Anda di halaman 1dari 3

[RESENSI] UPAYA ALKADRI MENGINFEKSI PEMBACA

January 29, 2015

Spora – Alkadri (Moka Media, 2014)

Barangkali, saya adalah salah satu orang yang paling bersemangat dengan Spora sejak pertama kali
mendengarnya, juga sejak pertama kali bertemu dengan penulisnya. Setelah bertemu dengan Ahmad
Alkadri, penulisnya, saya segera mencari tahu tentang dia. Makin semangatlah saya sewaktu tahu dia
penulis asal Bogor dan menggunakan kota tempat tinggal kami itu sebagai setting di novelnya. Gairah
saya juga semakin tinggi begitu membaca cuplikan bab pertamanya yang sempat di-share Alkadri di
media sosial. Terus terang, premisnya sangat menarik.

Bercerita tentang Alif yang menemukan satpam sekolahnya tewas tanpa kepala, seolah kepalanya
meledak. Tapi, tentu saja si satpam bukan satu-satunya yang mati. Alif kembali menjadi orang pertama
yang menemukan teman-teman sekolahnya tewas mengenaskan dengan cara yang sama.

Premis yang menarik, bukan? Maka, sewaktu mendapatkan Spora, saya punya harapan yang tinggi pada
novel debut Alkadri tersebut. Sayang, seperti juga spora di dalam cerita—yang menjadi semakin lemah di
udara terbuka—kisah yang ada juga semakin kedodoran ketika dibaca.

Novel ini dibuka dengan prolog yang sedikit kagok berkat gaya penulisannya. Entah kenapa, Alkadri
banyak sekali menggunakan kalimat pasif, padahal alur cerita akan lebih mulus dan efektif jika
menggunakan kalimat aktif. Selain itu, dia juga sering tidak konsisten dalam menggunakan panggilan
untuk orang (kadang pakai gue-elo, kadang pakai aku-kamu, kadang ibu Alif dipanggi “Mama” kadang
dipanggil “Ibu”, dan lain sebagainya). Hal tersebut membuat keasyikan membaca jadi berkurang.

Lalu, masuklah tokoh Alif yang menemukan mayat sang satpam. Saya mengalami kebingungan dengan
cara Alkadri membawa cerita dan tokoh-tokohnya. Alif tidak memiliki karakter yang kuat sehingga dia
seakan mengambang tak tahu arah di antara cerita. Atau, mungkin Alkadri yang kebingungan dalam
menentukan sifat dan karakter Alif serta bagaimana dia harus bersikap dalam menghadapi situasi yang
ada di depannya.

Alkadri juga kebingungan dalam membangun suasana cerita. Padahal, dia punya kasus yang menarik—
orang-orang mati dengan kepala meledak! Come on! That’s awesome!—namun gagal membuat
kehebohan. Rasa gusar, gundah, serta tegang yang pembaca harapkan malah tidak terasa sama sekali.
Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Pembaca sudah siap dan ingin dibuat deg-degan, sayangnya hal
itu tidak pernah terjadi.

Yang tertinggal hanya kesan lemah tentang orang-orang yang mati, lalu polisi datang, dan SMA Alif pun
diberi garis kuning. Ketakutan para siswa (terutama Alif), kegusaran pihak sekolah, kehebohan
masyarakat saat tahu apa yang terjadi sama sekali tidak digali.
Atau, mungkin saja Alkadri tidak kebingungan. Dia cuma tidak fokus dan—gawatnya—salah
menempatkan fokus cerita. Ketimbang memanfaatkan kasus-kasus kematian yang ada, dia lebih
menyorot kisah hidup Alif di SMA, dengan TTM-nya Rina, dan secret admirer-nya Fiona. Memang sih, ini
adalah novel horor remaja, tapi yang menjadi fokus utama malah kegalauan Alif menentukan hatinya
untuk Rina atau Fiona. Itu adalah hal terakhir yang saya harapkan dari novel horor dengan premis yang
luar biasa ini.

Ketidakfokusan Alkadri berlanjut dengan menuliskan banyak hal yang sebenarnya tidak penting, seperti
rapat OSIS yang tetap dilaksanakan walau baru saja ada yang mati, atau Alif yang pernah menendang
zakar kakak kelasnya karena tidak suka dengan bullying, dan masih banyak lagi.

Akibatnya, banyak hal penting dan menarik lainnya yang justru gagal dimaksimalkan. Interogasi Alif dan
polisi terasa tumpul, masa lalu Alif yang “kelam” tidak tergali, kontinuitas prolognya saja hambar dan tidak
terasa sama sekali, bahkan dongeng kurcaci di sisipan antarbab gagal menciptakan koneksi yang kuat
dengan cerita.

Saya semakin frustrasi karena sama sekali tidak menemukan ada cerita tentang Alif (dan mungkin
bersama Rina) yang mencoba memecahkan misteri dengan usaha sendiri. Alif malah lebih sibuk mencari
kotak sumbangan yang tak kunjung ketemu. Mereka berhasil memecahkan kasus gara-gara ayah Rina
adalah seorang polisi. Caranya? Rina “menyadap” komputer ayahnya. Sudah, begitu saja.

Pada akhirnya, isi Spora menjadi gemuk tapi tidak memiliki jalinan yang kuat sehingga menciptakan plot
hole di mana-mana. Yang menderita tentu saja ending-nya. Alkadri, yang akhirnya tersadar dari
kebimbangannya dalam membawa cerita, segera mencoba menuntaskan semuanya dengan terburu-
buru.

Ini sayang sekali, padahal penjelasan tentang infeksi spora di akhir cerita sungguh menarik,
menunjukkan potensi sesungguhnya seorang Alkadri sebagai penulis. Sayangnya, karena keterbatasan
halaman dan cerita mesti segera ditutup, pembaca cuma mendapat secuil kecil kesenangan sewaktu
membaca bagian tersebut. Dan, novel pun diakhiri dengan cliffhanger ending yang serba tanggung.

Terus terang saya katakan kalau membaca novel ini membuat saya frustrasi. Frustrasi karena tahu
Alkadri punya ilmu yang tidak saya miliki tapi tidak berhasil dimanfaatkannya secara maksimal. Padahal,
dia punya ide cerita yang luar biasa—disokong dengan pengetahuannya sebagai mahasiswa S2 IPB,
punya kegemaran besar pada horor-fantasi, bahkan dibuatkan cover yang keren (salah satu desain
sampul paling keren dari Moka Media sampai saat ini). Seharusnya, Spora bisa menjadi novel
yang breakthrough.

Sayang sekali. Sepertinya, saya harus menunggu karya Alkadri selanjutnya untuk mengetahui seberapa
hebat sepak terjangnya di dunia kepenulisan. Saya akan tunggu kedatangan hari itu.

SPORA
Penulis: Alkadri

Penerbit: Moka Media

Hlm. + Ukuran: vi + 238, 12,7 x 19 cm

Terbit: 2014 (cetakan pertama)

ISBN (10): 979-795-910-4

ISBN (13): 978-979-795-910-4

Genre: Horor

Penilaian: 2,5/5

Anda mungkin juga menyukai