Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma medula spinalis adalah kerusakan pada medula spinalis yang


menyebabkan hilangnya mobilitas dan sensasi dibawah level cedera. Gangguan
ini ditandai dengan kehilangan sensasi, fungsi, dan ketidakmampuan untuk berdiri
dan berjalan. Trauma medula spinalis merupakan penyebab utama kecacatan
dengan hasil neurologis yang menghancurkan dan dan memiliki peluang
terapeutik yang terbatas. Ada dua jenis utama dari trauma medula spinalis, yaitu
transeksi medula spinalis dan kontusio medula spinalis. Insiden trauma medula
spinalis bervariasi ditiap negara, yaitu 12,7% pada negara Prancis dan 59% kasus
per 1 juta populasi tiap tahun. Penyebab nya adalah trauma , luka tembus, ataupun
penyakit.1

Kontusio medula spinalis adalah trauma yang disebabkan hancurnya


medula dengan bagian jaringan yang robek, terutama pada serabut saraf ventral
yang menghubungkan sumsum tulang belakang intak pada tempatnya. Tingkat
keparahan dari kontusio ini dipengaruhi terlebih oleh status fisiologis dari serabut
saraf yang tersisa, dan melihat apakah rangsangan potensial aksi dapat lewat
dengan lancar, apakah terhambat, atau tidak ada sama sekali.1,2

Pada kontusio medula spinalis akan menyebabkan cedera mekanik pada


medula spinalis, yang merupakan kombinasi dari kompresi, laserasi,dan
pergeseran. Sekelompok zat perusak akan mengalir keluar dari pusat cedera utama
dan mengakibatkan cedera sekunder, yang tertutup oleh dinding astrositik. Bagian
depan dari cedera sekunder dimulai dengan zona iskemik, yang menyebabkan
destruksi jaringan dan perluasan dari cedera sekunder.2

Penggunaan kursi roda memang memberikan bantuan mobilitas kepada


pasien, namun masalah utama adalah pembatasan untuk mobilitas dan gangguan
kesehatan karena duduk lama, seperti ulkus dekubitus, osteoporosis, deformitas
sendi, terutama kontraktur aduksi dari sendi panggul yang disebabkan penggunaan
kursi roda yang berkepanjangan. Pada penderita trauma medula spinalis, sering
menjalani berbagai program rehabilitasi untuk berjalan dan latihan. Berjalan
merupakan latihan yang baik untuk mejaga mobilitas yang baik, menurunkan
kejadian infeksi saluran kemih, dan meningkatkan fungsi kardiovaskular,
pencernaan, dan kesehatan psikologis.1,3

Pada pasien yang datang dengan curiga trauma medula spinalis wajib
dilakukan penilaian dan resusitasi sesuai standar prosedur operasional. Dengan
oksigenasi yang adekuat dan perfusi baik akan membantu meminimalkan cedera
sekunder medula spinalis. Kewaspadaan terhadap cedera medula spinalis tetap
perlu diikuti hingga pasien telah diresusitasi dan luka yang mengancam nyawa
ditatalaksana. Imobilisasi tetap dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih
parah.1,2,3

Komplikasi umum dari trauma medula spinalis adalah hilangnya mobilitas


dan sensasi fungsional dibawah tingkat cedera. Namun, kelumpuhan sebagian atau
seluruhnya dapat mengarah pada peningkatan komplikasi pada bagian lain dari
tubuh.3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Trauma medula spinalis merupakan penyebab utama disabilitas dengan


gangguan neurologis berat dan peluang terapi yang terbatas, meskipun telah
dilakukan ribuan publikasi mengenai perkembangan terapi medula spinalis.
Terdapat dua jenis utama dari trauma medula spinalis, yaitu transeksi dari medula
spinalis dan kontusio medula spinalis. Secara teoritis keduanya dapat diobati,
namun belum ada dokumentasi yang pasti pada manusia. Pada kontusio medula
spinalis, telah dilakukan perkembangan tindakan operasi untuk menghasilkan
perubahan yang lebih baik.1,2

