Anda di halaman 1dari 28

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Definisi Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi
lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan
kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2006)

Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh
manusi dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat
digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang
mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan
cepat. (Clarkson H. Oglesby.1999)

Ruas Jalan Kudus - Colo Kota Kudus merupakan jalur yang berada di daerah
industri dan pariwisata Kabupaten Kudus sehingga frekuensi kendaraan cukup
tinggi sehingga perlu adanya pemeliharaan dan peningkatan jalan guna
menghasilkan kualitas jalan yang jauh lebih baik bagi pengguna jalan agar
tercipta keamanan, kenyamanan dan kelancaran dalam berlalu lintas.

5
6

2.1.2 Klasifikasi Jalan

2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Jalan

a. Jalan Arteri
Jalan arteri adalah jalan umum yang melayani angkutan utama dengan
ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah
jalan masuk dibatasi secara efisien.

b. Jalan Kolektor
Jalan kolektor adalah jalan umum yang melayani angkutan
pengumpul/ pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata- rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi .

c. Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

d. Jalan Lingkungan
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan
dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Peranan Jalan

a. Sistem Jaringan Jalan Primer


Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan palayanan distribusi
barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat
nasional dengan menghubungkan semua simpul jasa yang berwujud
pusat-pusat kegiatan (UU No.38 Tahun 2004).
7

1) Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota


jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan
atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua yang
berada di bawah pengaruhnya.
2) Jalan kolektor primer adalah ruas jalan yang menghubungkan
kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lainnya atau
ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota
jenjang ketiga yang berada di bawah pengaruhnya.
3) Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan kota
jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang
kesatu dengan persil, kota jenjang kedua dengan persil, serta ruas
jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota yang
berada di bawah pengaruhnya sampai persil.

b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder


Merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi
barang dan jasa untuk masyarakat di wilayah perkotaan (UU No.38
Tahun 2004).
1) Jalan arteri sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan
kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau
menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kedua.
2) Jalan kolektor sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan
kawasan-kawasan sekunder kedua yang satu dengan yang lainnya
atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder ketiga.
3) Jalan lokal sekunder adalah ruas jalan yang menghubungkan
kawasan- kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan
sekunder kedua dengan perumahan , atau menghubungkan
kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.
8

2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk


menerima beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.

Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan


klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan


Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat (MST) Ton

I > 10
Arteri II 10
IIIA 8
Kolektor IIIA 8
IIIB

Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/1997

2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan


medan yang diukur tegak lurus garis kontur.

Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat


dalam tabel 2.2. berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi menurut medan jalan
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Medan D <3

2 Perbukitan B 3 –25

3 Pegunungan G >25

Sumber: TPGJAK No. 038/T/BM/199


9

2.1.2.5 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaan jalan sesuai PP No. 26/1985


adalah:

a. Jalan Nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan jalan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis
nasional, serta jalan tol.

b. Jalan Propinsi
Merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar
ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.

c. Jalan Kabupaten/Kotamadya
Merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer termasuk jalan
yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar
ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar
pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder
dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

d. Jalan Desa
Merupakan jalan umum yang mempunyai fungsi hampir sama dengan jalan
lingkungan yaitu menghubungkan kawasan antar permukiman di dalam desa
atau dengan kata lain melayani perjalanan dalam jarak dekat.

e. Jalan Khusus
Merupakan jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan
hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing dari instansi
tersebut .
10

2.1.3 Ruang Bebas Jalan

Menurut Petunjuk Tertib Pemanfaatan Jalan No. 004/T/BNKT/1990 Direktorat


Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota,Berdasarkan gambar 2.1
ruang bebas jalan dibagi menjadi:

Gambar 2.1 Penambang Melintang Jalan

2.1.3.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)

Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan kedalaman
ruang bebas tertentu yang ditetapkan oleh Pembina Jalan dan diperuntukkan bagi
median, perkerasan jalan, pemisahan jalur, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar,
lereng, ambang pengaman timbunan dan galian gorong-gorong perlengkapan jalan
dan bangunan pelengkap lainnya (PP No. 19/2011).

