Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

DEPRESI

DISUSUN OLEH :

R. Luthfi Nur Fajri 2015730106

DOKTER PEMBIMBING :

dr. Hj. Prasila Darwin, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER

PERIODE 26 AGUSTUS- 28 SEPTEMBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri1.
Depresi telah dicatat dan diketahui sudah sejak jaman masa lampau, diskripsi tentang apa
yang dinamakan gangguan mood dapat ditemukan pada dokumen purbakala. Kira-kira tahun 400
SM. Hipokrates menggunakan istilah mania dan melankolis untuk menggambarkan gangguan
mental ini. Di tahun 1854 Gules Folret menggambarkan suatu keadaan yang disebut falic
circulaine, dimana pasien mengalami perubahan mood1.
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan
prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari
kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria.
Pada umumnya onset untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun
yang paling sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang
tidak menikah dan bercerai atau berpisah. Patogenesis depresi kenyataannya sampai saat ini
masih membingungkan dan belumlah pasti sehingga banyak teori-teori semuanya timbul dan
berkembang seiring dengan kemajuan bidang psikofarmakologi.
Sebanyak dua pertiga orang dengan depresi tidak menyadari bahwa mereka memiliki
penyakit yang dapat diobati dan karena itu mereka tidak mencari pengobatan. Banyak dari pasien
pertama kali datang mencari pengobatan dengan keluhan somatik, seperti kelelahan, sakit
kepala, gangguan lambung, atau perubahan berat badan2.
Tes skrining depresi dapat digunakan untuk skrining depresi dan gangguan bipolar. Yang
paling banyak digunakan adalah Hamilton Depression Rating Scale (HDRS). Banyak
pengobatan efektif yang tersedia untuk gangguan depresi, termasuk psikoterapi singkat
(misalnya, terapi perilaku-kognitif, terapi interpersonal), yang digunakan baik dalam bentuk
tunggal ataupun kombinasi dengan obat. Namun, pendekatan gabungan umumnya memberikan
respon tercepat dan berkelanjutan2.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi

2.1.1 Kelainan Afektif


Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek
(mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa
terus menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul
pada orang yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan
hanya satu jenis serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya
ada disebut bipolar3.
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan
oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi
dan marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada
“perasaan hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah4.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau
bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan
ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap)
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan4.
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III5:
F30 Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
F30.9 Episode Manik YTT
F31 Gangguan Afektif Bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

2.1.2 Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,
gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar3.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola
tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan
tak berdaya, serta gagasan bunuh diri1.
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya3.

2.1.3 Epidemiologi

Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer dan
15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada
usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat3..

1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar dibanding laki-laki. Diduga adanya perbedaan
hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial antara laki-laki dan
perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketidakberdayaan4.
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi gangguan
depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan dengan laki-lak.
Pada penelitian lain disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena
depresi dibandingkan laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak
diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model
perilaku keputusasaan yang dipelajari1,3
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa prevalensi
yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi substansi otak
yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre
Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat diperparah
dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia,
kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin
berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut4.
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20
dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama masa anak-anak
atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa insidensi
gangguan depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang
dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007)
didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun
(14,3%) dan yang terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data
yang didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak
ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini
berbanding terbalik untuk laki-laki4.
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang
tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang bercerai atau
berpisah. Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar (2007) memperlihatkan bahwa
prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada pasangan yang bercerai atau
berpisah.
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan depresi berat.
Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding daerah perkotaan4.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An Aging
Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden dengan pendapatan
rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada
penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi terendah pada kelompok
pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat
depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok pendidikan yang
lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya
perbedaan tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki
korelasi positif dengan terjadinya gangguan depresif1.
2.1.4 Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan genetika
adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk
menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan
peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa
orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari
penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar
daripada sanak saudara derajat pertama1.

2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolitamin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin, serotonin dan
dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain
faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain
yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif, regulasi
neurendokrin dan neuroanatomis1.
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama oleh
adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. Selain itu
kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap
pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon)
dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki
(Trisdale, 2003).

Gambar 2.1.4.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:


a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang
menimbulkan depresi lambat3.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan
meningkat di saat mereka gembira3.
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin
(5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam
LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-
Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak3.

