Anda di halaman 1dari 22

Deheto Hulonthalo

Senin, 14 Maret 2016

MANGROVE

ANALISIS DAN IDENTIFIKASI NILAI KERAPATAN MANGROVE


DI DESA ILANGATA KECAMATAN ANGGREK KABUPATEN
GORONTALO UTARA

OLEH

SANDRIANTO DJUNAIDI

  

FORUM KAJIAN PENELITI PERIKANAN


KOMUNITAS DEHETO HULONTHALO
FISHERIES OF RESEARCH
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke Hadirat ALLAH SWT karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Banyak hal yang
terjadi berkat kuasa-Nya sehingga segala sesuatunya dimudahkan. Salawat dan
salam tak lupa kita ucapkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya.
Laporan ini berjudul “Analisis dan Identifikasi Nilai Kerapatan Mangrove di
Desa Ilangata Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara”. Laporan praktikum
ini berisi uraian tentang membandingkan kerapatan, dan tingkat penutupan jenis
mangrove.
Disadari sepenuhnya bahwa meskipun tulisan ini telah disusun dengan usaha
yang semaksimal mungkin, namun bukan mustahil bila di dalamnya terdapat
berbagai kekurangan. Oleh karena itu penyusun dengan kerendahan hati akan
menerima setiap saran dan kritik untuk perbaikan dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan ini dan untuk pelajaran dimasa yang akan datang.
Harapan penyusun semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Akhir kata semoga ALLAH SWT memberikan balasan yang setimpal kepada
semua pihak yang telah membantu penyusun dalam pengembangan diri dikemudian
hari dan senantisa menunjukkan jalan yang terbaik untuk kita serta dapat
menuntun kita untuk terus bekerja dengan tulus, Amin.      

                               

                                      Gorontalo, Januari 2016

                                                                                   Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


      Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir pantai
terus mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO (2003) mencatat bahwa luas mangrove
dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 jt ha, turun menjadi 16,4 juta  ha pada tahun 1990,
dan menjadi 14,6 juta  ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas mangrove
mencapai 4,25 juta hektar pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta hektar pada tahun 199,0
dan tersisa 2,93 juta hektar pada tahun 2000. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan
pengelolaan yang tepat, fenomena degradasi mangrove akan  terus terjadi seiring dengan
meningkatnya kebutuhan ruang untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi.
Ancaman degradasi mangrove akan semakin besar potensi terjadinya pada daerah yang
dekat dengan pusat kegiatan ekonomi.
      Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai
peran sangat penting dalam mendukung produktivitas perikanan, sebagai nursery ground
(tempat pembesaran) dan spawning ground (tempat pemijahan) bagi beragam jenis biota air.
Disamping itu juga sebagai penahan erosi pantai, pencegah intrusi air laut ke daratan,
pengendali banjir, merupakan perlindungan pantai secara alami mengurangi resiko dari bahaya
tsunami dan juga merupakan habitat dari beberapa jenis satwa liar (burung, mamalia, reptilia dan
amphibia) (Othman, 1994).
        Hutan mangrove juga merupakan salah satu sumberdaya hayati pesisir dan laut yang
mempunyai tipe vegetasi khas di daerah pantai tropis (Nirarita dkk, 1996 dalam Usman dkk,
2013). Kawasan pesisir Gorontalo yang memiliki potensi sumberdaya hutan mangrove yakni
wilayah Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara dengan luas hutan mangrove ±
1.441,04 Ha, atau 5,29% dari seluruh luasan wilayahnya 27. 228, 79 Ha. (Dinas Kehutanan
Gorontalo Utara, 200)
       Didasarkan pada manfaat hutan mangrove, diperlukan adanya perhatian khusus bagi
komunitas hutan mangrove ini.   Untuk mencegah dan menaggulangi kerusakan hutan
mangrove diperlukan inventarisasi tentang distribusi, luas dan kerapatan magrove.
Inventarisasi ini berguna untuk pengelolaan dan penetapan kebijakan pada ekosistem
mangrove dan daerah pesisir sehingganya perlu dilakukan pengamatan tentang analisis dan
identifikasi nilai kerapatan mangrove di Desa Ilangata Kecamatan Anggrek Kabupaten
Gorontalo Utara

1.2 Tujuan
            Praktikum rehabilitasi dan pengembangan ekosistem ini bertujuan untuk melakukan
Field Trip untuk analisis vegetasi dan komunitas mangrove menggunakan metode line
transect, menganalisis indeks nilai penting (INP) ekosistem mangrove berdasarkan hasil
analisis vegetasi, menilai kesehatan mangrove berdasarkan tingkat kerusakan tegakannya.