Lebar Rumaja ditetapkan oleh Pembina Jalan sesuai dengan keperluannya.


Tinggi minimum 5 m dan kedalaman mimimum 1,5 m diukur dari permukaan
perkerasan.

Tertib pemanfaatan Rumaja adalah sebagai berikut:

a. Jalur Lalu Lintas


Jalur lalu lintas pada dasarnya diperuntukkan bagi lalu lintas
kendaraan. Pemanfaatan jalur lalu lintas adalah sebagai berikut:
1) Beban sumbu maksimum yang diizinkan adalah:
11

Sumbu tunggal dengan ban tunggal 4.500 kg.


Sumbu tunggal dengan ban dobel 8.000 kg.
Sumbu tandem/ganda dengan ban dobel 15.000
kg. Sumbu triple dengan ban dobel 20.000 kg.
2) Kecepatan Kendaraan maksimum yang diizinkan adalah:
Pada jalan bebas hambatan 60 - 120 km/jam.
Pada jalan arteri primer 60 - 80 km/jam.
Pada jalan arteri sekunder 40 - 60 km/jam.
Pada jalan kolektor sekunder 30 - 40 km/jam.
Pada jalan lokal primer 20 - 30 km/jam.
Pada jalan sekunder 10 - 20 km/jam.
3) Pengemudi yang ingin menghentikan kendaraan sementara waktu, harus
menempatkan kendaraannya sedemikian rupa tidak menghalangi arus
lalu lintas dan tidak pada tempat dimana terdapat tanda larangan
berhenti. Sedangkan untuk parkir kendaraan, harus dipilih bagian jalan
yang sudah ditetapkan untuk parkir.
4) Pejalan kaki bila hendak menyeberang jalan harus memanfaatkan fasilitas
penyerangan (zebra cross, jembatan penyeberangan dan lain-lain).
5) Untuk pelayanan transportasi umum (bus kota, bus antar kota atau
kendaraan umum lainnya), menaikkan atau menurunkan penumpang harus
di tempat-tempat yang sudah disediakan (terminal, tempat pemberhentian
sementara atau halte). Sedangkan untuk memberhentikan kendaraan untuk
sementara waktu harus memilih lokasi yang disebutkan dalam point (3).
6) Pemanfaatan jalur lalu lintas oleh kendaraan dengan beban sumbu
kendaraan melebihi ketentuan yang disebutkan dalam point (1) tidak
diperkenankan.
7) Mengendarai kendaraan dengan kecepatan kendaraan yang melebihi
ketentuan seperti yang disebutkan dalam point (2) tidak diperkenankan.
8) Kendaraan bermotor roda dua, roda tiga atau kendaraan tidak bermotor
harus menggunakan jalur yang sudah disediakan. Dalam hal tidak
disediakan jalur khusus, harus menggunakan bagian paling kiri dari jalur
lalu lintas.
12

9) Hal-hal yang berkaitan dengan disiplin dan tata tertib kendaraan, harus
mengikuti ketentuan yang tercantum dalam UU Lalu Lintas Jalan No. 7
Tahun 1951 dan UU Lalu Lintas Jalan No.27 Tahun 1965 tentang lalu
lintas dan angkutan.

b. Bahu Jalan dan Trotoar


1) Bahu jalan diperuntukkan bagi pejalan kaki, berhenti untuk sementara
akibat kondisi tertentu apabila tidak terdapat rambu larangan berhenti dan
untuk tempat menghindar bagi kendaraan saat berpapasan. Trotoar
diperuntukkan bagi pejalan kaki.
2) Bahu jalan atau trotoar tidak diperkenankan untuk parkir kendaraan.
3) Penempatan bangunan utilitas pada bahu jalan atau trotoar dalam sistem
primer atau sistem sekunder di dalam wilayah perkotaan harus seizin
Pembina Jalan dan mengikuti petunjuk teknis pemasangan utilitas.
4) Bila terdapat jalan masuk ke bangunan-bangunan atau fasilitas lainnya
yang memotong bahu jalan/trotoar harus diupayakan sedemikian rupa
sehingga fungsi peruntukkannya tidak terhambat (sesuai buku standar
trotoar).

