Anda di halaman 1dari 11

Makalah Farmakoterapi 2

Malaria Falsiparum Pada Gravid

Disusun Oleh:

Theresia Priska Ratrigis 158114081

Prisca Seraphine M Vekiputri 158114123

Prisca Christin Umbu M 168114111

Raysha Mcseer 168114113

Kresensia Novilinda Taek 168114118

Parinda Utami 168114123

Willibroda Nenu Panda 168114125

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2019
A. Epidemiologi
Di Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap
tahunnya (survei kesehatan rumah tangga, 2001). Diperkirakan 35 % penduduk
Indonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten / kota
yang ada di Indonesia, 167 kabupaten / kota merupakan daerah endemis malaria. Upaya
penanggulangan malaria telah menunjukkan peningkatan mulai dari tahun 1997 s/d
2004 (Romi, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respon imun
yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan dapat meningkatkan
resiko malaria. Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi seseorang terinfeksi
malaria adalah:

1. Ras atau suku bangsa

Pada penduduk benua Afrika prevalensi Hemoglobin S (HbS) cukup tinggi


sehingga lebih tahan terhadap infeksi Plasmodium falciparum karena HbS dapat
menghambat perkembangbiakan Plasmodium falciparum.

2. Kekurangan enzim tertentu

Kekurangan terhadap enzim Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase (G6PD)


memberikan perlindungan terhadap infeksi Plasmodium falciparum yang berat.
Defisiensi terhadap enzim ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi
utama pada wanita.

3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium


yang masuk atau mampu menghalangi perkembangannya. Hanya pada daerah
dimana orang-orang mempunyai gametosit dalam darahnya dapat menjadikan
nyamuk anopheles terinfeksi. Penularan malaria terjadi pada kebanyakan daerah
tropis dan subtropics, walaupun Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan
Israel sekarang bebas malaria local, wabah setempat dapat terjadi melalui infeksi
nyamuk local oleh wisatawan yang datang dari daerah endemis. Malaria
congenital, disebabkan oleh penularan agen penyebab melalui barier plasenta,
jarang ada. Sebaliknya malaria neonates, agak sering dan dapat sebagai akibat dari
pencampuran darah ibu yang terinfeksi dengan darah bayi selama proses kelahiran
(Fitriani, 2008).

B. Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam mulai
timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen.
Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa
aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia.
Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh parasit (Romi, 2011).
Siklus hidup plasmodium:

(Romi, 2011).
C. Tanda dan gejala
Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia dan
splenomegali. Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin. Gejala
demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksismal) yang didahului oleh
stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian berkeringat banyak. Gejala
klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun (berasal dari daerah non
endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala,
mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot. Gejala tersebut biasanya terdapat pada
orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun). Sebelum timbulnya demam,
biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan,
merasa mual di ulu hati, atau muntah (semua gejala awal disebut gejala prodromal),
(Suparman, 2004; DepKes RI, 2017).
D. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
I. Pemeriksaan Fisik
1. Demam (>37,5 ºC aksila)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi,
konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin berwarna coklat
kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration).
II. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan
darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut :
- Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk
diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat
sediaan darah tebal dan tipis. Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis
di rumah sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:
a. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
b. Spesies dan stadium Plasmodium;
c. Kepadatan parasit:
1. Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan
pandang besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
2. Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal
(leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).
Contoh : Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah
lekosit 8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit =
60.000 parasit/uL.
Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit
4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000
parasit/uL.
- Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat darurat,
pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium
mikroskopis. Hal yang penting yang perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai
agar terlebih dahulu membaca cara penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam
kemasan RDT untuk menjamin akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang digunakan oleh
Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat mengidentifikasi P. falcifarum dan
non P. falcifarum.
- Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan ini penting
untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat
digunakan untuk identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau
di bawah batas ambang mikroskopis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga
sangat penting dalam eliminasi malaria karena dapat membedakan antara parasit impor
atau indigenous.
- Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah:
a. pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
b. penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
c. kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah);
dan
d. urinalisis.

Alur Penemuan Penderita Malaria


(Permenkes RI., 2013).
G. Prognosis penyakit
Pada plasmodium falciparum prognosis berhubungan dengan parasitemia, jika
parasit dalam darah >100.000/mm3 dan jika hematokrit <30% maka prognosisnya
buruk. Apabila cepat diobati maka prognosisnya lebih baik, namun apabila lambat
pengobatan akan menyebabkan angka kematian meningkat.