1.3 Manfaat
Manfaat praktikum ini diharapkan menjadi bahan informasi tentang pengelolaan
ekosistem hutan mangrove. Selain itu juga diharapkan menjadi langkah awal
pengambilan kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove bagi kepentingan
pengembangan perikanan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Mangrove


          Kata mangrove berasal dari kombinasi antara istilah dalam Bahasa Portugis mangue
dan Bahasa Inggris grove (Macnae, 1974). Menurut bahasa Inggris, kata mangrove
digunakan untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut atau setiap
individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya, sedangkan dalam bahasa Portugis
istilah mangrove digunakan untuk setiap individu spesies tumbuhan yang hidup di laut dan
kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan yang terdiri dari jenis-jenis mangrove
(Macnae, 1974).
Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa
jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut baik
pantai berlumpur atau berpasir (Bengen, 1999). Saenger et al. (1983) mendefinisikan
mangrove sebagai karaktersitik formasi tanaman littoral tropis dan sub tropis di sekitar
garis pantai yang terlindung. Nybakken (1992) menggunakan sebutan bakau untuk suatu
komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas
atau semak-semak dengan kemampuan untuk tumbuh di perairan asin. Mangrove juga
didefinisikan sebagai ekosistem hutan yang memiliki toleransi terhadap kadar garam pada
daerah intertidal di sepanjang garis pantai (Hamilton dan Snedaker, 1984 in Aksornkoae,
1993).

2.2 Distribusi dan Zonasi Mangrove


Nontji (1987), menyatakan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi. Tercatat 89 jenis, yaitu 35 jenis berupa pohon,
selebihnya berupa 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Beberapa
jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora), Api-api
(Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), Nyirih (Xylocarpus), Tengar (Ceriops),
dan Buta-buta (Exoecaria) (Kawaroe, 2000).
Menurut Bengen (1999), salah satu zonasi hutan mangrove, yaitu :
a)          Daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia sp. Di zona ini biasa berasosiasi jenis Sonneratia sp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
b)      Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp.
c)      Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp.
d) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi
oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya.

 
Gambar 1. Tipe zonasi mangrove dari laut ke darat (Bengen, 1999)

2.3 Adaptasi Vegetasi Mangrove


            Beberapa adaptasi mangrove antara lain (Bengen, 1999) :
a. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah.
Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas. Avicennia sp Xylocarpus sp
dan Sonneratia sp memiliki tipe akar cakar ayam dengan pneumatofora untuk mengambil
oksigen dari udara. Rhizophora sp memiliki tipe akar penyangga atau tongkat dengan
lentisel (Gambar 2).
Gambar 2. Tipe-tipe akar mangrove (a) akar papan (b) akar cakar ayam
(c) akar tunjang (d) akar lutut (Bengen, 1999)
b.  Adaptasi terhadap kadar garam tinggi
Mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan
garam. Daun mangrove yang tebal, kuat dan banyak mengandung air berfungsi mengatur
keseimbangan garam. Daun mangrove juga dilengkapi struktur stomata khusus untuk
mengurangi penguapan.
c.  Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut
Mangrove mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk
jaringan horizontal yang lebar. Selain memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi
untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Hutchings dan Saenger (1987), menjelaskan tiga cara mangrove beradaptasi, yaitu :
a)   Salt Extrusion / Salt Secretion. Mangrove menyerap air bersalinitas tinggi kemudian
mengeksresikan garam-garaman melalui sistem yang terdapat dalam salt gland di
daun.
b)    Salt Eclusion. Akar mangrove mencegah garam-garaman masuk dengan cara
menyaring garam-garaman tersebut.
c)    Salt Accumulation. Mangrove mengakumulasi garam-garaman (Na dan Cl) di daun,
kulit kayu dan akar. Daun penyimpan garam biasanya akan gugur setelah akumulasi
garam melewati batas. Kelebihan garam dapat menghambat pertumbuhan dan
pembentukan buah mangrove.