c. Saluran Tepi Jalan

1) Saluran tepi jalan diperuntukkan bagi penampungan dan penyaluran air,


agar badan jalan bebas dari pengaruh air.
2) Saluran tepi jalan tidak diperkenankan dimanfaatkan selain peruntukkan
seperti yang tersebut di atas termasuk pembuangan sampah atau benda
lainnya yang dapat mengurangi fungsi peruntukkannya.
3) Bila saluran tepi jalan akan dimanfaatkan sebagai saluran lingkungan,
maka harus mengikuti syarat yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan
Umum.
4) Jalan pelintasan di atas saluran tepi jalan, harus diupayakan tidak
mengurangi ukuran saluran.
13

d. Median dan Jalur Pemisah

Median adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan jalur


lalu lintas yang berlawanan arah, penempatan perlengkapan jalan, tanaman
perdu yang berakar tunggang, sebagai fungsi estetika dan meredam sinar
lampu kendaraan dari arah yang berlawanan.

Jalur pemisah adalah sejalur lahan yang diperuntukkan untuk memisahkan


jalur lalu lintas yang searah. Kalau memungkinkan peruntukkannya sama
dengan median.

e. Ambang Pengaman
Ambang pengaman adalah sejalur lahan di sisi luar badan jalan dengan lebar
ditetapkan oleh Pembina Jalan yang diperuntukkan bagi pengaman
konstruksi badan jalan.

2.1.3.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)

Merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu
yang dikuasai oleh Pembina Jalan guna peruntukkan daerah manfaat jalan dan
perlebaran jalan maupun menambahkan jalur lalu lintas dikemudian hari serta
kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan.

Lebar Rumija sekurang-kurangnya sama dengan lebar Rumaja. Tinggi atau


kedalaman diukur dari permukaan jalur lalu lintas, serta penentuannya
didasarkan pada keamanan pemakai jalan sehubungan dengan pemanfaatan
Rumija dan Rumaja ditentukan oleh Pembina Jalan (PP No. 19/2011).

Tertib pemanfaatan Rumija adalah sesuai dengan tingkat pengaruh yang dapat
ditimbulkan oleh bangunan terhadap Rumija maka pemanfaatan Rumija diluar
peruntukkannya harus mendapat izin dari Pembina Jalan.
14

2.1.3.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)

Merupakan ruang disepanjang jalan di luar Ruang Milik Jalan yang berada di
bawah pengawasan penguasa jalan yang ditujukan untuk penjagaan terhadap
pandangan bebas pengemudi dan untuk konstruksi jalan, dalam hal Rumija tidak
mencukupi, yang ditetapkan oleh Pembina jalan (PP No. 19/2011).

Daerah Pengawasan Jalan dibatasi oleh:

Lebar diukur dari As Jalan.


a. Untuk Jalan Arteri Primer tidak kurang dari 20 m.
b. Untuk Jalan Arteri Sekunder tidak kurang dari 20 m.
c. Untuk Jalan Kolektor Primer tidak kurang dari 15 m.
d. Untuk Jalan Kolektor Sekunder tidak kurang dari 7 m.
e. Untuk Jalan Lokal Primer tidak kurang dari 10 m.
f. Untuk Jalan Lokal Sekunder tidak kurang dari 4 m.
g. Untuk Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir.
Tinggi yang diukur dari permukaan jalur lalu lintas dan penentuannya didasarkan
pada keamanan pemakai jalan baik di jalan lurus, maupun di tikungan dalam hal
pandangan bebas pengemudi, ditentukan oleh Pembina Jalan