E. Kajian kasus (SOAP)

Subjektif :

· Identitas Pasien : Wanita 30 tahun dengan umur kehamilan 30 minggu

· Demam sejak 1 minggu lalu, demam hilang timbul, demam disertai berkeringat,
sakit kepala, mual dan penurunan nafsu makan.

· Riwayat Penyakit Pasien : pernah mengalami malaria falciparum

· Riwayat Penyakit Keluarga : anggota keluarga ada yang sakit serupa

Objektif :

Pemeriksaan Fisik :
· BB : 66 kg; TB : 170 cm; Nadi : 104x/menit; TD : 130/70 mmHg; t : 39⁰C..

Pemeriksaan Penunjang :

Hasil lab Kadar Normal Ket

Hemoglobin 9,9 g/dL 13,00-17,00 Rendah

Hematokrit 35,5% 39,00-52,00 Rendah

Platelet 140.000/μL 140.000-440.000 Normal

Lekosit 3500/μL 4000-11.000 Rendah

· Sitologi darah tepi : Pensitopeni dengan Infeksi plasmodium falciparum

· Diagnosis kerja : Infeksi Malaria Plasmodium falciparum pada gravid

Assesment :

1. Demam

Demam akibat malaria pada ibu hamil biasanya terjadi pada primigravida yang
belum mempunyai kekebalan terhadap malaria. Pada ibu hamil multigravida dan
berasal dari daerah endemisitas tinggi jarang terjadi gejala demam walaupun
mempunyai derajat parasitemia yang tinggi. Klinis demam ini sangat berhubungan
dengan proses skizogini (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin atau
toksin lainnya. Pada kasus ini, pasien memiliki suhu tubuh sebesar 39 derajat C (Rusdji,
2012).

2. Anemia

Berdasarkan defenisi WHO, seorang wanita hamil dikatakan anemia apabila


kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 11 gram/dl. Anemia yang terjadi pada trimester
pertama kehamilan sangat berhubungan dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan janin terjadi sangat pesat pada usia
kehamilan sebelum 20 minggu. Anemia akibat malaria terjadi karena pecahnya eritrosit
yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Pecahnya eritrosit yang tidak terinfeksi terjadi
akibat meningkatnya fragilitas osmotik sehingga mengakibatkan autohemolisis. Pada
malaria falciparum dapat terjadi anemia (Rusdji, 2012). Pada kasus ini pasien
mengalami anemia, dilihat dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan Hb
pasien rendah 9,9 g/dL dimana kadar normalnya 13,00-17,00 g/dL. Pasien diketahui
mengalami malaria falciparum, pada kondisi ini anemia dapat terjadi pada infeksi akut
dan kronis karena plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah
(Permenkes RI.,2013)

3. Leukosit

Leukosit pada pasien mengalami penurunan 3500/μL dimana nilai normalnnya


4.000-11.000. Keadaan ini dapat terjadi karena berbagai kondisi, misalnya lamanya
infeksi (akut atau kronis), derajat parasitemia, keparahan penyakit, status imunitas
pejamu dan infeksi campuran.

4. Platelet

Penurunan jumlah trombosit berkaitan dengan berbagai penyebab diantaranya lisis


dimediasi imun, sekuestrasi pada limpa, gangguan pada sumsum tulang dan fagositosis
oleh makrofag. Infeksi malaria menyebabkan abnormalitas pada struktur dan fungsi
trombosit. Kejadian trombositopenia dapat dijadikan petunjuk penting malaria akut.
Namun, pemberian tranfusi trombosit pada penderita malaria tidak diperlukan karena
kadar trombosit dapat meningkat seiring dengan pemberian terapi antimalaria (Natalia,
2014).