2.4 Analisis Vegetasi Mangrove


                      Beberapa analisis yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan
vegetasi mangrove adalah kerapatan, frekuensi, dominansi dan indeks nilai penting
(INP).
       Kerapatan
Kerapatan jenis mangrove merupakan parameter untuk menduga kepadatan
jenis mangrove pada suatu komunitas. Kerapatan jenis pada suatu daerah
memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tumbuhan mangrove. Supardjo
(2007) dalam   Usman (2013) menyatakan bahwa tinggi rendahnya kerapatan
mangrove disebabkan oleh matahari yang dibutuhkan untuk berfotosintesis, selain
itu kerapatan jenis juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi mangrove yang toleran
terhadap kondisi lingkungan. Kerapatan padat ≥ 1.500 ind/Ha, sedang ≥ 1.000 – 1.500
ind/Ha dan jarang < 1.000 ind/Ha (Usman, 2013).
      Frekuensi

Sultan (2001) dalam Usman (2013), bahwa frekuensi suatu jenis menunjukan
penyebaran suatu jenis dalam suatu area. Jenis yang menyebar secara merata
mempunyai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang tidak merata dan
kurang luas. Jenis mangrove yang mempunyai penyebaran yang merata dan luas
disominansi oleh jenis Rhizopora. Sementara frekuensi relative merupakan
pengukuran distribusi spesies yang ditemukan pada plot yang dikaji. Nilai dari
frekuensi relative menunjukan keseringan suatu jenis ditemukan dalam suatu
kawasan. Tinggi rendahnya nilai frekuensi relatif disebabkan oleh terjadinya
kompetisi yang tidak seimbang antar jenis mangrove yang menempati suatu habitat
yang sama, sehingga kurang kompetetif dalam memperoleh unsure hara (Bengen,
2000).
       Dominansi

Dominansi suatu jenis merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan


suatu jenis tumbuhan tingkat pohon dalam hal bersaing dengan tumbuhan lainnya,
dalam hal ini terkait dengan besarnya diameter tumbunhan. Sementara luas basal
area suatu jenis pohon mangrove dapat diperoleh dari diameter pohon setinggi 1.5
meter dari permukaan tanah atau setinggi dada dari permukaan tanah. Hal ini
berarti semakin besar diameter pohon suatu tumbuhan, maka luas basal area pohon
juga semakin besar. Sementara tingginya dominansi relatif menunjukan bahwa
suatu kawasan memiliki kekayaan jenis yang rendah (Usman, 2013).
      Indeks Nilai Penting (INP)
Fachrul (2007) dalam Usman (2013) menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting
(INP) merupakan indeks yang memberikan suatu gambaran mengenai pentingnya
peranan atau pengaruh pada suatu vegetasi mangrove dalam suatu lokasi. Indeks
nilai penting bisa digunakan untuk menentukan dominansi jenis tumbuhan
terhadap jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu komunitas yang bersifat
heterogen, data parameter vegetasi dari nilai frekuensi, kerapatan dan
dominansinya tidak dapat menggambarkan komunitas tumbuhan secara
menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya mempunyai kaitan dengan
struktur komunitas dapat diketahui dari indeks nilai penting lainnya, yaitu suatu
indeks yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh nilai frekuensi relatif (FR),
kerapatan relatif (KR) dan dominansi relatif (DR). kisaran INP untuk tingkat pohon
yakni 0 – 300 % sedangkan untuk kisaran INP semai yakni 0 – 200 %.