Gambar 2.2 Penambang Melintang Jalan dengan Drainase Terbuka


15

Gambar 2.3 Penambang Melintang Jalan dengan Drainase Tertutup

2.2 Jenis Kerusakan

Menurut Manual Pemeliharaan Jalan No. 03/MN/B/1983 yang dikeluarkan oleh


Direktorat Jenderal Bina Marga, kerusakan jalan dapat dibedakan menjadi:
Retak (cracks)
Distorsi (distortion)
Cacat permukaan (disintegration)
Pengausan (polished aggregat)
Kegemukan (bleeding of flushing)
Penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression)

2.2.1 Retak (cracks)

Retak yang terjadi pada permukaan jalan dapat dibedakan menjadi:

2.2.1.1 Retak Rambut (Hair Cracks)

Retak rambut dapat terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari
permukaaan jalan. Tampak retakan tidak beraturan dan terpisah. Lebar celah
lebih kecil dari atau sama dengan 3 mm. Penyebabnya adalah konstuksi
perkerasan tidak kuat mendukung beban lalu lintas yang ada, lapis permukaan
terlalu tipis, pemilihan campuran yang terlalu kaku untuk lapis permukaan
16

yang tipis, kelelahan lapis permukaan akibat beban lalu lintas dan umur jalan,
bahan perkerasan yang kurang baik, tanah dasar atau bagian perkerasan di
bawah lapis perkerasan kurang stabil, dan stabilitas atau pemadatan lapis
permukaan tidak memadai. Retak rambut ini dapat meresapkan air ke dalam
lapis permukaan. Retak rambut yang tidak segera ditangani dapat berkembang
menjadi retak kulit buaya (alligator crack).

Gambar 2.4 Retak Rambut (Hair Cracks)

2.2.1.2 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)


Retak kulit buaya berkembang dari retak rambut yang telah mengalami kerusakan
yang parah akibat tidak segera dilakukannya perbaikan. Retak kulit buaya dapat
terjadi pada alur roda atau pada permukaan lain dari permukaaan jalan. Tampak
retakan tidak beraturan dan saling berpotongan. Lebar celah lebih besar dari atau
sama dengan 3 mm. Retak kulit buaya terlihat seperti retak yang saling merangkai
dan membentuk kotak-kotak yang menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan
oleh bahan perkerasan yang kurang kurang baik, pelapukan perkerasan, tanah dasar
atau bagian perkerasan di bawah lapis perkerasan kurang stabil atau lapis pondasi
dalam keadaan jenuh air (air tanah baik). Retak kulit buaya yang luas dan sudah
parah dapat berkembang menjadi lubang atau amblas.
17

Gambar 2.5 Retak kulit buaya (Alligator Cracks)

2.2.1.3 Retak Pinggir (Edge Cracks)

Retak pinggir adalah retak memanjang jalan dengan atau tanpa cabang yang
mengarah pada bahu jalan dan terletak di dekat bahu. Retak pinggir disebabkan
oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase yang kurang baik,
terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah
tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi
penyebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak air dapat meresap dan
dapat merusak lapis perkerasan. Retak pinggir jika dibiarkan akan berkembang
menjadi lubang-lubang.

2.2.1.4 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan (Edge Joint Cracks)

Retak sambungan bahu dan perkerasan adalah retak memanjang yang umumnya
terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan oleh
kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk dari pada di bawah
perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material bahu atau
perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk/kendaraan berat di bahu jalan.
18

Gambar 2.6 Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan (Edge Joint Cracks)

2.2.1.5 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)

Retak sambungan jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada sambungan
dua jalur/lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan oleh tidak baiknya ikatan
sambungan kedua jalur/lajur tersebut. Penyebab kerusakan ini adalah pemisahan
sambungan (joint) antara perkerasan dengan bahu jalan akibat kembang susut
dari lapisan di bawah permukaan, penurunan bahu jalan, penyusutan campuran
bahan jalan atau sehubungan dengan sambungan yang dilewati truk, serta
permukaan bahu lebih tinggi dari permukaan perkerasan.

