PENDAHULUAN
Pada pasien yang datang dengan curiga trauma medula spinalis wajib
dilakukan penilaian dan resusitasi sesuai standar prosedur operasional. Dengan
oksigenasi yang adekuat dan perfusi baik akan membantu meminimalkan cedera
sekunder medula spinalis. Kewaspadaan terhadap cedera medula spinalis tetap
perlu diikuti hingga pasien telah diresusitasi dan luka yang mengancam nyawa
ditatalaksana. Imobilisasi tetap dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih
parah.1,2,3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Pada saat terjadi cedera pada medula spinalis, ada kerusakan pada jaringan
medula spinalis. Sekelompok zat perusak akan mengalir keluar dari pusat cedera
utama dan mengakibatkan cedera sekunder, yang tertutup oleh dinding astrositik.
Bagian depan dari cedera sekunder dimulai dengan zona iskemik, yang
menyebabkan destruksi jaringan dan perluasan dari cedera sekunder. Proses ini
akan berlangsung terus hingga mencapai tahap akhir dengan membuat kavitas dan
fibrin trabekula. 3
2.3. Patofisiologi
Trauma awal menyebabkan cedera mekanik pada medula spinalis, yang
merupakan kombinasi dari kompresi, laserasi,dan pergeseran. Setelah kerusakan
yang terjadi pada mikrovaskular, edema yang progresif terjadi, dan iskemia akan
semakin memburuk dan mengaktifkan sinyal pro-apoptosis. Kemudian akan
terjadi gangguan pada blood – spinal cord barrier, masuknya sel inflamatorik,
vasoaktif, dan pelepasan faktor koagulasi. Kejadian ini akan memicu trombosis
dan spasme dari pembuluh darah kecil, yang menyebabkan hipoksia. Dengan
berkurangnya volume parenkim, akan membuat kavitas kistik menyatu,
menghasilkan pembatas untuk migrasinya sel. Proliferasi astrosit dan deposisi
fibroblas akan membuat cedera semakin nyata. Rho-ROCK (rho – protein kinase)
diaktifkan dan menghambat pertumbuhan neurit. Bersama, semua mekanisme ini
berkontribusi pada pembatasan regenerasi. Pada tingkat akhir kerusakan medula
spinalis dari cedera primer dan sekunder akan berlangsung berhari bahkan
berminggu – minggu. Agen neuroprotektif akan berusaha menghindari kerusakan
saraf, lalu bertindak memicu pertumbuhan aksonal kembali setelah kerusakan
telah terjadi. 3, 4
2.4. Klasifikasi
Setelah melakukan stabilisasi umum awal, penting untuk dilakukan
pemeriksaan motorik dan sensorik pada pasien terutama untuk pemeriksaan
neurologis. Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), pentingnya
klasifikasi ini dapat menjadi sarana standarisasi awal dan untuk pemeriksaan
lanjutan, dan juga memiliki peran dalam memprediksi prognosis. Komponen ini
terdiri dari poin utama untuk sensorik dan motorik. Komponen sensorik terletak
pada masing – masing 28 dermatom (dadri C2 hingga S4 – 5) di sisi kanan dan
kiri. Sentuhan ringan dan rasa nyeri diuji, dan dinilai skalanya dari 0 (tidak ada)
hingga 2 (normal atau utuh). Pemeriksaan motorik meliputi penilaian fungsi otot
yang berhubungan dengan sepuluh pasang miotom (C5 – T1 dan L2 – S1), lalu
dinilai kontraksinya. Skala gangguan ASIA ditentukan sebagai berikut :1, 3
A = Selesai. Tidak ada gangguan sensorik atau morotik di sakrum segmen
S4 – S5.
B = Sensorik tidak lengkap. Sensorik namun tidak fungsi sensorik
dibawah tingkat neurologis termasuk cedera S4 – S5 dan tidak ada fungsi
motorik pada masing – masing bagian tubuh.
C = Motorik lengkap. Fungsi motorik dipertahankan dibawah level
neurologis.
D = Motorik tidak lengkap. Fungsi motorik dipertahankan dibawah level
neurologis, dan setidaknya setengahnya dibawah level neurologis.
E = Normal. Fungsi sensorik dan motorik normal.
