Curcuma 3x1 tab (po)
Pulmo :  Sindroma  Inj Omeprazole 1x 40
Vesikuler Dyspepsia mg IV
+/+  Inj Metilprednisolon
Mengi 3x33,25mg
+/+  Inj Ondancentron
Cor 3x8mg
S1 S2 (n)  Inhalasi Combivent
Murmur 4x/hari
(-)  Inhalasi Pulmicort
Gallop (-) 2x/hari
 Neurodex 2x1tab (po)
 Codein 3x10mg (po)
Tanggal S O A P
2 Mei Batuk TSS, CM  Drug Induced  IVFD RL 500cc /12 jam
2018 berkuran TD : Liver Injury  Drip Aiminopilin
g, Sesak 120/70  PPOK 360mg/ 12 jam
Berkuran N : 110 Eksaserbasi  Lesicol 3x300 mg
g S : 36 Akut dd/  Hp-Pro 3x1 tab (po)
Rr : 22 Asma  Curcuma 3x1 tab (po)
Pulmo :  Sindroma  Inj Omeprazole 1x 40
Vesikuler Dyspepsia mg IV
+/+  Inj Metilprednisolon
Mengi +/+ 3x33,25mg
Rh -/-  Inhalasi Combivent
Cor : 4x/hari
S1 S2 (n)  Inhalasi Pulmicort
Murmur 2x/hari
(-)  Neurodex 2x1tab (po)
Gallop (-)  Codein 3x10mg (po)
ANALISA KASUS

1. Apa diagnosis pada pasien ini?

Berdasarkan anamnesis, didapatkan pasien seorang Laki-laki 58 tahun


dengan keluhan badan lemas disertai mual tanpa muntah sejak satu
minggu yang lalu, pasien juga mengeluhkan batuk-batuk tanpa disertai
dahak. Pasien mengeluh sesak, sesak dirasakan memberat ketika batuk
terutama di pagi dan malam hari. Tidak terdapat penurunan berat badan
selama sebulan terakhir, tidak ada keringat malam. Pasien sudah minum
obat batuk warung namun tidak ada perbaikan.
Pasien pernah terdiagnosis TB paru pada tahun 1990 dan diberikan terapi
OAT selama 6 bulan.
Pada kasus ini kemungkinan terjadinya peningkatan SGOT/SGPT
karena adanya hepatotoksisitas oleh obat OAT.
2. Bagaimana penanganan pada pasien ini ?
- IVFD RL 500cc/12 jam
- Inhalasi combivent 4x/hari
Combivent merupakan obat berisi albuterol (salbutamol) dan ipratropium
bromida. Combivent digunakan sebagai terapi pada penyakit saluran napas
obstruksi atau sumbatan, seperti penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) atau
pada asma. Combivent bekerja dengan cara melebarkan saluran napas bawah
(bronkus). Dengan demikian keluhan sesak napas dan bunyi mengi akan
berangsur hilang setelah dilakukan nebulisasi maupun semprot aerosol dengan
combivent.

- Inhalasi pulmicort 2x/hari

Berisi Budesonide yaitu Kortikosteroid yang digunakan untuk pengendali


penyakit asma kronis berupa sesak napas dan mengi. Obat ini bekerja
langsung pada saluran pernapasan yang mengalami iritasi atau pembengkakan
saat asma terjadi. Selain untuk meredakan, budesonide juga bisa digunakan
untuk mencegah serangan asma.

- Inj. Metilprednisolon 3x1/4 amp


Methylprednisolone bekerja dengan cara menembus membran sel sehingga
akan terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor. Di dalam inti sel,
kompleks steroid-protein reseptor ini akan berikatan dengan kromatin DNA
dan menstimulasi transkripsi mRNA yang merupakan bagian dari proses
sintesa protein. Sebagai anti inflamasi, obat ini menekan migrasi neutrofil,
mengurangi produksi prostaglandin (senyawa yang berfungsi sebagai mediator
inflamasi), dan menyebabkan dilatasi kapiler. Hal ini akan mengurangi repon
tubuh terhadap kondisi peradangan (inflamasi).
- Inj. Omeprazole 1x1 amp

Omeprazole adalah obat maag untuk mengobati masalah-masalah pada


lambung dan kerongkongan (esofagus) akibat asam lambung yang
tinggi. Omeprazole berfungsi menurunkan produksi asam lambung dengan
cara menghalangi pompa proton di sel-sel lambung, sehingga obat ini masuk
dalam golongan obat pronton pump inhibitor (PPI).