Gambar 2.7 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)


19

2.2.1.6 Retak Sambungan Pelebaran Jalan (Widening Cracks)

Retak sambungan pelebaran jalan adalah retak memanjang yang terjadi pada
sambungan antara perkerasan lama dengan pekerasan berakibat pelebaran jalan,
dapat juga disebabkan oleh ikatan antara sambungan yang tidak baik. Jika tidak
segera diperbaiki, air dapat masuk ke dalam lapisan perkerasan yang akan
mengkibatkan lepasnya butir-butir perkerasan dan retak semakin besar.

Gambar 2.8 Retak Sambungan Pelebaran Jalan (Widening Cracks)

2.2.1.7 Retak Refleksi (Reflection Cracks)

Retak Refleksi adalah retak memanjang, melintang, diagonal, atau membentuk


kotak-kotak. Retak ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay) yang menggambar
pola retakan di bawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika retak pada perkerasan
lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan overlay dilakukan. Retak
refleksi dapat pula terjadi jika gerakan vertikal/horizontal di bawah lapis tambahan
sebagai akibat perubahan kadar air pada jenis tanah yang ekspansif.

Gambar 2.9 Retak Refleksi (Reflection Cracks)


20

2.2.1.8 Retak Selip (Slippage Cracks)

Retak Selip adalah retak yang bentuknya seperti bulan sabit. Hal ini disebabkan
oleh kurang baiknya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di bawahnya.
Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan oleh adanya debu, minyak, air, atau
benda-benda non-adhesif lainnya atau akibat tidak diberinya tack coat sebagai
bahan pengikat diantara kedua lapisan. Retak selip dapat terjadi akibat terlalu
banyaknya pasir dalam campuran lapis permukaan atau kurang baiknya
pemadatan lapis perkerasan.

Gambar 2.10 Retak Selip (Slippage Cracks)

2.2.2 Distorsi (Distorsion)

Distorsi atau perubahan bentuk dapat terjadi karena lemahnya tanah dasar,
pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi pemadatan
tambahan akibat beban lalu lintas. Sebelum dilakukan perbaikan terlebih dahulu
perlu ditentukan jenis dan penyebab distorsi dengan demikian dapat dilakukan
penanganan yang tepat.

Distorsi dibedakan menjadi:

2.2.2.1 Alur (Ruts)

Ruts terjadi pada lintasan roda sejajar pada as jalan. Alur dapat merupakan
penggenangan air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan, mengurangi tingkat
kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-retak. Terjadinya alur disebabkan
oleh lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian terjadi tambahan
21

pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas pada lintasan roda. Campuran aspal
dengan stabilitas rendah juga dapat menimbulkan deformasi plastis. Alur juga
dapat disebabkan oleh:

Pengaruh lalu lintas (jumlah kendaraan, beban gandar, dan kecepatan


kendaraan).
Pengaruh cuaca. Material terlepas pada musim kering dan tercampur lumpur
dan lembek pada musim hujan.
Gradasi bahan tidak memenuhi persyaratan (terlalu banyak pasir atau terlalu
banyak lempung).

Gambar 2.11 Alur (Ruts)

2.2.2.2 Bergelombang (Coguration)

Bergelombang adalah alur yang terjadi melintang jalan. Timbulnya permukaan jalan
yang bergelombang ini, menyebabkan pengemudi menjadi tidak nyaman dalam
berkendara. Penyebab kerusakan ini adalah rendahya stabilitas campuran yang
disebabkan oleh terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak menggunakan agregat
halus, agregat berbentuk bulat dan berpermukaan penetrasi yang tinggi.
Bergelombang dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum perkerasan mantap
(untuk perkerasan yang mempergunakan aspal cair).
22

Gambar 2.12 Bergelombang (Coguration)

2.2.2.3 Sungkur (Shoving)

Sungkur terjadi akibat deformasi plastis setempat, biasanya terjadi di tempat


kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan
dapat terjadi dengan/tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan
bergelombang.