Setiap skala ASIA ini memiliki nilai prognostik. 85% fungsi pasien ASIA
– A tidak akan berfungsi kembali, 15% nya akan membaik, dan 3% darinya yang
emmiliki fungsi motorik penuh. Sedangkan pada pasien ASIA – C&D akan
memiliki fungsi normal kembali.5
2.6. Diagnosis
Menurut pedoman trauma medula spinalis sebelumnya, pasien dengan
keluhan nyeri leher, nyeri punggung, gejala defisit neurologis yang berhubungan
dengan vertebra, dan pasien tidak dapat dinilai jelas ( seperti pada orang tidak
sadar, tidak kooperatif, tidak koheren atau mabuk), memerlukan pemeriksaan
radiologis untuk menilai medula spinalis.1,6
Studi National Emergency X- Radiography Utilization Study (NEXUS)
dirancang sebagai upaya untuk mengidentifikasi orang dengan risiko rendah untuk
fraktur / subluksasi / diskolasi servikal. Ini meliputi lima kriteria yaitu : tidak ada
nyeri pada servikal posterior, tidak ada intoksikasi, status mental yang normal,
tidak ada luka yang serius, dan tidak ada defisit neurologis. Pasien yang
memenuhi semua kriteria ini berisiko rendah cedera servikal dan pencitraan ini
tidak perlu lagi. Studi NEXUS ini memiliki sensitivitas 99% dan nilai prediksi
negatif 99,9% untuk trauma servikal posterior. Protokol lain yang membahasnya
adalah Canadian C – Spine Rule, yang terdiri dari tiga pertanyaan: kehadiran
faktor risiko tinggi yang mengharuskan radiografi (usia > 65 tahun, mekanisme
trauma yang berbahaya, atau parastesi). Kehadiran faktor ini memungkinkan
penilaian aman dari berbagai gerakan, dan kemampuan untuk aktif memutar leher
45o ke kiri dan kanan. Penggunaan protokol ni menghasilkan sensitivitas 100%
untuk cedera servikal dengan spesifisitas 42,5%. Jika tidak tersedia, maka
dianjurkan untuk melakukan X – ray tulang belakang dengan tiga posisi
(anteroposterior, odontoid, dan lateral view), lalu dilanjutkan dengan CT Scan.
Pencitraan MRI harus diperoleh, dan layak dalam 48 jam setelah trauma. Itu bisa
mendeteksi lesi pada 6% kasus dimana CT normal, dan berguna untuk lesi pada
ligamen. Ini juga penting dalam mengklasifikasikan keparahan dan memprediksi
hasil berdasarkan ada tidaknya perdarahan, edema, atau kompresi. Perdarahan
pada medula spinalis akan berujung pada prognosis buruk. 1,2,7
Cedera pada ulang awalnya bersifat tidak stabil pada trauma medula
spnalis, namun akan stabil dengan waktu melalui penyembuhan tulang belakang
selama beberapa minggu dan dapat dikelola secara non – operasi tergantung faktor
sosioekonomi dan keahlian bedah. Trauma medula spinalis dengan cedera
diskoligamen tidak bisa untuk stabil dan akan membutuhkan pembedahan untuk
menstabilkannya.1
KESIMPULAN
3. Ju G, Wang YZ, Zhao XH. Spinal Cord Contusion. Neural REgen Res.
2014; 9(8) : 788 - 794.
4. Wilson JR, Forgione N, and Fehlings MG. Emerging Therapies for Acute
Traumatic Spinal Cord Injury. CMAJ. 2013; 185 (6) : 92 – 485.
5. Ahuja CS, Martin AR, and Fehlings MG. Recent Advances in Managing
Spinal Cord Injury Secondary to Trauma. F1000 Research. 2016; 5 :
1017.
7. Stiell IG, Wells Ga, Vandemheen KL, et al. The Canadian C –Spine Rule
for Radiography Alert and Stable Trauma Patients. JAMA. 2001; 286
(15) : 8 – 1841.
10. Jacobs WB. Mean Arterial Blood Pressure Treatment for Acute Spinal
Cord Injury. Clinical Trials . 2016.
11. Wilson JR, Singh A, Craven C, et al. Early versus Late Surgery for
Traumatic Spinal Cord Injury : The Results of A Prospective Canadian
Cohort Study. Spinal Cord. 2012; 50 (11) : 3 – 840.
12. Wang J, Pearse DD. Therapeutic Hypothermia in Spinal Cord Injury: The
Status of Its Use and Open Questions. Int J Mol Sci. 2015; 16(8) : 79 –
16848.
14. Vazquez RG, Sedes PR, Farina MM, Marques AM, Velasco EF.
Respiratoru Management in The Patient with Spinal Cord Injury.