Disusun Oleh:
FAKULTAS FARMASI
YOGYAKARTA
2019
A. Epidemiologi
Di Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap
tahunnya (survei kesehatan rumah tangga, 2001). Diperkirakan 35 % penduduk
Indonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten / kota
yang ada di Indonesia, 167 kabupaten / kota merupakan daerah endemis malaria. Upaya
penanggulangan malaria telah menunjukkan peningkatan mulai dari tahun 1997 s/d
2004 (Romi, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respon imun
yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan dapat meningkatkan
resiko malaria. Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi seseorang terinfeksi
malaria adalah:
B. Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam mulai
timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen.
Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa
aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia.
Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh parasit (Romi, 2011).
Siklus hidup plasmodium:
(Romi, 2011).
C. Tanda dan gejala
Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia dan
splenomegali. Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin. Gejala
demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksismal) yang didahului oleh
stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian berkeringat banyak. Gejala
klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun (berasal dari daerah non
endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala,
mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot. Gejala tersebut biasanya terdapat pada
orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun). Sebelum timbulnya demam,
biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan,
merasa mual di ulu hati, atau muntah (semua gejala awal disebut gejala prodromal),
(Suparman, 2004; DepKes RI, 2017).
D. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
I. Pemeriksaan Fisik
1. Demam (>37,5 ºC aksila)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi,
konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin berwarna coklat
kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration).
II. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan
darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut :
- Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk
diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat
sediaan darah tebal dan tipis. Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis
di rumah sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:
a. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
b. Spesies dan stadium Plasmodium;
c. Kepadatan parasit:
1. Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan
pandang besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
2. Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal
(leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).
Contoh : Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah
lekosit 8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit =
60.000 parasit/uL.
Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit
4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000
parasit/uL.
- Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat darurat,
pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium
mikroskopis. Hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai
agar terlebih dahulu membaca cara penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam
kemasan RDT untuk menjamin akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang digunakan oleh
Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat mengidentifikasi P. falcifarum dan
non P. falcifarum.
- Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan ini penting
untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat
digunakan untuk identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau
di bawah batas ambang mikroskopis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga
sangat penting dalam eliminasi malaria karena dapat membedakan antara parasit impor
atau indigenous.
- Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah:
a. pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
b. penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
c. kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah);
dan
d. urinalisis.
Subjektif :
· Demam sejak 1 minggu lalu, demam hilang timbul, demam disertai berkeringat,
sakit kepala, mual dan penurunan nafsu makan.
Objektif :
Pemeriksaan Fisik :
· BB : 66 kg; TB : 170 cm; Nadi : 104x/menit; TD : 130/70 mmHg; t : 39⁰C..
Pemeriksaan Penunjang :
Assesment :
1. Demam
Demam akibat malaria pada ibu hamil biasanya terjadi pada primigravida yang
belum mempunyai kekebalan terhadap malaria. Pada ibu hamil multigravida dan
berasal dari daerah endemisitas tinggi jarang terjadi gejala demam walaupun
mempunyai derajat parasitemia yang tinggi. Klinis demam ini sangat berhubungan
dengan proses skizogini (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin atau
toksin lainnya. Pada kasus ini, pasien memiliki suhu tubuh sebesar 39 derajat C (Rusdji,
2012).
2. Anemia
3. Leukosit
4. Platelet
Plan
1. Outcome
➢ Mengurangi morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi
➢ Mencegah cacat bayi pada saat kelahiran, bahkan kematian
➢ Mencegah komplikasi pada ibu
2. Terapi Non Farmakologi
Menurut (Ashley, 2014) berbagai tindakan pencegahan dapat dilakukan seperti
perubahan gaya hidup, diantaranya :
- Terapi Anemia
Suplemen Zat Besi 120mg (dosis terbagi) pagi dan sore
Mengganti simpanan zat besi yang ditemukan dalam hemoglobin, mioglobin, dan
enzim; memungkinkan transportasi oksigen melalui hemoglobin
Suplemen Asam folat 0,4mg
Diperlukan untuk pembentukan koenzim dalam sistem metabolisme (sintesis purin
dan pirimidin diperlukan untuk pemeliharaan di erythropoiesis); merangsang produksi
trombosit pada anemia defisiensi folat
- Terapi Demam
Paracetamol 500mg 3 kali sehari
Bertindak pada hipotalamus untuk menghasilkan antipyresis
4. Monitoring
● Outcome pasien
● Tanda vital : suhu, nadi, tekanan darah, keadaan umum, kesadaran,
pernafasan.
● Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, platelet, hemtokrit
● Efek samping obat
● Terapi pencegahan (non farmakologi)
● Pemantauan ketat kontraksi uterus dan denyut jantung janin (monitoring
CTG).
F. Daftar Pustaka
Depkes RI, 2017. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta:
Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI. hal. 5
Fitriany, J., Sabiq, A., 2018. Malaria. Jurnal Averrous. Vol. 4. No. 2. Medscape, 2019,
application.
Masengi, Emalia M. B,dkk., 2019. Kejadian dan Luaran Malaria dalam Kehamilan
pada Beberapa Rumah Sakit Di Sulawesi Utara. Jurnal Medik dan Rehabilitasi
(JMR), Volume 1,Nomor 3,
Rusjdi, Selfi R., 2012. Malaria Pada Masa Kehamilan. Majalah Kedokteran Andalas
No.2. Vol.36.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2010, The diagnosis and treatment
of malaria in pregnancy, RCOG Green-top Guideline No. 54b, UK.
Suparman, E., dan Suryawan, A., 2004. Malaria pada Kehamilan, Vol. 4 (1), Fakultas
Kedokteran Uni. Sam Ratulangi, Manado, hal. 23-24.
WHO, 2014, WHO policy brief for the implementation of intermittent preventive
treatment of malaria in pregnancy using sulfadoxine-pyrimethamine (IPTp-SP).