Gambar 2.13 Sungkur (Shoving)

2.2.2.4 Amblas (Grade Depressions)

Amblas biasanya terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Amblas dapat
diketahui dari adanya air yang tergenang. Air tergenang ini dapat meresap ke
dalam lapisan perkerasan dan menyebabkan lubang. Penyebab amblas adalah
adanya beban kendaraan yang melebihi dari yang direncanakan, pelaksanaan
yang kurang baik, atau penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar
mengalami settlement.
23

Gambar 2.14 Amblas (Grade Depressions)

2.2.2.5 Jembul (Upheaval)

Jembul biasanya terjadi setempat, dimana kendaraan sering berhenti, dengan


atau tanpa retak. Lapis permukaan tampak menyembul ke atas permukaan
dibandingkan dengan permukaan sekitarnya. Hal ini terjadi akibat adanya
pengembangan tanah dasar pada tanah dasar ekspansif dan juga dipengaruhi
oleh beban kendaraan yang melebihi standar.

Gambar 2.15 Jembul (Upheaval)

2.2.3 Cacat Permukaan (Disintegration)

Cacat permukaan mengarah pada kerusakan secara kimiawi dan mekanis


dari lapisan perkerasan.

Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah:


24

2.2.3.1 Lubang (Pothole)

Lubang pada permukaan dapat berupa mangkuk dengan ukuran yang bervariasi,
dari kecil hingga besar. Lubang-lubang ini menampung air dan meresapkannya ke
dalam lapis permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.

Lubang dapat diakibatkan oleh:


a. Campuran material aspal yang jelek, seperti:
1) Kadar aspal rendah sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.
2) Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.
3) Temperature campuran tidak memenuhi syarat.
b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas
akibat pengaruh cuaca.
c. Sistem drainase jelek sehingga air banyak yang meresap dan
mengumpul dalam lapisan perkerasan.
d. Retak-retak yang tidak ditangani sehingga air meresap dan
mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.

Gambar 2.16 Lubang (Pothole)

2.2.3.2 Pelepasan Butir (Raveling)

Pelepasan butir adalah pelepasan partikel agregat dan permukaan perkerasan yang
apabila tidak diperbaiki dalam waktu yang lama, akan makin dalam. Pelepasan butir
dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek yang buruk serta ditimbulkan oleh
hal yang sama dengan lubang. Biasanya agregat halus (fine agregat) terlepas
terlebih dahulu dan akibat erosi yang terus menerus, maka
25

partikel-partikel yang lebih besar akan ikut terlepas dan menyebabkan


permukaan menjadi kasar (rough).

Gambar 2.17 Pelepasan Butir (Raveling)

2.2.3.3 Pengelupasan Lapisan (Stripping)

Pengelupasan merupakan kerusakan perkerasan jalan yang terjadi pada daerah


yang luas menyebabkan permukaan jalan menjadi kasar. Pengelupasan dapat
diakibatkan oleh kurangnya ikatan antara lapis permukaan dan lapis di
bawahnya atau terlalu tipisnya lapis permukaan. Lepasnya material halus tisak
diikuti dengan pemadatan kembali ssehingga interlock antar agregat menjadi
berkurang yang menyebabkan lepasnya agregat.

Gambar 2.18 Pengelupasan Lapisan (Stripping)


26

2.2.4 Pengausan (Polished Agregat)

Pengausan adalah kerusakan partikel agregat pada permukaan perkerasan yang


licin atau halus (smooth). Permukaan jalan menjadi licin sehingga
membahayakan kendaraan. Pengausan terjadi karena agregat berasal dari
material yang tidak tahan aus terhadap roda kendaraan atau agregat yang
digunakan berbentuk bulat dan licin, tidak berbentuk cubical.

Gambar 2.19 Pengausan (Polished Agregat)

2.2.5 Kegemukan (Bleeding/Flussing)

Kegemukan adalah perpindahan ke atas dari aspal pada permukaan lapisan aspal
sehingga membentuk lapisan aspal di atas permukaan. Biasanya terjadinya luas
dan permukaan menjadi licin. Pada temperatur tinggi, aspal menjadi lunak dan
akan terjadi jejak roda, hal ini membahakan kendaraan. Kegemukan dapat
disebabkan pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian
terlalu banyak aspal pada pakerjaan prime coat atau tack coat.