- Inj. Ondancetron 3x8 mg

Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati


mual dan muntah yang disebabkan oleh efek samping kemoterapi, radioterapi,
atau operasi.
Terjadinya mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang
bernama serotonin. Jumlah serotonin dalam tubuh akan meningkat ketika kita
menjalani kemoterapi, radioterapi, dan operasi. Seretonin akan bereaksi
terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan membuat kita
merasa mual. Ondansetron akan menghambat serotonin bereaksi pada reseptor
5HT3 sehingga membuat kita tidak mual dan berhenti muntah.

- Vit B kompleks (Neurodex) 2x1 tab


Vitamin B Kompleks merupakan vitamin yang larut dalam air dan tidak dapat
diproduksi oleh tubuh, sehingga harus didapatkan dari asupan makanan yang
dikonsumsi. Ciri khas dari vitamin yang satu ini juga bahwa mereka tidak
dapat disimpan secara baik di dalam tubuh. Oleh sebab itu, asupan secara rutin
sangat dianjurkan supaya tubuh kita tidak kekurangan vitamin B Kompleks.
Berikut ini adalah 8 unsur utama pembentuk vitamin B Kompleks, dan fungsi
yang dikandung dari masing-masing unsur tersebut :
1. Vitamin B1 (Thiamine) : berfungsi membantu sel tubuh menghasilkan
energi, kesehatan jantung, serta metabolisme karbohidrat.
2. Vitamin B2 (Riboflavin) : berfungsi melindungi tubuh dari penyakit kanker,
mencegah migrain, serta katarak.
3. Vitamin B3 (Niacin), bermanfaat untuk melepaskan energi dari zat-zat
nutrien, membantu menurunkan kadar kolesterol, mengurangi depresi, dan
gangguan pada persendian.
4. Vitamin B5 (Asam Panthothenate) : membantu sistem saraf dan
metabolisme, mengurangi alergi, kelelahan, dan migrain. Penting bagi
aktivitas kelenjar adrenal, terutama dalam proses pembentukan hormon.
5. Vitamin B6 (Pyridoxine) : membantu produksi sel darah merah dan
meringankan gejala hipertensi (darah tinggi), asma, serta PMS.
6. Vitamin B7 (Biotin) : bermanfaat dalam proses pelepasan energi dari
karbohidrat, pembentukan kuku, serta rambut.
7. Vitamin B9 (Asam Folic) : membantu perkembangan janin, pengobatan
anemia, dan pembentukan hemoglobin.
8. Vitamin B12 (Cobalamine) : membantu merawat sistem saraf dan
pembentukan sel darah merah.

- Curcuma 3x1 tab


Suplemen untuk menambah nafsu makan dan membantu perbaikan fungsi
hati.
- Lesichol 3x150 mg

Lesichol adalah obat atau suplemen yang digunakan untuk membantu


menunjang fungsi organ hati agar tetap sehat, terutama jika hati mengalami
peningkatan enzim hati saat dalam kondisi sakit. Suplemen ini merupakan
kombinasi dari beragam kandungan terutama lesitin, beberapa jenis vitamin B,
dan vitamin E yang sangat baik untuk fungsi hati.

- Hp Pro 3x1 tab


Digunakan untuk menghentikan nekroinflamasi hepar, meningkatkan
kemampuan detoksifikasi (menetralkan racun) sel hepar terhadap bahan
toksik, mencegah kerusakan sel hepar akibat lipid peroksida, radikal bebas,
meningkatkan salah satu enzimanti oksidan fisiologi sel hepar yaitu super
oxide dismutase (SOD), menstimulasi sintesa albumin dan glikogen oleh sel
hepar.

3. Bagaimana prognosis pada pasien ini?


Prognosis hepatotoksisitas imbas obat bervariasi tergantung keadaan klinik

pasien dan tingkat kerusakan hati.

Quo ad Vitam : dubia ad bonam


Quo ad Fungsional : dubia ad bonam
Quo as Sanationam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Hepatotoksisitas Imbas Obat

Metabolisme Obat

Hati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam
tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel
intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam
hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu.
Biotransformasi hepatic ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim
sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi
reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini,
dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua.

Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam


retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan
sangat reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh
lebih beracun daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati.
Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-benzoquinon-imina (NAPQI),
bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung
jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan.

Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka


dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang
paling penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme
banyak obat. Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu
sama lain, sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan
menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun
di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat,
glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat.
Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu,
sementara ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang
menginduksi dan menghambat sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:
 Inducers
o Phenobarbital
o Phenytoin
o Carbamazepine
o Primidone
o Ethanol
o Glucocorticoids
o Rifampin
o Griseofulvin
o Quinine
o Omeprazole - Induces P-450 1A2
 Inhibitors
o Amiodarone
o Cimetidine
o Erythromycin
o Grape fruit
o Isoniazid
o Ketoconazole

Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ
diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana
hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan
mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat
merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat.
Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa
fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang
dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola
yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian
lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling
sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya
termasuk lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut.
Mekanisme Hepatotoksisitas

Mekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein


transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis
hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi
fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan
sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi
hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat
dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks
obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan
sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon
imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat
tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan
enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam
empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi
akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif
oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau
metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi
immunogen).

Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic) dan
yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang
yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung
pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap
antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).
Implikasi Klinis

Gambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis


dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian
obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap.

Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan
bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran
klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan
hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga
pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya.

Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas


imbas obat berdasarkan :

1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi
nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel
(kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak
lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak
lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari
penghentian obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan
enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8
hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam
30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari
reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti,
termasuk biopsy hati pada tiap kasus
4. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama
paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati

Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau
jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan
ulang obat.
Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi
kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada
setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan
seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus
selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau
histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan
dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum
minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata
setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas
imbas obat.

Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati
akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas
hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga
paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis
bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau
minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya.

Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat.
Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap
bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis
asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat
yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas
hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat
tinggi, melebihi 3500 IU/L.
Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat

1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan


ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan
terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom
P-450 dan dapat bervariasi antar individu.
2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada
anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance
menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan
menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat
inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas
imbas obat.
3. Jenis Kelamin : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering
terjadi pada wanita.
4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap
keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah
metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation
(hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat.
5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami
peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang,
beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis
pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim
spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang
koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek
hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien
dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat
beracun.
6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan
genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat.
Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik
karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan
amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan
kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi
abnormal terhadap suatu obat.
7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan
orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena
penyimpanan glutation rendah.
8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek
dibandingkan obat short-acting
9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan
mendorong terjadinya penyakit hati, yakni:
 Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindac
 Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)
 Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanat
 Usia Muda - Salisilat, asam valproik
 Puasa atau malnutrisi – Asetaminofen
 Indeks massa tubuh Besar / obesitas – Halotan
 Diabetes mellitus - Methotrexate, niacin
 Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinol
 AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol
 Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide
 Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate
Hepatotoksisitas Imbas Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Penyebab Tuberkulosis (TB) diketahui lebih dari satu abad dan selama hampir
50 tahun sudah ditemukan berbagai macam obat yang efektif untuk mengatasinya.
Namun, masalah TB dunia sekarang lebih besar dari sebelumnya. Penyebab pasti ini
tidak diketahui. Hal ini diperkirakan karena hubungan antara TB dengan infeksi HIV
serta terjadinya Multiple Drug Resistant Tuberkulosis (TB-MDR). Setiap tahun
diperkirakan ada satu juta kasus baru dan dua juta kematian terjadi akibat TB di
dunia.

Selain itu, efek samping dan toksisitas obat juga memiliki sebuah ancaman
baik untuk dokter dan pasien dalam melanjutkan terapi. Di antara berbagai efek yang
disebabkan oleh obat TB, kerusakan hati yang paling banyak. Kerusakan hati
disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi
sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga
menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB
Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol
(E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S).

Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/


streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Factor risiko hepatotoksisitas:
Faktor Klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit
dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC
lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan Faktor
Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai
OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan
antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi
gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberculosis.
Manifestasi Klinis Hepatotoksisitas Imbas OAT

Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip
dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat
gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah,
anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada
kegagalan hati akut.

Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan
memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan
acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkit
akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam,hilang selera makan, muntah-
muntah, sclera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat.

Efek Hepatotoksik OAT

Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine


transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak
terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis.
Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis
menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat
tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain
merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan
berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas.

Isoniazid (INH)
Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki
disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum
AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi
dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu
metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan
apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. Sebuah penelitian
prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH
dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari
mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang
menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991
sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania
bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien
yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk
mencegah TB) terjangkit hepatitis.

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10


tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima
INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg
/ hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian,
kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk
TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak).

Rifampisin
Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap
awal terapi.
Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi
pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa
dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati.
Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8
minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien
menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000
pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan
hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan
terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama
Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah
merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten
tuberculosis.

Pirazinamid
Efek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama
terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang
dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin
antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal
hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi.

Etambutol
Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes
fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan
etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan
hepatotoksisitas.
Streptomisin
Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan.

Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas Imbas Obat


Penatalaksanaan:
- Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
- Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
- Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka
OAT distop
- SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
- SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan

Paduan obat yang dianjurkan


- Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
- Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium
kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid
(H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu
perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila
klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin,
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga
paduan obat menjadi RHES.
- Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

Pada pasien tuberculosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko


hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien
dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat
standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau
Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap
bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami
kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi
yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat.
Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi
aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1%
yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan
pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.