3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan
menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien depresi resisten
terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50%
pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit
ini dalam keluarga3.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau menopause. N
Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama
penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa
gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi3.

4. Faktor Kepribadian Premorbid


Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama hidupnya,
keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna. Kepribadian depresi
ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas
hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan lebih ramah dari rata-rata4
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan dunia luar
dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka cenderung
akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang mengalami
gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan
perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru dalam
keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru
perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses
adaptif dan maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi
perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor
pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik
kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi.
Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan
jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan
kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif4.
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak peristiwa
dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan mereka keluar
dari lingkungan sosial. 80% serangan pertama depresi didahului oleh stress, tetapi
angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi
diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak
dibandingkan dengan populasi lainnya3.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis
dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi
faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat
gangguan depresif muncul1,4.
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya 1. Satu teori yang diajukan untuk
menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang
bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan
tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor
external1.

2.1.5 Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di bawah ini:
ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) yang
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah (Depkes RI,
1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada episode tipe
ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke hari,
dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu. Sebagaimana
pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan variasi individual yang
mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja. Pada
beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu
tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood)
mungkin juga terselubung oleh cirri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol
berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang sudah ada
sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode depresif dari ketiga-
tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu
untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas mempunyai makna klinis
khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan minat atau
kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi emosional
terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih
awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari,
bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau
dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok, penurunan
berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat badan bulan terakhir),
kehilangan libido secara mencolok. Biasanya, sindrom somatik ini hanya dianggapp
ada apabila sekitar empat dari gejala itu pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).

F32.0 Episode depresif ringan


Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan,
dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi yang paling
khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala
lazim di atas harus ada untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala
yang berat di antaranya. Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang
gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan kegiatan
social, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama sekali (Depkes RI,
1993).
F32.1 Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan
sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok,
namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak variasi
gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu (Depkes
RI, 1993).
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah
tangga (Depkes RI, 1993).

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik


Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan
atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi merupakan ciri
terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak berguna mungkin
mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata terutama pada beberapa kasus
berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir selalu ada pada episode
depresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan
sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya
agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
utnuk melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian, penentuan
menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat dibenarkan. Episode
depresif biasanya seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi
jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan
mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali
pada taraf yang sangat terbatas.
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat
tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan
subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik


Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 terssebut di
atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham
atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana
perasaan (mood).
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia
katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini
hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan gejala
psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan depresif
berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya


Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran
yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan diagnostik
menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya termasuk campuran
gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non
diagnostik seperti ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan campuran gejala
depresif somatik dengan nyeri atau keletihan menetap yang bukan akibat penyebab
organik (seperti yang kadang-kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang


Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana
dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa riwayat adanya
episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan hiperaktivitas yang
memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria
hipomania segera sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang tampaknya
dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari onset, keparahan, lamanya
berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi, semuany sangat bervariasi.
Umumnya episode pertama terjadi pada usia lebih tua dibanding dengangangguan
bipolar, dengan usia onset rata-rata lima puluhan. Episode masing-masing juga
lamanya antara 3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi
frekuensinya lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode,
namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap,
terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan).
Episode masing-masing dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan
oleh peristiwa kehidupan yang penuh stres; dalam berbagai budaya, baik episode
tersendiri maupun depresi menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang
mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya akan
mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka diagnosisnya
harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.
2.1.6 Gejala
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energy
adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak
mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi
kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal3.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan
minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau
bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan
ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya
interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan4.
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain3:
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang mungkin
dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih. Biasanya dia menarik diri dari
kehidupan sosialnya. Segala sesuatu kelihatannya tanpa harapan, selalu murung,
ansietas mungkin ada atau pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan
keluhannya (depresi senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini hari dan
membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh diri sulit diduga
sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan. Pikiran bunuh diri seharusnya selalu
ditanyakan dan jika ada harus dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh
keluarganya, tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan dalam
pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan kesulitan
berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi gejala dominan, disertai
dengan adanya kegelisahan motorik yang nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan turunnya
penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana penyakit yang
dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di masa lampau, baik itu dosa
yang dikhayalkannya maupun kesalahan yang memang benar-benar pernah ia
lakukan. Pasien juga bisa merasa bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh
orang lain. Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan bahwa dia
kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia merasa tidak nyata dan
baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri mungkin
ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun dini hari,
kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya dapat menjadi insomnia
total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan, amenore dan
kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi kelelahan dan letargi, atau tanda
autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien
depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah sakit dengan
percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibanding
yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami
depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari
keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua
pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami
kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan
menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh
masalah tidur, khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun
dimalam hari karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan
peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan
menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa (Depkes RI,
1993).
2.1.7 Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-
IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa depresi dapat
terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang, dimana episode depresif
sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk
episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini ringan, episode kini
sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini berat dengan gejala psikotik
dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat diidentifikasi
(meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria diagnostik yang spesifik
untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang
khas dan tampilan klinis yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang
ditentukan (suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk
membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang berbeda
akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya mempunyai
dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSM-IV telah
memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak
mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural,
penggunaannya pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga menggunakan
sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya
pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan
didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan
dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan
depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif
ringan keparahan gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis
gangguan depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif
memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif
berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara terpisah
dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga menuliskan
deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.