Gambar 2.20 Kegemukan (Bleeding of Flussing)


27

2.2.6 Penurunan Pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)

Penurunan yang terjadi di bekas penanaman utilitas. Hal ini terjadi karena
pemadatan yang tidak memenuhi syarat, sehingga aspal menglami depression.

Gambar 2.21 Penurunan Pada Bekas Utilitas (Utility Cut Depression)

2.3 Konsep Pemeliharaan Jalan

Pemeliharaan jalan perlu dilakukan untuk menjaga jalan agar jalan mencapai
umur/masa layan jalan yang direncanakan atau memperpanjangnya. Secara fisik
pemeliharaan jalan bisa berarti suatu kesatuan kegiatan langsung untuk menjaga
suatu struktur agar tetap dalam kondisi mampu melayani (Haas, 1978).

Menurut NAASRA (1978), definisi pemeliharaan adalah semua jenis pekerjaan


yang di butuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam
keadaan baik atau pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya, sehingga
mencegah kemunduran atau penurunan kualitas dengan laju perubahan pesat
yang terjadi segera setelah konstruksi dilaksanakan. Aktifitas pemeliharaan jalan
yang diklasifikasikan terhadap frekuensi dan efeknya terhadap jalan terlihat
pada Gambar 2.22. berikut :
28

Gambar 2.22 Hubungan antara kondisi, umur, dan penanganan jalan

2.3.1 Klasifikasi Pemeliharaan Jalan

Klasifikasi pemeliharaan yang dipakai dalam Sistem Manajemen


Pemeliharaan Jalan adalah sebagai berikut:

a. Pemeliharaan Rutin
Merupakan pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar
diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan pemeliharaan rutin, tingkat
penurunan nilai kondisi struktural perkerasan diharapkan akan sesuai dengan
kurva kecenderungan kondisi perkerasan yang diperkirakan pada tahap
desain.

b. Pemeliharaan Berkala (Periodik)


Pemeliharaan berkala (periodik) dilakukan dalam selang waktu beberapa
tahun dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan
sifatnya hanya fungsional dan tidak meningkatkan nilai struktural
perkerasan. Pemeliharaan periodik dimaksud untuk mempertahankan
kondisi jalan sesuai dengan yang direncanakan selama masa layanannya.
29

c. Rehabilitasi atau Peningkatan


Peningkatan jalan secara umum diperlukan untuk memperbaiki integritas
struktur perkerasan, yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dengan
pemberian lapis tambahan struktural. Peningkatan jalan dilakukan, apakah
karena masa layanannya habis, atau karena kerusakan awal yang disebabkan
oleh faktor-faktor luar seperti cuaca atau karena kesalahan perencanaan atau
pelaksanaan rekonstruksi.

d. Rekonstruksi
Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat jelek, maka
lapisan tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya
diperlukan. Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan
yang berakibat meningkatkan kelasnya.

2.3.2 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Pelayanan

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan, ditentukan sebagai


berikut (Dinas Bina Marga, 2003) adalah:

a. Jalan dengan Tingkat Pelayanan Mantap


Merupakan ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan
serta mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat
pelayanan mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang.

b. Jalan Tidak Mantap


Merupakan ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari masih berfungsi
melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya serta
tidak mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk kedalam tingkat
pelayanan tidak mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan
30

c. Jalan kritis
Merupakan ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu
lintas atau dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis
adalah jalan-jalan dengan kondisi rusak berat.