Plan

1. Outcome
➢ Mengurangi morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi
➢ Mencegah cacat bayi pada saat kelahiran, bahkan kematian
➢ Mencegah komplikasi pada ibu
2. Terapi Non Farmakologi
Menurut (Ashley, 2014) berbagai tindakan pencegahan dapat dilakukan seperti
perubahan gaya hidup, diantaranya :

1. Untuk mencegah dari gigitan nyamuk (tidur menggunakan kelambu yang


mengandung insektisida,menutup jendela ketika tidur)
2. Untuk mengontrol perkembangan nyamuk dapat dilakukan 3M (memelihara
ikan untuk memakan larva nyamuk,menaburkan insektisida)
3. Untuk membunuh nyamuk dewasa (menyemprot ruangan dengan insektisida
sebelum tidur, fogging)
3. Terapi Farmakologi
- Terapi Malaria
Artesunate 2mg/kg/hari atau 100mg/hari selama 7 hari
Derivat artemisinin
Mekanisme aksi antimalaria telah dihipotesiskan melibatkan pembelahan jembatan
endoperoksida yang dimediasi zat besi, yang menghasilkan radikal oksigen, yang
kemudian bereaksi dengan molekul terdekat, mengganggu fungsi parasit

Clindamycin 450mg, 3 kali sehari selama 7 hari


Menekan sintesis protein dengan mengikat subunit ribosom 50S; bakteriostatik atau
bakterisida tergantung pada konsentrasi obat, organisme dan tempat infeksi

- Terapi Anemia
Suplemen Zat Besi 120mg (dosis terbagi) pagi dan sore
Mengganti simpanan zat besi yang ditemukan dalam hemoglobin, mioglobin, dan
enzim; memungkinkan transportasi oksigen melalui hemoglobin
Suplemen Asam folat 0,4mg
Diperlukan untuk pembentukan koenzim dalam sistem metabolisme (sintesis purin
dan pirimidin diperlukan untuk pemeliharaan di erythropoiesis); merangsang produksi
trombosit pada anemia defisiensi folat

Meningkatkan eliminasi asam format dalam toksisitas metanol melalui pemberian


koenzim menjadi folat dehidrogenase

- Terapi Demam
Paracetamol 500mg 3 kali sehari
Bertindak pada hipotalamus untuk menghasilkan antipyresis

- Terapi Muntah (Jika terjadi keparahan)


Metoclopramide 5mg
Memblokir reseptor dopamin (pada dosis tinggi) dan reseptor serotonin di zona pemicu
kemoreseptor SSP; dan peka jaringan untuk asetilkolin; meningkatkan motilitas GI
bagian atas tetapi bukan sekresi; meningkatkan nada sfingter esofagus yang lebih
rendah

4. Monitoring
● Outcome pasien
● Tanda vital : suhu, nadi, tekanan darah, keadaan umum, kesadaran,
pernafasan.
● Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, platelet, hemtokrit
● Efek samping obat
● Terapi pencegahan (non farmakologi)
● Pemantauan ketat kontraksi uterus dan denyut jantung janin (monitoring
CTG).
F. Daftar Pustaka

Croft, Ashley M.,2014. Malaria: prevention in travellers (non-drug interventions).


Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Croft%20AM%5BAuthor%5D&ca
uthor=true&cauthor_uid=25399869 tanggal 23 september 2019 .

Depkes RI, 2017. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta:
Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI. hal. 5

Fitriany, J., Sabiq, A., 2018. Malaria. Jurnal Averrous. Vol. 4. No. 2. Medscape, 2019,
application.

Masengi, Emalia M. B,dkk., 2019. Kejadian dan Luaran Malaria dalam Kehamilan
pada Beberapa Rumah Sakit Di Sulawesi Utara. Jurnal Medik dan Rehabilitasi
(JMR), Volume 1,Nomor 3,

Permenkes RI., 2013. Pedoman Tatalaksana Malaria. No. 128


Romi, 2011. Malaria dan Permasalahannya. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume
11. Banda Aceh.

Rusjdi, Selfi R., 2012. Malaria Pada Masa Kehamilan. Majalah Kedokteran Andalas
No.2. Vol.36.

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2010, The diagnosis and treatment
of malaria in pregnancy, RCOG Green-top Guideline No. 54b, UK.

Suparman, E., dan Suryawan, A., 2004. Malaria pada Kehamilan, Vol. 4 (1), Fakultas
Kedokteran Uni. Sam Ratulangi, Manado, hal. 23-24.

WHO, 2014, WHO policy brief for the implementation of intermittent preventive
treatment of malaria in pregnancy using sulfadoxine-pyrimethamine (IPTp-SP).

Anda mungkin juga menyukai