Kontusio medula spinalis merupakan cedera yang disebabkan hancurnya


medula dengan bagian jaringan yang robek, terutama pada serabut saraf ventral
yang menghubungkan sumsum tulang belakang intak pada tempatnya. Tingkat
keparahan dari kontusio ini dipengaruhi terlebih oleh status fisiologis dari serabut
saraf yang tersisa, dan melihat apakah rangsangan potensial aksi dapat lewat
dengan lancar, apakah terhambat, atau tidak ada sama sekali.1

2.2. Penyebab Kontusio Medula Spinalis

Pada saat terjadi cedera pada medula spinalis, ada kerusakan pada jaringan
medula spinalis. Sekelompok zat perusak akan mengalir keluar dari pusat cedera
utama dan mengakibatkan cedera sekunder, yang tertutup oleh dinding astrositik.
Bagian depan dari cedera sekunder dimulai dengan zona iskemik, yang
menyebabkan destruksi jaringan dan perluasan dari cedera sekunder. Proses ini
akan berlangsung terus hingga mencapai tahap akhir dengan membuat kavitas dan
fibrin trabekula. 3
2.3. Patofisiologi
Trauma awal menyebabkan cedera mekanik pada medula spinalis, yang
merupakan kombinasi dari kompresi, laserasi,dan pergeseran. Setelah kerusakan
yang terjadi pada mikrovaskular, edema yang progresif terjadi, dan iskemia akan
semakin memburuk dan mengaktifkan sinyal pro-apoptosis. Kemudian akan
terjadi gangguan pada blood – spinal cord barrier, masuknya sel inflamatorik,
vasoaktif, dan pelepasan faktor koagulasi. Kejadian ini akan memicu trombosis
dan spasme dari pembuluh darah kecil, yang menyebabkan hipoksia. Dengan
berkurangnya volume parenkim, akan membuat kavitas kistik menyatu,
menghasilkan pembatas untuk migrasinya sel. Proliferasi astrosit dan deposisi
fibroblas akan membuat cedera semakin nyata. Rho-ROCK (rho – protein kinase)
diaktifkan dan menghambat pertumbuhan neurit. Bersama, semua mekanisme ini
berkontribusi pada pembatasan regenerasi. Pada tingkat akhir kerusakan medula
spinalis dari cedera primer dan sekunder akan berlangsung berhari bahkan
berminggu – minggu. Agen neuroprotektif akan berusaha menghindari kerusakan
saraf, lalu bertindak memicu pertumbuhan aksonal kembali setelah kerusakan
telah terjadi. 3, 4

Gambar 1. Mekanisme Cedera Medula Spinalis (Mengenai Kepala dan


Hiperekstensi)1
Pada perubahan primer setelah terjadinya kontusio medula spinalis, cedera
fisik mungkin terbatas pada kolumna vertebra termasuk komponen jaringan
lunaknya, dan bervariasi. Medula spinalis atau serabut saraf diantaranya dapat
terluka, baik oleh trauma awal atau ketidaktabilan struktur segmen vertebra, yang
menyebabkan kompresi langsung, gangguan fisik, atau kekurangan suplai darah.
Sedangkan pada perubahan sekunder selama beberapa jam dan hari, akan terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkan sel lebih banyaknya gangguan seluler dan
gangguan neurologis yang semakin meluas. 1