2.5 Faktor Pembatas Pertumbuhan Mangrove


Faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara kompleks
akan menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks. Dimana distribusi individu
jenis tumbuhan mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor lingkungan
seperti tinggi rata-rata air, salinitas, pH, dan pengendapan (Hasmawati, 2001)
1.   Suhu
Pada perairan tropik suhu permukaan air laut pada umumnya 27°C - 29°C.
Pada perairan yang dangkal dapat mencapai 34°C. Di dalam hutan bakau sendiri
suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah pesisir
lain yang ternaung .
2.  Pasang Surut
Pasang surut adalah naik turunnya air laut (mean sea level) sebagai gaya tarik
bulan dan matahari. Untuk daerah pantai fenomena seperti ini merupakan proses
yang sangat penting, yang tidak dapat diabaikan oleh manusia dalam usahanya
untuk memanfaatkan, mengelola maupun melestarikan daerah pesisir.
Pengaruh aktifitas pasang surut di daerah muara sungai sangat besar karena
pasut bukan hanya merubah paras laut dengan merubah kedalamannya, melainkan
dapat pula sebagai pembangkit arus yang dapat mentranspor sedimen. Selain itu
pasut juga berperan terhadap proses-proses di pantai, seperti penyebaran sedimen
dan abrasi pantai. Pasang naik akan menimbulkan gelombang laut dimana sedimen
akan menyebar di dekat pantai, sedangkan bila air laut surut akan menyebabkan
majunya sedimentasi ke arah laut lepas (Kaharuddin, 1994)
3. Substrat (sedimen).
Sedangkan Anwar dkk. (1984), menyatakan bahwa lahan yang terdekat dengan
air pada areal hutan mangrove biasanya terdiri dari lumpur dimana lumpur
diendapkan. Tanah ini biasanya terdiri dari kira-kira 75% pasir halus, sedangkan
kebanyakan dari sisanya terdiri dari pasir lempung yang lebih halus lagi. Lumpur
tersebut melebar dari ketinggian rata-rata pasang surut sewaktu pasang berkisar
terendah dan tergenangi air setiap kali terjadi pasang sepanjang tahun. Klasifikasi
sedimen pantai disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Sedimen Pantai Berdasarkan Skala Wentworth


Diameter Butiran
Kelas Ukuran Butiran
Mm Skala
Boulder (Berangkal) >256 <-8
Cobbe (kerikil kasar) 45 -256 (-6) – (-8)
Pebble (kerikil sedang) 4 – 64 (-2) – (-6)
Granule (kerikil halus) 2–4 (-1) – (-2)
Very Coarse Sand (Pasir sangat
1–2 0 – (-1)
halus)
Coarse Sand (pasir sedang) 0,5 – 1 1–0
Medium Sand (Pasir sedang) 0,23 – 1 2- 1
Fine Sand (pasir halus) 0,125 – 0,25 3–2
Very Fine Sand (pasir sangat
0,062 – 0,125 4–3
halus)
Silt (debu) 0,0039 – 0,062 8–4
Clay (lumpur) < 0,0039 >8
Sumber : Hutabarat dan Evans, 1985

4.   Kecepatan Arus


Arus merupakan perpindahan massa air dari suatu tempat ke tempat lain di
sebabkan oleh sebgaian faktor seperti hembusan angin, perbedaan densitas atau
pasang surut. Faktor utama yang dapat menimbulkan arus yang relatife kuat adalah
angin dan pasang surut. Arus yang disebabkan oleh angin pada umumnya bersifat
musiman dimana pada suatu musim arus mengalir ke suatu arah dengan tetap pada
musim berikutnya akan berubah arah sesuai dengan perubahan arah angin yang
terjadi (Hasmawati, 2001)
Hasmawati (2001), menyatakan bahwa kecepatan arus secara tak langsung
akan mempengaruhi substrat dasar perairan. Berdasarkan kecepatannya maka arus
dapat dikelompokkan menjadi arus sangat cepat (>1 m/dt), arus cepat (0,5-1 m/dt),
arus sedang (0,1-0,5 m/dt) dan arus lanibat (<0,1 m/dt).
5.   Salinitas
Pohon mangrove tahan terhadap air tanah dengan kadar garam tinggi, tetapi
pohon-pohon mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di air tawar
(Anwar,dkk,.1984). Ketersediaan air tawar dan konsentrasi salinitas mengendalikan
efesiensi matabolik (metabolic efficiency) vegetasi hutan mangrove. Walaupun
spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap
salinitas, namun kekurangan air tawar menyebabkan kadar garam tanah dan air
mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan hidupnya (Dahuri,
2003).        .
6.   Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman untuk perairan alami berkisar antara 4-9 penyimpangan
yang cukup besar dari pH yang semestinya, dapat dipakai sebagai petunjuk akan
adanya buangan industri yang bersifat asam atau basa yaitu berkisar antara 5-8
untuk air dan untuk tanah 6 - 8,5 dan kondisi pH di perairan mangrove biasanya
bersifat asam, karena banyak bahan-bahan organik di kawasan tersebut. Nilai pH ini
mempunyai batasan toleransi yang sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas dan stadia organisme
(Hasmawati, 2001).

BAB III
METODE PRAKTEK

3.1 Waktu dan Tempat


Pengamatan  ini dilaksanakan  di Desa Ilangata, Kecamatan Anggrek
Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo.

