Anda di halaman 1dari 4

Pembelaan (pledoi) pribadi dalam perkara tindak pidana khusus UU ITE

Dengan hormat,
saya yang bertandah tangan dibawah ini :

Nama Lengkap : Panji Agung mangkunegoro

Tempat Tanggal Lahir : Wamena, 15 September 1983

Jenis Kelamin : Laki – Laki

Tempat Tinggal : Gang Kakak no. 21 Perumnas III Kelurahan Yabangsae Distrik Heram
Kota Jayapura

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Izinkan saya untuk bisa menyampaikan beberapa penjelasan pembelaan terkait maksud dan tujuan saya
membuat status yang mengakibatkan saya berada di pengadilan ini.

Kasus UTE yang saya alami yang dilaporkan oleh salah satu kandidat calon gubernur papua yaitu Bapak
JHON WEMPI WETIPO ke reskrim sus Polda papua pada tanggal 23 maret 2018 pada saat masa
kampanye pilgub papua, saya mau menyampaikan beberapa poin pembelaan saya atas status yang saya
buat saat itu:

1. Dalam narasi status yang saya tulis “Tim JWW diperintahkan oleh kandidatnya untuk
menjatuhkan Lukmen dengan cara apapun, begitukah sikap seorang pemimpin?
bukan bermaksud untuk menghina JWW, kalimat tersebut, lebih mengarah pada imbauan
dan ajakan kepada TIM JWW untuk menggunakan narasi kampanye yang sehat, dan
mengutamakan penjabaran visi/misi dalam materi kampanyenya, agar rakyat di Tanah
Papua dapat membandingkan, konsep pembangunan yang ditawarkan oleh Pasangan JWW,
dan menjadi alasan kuat mengapa rakyat memilihnya dalam Pemilu.
Dalam hal Pemilu, perdebatan tentang visi/misi kandidat menjadi sesuatu hal yang lazim,
bahkan diperlukan untuk menghidupkan demokrasi. Pikiran rakyat dapat dicerahkan
dengan hadirnya perdebatan diantara para kandidat, tujuannya agar rakyat dapat memilih
secara rasional, dengan bebas dan merdeka, untuk memilih siapa pemimpin mereka di
daerah.
2. Bahwa sebagai calon gubernur, JWW berkedudukan sama dengan pasangan LUKMEN
yang juga sebagai calon gubernur. Dengan demikian, interaksi diskusi menyangkut tema
kampanye dalam Pemilu, juga menyangkut kepentingan dua kandidat. Bukankah, Pasangan
LUKMEN juga di serang dengan hal yang sama oleh TIM JWW? Lalu mengapa hanya
JWW seorang diri yang melaporkan pasal pencemaran nama baik ini kepada kepolisian?
Yang mana bukti – buktinya sudah saya serahkan kepada hakim di persiadangan
sebelumnya, sebagai bukti tambahan bahwa tim JWW juga melakukan hal yang sama.
3. Pernyataan saya, dengan mengutip kalimat di atas, bukanlah bertujuan untuk
“merendahkan martabat JWW sebagai calon gubernur”, akan tetapi sebagai bagian dari
tanggung-jawab moral saya, untuk mengingatkan kepada JWW dan tim-nya agar
menggunakan materi kampanye yang sehat, mendidik, dan tidak terjebak pada metode
“black campign” yang justru tidak sehat bagi demokrasi di Tanah Papua.
4. Perlu pula saya uraikan pendapat bahwa dalam Pasal 310 KUHP, juga mencantumkan ayat
3, yang menerangkan alasan pengecualian, dari tuduhan perbuatan pencemaran nama
baik/penghinaan terhadap seseorang, terlebih lagi kepada para kandidat pejabat
public/public figur/ calon gubernur, di mana seketika mereka mencalonkan diri menjadi
calon kepala daerah, maka seluruh sikap dan perbuatannya, menjadi domain penilaian
public/masyarakat. Adapun isi pasal 310 ayat 3 KUHP sebagai berikut: Tidak merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi keuntungan
umum atau karena terpaksa untuk bela diri.
5. Bahwa saya dalam statusnya sebagai individu, yang secara sukarela menjadi tim sukses
Pasangan Lukmen dalam Pilgub Papua,dilantik sah sebagai ketua tim Relnus Papua dan
juga sudah terdaftar di KPU dan BAWASLU PAPUA saat itu juga sedang berusaha
mempertahankan “harga diri dan kehormatan Pasangan Lukmen” terhadap berbagai
serangan kampanye hitam dan kampanye negatif yang dialamatkan kepada pasangan
tersebut selama masa kampanye berlangsung. Sehingga narasi diatas memang bertujuan
untuk melakukan klarifikasi/counter opini, atau bentuk pembelaan diri terhadap
“kehormatan Pasangan LUKMEN” yang pada saat itu, sedang menghadapi banyak
serangan dan tuduhan kampanye hitam. Asumsi setiap orang yang berakal, pasti dapat
menarik kesimpulan yang rasional dan acceptable bahwa dalam Pemilu Gubernur di
Provinsi Papua, hanya terdapat dua pasangan calon Gubernur, sehingga salah satu di antara
keduanya akan menjadi calon penantang, dengan konsekuensi keterlibatan para pendukung
dari kedua belah pihak, yang berebut simpati para pemilih di Tanah Papua (termasuk pilhan
untuk terlibat dalam kampanye hitam/positif).
6. Sejatinya, kehormatan kedua pasangan calon Gubernur, baik JWW maupun LUKMEN,
sama-sama berada pada posisi yang diserang dalam Pemilu Gubernur. saya bertindak
sebagai Ketua Tim Sukses Relnus Papua yang bekerja untuk memastikan bahwa
“kehormatan dan harga diri” Pasangan LUKMEN tidak dinodai oleh narasi-narasi
Kampanye Hitam yang dapat dilakukan oleh Tim Kampanye dari pasangan lawan politik
dalam Pigub Papua.
7. Secara pribadi saya mengenal beliau bapak JWW sejak kecil di Wamena dan juga bapak
saya adalah tim sukses JWW pada saat maju mencalonkan diri menjadi Bupati Jayawijaya,
sejak itu sampai saat ini saya tidak pernah mempunyai masalah pribadi dengan beliau, dan
masalah ini adalah perdebatan politik/dinamika pilkada saat masa kampanye yang di
jadikan alas an status saya menjadi dasar laporan JWW saat itu,
semua terjadi karna tuntutan politik dan demokrasi yang menciptakan ketersingguangan
yang berkepanjangan, seharusnya tidak dbawah keranah hukum
8. Pada saat jannuari ada deklarasi siap kalah dan siap menang, kedua kandidat
mendeklarasikan untuk siap menang dan siap kalah dengan sikap yang ditanamkan agar
tidak ada dendam ketika kalah dan saling memaafkan ketika pilgub berakhir, sikap
profesionalisme seorang kandidat seharusnya tidak ditunjukkan dengan cara melaporkan
salah satu tim ke polda papua.
9. Ada aturan yang mengatur tentang kampanye selama masa kampanye yang menjadi
kewenangan bawaslu dan Gakumdu, apakah salah satu timsus dalam hal ini saya pribadi
melanggar UU pemilu mengenai negative campign? Ketika saya terdaftar di KPU dan
BAWASLU PAPUA segala bentuk pelanggaran kampanye seharusnya menjadi
kewenangan BAWASLU dan GAKUMDU untuk diberikan peringatan atau saknksi kepada
saya dan tim kami, dengan demikian yang menjadi catatan penting yang harus diketahui
bahwa masalah ini bukanlah menjadi kewenangan RESKRIMSUS POLDA PAPUA karna
masih dalam masa kampanye walaupun faktanya UU ITE tidak melihat waktu dan saat
apapun.
10. Berdasarkan restorative juctice dari timur pradopo yang dilanjutkan oleh titio karnavian
yang garis besarnya adalah kepolisian bersikap sebagai mediator dalam kasus UU ITE
harus melakukan mediasi antara pelapor dan terlapor namun faktanya saat itu diawal
penyidikan di RESKRIMSUS POLDA PAPUA tidak melewat proses pertemua antara
Pelapor dan Terlapor diawal penyidikan. Bahkan saya sempat harus mengadu ke
Wakapolda Papua untuk meminta dan memerintahkan untuk dilakukanya mediasi. Sampai
pada panggilan keempat JWW tidak hadir hanya diwakilkan dengan surat pernyataan
penolakan mediasi.
Dari proses penyidikan saya merasa tidak ada keadilan yang sama dengan JWW
seharusnya saat itu sama – sama mematuhi panggilan polda, hanya dengan surat pernyataan
itu saya dip roses lanjut ke meja hijau. Equality be for the law adalah persamaan dihadapan
hukum, secara makna mengandum konsep bahwa setiap orang harus didudukkan sejajar
dihadapan hukum yang artinya saat itu kami memiliki hak yang sama walau pun berbeda
status pelapor dan terlapor.
11. Ketika dinamika pilkada, saat masa kampanye penerapan UU ITE ini bermuara pada
perdebatan politik dalam dinamika Pilkada. Sehingga jelas bahwa UU ini bernuansa politik
dan menjadi produk hukum yang laris menjelang dan sesudah Pilkada (momentum politik).
Netralitas penegak hukum harus di tunjukan dengan cara bijak melihat situasi kapan dan
saat apa serta pada momen apa? Dan juga apakah terindikasi menjadi masalah pribadi atau
untuk kepentingan banyak orang?
Akan menjadi rancu ketika UU ITE menjadi produk hukum yang bernuansa politik.
Karena semua berawal dari momen politik dan keterlibatan orang-orang kritis dalam
mempertahankan argumentasinya hingga berpotensi ada upaya-upaya kriminalisasi
terhadap seseorang.
Saya pribadi membuat status tersebut awalnya tidak mengetahui samasekali bahwa akan
berujung pada UU ITE dan semua itu saya lakukan terpaksa karna sebuah tuntutan politik
dan demokrasi dan perdebatan politik selama masa kampanye, saya merasa sangat prihatin
ketika perdebatan politik semasa kampanye berujung tuntutan penjara satu tahun pada hal
apa yang saya lakukan untuk kepentingan banya orang.

Saya pribadi meminta maaf dan memohon kepada majelis hakim untuk membebaskan saya
dari tuntutan jaksa karna status yang saya buat bukan untuk kepentingan pribadi saya
namun untuk membela kandidat Cagub saya yang saat itu juga mendapat hujatan dan
kritikan yang sama bahkan lebih dari yang saya lakukan.

Situasi saat itu kami selaku tim Relnus LUKMEN PAPUA tidak melaporkan siapapun dari
tim JWW ke Rekrimsus Papua walaupun juga melakukan kampanye hitam dan kandidat
kami juga tidak melaporakan siapa pun karna semuanya adalah resiko politik dan
konsekuensi yang harus dihadapi pada masa kampanye.

Masalah saya menjadi contoh baik dan buruknya kepada public atau multitafsir memang
karna saat Pilgub Papua Polarisasi Politik saat itu menjadi dua kelompok pendukung.

pembelaan saya sampaikan sejujur – jujurnya tidak membuka atau menyinggung siapa pun
atau membuka kembali situasi saat itu yang memang faktanya terjadi, menjadi teguran
bersama bahwa dendam politik pada masa pilkada tidak menjadi kita mundur melangkah
dan berkarya.

Selain itu juga saya sampaikan terima kasih dan permohonan maaf saya kepada JWW atas
semua proses ini yang saya lewat dan menjadi pelajaran berharga untuk saya kedepannya.

Demikian surat permohonan saya buat untuk menjadi pertimbangan majelis hakim, kiranya
bisa membebaskan saya dari tuntutan jeratan hukum UU ITE ini.

Jayapura, Selasa 23 Juni 2019

Pemohon

Panji Agung mangkunegoro

Anda mungkin juga menyukai