2.4. Klasifikasi
Setelah melakukan stabilisasi umum awal, penting untuk dilakukan
pemeriksaan motorik dan sensorik pada pasien terutama untuk pemeriksaan
neurologis. Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), pentingnya
klasifikasi ini dapat menjadi sarana standarisasi awal dan untuk pemeriksaan
lanjutan, dan juga memiliki peran dalam memprediksi prognosis. Komponen ini
terdiri dari poin utama untuk sensorik dan motorik. Komponen sensorik terletak
pada masing – masing 28 dermatom (dadri C2 hingga S4 – 5) di sisi kanan dan
kiri. Sentuhan ringan dan rasa nyeri diuji, dan dinilai skalanya dari 0 (tidak ada)
hingga 2 (normal atau utuh). Pemeriksaan motorik meliputi penilaian fungsi otot
yang berhubungan dengan sepuluh pasang miotom (C5 – T1 dan L2 – S1), lalu
dinilai kontraksinya. Skala gangguan ASIA ditentukan sebagai berikut :1, 3
 A = Selesai. Tidak ada gangguan sensorik atau morotik di sakrum segmen
S4 – S5.
 B = Sensorik tidak lengkap. Sensorik namun tidak fungsi sensorik
dibawah tingkat neurologis termasuk cedera S4 – S5 dan tidak ada fungsi
motorik pada masing – masing bagian tubuh.
 C = Motorik lengkap. Fungsi motorik dipertahankan dibawah level
neurologis.
 D = Motorik tidak lengkap. Fungsi motorik dipertahankan dibawah level
neurologis, dan setidaknya setengahnya dibawah level neurologis.
 E = Normal. Fungsi sensorik dan motorik normal.
Setiap skala ASIA ini memiliki nilai prognostik. 85% fungsi pasien ASIA
– A tidak akan berfungsi kembali, 15% nya akan membaik, dan 3% darinya yang
emmiliki fungsi motorik penuh. Sedangkan pada pasien ASIA – C&D akan
memiliki fungsi normal kembali.5

2.5. Mekanisme Trauma


Ada tiga mekanisme cedera pada trauma medula spinalis, yaitu avulsi,
cedera langsung, dan cedera tidak langsung.
 Avulsi
Pada bagian lumbal, dapat terjadi avulsi transerval, sedangkan pada
servikal dapat terjadi fraktur akibat adanya avulsi (traksi).
 Cedera Langsung
Luka tembus pada medula spinalis, terutama melalui senjata api atau pisau
langsung sudah menjadi kejadian yang cukup umum. Cedera ini jarang
menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral dan gangguan neurologis.
 Cedera Tidak Langsung
Ini merupakan penyebab paling umum dari medula spinalis yang
mengalami kerusakan dengan penekanan berlebihan pada medula spinalis.

2.6. Diagnosis
Menurut pedoman trauma medula spinalis sebelumnya, pasien dengan
keluhan nyeri leher, nyeri punggung, gejala defisit neurologis yang berhubungan
dengan vertebra, dan pasien tidak dapat dinilai jelas ( seperti pada orang tidak
sadar, tidak kooperatif, tidak koheren atau mabuk), memerlukan pemeriksaan
radiologis untuk menilai medula spinalis.1,6
Studi National Emergency X- Radiography Utilization Study (NEXUS)
dirancang sebagai upaya untuk mengidentifikasi orang dengan risiko rendah untuk
fraktur / subluksasi / diskolasi servikal. Ini meliputi lima kriteria yaitu : tidak ada
nyeri pada servikal posterior, tidak ada intoksikasi, status mental yang normal,
tidak ada luka yang serius, dan tidak ada defisit neurologis. Pasien yang
memenuhi semua kriteria ini berisiko rendah cedera servikal dan pencitraan ini
tidak perlu lagi. Studi NEXUS ini memiliki sensitivitas 99% dan nilai prediksi
negatif 99,9% untuk trauma servikal posterior. Protokol lain yang membahasnya
adalah Canadian C – Spine Rule, yang terdiri dari tiga pertanyaan: kehadiran
faktor risiko tinggi yang mengharuskan radiografi (usia > 65 tahun, mekanisme
trauma yang berbahaya, atau parastesi). Kehadiran faktor ini memungkinkan
penilaian aman dari berbagai gerakan, dan kemampuan untuk aktif memutar leher
45o ke kiri dan kanan. Penggunaan protokol ni menghasilkan sensitivitas 100%
untuk cedera servikal dengan spesifisitas 42,5%. Jika tidak tersedia, maka
dianjurkan untuk melakukan X – ray tulang belakang dengan tiga posisi
(anteroposterior, odontoid, dan lateral view), lalu dilanjutkan dengan CT Scan.
Pencitraan MRI harus diperoleh, dan layak dalam 48 jam setelah trauma. Itu bisa
mendeteksi lesi pada 6% kasus dimana CT normal, dan berguna untuk lesi pada
ligamen. Ini juga penting dalam mengklasifikasikan keparahan dan memprediksi
hasil berdasarkan ada tidaknya perdarahan, edema, atau kompresi. Perdarahan
pada medula spinalis akan berujung pada prognosis buruk. 1,2,7