3.2 Alat Dan Bahan


            Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan praktikum ini dapat dilihat
pada Tabel 2 dan Tabel 3:
Tabel 2. Alat yang digunakan saat praktikum.
No Alat Kegunaan
1 GPS (Global Positioning Menentukan titik koordinat
System
2 Alat tulis menulis Mencatat hasil praktikum
3 Pisau atau parang Memotong tali dan
membantu dalam pembuatan
transek
4 Tali raffia Pembuatan line transek
5 Termometer Pengukuran Suhu
6 Kamera Dokumentasi kegiatan
praktek

Tabel 3. Bahan yang digunakan saat praktikum


No Bahan Kegunaan
1 Mangrove sheet Panduaan dalam identifikasi
2 Tali raffia Pembuatan line transek

3.3  Prosedur Kerja


Prosedur kerja pada praktikum ini adalah :
1)      Menentukan stasiun  pengamatan untuk pembuatan line transect
2)      Membuat garis tegak lurus menggunakan talli raffia sejauh lebih dari 30
meter
3)      Menggunakan GPS untuk mentagging koordinat awal tali dan ujung tali.
Posisi kedua titik koordinat (awal dan akhir tali sejauh 30 meter) di rekam
dalam GPS atau dicatat (nilai Bujur/longitude dan Lintang/latitude dan
ketinggian/elevation kedua titik pada line transect).
4)          Membuat kuadran ukuran 10 x 10 sebanyak 3 buah. Sebaran kuadran
dibuat berselang – seling untuk memenuhi kaidah random seperti gambar
dibawah ini

  
Gambar 4. Contoh Pembuatan dua buah (A dan B) Line Transect pada Posisi Garis
Pantai. Posisi A-A’ dan B-B’ masing-masing adalah posisi awal dan akhir taggin
koordinat untuk line transect A dan B

5)          Mencatat tiap mmangrove yang terdapat pada tiap kuadran yang ada
pada setiap line transect, dan mengidentifikasi tiap jenis mangrove
6)                Mengukur keliling hanya tiap pohon yang ada dalam tiap kuadran,
mengukur keliling pohon ini pada ketinggian batang pohon 1,4 meter.
 

3.4 Analisis Data


                      Analisis vegetasi digunakan untuk menentukan struktur dan komposisi
vegetasi baik tingkat pohon dan semai. Berbagai parameter analisis vegetasi diolah
menggunakan rumus Onrizal (2008) dalam Usman (2013), sebagai berikut:

1. Kerapatan Mangrove

          
2. Kerapatan Relatif

 3. Dominasi Jenis

            
Catatan: luas Basal Area suatu jenis diperoleh dari komponen nilai garis
tengah batang pohon setinggi dada manusia dewasa (atau setinggi 1,4 meter). Luas
basal area tiap jenis mangrove dihitung berdasarkan rumus (Bengen, 2002);
 

di mana BA adalah luas basal area, K adalah


keliling batang pohon setinggi 1,4 m atau tertinggi dada manusia, π adalah 3,14.

4. Dominasi Relatif

5. Frekuensi 

           
6. Frekuansi Relatif

7. Analisis Indeks Nilai Penting (INP)

                  Analisis Indeks Nilai Penting (INP) vegtasi mangrove diperoleh dengan


menjumlahkan nilai Dominansi Relatif (DR), Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi

Relatif (FR), ditulis dengan formulasi rumus (Bengen, 2002);


  a. Pohon

 
 b. Semai

   
 
7. Indeks Keanekaragaman
                      Indeks diversitas digunakan untuk menentukan keanekaragam jenis pada
suatu komunitas dengan menggunakan rumus Shannon-Wienner dalam Usman
(2013):

    
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon - Wienner
ni = Cacah individu setiap jenis
N = Total cacah individu seluruh jenis
Pi = Kelimpahan elative dari jenis ke-i
 
Besarnya indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon-Wienner
didefenisikan dalam tiga tingkatan:
1)          Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis yang ada pada
suatu transek atau stasiun berada dalam kemelimpahan yang tinggi.
2)          Nilai 1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada suatu
transek atau stasiun berada dalam kemelimpahan yang sedang.
3)          Nilai H’ < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada suatu
transek atau stasiun berda dalam kemelimpahan yang sedikit atau rendah.
 

