1. Definisi Definisi Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat dikendalikan (Depkes, 2014). 2. Etiologi Hal berikut ini menggambarkan kemungkinan-kemungkinan penyebab hipertensi primer (Susalit, 2005) : a. Garam berlebih. b. Kelainan membran plasma, misalnya gangguan pompa Na - K. c. Tekanan fisik pada pusat kontrol kardiovaskuler oleh suatu arteri di atasnya. d. Zat mirip-digitalis endogen. Hampir setengah abad yang lalu, Irvin H. Page yang terkenal dengan teori mosaic of hypertension menguraikan bahwa, hipertensi merupakan penyakit pengaturan tekanan yang diakibatakan oleh multifaktorial (Majid, 2005). 3. Faktor Risiko Kemajuan dalam penelitian mengenai hipertensi ternyata masih banyak lagi faktor yang berperan dalam mekanisme pengaturan tekanan darah yang belum termasuk dalam teori mosaic. Multifaktorial yang dihubungkan dengan patogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari 3 elemen penting yaitu : a. Faktor genetik. b. Rangsangan lingkungan. c. Adaptasi struktural yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan tekanan yang lebih tinggi dari fungsi normalnya. Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan struktural kadang-kadang dipercepat oleh faktor genetik (Majid, 2005). Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer. a. Faktor genetik. b. Faktor lingkungan. 1) Gangguan keseimbangan garam 2) Obesitas 3) Stress 4) Lain-lain Faktor- faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer yaitu rasio asupan garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin, life style (merokok dan alkohol) dan ras (Majid, 2005). 4. Klasifikasi hipertensi Hipertensi merupakan pengukuran tekanan darah di atas skala normal (120/80 mmHg). Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam tiga klasifikasi yakni normal, pre-hipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2 (tabel 1). Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai ratarata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya dilakukan pada
posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.
Gambar Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 (National institute of health, 2004) Keterangan: TDS, Tekanan Darah Sistolik; TDD, Tekanan Darah Diastolik Kepanjangan Obat: ACEi, Angiotensin Converting Enzim Inhibitor; ARB, Angiotensin Reseptor Bloker; BB, Beta Bloker; CCB, Calcium Chanel Bloker Pengobatan berdasarkan pada kategori hipertensi † Penggunaan obat kombinasi sebagai terapi awal harus digunakan secara hati-hati oleh karena hipotensi ortostatik. Penanganan pasien hipertensi dengan gagal ginjal atau diabetes harus mencapai nilai target tekanan darah sebesar <130 mmHg. Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang menjadi hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya peningkatan edukasi pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi gaya hidup dalam rangka menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke arah hipertensi. Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu strategi dalam pencapaian tekanan darah target, mengingat hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya hidup yang salah. 5. Adaptasi perubahan struktur pembuluh darah Perubahan adaptasi struktur kardiovaskular, timbul akibat tekanan darah yang meningkat secara kronis dan juga tergantung dari pengaruh trophic growth (angiotensin II dan growth hormon) (Majid, 2005). 6. Patomekanisme Tekanan darah dipengaruhi oleh cardiac output dan resistensi perifer. Cardiac output sendiri dipengaruhi oleh stroke volume dan heart rate. Stroke volume dipegaruhi kontraktibilitas miokardium dan ukuran kompartemen pembuluh darah. Heart rate dipengaruhi oleh aktivitas saraf otonom simpatis- parasimpatis. Sedangkan resistensi perifer dipengaruhi oleh struktur anatomi pembuluh darah yang meliputi panjang, diameter, dan ada tidaknya kerusakan pembuluh darah, juga fungsional vaskuler, serta viskositas darah itu sendiri (Guyton, 2007). Mekanisme pengaturan tekanan darah dibagi menjadi 2 yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Kontrol intrinsik yaitu disesuaikan dengan kebutuhan tubuh, seperti kebutukan akan metabolisme. Kontrol ekstrinsik yaitu pengaturan tekanan darah melalui aktifasi saraf simpatis dan parasimpatis (Guyton, 2007). Selain itu, peran penting dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Sistem ini bekerja di ginjal, yaitu pengaturan aktivasi renin. Secara fisiologis, saat tekanan darah menurun, maka renin teraktivasi. Renin tersebut akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I yang merupakan vasokonstriktor lemah. Selanjutnya Angiotensin I dikonversi menjadi Angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor kuat oleh Angiotensin Converting Enzym (ACE). Sehingga meningkatkan vasokonstriksi pembuluh darah, meningkatkan tahanan perifer, dan akan meningkatkan tekanan darah. Begitu pula sebaliknya, saat tekanan darah tinggi, maka renin akan dihambat (Guyton, 2007). Selain itu, Angiotensin II juga merangsang aldosteron dan ADH untuk meningkatkan intake air dan retensi air dan garam, sifat Na+ yang menarik cairan intrasel ke ekstrasel sehingga viskositas darah naik, tahanan perifer selanjutnya akan naik juga, dan hasilnya tekanan darah menjadi naik (Guyton, 2007). Gangguan mekanisme di atas, dan juga akibat life style yang mendukung akan menyebabakan hipertensi.
Gambar Mekanisme pengaturan tekanan darah (Guyton, 2007).
7. Penegakan Diagnosis a. Anamnesis (Corwin, 2007; Panggabean, 2009; Gray, 2005) 1) Sakit kepala ketika terjaga, leher terasa tegang kadang disertai mual dan muntah karena peningkatan tekanan intrakranial. 2) Penglihatan kabur karena kerusakan hipertensif pada retina. 3) Cara berjalan tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. 4) Nokturia karena penimgkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. 5) Edema dependen (bengkak pada kaki atau perut) karena peningkatan tekanan kapiler. 6) Berdebar-debar. 7) Rasa melayang (dizziness). 8) Impotensi. 9) Mudah lelah, sesak nafas dan sakit dada. 10) Epistaksis, hematuria, dan transient cerebral ischemia. 11) Ditanya lama penyakit (biasanya sudah lama). 12) Gaya hidup dan faktor risiko, sering makan makanan yang mengandung natrium (garam) dan kebiasaan merokok. 13) Ditanya apakah pasien sebelumnya mengkonsumsi obat-obatan tertentu, karena mungkin tekanan darah yang tinggi yang terjadi merupakan efek samping dari suatu obat. b. Pemeriksaan fisik Hal-hal yang perlu diperiksa adalah (Panggabean, 2009; Gray, 2005): 1) Keadaan umum, tinggi badan dan berat badan. 2) Tekanan darah diukur minimal dua kali dalam satu waktu pengukuran kemudian diambil rata-ratanya. Positif hipertensi apabila didapatkan minimal dua kali hasil positif hipertensi pada tiga kali pengukuran pada waktu yang berbeda dalam waktu dua sampai empat minggu. Pada pasien usia muda, perlu diukur tekanan darah pada daerah betis. 3) Pemeriksaan funduskopi dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker untuk menilai prognosis. 4) Pemeriksaan leher yaitu palpasi dan auskultasi arteri karotis untuk melihat adanya stenosis atau oklusi. 5) Pemeriksaan ekstremitas (a. radialis, a. femoralis, a. dorsalis pedis). 6) Pemeriksaan paru untuk memeriksa adanya bunyi ronki atau tidak c. Pemeriksaan jantung 1) Mencari ada tidaknya kardiomegali, menilai HVK dan gagal jantung. 2) Auskultasi jantung, dapat ditemukan: a) Bunyi S2 yang meningkat karena kerasnya penutupan katup aorta. b) Bunyi S3 karena tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang meningkat akibat dilatasi. c) Bunyi S4 atau gallop atrial atau presistolik karena peningkatan tekanan atrium kiri. d) Murmur diastolik karena regurgitasi aorta. e) Apabila didapatkan bunyi S3 dan S4 dinamakan summation gallop d. Pemeriksaan abdomen 1) Mencari adanya aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal dan asites. 2) Auskultasi dapat ditemukan bising sekitar kiri dan kanan umbilicus. Hal ini menandakan adanya renal artery stenosis e. Pemeriksaan penunjang (Panggabean, 2009; Gray, 2005) 1) Pemeriksann laboratorium a) Urinalisa: protein, dan lain-lain untuk mengetahui adanya penyakit ginjal. b) Darah: hemoglobin, hematokrit, platelet, fibrinogen, GDS. c) Biokimia: potassium, sodium, kreatinin, profil lipid (untuk melihat risiko penyakit kardiovaskular mendatang). 2) Pemeriksaan tambahan a) Foto toraks dada. b) EKG 12 lead, menilai ada tidaknya hipertrofi ventrikel kiri. c) Mikroalbuminuria. d) Ekokardiografi. 8. Penatalaksanaan a. Nonmedikamentosa 1) Modifikasi Gaya Hidup Berikut ini merupakan gaya hidup yang harus dilakukan menurut JNC 7 dalam National Institute of Health (2004): a) DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) DASH merupakan suatu program diet atau pengaturan makan yang diatur untuk mencegah tekanan darah tinggi. Rencana makan dari DASH ini adalah diet tinggi buah-buahan, sayur- sayuran, susu rendak lemah dan produk olahannya, serta diet rendah kolesterol, lemak jenuh, dan lemak total. DASH diestimasi dapat menurunkan tekanan darah 8-14 mmHg. b) Menjaga berat badan. c) Diet rendah sodium. d) Aktivitas fisik. e) Kurangi konsumsi alkohol dan berhenti merokok. 2) Follow-up dan Monitoring Apabila terapi sudah dimulai, monitoring terhadap pasien harus tetap berjalan, minimal sebulan sekali pasien datang lagi ke dokter, sampai tekanan darah menurun dan stabil. Pasien dengan hipertensi stage 2 harus lebih sering datang daripada pasien hipertensi biasa (JNC 7 dalam National Institute of Health, 2004). Kadar potassium dan kreatinin serum juga harus dicek, kurang lebih 1-2 kali pertahun. Jika tekanan darah sudah menurun sampai tujuan dan stabil, pasien tetap datang ke dokter secara berkala minimal 3-6 bulan sekali. Faktor risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal harus tetap dicek dan dicegah kejadiannya. Namun apabila pasien hipertensi sudah memiliki penyakit kardiovaskular atau diabetes harus selalu dikontrol (JNC 7 dalam National Institute of Health, 2004). b. Medika mentosa 1) Diuretik Obat diuretik yang dapat digunakan antara lain (Gunawan et al., 2009): a) Golongan Tiazid Contoh obat golongan tiazid adalah hidroklorotiazid. b) Diuretik Kuat Contoh diuretik kuat adalah furosemid, torsemid, bumetanid, asam etakrinat.
c) Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi sodium dan sekresi kalium dengan jalan antagonis kompetitif atau secara langsung di tubulus distal. Amilorid, triamteren, dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia.. 2) Penghambat Sistem Adrenergik a) β-bloker Contoh obat β-bloker adalah atenolol, metoprolol, karvedilol, labetolol (Gunawan et al., 2009). b) α-bloker Contoh α-bloker adalah prazosin, terazosin, bunazosin, doksasozin (Gunawan et al., 2009). 3) Centrally Acting Sympathoplegic Drugs Obat jenis ini bekerja dengan menurunkan sinyal simpatis pada pusat vasomotor di otak, lalu menahan kerja dari baroreseptor, contoh obatnya yaitu (Gunawan et al., 2009): a) Methyldopa b) Clonidine 4) Vasodilator Mekanisme kerja obat ini secara umum bekerja langsung pada pembuluh darah, meberikan efek relaksasi pada otot polos pembuluh darah, menurunkan resistensi vascular. Contoh vasodilator adalah hidralazin, minoksidil, diazoksid, dan natrium nitroprusid (Gunawan et al., 2009). 5) Renin-Angiotensin-Aldosteron Inhibitor a) Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor Contoh ACE-inhibitor antara lain adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, imidapril (Gunawan et a.l, 2009). b) Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Ada dua tipe reseptor angiotensin II, yaitu AT1 dan AT2. AT1 terdapat di otot polos jantung, pembuluh darah, ginjal, otak, dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 jika berikatan dengan angiotensin II dapat memicu sekresi aldosteron dan memicu vasokontriksi. Sedangkan kerja reseptor AT2 mekanismenya belum jelas (Gunawan et al., 2009). ARB dapat menghambat vasokontriksi, sekresi aldosteron, aktivitas saraf simpatis, efek sentral Angiotensin II, serta menghambat stimulasi jantung. Contoh ARB adalah losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan (Gunawan et al., 2009). Efek samping dari ARB antara lain adalah hipotensi, hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular, hiperkalemia, serta bersifat fetotoksik. Oleh karena itu, ARB dikontraindikasikan bagi ibu hamil dan ibu menyusui (Gunawan et al., 2009). 6) Antagonis Kalsium (Nifedipin, dihidropirin, diltiazem, verapamil) Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot vaskular dan miokardium. Antagonis kalsium juga dapat bekerja langsung di pembuluh darah, dapat menimbulkan relaksasi arteriol, serta dapat menunkan resisrensi perifer. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan vasokontriksi (nifedipin) (Gunawan et al., 2009). Sebagai monoterapi, antagonis kalsium terbukti efektif pada hipertensi dengan kadar renin rendah, seperti pada usia lanjut. Antagonis kalsium sering dikombinasi bersama ACE-inhibitor, metildopa, atau beta-bloker (Gunawan et al., 2009). 9. Komplikasi Penyakit jantung koroner sering terjadi pada pasien hipertensi, bersama dengan hipertrofi ventrikel kiri. Risiko penyakit jantung (kematian, infark miokard, gagal jantung, aritmia) akan berkurang jika tekanan diturunkan. Jika tekanan diastolik turun hingga < 80 mmHg, risiko akan meningkat lagi yang disebut kurva berbentuk J. Peningkatan gejala penyakit jantung pada tekanan diastolik yang rendah disebabkan rendahnya tekanan perfusi koroner, yang dengan penebalan miokard disertai resistensi arteriol dapat memicu jantung iskemik pada malam hari ketika tekanan darah dalam kondisi rendah (Gray et al, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Depkes. 2014. InfoDatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Gray, Huon H. et al. 2005. Lecture Notes: Kardiologi. Jakarta: Erlangga.
Gunawan, S. Gan, et al. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Guyton, Arthur C, dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Majid, Abdul. 2005. Fisiologi Kardiovaskular. Edisi 2. Medan: Bagian Fisiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. National Institutes of Health. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7). U.S: U.S Department of Health and Human Services. Panggabean. 2009. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Edisi V, Jilid II. Jakarta: Interna Publishing. Susalit, E., Kapojos E. J., dan Lubis H. R. 2005. Hipertensi Primer Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.