2.6. Manajemen Nafas


Komplikasi pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada fase akut trauma medula spinalis, dengan insidensi mulai dari
36% hinga 83%. Menurunnya kapasitas vital, retensi sekresi, dan disfungsi
otonom berperan. Hingga dua pertiga pasien akan mengalami komplikasi seperti
atelektasis, pneumonia, atau gagal nafas sehingga butuh ventilasi mekanis.
Tingkat cedera dan klasifikasi ASIA adalah dua prediktor penting untuk
kebutuhan intubasi. Hampir 100% lesi diatas C5 memerlukan intubasi yang bisa
dikerjakan elektif. Sangat penting untuk menghindari hiperekstensi, rotasi, atau
gerakan lainnya saat leher dilakukan intubasi. Bila memungkinkan, intubasi
fiberoptik lebih disukasi. Pada pasien tertentu dengan lesi servikasl lengkap atau
dengan lesi lebih rendah, manajemen konversatif menjadi pilihan. Fungsi paru –
paru harus dipanta ketat dengan kapasitas vital, tekanan inspirasi maksimum, dan
tingkat tekanan karbon dioksida parsial. Namun, sejauh ini hanya 40$% pasien
dengan lesi diatas C4 berhasil diekstubasi. Prediktor dibutuhkan trakeostomi
adalah lesi ASIA, luasnya lesi, riwayat merokok, dan penyakit paru sebelumnya.
Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan trakeostomi mengarah ke masa
lebih pendek rawatan di ICU dan pengurangan pemakaian ventilasi mekanis. 1,8,9

2.7. Manajemen Kardiovaskular


Kejadian hipotensi setelah terjadinya kontusio medula spinalis sering
terjadi. Mungkin karena terjadi hipovolemia karena terjadi trauma yang banyak,
atau karena trauma servikal langsung, yang menyebabkan syok neurogenik. Syok
neurogenik merupakan hasil dari gangguan simpatetik karena gangguan kontrol
supraspinal, dan pengaruh parasimpatik melalui nervus vagus, membawa kepada
ketidakseimbangan kontrol otonom. Oleh karena itu, dapat hilangnya tonus
pembuluh darah perifer dan bradikardia.1
Berdasarkan ini, diperlukan pertahanan tekanan arteri rata – rata 85 –
90mmHg selama tujuh hari setelah cedera. Pengobatan yang terbaik adalah
dengan terapi cairan intravena terutama dengan kristaloid untuk mempertahankan
status euvolemik atau sedikit hipervolemik, dalam hubungan dengan vasopresor.10