a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik


Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit yang
parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.
b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari gangguan
depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok pasien yang dinyatakan
oleh beberapa data adalah lebih responsive terhadap terapi farmakologi daripada pasien
nonmelankolik.
c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal
Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan secara
resmi adaah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis yang menyatakan
bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang spesifik dan dapat diramalkan. Ciri
atipikal klasik adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Selain dari klasifikasi yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa instrumen-
instrumen pengukur tingkat depresi dapat digunakan untuk membantu memberikan
penilaian yang objektif terhadap kondisi depresi yang dialami oleh pasien. Berikut ini
adalah beberapa instrumen yang sering digunakan, yaitu:
a. Beck’s Depression Inventory
b. Hamilton Depression Scale
c. The Zung Self-Rating Depression Scale
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur keparahan
dan kedalaman dari gejala – gejala depresi seperti yang tertera dalam the American
Psychiatric Association's Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth
Edition (DSM-IV) pada pasien dengan depresi klinis. BDI dapat digunakan untuk dewasa
ataupun remaja yang berumur 13 tahun ke atas, dan merupakan sebuah ukuran standar
dari depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk mengevaluasi dari
efekttivitas pengobatan dan terapi.
BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendiagnosis, tetapi lebih
kepada identifikasi dari adanya depresi dan tingkat keparahannya sesuai dengan criteria
dari DSM-IV. Pertanyaan-pertanyaan yang tertera pada BDI II menilai gejala-gejala khas
dari depresi seperti gangguan mood, pesimisme, perasaan gagal, ketidakpuasan diri,
perasaan bersalah, merasa dihukum, ketidaksukaan terhadap diri sendiri, pendakwaan
terhadap diri, pikiran untuk bunuh diri, menangis, irittabilitas, penarikan diri dari
kehidupan sosial, gambaran tubuh, kesulitan bekerja, insomnia, kelelahan, nafsu makan,
kehilangan berat badan dan kehilangan libido.

2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah


tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik yang
lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus dimulai
yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya1.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi psikoterapeutik.
Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang dari masalah
psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat dapat menyebabkan respons yang
buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu
yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil
dari farmakoterapi mungkin terganggu2.

1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa pasien
individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga
merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan1.
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses
farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek
farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali (reuptake
sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja untuk
menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan
norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi
dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari sistem
neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang akan dibahas adalah
antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi golongan kedua
(SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs)6.

a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan
trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer,
tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier
(imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang paling sering
digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang
lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan
klinisi dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat
ini tersedia dalam formulasi generik1..
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier menghambat
reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi
akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap
amin tersier5.

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)


MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik (Arozal, 2007). Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini
pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh.
Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi dengan
tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan
acar, MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom
P450 yang akhirnya akan mengganggu metabolisme obat di hati1.

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)


SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama pada
gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat golongan
ini mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh
klinisi yang pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama
manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena
mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan
pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi
farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan
MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang
disebut sindrom serotonin dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps
kardiovaskular dan gangguan tanda vital5.

d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )


Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir sama
dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari reuptake
norepinefrin (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada beberapa
alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien depresi dengan
keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat lebih jelas pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1.10.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

e. Terapi Non Farmakologis


Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam pengobatan
depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku1 telah
menemukan predictor respons terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini :
(1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi
interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik
terhadap terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang
tinggi mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4) keparahan
depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi interpersonal
dan farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang
memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi
berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah
rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif1..
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan
pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang,
dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang
kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua,
masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan atau
memperberat gejala depresif sekarang1.

2.1.10 Prognosis

Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan


pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati
berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati
berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu
menyebabkan kembalinya gejala1.
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif
berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Banyak penelitian
telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik yang baik dan buruk di dalam
perjalanan gangguan depresif berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi
keluarga yang stabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di
rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah
sakit adalah indikator prognostik yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh
adanya penyerta gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala
gangguan kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya1.

2.2 Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik


2.2.1 Definisi
Depresi berat dengan gejala psikotik adalah Depresi berat dengan gejala psikotik
adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang
minat dan semangat, malas beraktivitas dan biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk
meneruskan kegiatan sosial, perkerjaan rumah dan urusan rumah tangga, gangguan pola
tidur dan terdapat waham dan halunsinasi atau stupor depresi.
2.2.2 Kriteria Diagnostik
a. Kriteria depresi berat dengan gejal psikotik menurut DSM-IV :
1. Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (perasaan sedih atau kosong), atau
pengamatan orang lain (tampak bersedih)
2. Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau hampir
semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
3. Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat badan
bertambaH.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi atau retardasi psikomotor atau kegelisahan hampir setiap hari
6. Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berarti atau rasa bersalah yang tidak sesuai atau berlebihan
8. Menurunnya kemampuan berpikir atau konsentrasi, ataun keragu-raguan
hampir setiap hari
9. Pikiran berulang mengenai kematian, upaya melakukan bunuh diri.
10. Waham dan halusinasi.
a. Ciri psikotik kongruen mood : waham dan halusinasi yang seluruh
isinya konsisten dengan depresif yang khas yaitu ketidakmampuan
pribadi, rasa bersalah, kematian.
b. Ciri psikotik tidak kongruen mood : Waham dan halusinasi yang isinya
tidak meliputi depresif khas yaitu ketidakmampuan pribadi, rasa
bersalah, kematian. Waham yang termasuk adalah gejala seperti
waham kejar, insersi pikiran, siar pikiran dan waham kendali.

Lima atau lebih gejala/ kriteria diatas telah ada selama periode waktu 2 minggu dan
menunjukan perubahan fungsi sebelumnya. Setidaknya 1 gejala mood menurun atau 2
gejala kehilangan minat atau kesenangan.

b. Kriteria depresi berat dengan gejal psikotik menurut DSM-IV


1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang
8. biasanya menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
perkerjaan rumah dan urusan rumah
9. waham dan halunsinasi atau stupor depresi, Wahamnya biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, da n pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham
atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan
suasana perasaan (mood).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi
seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut
sebagai suatu Gangguan Depresi. Beberapa gejala Gangguan Depresi berat dengan gejala
psikotik adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa,
hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur dan terdapat waham dan
halusinasi atau stupor depresi. Depresi sering merupakan salah satu penyebab utama kejadian
bunuh diri.

Terapi yang diberikan yaitu Farmakologi dan psikoterapi atau konseling. Dukungan dari
orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat membantu dalam penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan and Saddock. Comprehensive Textbook Of Psychiatry. 7th Ed. Lippincott Wiliams
And Wilkins. Philadelphia, 2010.
2. Halverson JA et al. Depression. (Online). 2011. [23 Juni 2011]. Available from
http://emedicine.com
3. Ingram, dkk. 1993. Catatan kuliah Psikiatri. Jakarta: buku kedokteran EGC
4. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI, 2007.
5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-III “Gangguan
Depresi”. PT Nuh Jaya. Jakarta, 2001.
6. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat dan Psikotropik edisi ketiga. Jakarta.
2002

Anda mungkin juga menyukai