TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). (Said M, 2015) Pneumonia merupakan
infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial. (Callistania
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah anak
yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia
anak di bawah lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12–59
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-
5
6
2.1.2 Epidemiologi
lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Penyakit
ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia <5 tahun.
Insidens pneumonia pada anak berusia <5 tahun adalah 10–20 kasus/100 anak/ tahun
Indrawati W, 2014)
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun . Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Menurut survei
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
2015)
2.1.3 Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan
dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,
dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi
kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Demikian juga dengan pemeriksaan
radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi. (Said M, 2015)
terjadi di rumah sakit. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua
bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, penyakit
Pada pneumonia komunitas jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus.
Clamydia pneumoniae (17%). Patogen pada pneumonia komunitas rawat inap. Pada
pneumoniae dan virus sebesar sp 10%. Kejadian infeksi kuman atipikal mencapai 40-
60%. Infeksi patogen gram negatif bisa mencapai 10% terutama pada pasien dengan
komorbiditas penyakit lain seperti disebut di atas. Ps, Aeruginosa dilaporkan sebesar
4%. Penelitian pneumonia komunitas rawat di Asia misalnya Indonesia atau Malasyia
tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen tertentu, dan masa menjelang
timbul onset pneumonia. Patogen Str. Pneumoniae memiliki faktor risiko koma, cedera
kepala, influenza, pemakaian obat IV, DM, gagal ginjal dan patogen Ps, Aeruginosa
memiliki faktor risiko pernah dapat antibiotik, ventilator >2 hari, lama dirawat di ICU,
2.1.7 Patofisiologi
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meninkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
2.1.8 Gejala
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
9
perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut : (Said M, 2015)
• Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-
• Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,
nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. (Said M, 2015)
10
2.1.9 Diagnosis
Gambar 2.1 klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernafas (DEPKES, 2012)
dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau
lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah kedalam.
Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran
bernapas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Diagnosisnya
adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-
2.1.10 Komplikasi
ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup
tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis
merupakan keadaan yang fatal, maka di anjurkan untuk melakukan deteksi dengan
2015)
2.2 Aplikasi Model Epidemiologi dan Konsep Model Hendrik L. Blum pada
Menurut Hockennberry dan Wilson, 2009 penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan environment. Dalam model ini faktor
agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit meliputi infectious
agent yaitu organisme penyebab penyakit, physical agent dan chemical agent. Faktor
penjamu (Host) adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan penyakit meliputi
faktor genetik atau gaya hidup. Faktor lingkungan (Enviroment) adalah tempat dimana
host hidup termasuk cuaca dan faktor-faktor yang berhubungan dengan rumah,
Host
Agent Environment
Gambar 2.2 The Epidemiologic triangel (Hockenberry and Wilson, 2009)
normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang optimum, tetapi pola biasa
yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam populasi. Berbagai perubahan yang
terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan environment) akan menghasilkan
Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam model segitiga
2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam hal ini
adalah anak balita meliputi: Usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat
Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Hartati (2011), status kesehatan
dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu
sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan, perilaku (gaya hidup),
keturunan dan pelayanan kesehatan. Bagan kerangka pikir Hendrik L. Blum dapat
KETURUNAN
PERILAKU
Gambar 2.2 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan (Hendrik L Blum, 1974)
14
Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada status
kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran panah
paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang paling besar,
karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah lingkungan dan
yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan tidak dapat di
intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil (Endra Febri,
berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu sama lain. Status
kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut kondisinya juga optimal.
Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal.
Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah:
(Hartati, 2011)
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang
dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes
melitus dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yanng tidak
mungkin kita hindari. (Endra Febri, 2015) Penyakit yang dapat diturunkan dari
orang tua dan menjadi faktor risiko pneumonia adalah penyakit asma. (Hartati,
2011)
oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga
Hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan yang
lebih tinggi akan lebih banyak membawa anaknya untuk berobat ke fasilitas
kesehatan, tetapi ibu dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya
3. Faktor perilaku
keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri.
16
Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan
Individu dan masyarakat yang berprilaku hidup bersih dan sehat akan
masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam menyukseskan
4. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan,
rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi
secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang
dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab.