Rekomendasi Mengelola OAT


Pengelolaan OAT perlu diperhatikan agar kejadian hepatitis imbas obat dapat
diminimalisir sehingga pengobatan TB dapat berjalan efektif. Rekomendasi Nasional
untuk mengelola hepatotoksisitas imbas OAT antara lain:
 Jika pasien tediagnosis hepatitis imbas obat OAT, maka pemberian OAT tersebut
harus dihentikan
 Tunggu sampai jaundice hilang atau sembuh terlebih dahulu
 Jika jaundice muncul lagi, dan pasien belum menyelesaikan tahap intensif,
berikan dua bulan Streptomisin, INH dan Etambutol diikuti oleh 10 bulan INH
dan Etambutol.
 Jika pasien telah menyelesaikan tahap intensif, berikan INH dan Etambutol
sampai 8 bulan pengobatan untuk Short Course Kemoterapi (SCC) atau 12 bulan
untuk rejimen standar.
Rekomendasi British Thoracic Society (BTS) untuk restart terapi pada pasien
hepatotoksisitas
 INH harus diberikan dengan dosis awal 50 mg / hari, dinakikkan perlahan sampai
300 mg / hari setelah 2-3 hari. Jika tidak terjadi reaksi, lanjutkan.
 Setelah 2-3 hari tanpa reaksi terhadap INH, tambahkan Rifampisin dengan dosis
75 mg / hari lalu naikkan menjadi 300 mg setelah 2-3 hari, dan kemudian 450 mg
(<50 kg) atau 600 mg (> 50 kg) yang sesuai untuk berat badan pasien. Jika tidak
ada reaksi yang terjadi, lanjutkan.
 Akhirnya, pirazinamid dapat ditambahkan pada dosis 250 mg / hari, meningkat
menjadi 1,0 g setelah 2-3 hari dan kemudian ke 1,5 g (<50 kg) atau 2 g (> 50 kg).
Strategi Untuk Meminimalisir Terjadinya Hepatotoksisitas OAT

Tes fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB dan


sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama awal dua bulan pada kelompok berisiko
seperti pasien dengan gangguan hati yang sudah ada, alkoholik, yang lansia dan
kurang gizi. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab para profesional kesehatan
akan tetapi pendidikan kesehatan ini harus dibebankan kepada semua pasien yang
menjalani pengobatan TB secara rinci tidak hanya mengenai kepatuhan dan manfaat
dari OAT tetapi juga efek samping. Para pasien harus waspada dan melaporkan segera
jika terjadi gejala yang mengarah pada hepatitis seperti hilangnya nafsu makan, mual,
muntah, jaundice, yang terjadi selama pengobatan. Selanjutmya, kondisi klinis pasien
harus dinilai tidak hanya dalam hal pengendalian penyakit tetapi juga dalam gejala
dan tanda-tanda hepatitis pada mereka ikuti. OAT harus dihentikan segera jika ada
kecurigaan klinis reaksi hepatitis. Lalu tes fungsi hati harus diperiksa seperti ALT,
AST dan kadar bilirubin.

Kriteria yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Perkembangan


Hepatotoksisitas Imbas OAT
1. Periksa kimia normal hati sebelum memulai rejimen obat OAT
2. Tidak ada penggunaan alkohol atau penyalahgunaan obat sebelum memulai
pemberian OAT
3. Pasien harus menerima INH, Rifampicin atau Pirazinamid dengan dosis
standar, sendiri atau dalam kombinasi untuk minimal sebelum pengembangan
kimia hati yang abnormal.
4. Saat menerima pengobatan OAT, harus ada peningkatan ALT dan / atau untuk
AST> 120 IU / L (normal <40 IU / L) dan kadar bilirubin total. 1,5 mg / dl
(normal, 1,5mg/dl).
5. Tidak ada penyebab jelas lainnya untuk peningkatan chemistries hati.
6. Penghapusan obat mengakibatkan normalisasi atau setidaknya peningkatan
50% dari kimia hati yang abnormal.
Daftar Pustaka

1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI.
Jakarta. 2006.
2) Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
3) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
4) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001

5) Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug

Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and

Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol.

5, No. 2, Issue 18, 256-260

6) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis

Prevention and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010,

10:267
7) Jaime, Ungo dkk. Antituberculosis Drug–induced Hepatotoxicity The Role of
Hepatitis C Virus and the Human Immunodeficiency Virus. The University of
Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases and Critical Care
Medicine
8) Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Hepatotoxicity. Department of
Gastroenterology and Hepatology. 2010
9) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for
National Program. 2003

Anda mungkin juga menyukai