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

                      Berdasarkan hasil identifikasi dalam praktikum bahwa mangrove di Desa


Langge Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara terdiri dari 2 spesies
(Rhizopora apiculata dan Sonneratia alba). Hasil pengamatan dalam praktikum dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengamatan mangrove
Jumlah Individu Pohon Dan Semai
Dalam Tiap Kuadran (ni)
Jumlah
Pohon Semai
Jenis total
Kuadran Kuadran (N)
Keliling Keliling Keliling
I II III I II III
Pohon Pohon pohon
45 cm
33 cm
Rhizopora 42.8 cm 29 cm
 3 30.5 cm 4  2  245  348  176 778
apiculata 35.6 cm 34.6 cm
48 cm
39 cm
26 cm
Sonneratia 40.4 cm
 3 35.4 cm  1  28 cm  2  284  79  186 555
alba 28 cm
30 cm

Tabel 5. Hasil identifikasi jenis mangrove


Spesies
Bagian yang di Identifikasi Rhizopora
Sonneratia alba
apiculata
Flower color at sight Reddish green White, green, red
Posisi daun dengan tangkai Terminal Terminal
Bentuk belukar Tree Tree
Posisi daun terhadap daun Alternate Opposite
Jumlah daun dalam satu
Compound Simple
tangkai
Bentuk akar Buttress Buttress
Bentuk buah Cylindrical Ball
Bentuk daun Eliptical Obovate
Bentuk ujung daun Acute Emarginate

Tabel 6. Parameter lingkungan perairan yang diamati


Kisaran
No Parameter
Kuadran I Kuadran II Kuadran III
1 Suhu 28 0 C 29 0 C 30.6 0 C
2 Substrat Berlumpur Berlumpur Berlumpur

4.2 Pembahasan
4.2.1     Identifikasi Jenis Mangrove
A. Jenis Rhizopora apiculata
Rahmawan (2012), diantara mangrove yang lain  mangrove jenis ini yang
paling banyak tumbuh di Indonesia. Tumbuhan ini biasanya berkembang pada
sedimen dan pasang purnama yang tinggi. Pohon ini disebut juga dengan bakau
besar, bakau genjah, tinjang, slindur, bakau merah, bakau akik, atau bakau kurap,
tergantung spesiesnya. Di dunia dikenal secara umum sebagai red mangrove. Kulit
batangnya berwarna kemerahan terutama bila basah. Pohon dapat tumbuh sampai
dengan tinggi 25 m termasuk family  Rhizophoraceae. Pohon ini banyak terlihat
sebagai pohon kecil yang tumbuh di air laut. Dalam identifikasi ini penyusun
mengidentifikasi berdasarakan bentuk daun, akar, bunga dan buah dan spesies.
1.              Bentuk daunnya elips atau oval, agak keras, mengkilap,berwarna hijau
kekuningan, dan tangkainya merah. Dibagian sebelah sebelah bawahnya
terdapat bintik-bintik hitam kecil. Daun tumbuh berlawanan di kiri kanan
ranting. Daunya berubah warna menjadi kuning dan merah pada waktu gugur
dari pohonya. Tergantung spesiesnya daun ukuran berukuran panjang antara
10-20 cm, lebar antara 5-8 cm.
2.              Akar   menjadi ciri khasnya adalah system perakaran yang kompleks (prop
roots / stilt roots)  dengan cabang-cabang rendah membentuk struktur yang
lebat. Akar-akar membentuk lengkungan menembus air, lumpur, dan tanah.
Akar berwarna merah terutama pada waktu basah. Karena akar bakau ini
berada dalam air dan lumpur  yang tidak mengandung oksigen bebas
(anaerobic). Pohon ini menumbuhkan cabang khusus yang mempunyai pori-
pori (lenticels) untuk mengikat oksigen dari udara disebut sebagai akar udara
(air root). Akar udara ini tumbuh menggatung ke bawah dari batang atau
cabang yang rendah dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati oksigen
tetapi tidak tertembus air. Akar udara ini tidak mempunyai daun dan apabila
masuk menembus ke permukaan air terus ke tanah akan akan berbah menjadi
akar biasa.
2.      Bunga  berbunga sepanjang tahun, tetapi berbunga lebih banyak antara bulan
april sampai oktober bunganya tumbuh kembar., berukuran kecil, kelopaknya
10-14 mm dan lebar diameternya (8-10 mm) berwarna putih sampai kuning,
tidak berbau keras dan mempunyai 4 petal
3.          Buah buahnya vivipar, berbentuk seperti tongkat yang tumbuh berkembang
sebagai tanaman embrio selama masih berada pada pohon induknya. Disebut
bakal pohon muda atau propagules. Bakal pohon ini berwarna hijau dan
setelah matang ,mengeras,, berwarna kuning kecoklatan,mencapai ukuran
panjang 20-25 cm spesies lain ada yang ukuran propagulnya mencapai 50 cm
buah ini akan jatuh kebawah terbawa air dalam posisi horizontal. Dapat
bertahan cukup lama terbawa air laut. Setelah beberapa minggu akan
menyerap air. Posisinya berubah vertical dalam air, tumbuh akar, dan daun
pertamanya kemudian menancapkan akarnya ke tanah dan menetap.
4.      Klasisifikasi ilmiah Rhizophora apiculata
Kingdom          : Plantae
                Divisi                :Magnoliophyta