2.8. Manajemen Neurologis


Setelah terjadinya syok spinal, pemantauan fungsi neurologis akibat
cedera spinalis perlu dinilai. Pada pasien trauma medula spinalis, diperlukan tim
multidisiplin untuk mengelola gangguan fisiologis dan malfungsi, termasuk
cedera medula spinalis. Unit perawatan intensif diperlukan selama fase cedera
akut. Pada pasien dengan keadaan stabil, dapat diobati secara konservatif dan
direhabilitasi sesegera mungkin. 1
Pada cedera tidak stabil, dapat dipertimbangkan operasi untuk
menghindari deformitas progresif. Stabilisasi bedah telah terbukti aman, dan
menghasilkan periode rawat inap yang lebih pendek, mengurangi biaya perawatan
kesehatan, rehabilitasi dengan waktu lebih cepat, dan perbaikan fungsi neurologis.
Indikasi yang tepat untuk dilakukan operasi darurat adalah kerusakan neurologis
yang progresif, dengan bantuan pencitraan MRI atau CT Scan yang menunjukkan
adanya kompresi medula spinalis.
2.9. Pengobatan Kontusio Medula Spinalis
Berdasarkan cedera primer dan sekunder yang telah disebutkan
sebelumnya, solusi logisnya adalah dengan meniadakan jaringan nekrotik yang
tertutup dalam rongga astrositik pada tahap yang relatif awal, sehingga hampir
menghentikan ekspansi lebih lanjut dari cedera sekunder. Ini mengartikan kavitas
akan pecah dan melepaskan tekanan pada jaringan sekitarnya sehingga
menciptakan daerah pemulihan fungsional dari jaringan yang tersisa. Dengan
demikian, telah tercipta suatu ide operasi bedah saraf untuk kontusio medula
spinalis. Sistem penilaian ASIA merupakan suatu sistem penilaian yang
disesuaikan untuk mengklasifikasikan keparahan cedera medula spinalis. Semua
pasien ASIA – A ( yang paling parah) dengan kehilangan semua fungsi sensorik
dan motorik dibawah cedera medula spinalis sebanyak 30 kasus secara
keseluruhan. Setelah rutin dilakukan MRI untuk menentukan tingkat cedera, maka
pasien selanjutnya dirawat dan diikuti tindakan laminektomi bilateral dan fiksasi
internal dari kolumna. Lalu bagian yang cedera dideteksi, dibedah, dan dilakukan
debridement. Pasien akan dirawat sementara di ruang intensif ICU selama tiga
hari sebelum ditransfer ke ruangan. Setelah merawat pasien, akan direncanakan
proses rehabilitasi untuk setiap pasien bergantung pada kemampuan berdiri atau
berjalan, yang akan membantu perkembangan pasien itu sendiri. Rehabilitasi akan
dilakukan selama tiga bulan lamanya. Obat yang dapat mempengaruhi fungsi
pergerakan tubuh tidak boleh dikonsumsi. 1,11,12

Tujuan pengobatan pada trauma medula spinalis yaitu :1

 Untuk mempertahankan fungsi neurologis

 Untuk meminimalkan ancaman kompresi neurologis

 Untuk menstabilkan tulang belakang

 Untuk merehabilitasi pasien


Gambar 2. Contoh Rehabilitasi Berdasarkan Grading Pasien Kontusio Medula
Spinalis1

Ketidakstabilan klinis adalah ketika ketidakmampuan medula spinalis


dibawah beban fisiologis untuk dipertahankan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi kerusakan atau iritasi terhadap medula spinalis. Ada beberapa faktor dalam
menilai kestabilan klinis pasien trauma medula spinalis, yaitu morfologi cedera
(dinilai apakah adanya kifosis, kolaps, dan translasi koronal), lalu integritas
kompleks ligamen posterior dari pemeriksaan klinis atau pencitraaan, lalu adanya
defisit neurologi dari pemeriksaan klinis.1,11

Cedera pada ulang awalnya bersifat tidak stabil pada trauma medula
spnalis, namun akan stabil dengan waktu melalui penyembuhan tulang belakang
selama beberapa minggu dan dapat dikelola secara non – operasi tergantung faktor
sosioekonomi dan keahlian bedah. Trauma medula spinalis dengan cedera
diskoligamen tidak bisa untuk stabil dan akan membutuhkan pembedahan untuk
menstabilkannya.1

Waktu optimal untuk operasi adalah 4 – 14 hari setelah terjadinya cedera


pada medula spinalis, dimana dapat memuat 70% nya mampu berjalan dengan
tongkat ataupun mandiri. Alasan mengapa 4 hari adalah karena jika dibawah 4
hari maka kavitas nekrotik belum terbentuk. Setelah melakukan operasi pada
medula spinalis, dokter akan melihat adanya campuran jaringan medula spinalis
dengan darah sehingga kurang spesifik atau dapat membuat cedera tambahan pada
jaringan yang normal. 13,14,15
BAB 3