2.3.3 Klasifikasi Jalan dan Tingkat Kondisi Jalan

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat kondisi jalan adalah sebagai berikut (Dinas
Bina Marga, 2003):

a. Jalan Dalam Kondisi Baik


Merupakan jalan dengan permukaan yang benar-benar rata, tidak ada
gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan jalan.

b. Jalan Dalam Kondisi Sedang


Merupakan jalan dengan kerataan permukaan perkerasan sedang, tidak ada
gelombang dan tidak ada kerusakan.

c. Jalan Dalam Kondisi Rusak Ringan


Merupakan jalan dengan permukaan sudah mulai bergelombang, mulai ada
kerusakan permukaan dan penambalan.

d. Jalan Dalam Kondisi Rusak Berat


Merupakan jalan dengan permukaan perkerasan sudah banyak kerusakan
seperti bergelombang, retak-retak kulit buaya dan terkelupas yang cukup
besar, disertai kerusakan pondasi seperti amblas, dan sebagainya.

2.3.4 Drainase Jalan

Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke badan


air dan atau ke bangunan resapan buatan. Drainase jalan sangat penting untuk
31

memelihara perkerasan jalan. Jalan yang baik maka harus dilengkapi dengan sistem
drainase yang baik. Sistem drainase yang baik akan memperpanjang masa layan
jalan. Drainase jalan dibedakan menjadi dua yaitu drainase permukaan dan drainase
bawah permukaan. Drainase permukaan berfungsi untuk mengalirkan air dari
permukaan perkerasan ke arah drainase yang dibuat di samping-samping
perkerasan, sedangkan drainase bawah perkerasan berfungasi untuk mencegah
masuknya air ke dalam struktur jalan dam mengeluarkan air dari struktur jalan.
Jalan yang baik memiliki kualitas drainase yang baik.

Tabel 2.3 Kualitas drainase


Kualitas Drainase Air Hilang Dalam Waktu
Baik sekali 2 jam

Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Buruk Tidak mengalir sama sekali

Sumber: Dinas Bina Marga, 2003

Kualitas drainase yang buruk akan menyebabkan pengurangan masa layan


jalan sehingga jalan yang seharusnya berumur panjang menjadi berumur
pendek. Keberadaan air sangat berpengaruh pada perkerasan, antara lain:
1. Air menyebabkan perbedaan peranan pada tanah yang bergelombang.
2. Air menurunkan kekuatan material butiran lepas dan tanah subgrade yang
bila ditambah dengan dengan volume lalu lintas truk berat yang membawa
muatan berlebih merupakan kombinasi yang fatal bagi perkerasan jalan.
3. Air menyebabkan penyedotan (pumping) pada perkerasan beton yang
dapat menyebabkan keretakan dan kerusakan pada bahu jalan.
4. Dengan adanya tekanan hidrodinamik yang tinggi akibat pergerakan
kendaraan menyebabkan penyedotan material halus pada lapisan dasar
perkerasan sehingga menyebabakan berkurangnya daya dukung.
32

2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan

Dalam usaha melakukan pemeliharaan dan peningkatan pelayanan jalan, diperlukan


pelapisan ulang (overlay) pada daerah-daerah yang mengalami kerusakan atau
daerah-daerah yang sudah tidak memenuhi standar pelayanan jalan yang baik. Data-
data yang diperlukan dalam perencanaan lapisan tambahan ini hampir sama dengan
data-data yang diperlukan untuk merencanakan jalan baru. Namun, perlu dilakukan
survey terhadap lapisan permukaan yang telah ada sebelumnya seperti struktur
perkerasan, tebal perkerasan, lapis pondasi, lapis bawah pondasi, sehingga dapat
mengetahui kekuatan jalan yang telah ada. Lapisan perkerasan jalan pada umumnya
meliputi:
1. Lapis podasi bawah (Sub base course)
2. Lapis pondasi (Base course)
3. Lapis permukaan (Surface course)

Gambar 2.23 Susunan lapis perkersan jalan

Rumus untuk merencanakan tebal perkerasan adalah:


D1= ……………………………………………(2.1)

Dalam merencanaan tebal perkerasan metode yang digunakan adalah Metode


Analisa Komponen (Bina Marga). Parameter dalam perencanaan lapis
tambahan adalah sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai