DEPRESI
DISUSUN OLEH :
DOKTER PEMBIMBING :
2019
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.2 Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,
gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar3.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan
tak berdaya, serta gagasan bunuh diri1.
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya3.
2.1.3 Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer dan
15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada
usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat3..
1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan
hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan
perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan4.
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan
depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-lak.
Pada penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena
depresi dibandingkan laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak
diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model
perilaku keputusasaan yang dipelajari1,3
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi
yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak
yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre
Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah
dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia,
kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin
berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut4.
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20
dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama masa anak-anak
atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa insidensi
gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang
dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007)
didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun
(14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data
yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak
ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini
berbanding terbalik untuk laki-laki4.
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang
tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau
berpisah. Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar (2007) memperlihatkan bahwa
prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan yang bercerai atau
berpisah.
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat.
Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan4.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging
Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan pendapatan
rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada
penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi terendah pada kelompok
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat
depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok pendidikan yang
lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya
perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki
korelasi positif dengan terjadinya gangguan depresif1.
2.1.4 Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan
peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa
orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar
daripada sanak saudara derajat pertama1.
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolitamin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan
dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain
faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis1.
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu
kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap
pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon)
dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki
(Trisdale, 2003).
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan
menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi resisten
terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50%
pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit
ini dalam keluarga3.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau menopause. N
Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama
penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa
gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi3.
2.1.5 Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah ini:
ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) yang
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah (Depkes RI,
1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe
ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke hari,
dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana
pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan variasi individual yang
mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja. Pada
beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu
tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood)
mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol
berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang sudah ada
sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode depresif dari ketiga-
tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu
untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna klinis
khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau
kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi emosional
terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih
awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari,
bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau
dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok, penurunan
berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat badan bulan terakhir),
kehilangan libido secara mencolok. Biasanya, sindrom somatik ini hanya dianggapp
ada apabila sekitar empat dari gejala itu pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien
depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit dengan
percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding
yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami
depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari
keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua
pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami
kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan
menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh
masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun
dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan
peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan
menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa (Depkes RI,
1993).
2.1.7 Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-
IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat
terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode depresif
sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk
episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini ringan, episode kini
sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini berat dengan gejala psikotik
dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat diidentifikasi
(meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria diagnostik yang spesifik
untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang
khas dan tampilan klinis yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang
ditentukan (suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk
membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang berbeda
akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya mempunyai
dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSM-IV telah
memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak
mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural,
penggunaannya pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga menggunakan
sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya
pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lain-lain.
DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan
didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan
dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan
depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif
ringan keparahan gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis
gangguan depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif
memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif
berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara terpisah
dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga menuliskan
deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa pasien
individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga
merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan1.
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali (reuptake
sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja untuk
menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan
norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi
dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas adalah
antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua
(SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs)6.
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan
trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer,
tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier
(imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering
digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang
lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan
klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat
ini tersedia dalam formulasi generik1..
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier menghambat
reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi
akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap
amin tersier5.
2.1.10 Prognosis
Lima atau lebih gejala/ kriteria diatas telah ada selama periode waktu 2 minggu dan
menunjukan perubahan fungsi sebelumnya. Setidaknya 1 gejala mood menurun atau 2
gejala kehilangan minat atau kesenangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi
seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut
sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala Gangguan Depresi berat dengan gejala
psikotik adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa,
hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur dan terdapat waham dan
halusinasi atau stupor depresi. Depresi sering merupakan salah satu penyebab utama kejadian
bunuh diri.
Terapi yang diberikan yaitu Farmakologi dan psikoterapi atau konseling. Dukungan dari
orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat membantu dalam penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott Wiliams
And Wilkins. Philadelphia, 2010.
2. Halverson JA et al. Depression. (Online). 2011. [23 Juni 2011]. Available from
http://emedicine.com
3. Ingram, dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC
4. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI, 2007.
5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III “Gangguan
Depresi”. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.
6. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat dan Psikotropik edisi ketiga. Jakarta.
2002