KESIMPULAN

Kontusio medula spinalis adalah cedera yang disebabkan hancurnya


medula dengan bagian jaringan yang robek, terutama pada serabut saraf ventral
yang menghubungkan sumsum tulang belakang intak pada tempatnya. Pada saat
terjadi cedera pada medula spinalis, ada kerusakan pada jaringan medula spinalis.
Sekelompok zat perusak akan mengalir keluar dari pusat cedera utama dan
mengakibatkan cedera sekunder, yang tertutup oleh dinding astrositik. Tingkat
keparahan dari kontusio ini dipengaruhi terlebih oleh status fisiologis dari serabut
saraf yang tersisa, dan melihat apakah rangsangan potensial aksi dapat lewat
dengan lancar, apakah terhambat, atau tidak ada sama sekali. Waktu optimal untuk
operasi adalah 4 – 14 hari setelah terjadinya cedera pada medula spinalis, dimana
dapat memuat 70% nya mampu berjalan dengan tongkat ataupun mandiri dengan
rehabilitasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Blom A, Warwick D, Whitehouse MR. Apley & Solomon’s System of


Orthopaedics and Trauma. 10th Edition. 2018; 3 (28) : 835 – 862.

2. Rouanet C, Reges D, Rocha E, Gagliardi V, Silvia GS. Traumatic Spinal


Cord Injury : Current Concepts and Treatment Update. Arq
Neuropsiquiatr. 2017; 5 (6) : 387 – 393.

3. Ju G, Wang YZ, Zhao XH. Spinal Cord Contusion. Neural REgen Res.
2014; 9(8) : 788 - 794.

4. Wilson JR, Forgione N, and Fehlings MG. Emerging Therapies for Acute
Traumatic Spinal Cord Injury. CMAJ. 2013; 185 (6) : 92 – 485.

5. Ahuja CS, Martin AR, and Fehlings MG. Recent Advances in Managing
Spinal Cord Injury Secondary to Trauma. F1000 Research. 2016; 5 :
1017.

6. Ankeny DP and Ponovich PG. Mechanism and Implications of Adaptive


Immune Response After Traumatic Spinal Cord Injury. Neuroscience.
2009.; 158 : 1112 – 1121.

7. Stiell IG, Wells Ga, Vandemheen KL, et al. The Canadian C –Spine Rule
for Radiography Alert and Stable Trauma Patients. JAMA. 2001; 286
(15) : 8 – 1841.

8. Hagen EM. Acute Complications of Spinal Cord Injuries. World J Orthop.


2015; 6 (1) : 17 – 23.

9. Consortium for Spinal Cord Medicine. Early Acute Management in Adults


with Spinal Cord Injury : A Clinical Practice Guideine for Health Care
Professionals. J Spinal Cord Med. 2008; 31 (4) : 79 – 403.

10. Jacobs WB. Mean Arterial Blood Pressure Treatment for Acute Spinal
Cord Injury. Clinical Trials . 2016.
11. Wilson JR, Singh A, Craven C, et al. Early versus Late Surgery for
Traumatic Spinal Cord Injury : The Results of A Prospective Canadian
Cohort Study. Spinal Cord. 2012; 50 (11) : 3 – 840.

12. Wang J, Pearse DD. Therapeutic Hypothermia in Spinal Cord Injury: The
Status of Its Use and Open Questions. Int J Mol Sci. 2015; 16(8) : 79 –
16848.

13. Petitjean ME, Pointillart V, Dixmerias F, et al. Medical Treatment of


Spinal Cord Injury in The Acute Stage. Ann Fr Anesth Reanim. 1998; 17
(2) : 22 – 155.

14. Vazquez RG, Sedes PR, Farina MM, Marques AM, Velasco EF.
Respiratoru Management in The Patient with Spinal Cord Injury.

15. Chan CC. Inflammation : Beneficial or Detrimental after Spinal Cord


Injury. Recent Pat CNS Drug Dicov. 2008l; 3 : 189 – 199.

Anda mungkin juga menyukai