b. Lingkungan biologis
virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan
c. Lingkungan sosial
radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia
itulah perlu kesadaran semua pihak. (Endra Febri, 2015) Faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi risiko pneumonia pada anak balita adalah status
sosial ekonomi orang tua, pengetahuan orang tua serta persepsi orang tua
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah:
pneumonia yanng terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A dan
peluang 3,24 kali untuk menderita pneumonia di banding balita yang berusia>12 bulan-
<60 bulan dan dari hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
usia balita dengan kejadian pneumonia (p value= 0,002). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan hananto 2004 di jelaskan bahwa anak usia≤12 bulan
mempunyai risiko pneumonia sebesar 2,27 kali di banding responden yang berusia>12
Usia dini yaitu usia di bawah lima tahun ditengarai menjadi satu-satunya faktor
risiko yang berperan penting dalam kejadian pneumonia, usia juga digunakan sebagai
indikator penting untuk memprediksi etiologi pneumonia pada balita. (Wiliams J.D,
Berdasarkan penelitian temuan kasus 2008 hingga 2009 yang dilakukan Tatiana
et al (2011) sebagian besar kasus pneumonia terjadi pada anak-anak usia 12 bulan
Berdasarkan penelitian Hartati pada tahun 2011, hasil uji statistik menjelaskan
ada hubungan yang signifikan antara status gizi balita kurang dengan kejadian
pneumonia dengan (p value= 0,000) dan responden yang memiliki status gizi kurang
berpeluang untuk terjadinya pneumonia sebesar 6,52 kali dibanding responden yang
berstatus gizi baik. Temuan penelitian ini sejalan dengan Sunyataningkamto, dkk
20
(2004) didapatkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk mempunyai pneumonia sebesar
2,6 kali dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik. (Hartati S, 2011)
Malnutrisi berat berpengaruh terhadap infeksi pernafasan akut berat, anak dengan
gizi buruk memiliki kemungkinan terkena pneumonia tiga kali dibandingkan dengan
anak yang tidak gizi buruk. (Ujunwa F.A, Ezeonu C.T, 2014)
mengalami pneumonia sebanyak 3,21 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan
imunisasi campak dan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara riwayat
Sedangkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi DPT lengkap mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali dibanding dengan balita yang mendapat
pernafasan akut. Hal ini didukung berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa
anak dengan imunisasi yang adekuat akan mencegah dari komplikasi misalnya
anak di bawah lima tahun, bentuk infeksi pernafasan akut yang berat seperti pneumonia
eksklusif, imunisasi yang buruk, lingkungan yang kumuh, pada kejadian pneumonia
Dalam buku ajar respirologi anak, faktor risiko terjadinya pneumonia pada balita
adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin
terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). (Said M, 2015)
mempunyai riwayat berat badan lahir rendar (<2500 gram) memiliki risiko 1,9 kali
untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat
balita yang mendapatkan vitamin A, namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
Walaupun hasill penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
proporsi anak balita yang mendapat vitamin A dan menderita pneumonia masih lebih
tinggi. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut oleh petugas kesehatan bagaimana vitamin A itu
vitamin A tidak memiliki peranan terhadap kejadian pneumonia pada balita (Mathew
J. L, 2010)
mengalami pneumonia sebanyak 4,47 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan
ASI eksklusif dan hasil uji statistik didapat hubungan yang bermakna antara riwayat
S, 2011)
Anak dengan pemberian ASI yang rendah, hal ini turut mempengaruhi kejadian
balita
value=0,037) dan balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibanding dengan balita yang tidak tinggal
pendapatan rumah tangga yang rendah berubungan dengan tinggal ditempat yang
kumuh dan anggota keluarga yang banyak dalam satu rumah juga merupakan faktor
2.3.8 Pengaruh asap rokok dalam rumah terhadap kejadian pneumonia balita
bahwa kondisi infeksi saluran pernafasan akut seperti bronkhitis, pneumonia, dan asma
bronkhial diperberat dalam rumah, dimana terdapat 3–4 orang dewasa memiliki
2013).
status ekonomi rendah dan sedang. Perokok pasif berbahaya terhadap kesehatan sistem
respirasi anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nursan Cinar et al, anak yang
masuk rumah sakit diakibatkan pneumonia dan bronkhitis dua kali lebih banyak jika
Kandungan kimia berbahaya dalam asap rokok tidak hanya berdampak buruk
terhadap perokok, namun juga orang di sekitarnya. Organ pernapasan anak-anak masih
belum berfungsi secara maksimal, sehingga lebih rentan terhadap paparan asap rokok
yang tidak ada ventilasi udara rumah mempunyai peluang mengalami pneumonia
sebanyak 2,5 kali dibanding balita yang tinggal di rumah yang memiliki ventilasi udara.
Hasil uji statistik menjelaskan ada hubungan antara ventilasi udara rumah dengan
acute respiratory lower infection. Kamar tidur anak yang memiliki ≥2 jendela
berhubungan dengan penurunan 25% risiko acute respiratory lower infection. (Murray
E L et al, 2012)
balita
Risiko penularan penyakit infeksi juga dapat diakibatkan oleh status sosial
ekonomi suatu keluarga. Status sosial ekonomi yang rendah dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi suatu penyakit. Hal ini juga dipengaruhi oleh tempat tinggal di
lingkungan padat penduduk, gaya hidup tidak sehat, serta asupan nutrisi yang tidak
hubungan antara tingkat penghasilan rendah orang tua balita dengan kejadian
balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,42 kali dibanding orang tua yang
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seham fathy abdel hameed azab et al (2014)
mesir dengan penghasilan orang tua dengan nilai p ( < 0,01). (Azab Seham et al, 2014)
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu balita yang rendah dengan kejadian
25
balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,4 kali dibanding ibu balita dengan
ibu untuk hidup bersih dan hasilnya meningkatkan penyakit seperti pneumonia pada
pada balita
Dari hasil analisis dimana diperoleh balita yang tidak menggunakan pelayanan
dengan balita yang menggunakan pelayanan kesehatan walaupun secara statistik tidak
ada hubungan bermakna antara pelayanan kesehatan balita dengan kejadian pneumonia
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seham fathy abdel hameed azab et al (2014)
mesir dengan penggunaan fasilitas kesehatan dengan nilai p ( < 0,01). (Azab Seham et
al, 2014)
Berdasarkan penelitian tesis Hartati 2011, balita yang mempunyai riwayat asma
balita yang tidak mempunyai riwayat asma namun hasil uji statistik menunjukkan tidak
26
ada hubungan antara riwayat asma balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,366).
(Hartati S, 2011)
Kesehatan Primer untuk pneumonia pada anak yaitu bronkhopneumonia dengan no.