                        Klas                 : Magnoliopsida


                                Ordo                : Rhizophorales

                                        Famili               : Rhizophoraceae


                                                      Genus               : Rhizophora
                                                                Spesies        :  Rhizhospora apiculata.

B. Jenis Sonneratia alba


Rahmawan (2012), menyatakan bahwa dalam bahasa lokal jenis bakau ini
(pohon pedada) disebut juga bogem atau prapat. Termasuk dalam famili
sonneratiaceae. Pohon dapat mencapai ketinggian 20 m. Menempati bagian  pantai
paling depan disisi laut tumbuh ditanah lumpur atau berpasir, kulit batang
berwarna abu-abu atau kecoklatan , permukaan kulit kasar dan retak-retak. Pada
pohon muda kulit batangnya dilapisi semacam lapisan lilin  untuk mengurangi
penguapan air dari jaringanya. Berikut beberapa ciri yang didapat hasil pengamatan
berdarakan pada bentuk akar, daun, bunga dan buah.
1.      Akar seperti pohon api-api pohon pedada banyak mengeluarkan akar pasak
untuk pernafasan (pneumotophore) hanya saja bentuknya tida seperti pensil
melainkan berukuran lebih tebal seperti kerucut meruncing di ujung dan
menghadap ke atas.
2.    Daun daun pepada   berbentuk bulat (obovate) ukuran panjang dan lebar daun
hampir sama berukuran sekitar 5-7 cm bagian ujung daun membulat kadang-
kadang bagian tengahnya terdapat bagian kecil daun tumbuh berpasangna
berlawanan dikiri dan kanan ranting pohon
3.    Bunga bunga agak besar, ukuranya 2 – 4 cm panjangnya jenis Sonneratia alba
mudah dikenali dari bunganya karena mempunyai banyak stamen seperti
benag-benang berwarna putih. Bunga mekar dimalam hari dan menarik
kelelawar untuk penyerbukan kelelawar menyukai bunga jenis bakau
(Sonneratia alba) mungkin karena baunya yang khas seperti yang dilakukan
menghisap nektar dari bunga durian pepaya dan pisang, 
4.      Buah buah pepada berbentuk bulat berwarna hijau diameter sekitar 5 cm
kelopak buahnya meruncing berjumlah 6 keping.

4.2.2 Analisis Vegetasi Mangrove


A. Kerapatan Jenis Mangrove
Jenis mangrove yang memiliki kerapatan tertinggi terdapat pada kategori
semai, sedangkan kerapatan terendah terdapat pada pohon. Tingginya kerapatan
pada semai ini diakibatkan oleh rendahnya kerapatan pohon mangrove yang ada,
hal ini membuat sinar matahari tidak terhalang rapatnya pohon mangrove, sehingga
semai dapat tumbuh dengan baik. Supardjo (2007) dalam Usman (2013), semai dapat
tumbuh dengan baik apabila cahaya matahari yang dibutuhkan semai untuk
berfotosintesis tidak terhalang oleh pohon mangrove.
Kerapatan semai mangrove tertinggi terdapat pada jenis Rhizopora apiculata,
hal ini sesuai dengan pendapat Kartawinata (1979) dalam Usman (2013), Rhizopora
apiculata merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang toleran terhadap
kondisi lingkungan (substrat, pasang surut, salinitas, dan pasokan nutrient) dan
dapat menyebar luas pada berbagai tempat.

Tabel 7. Kerapatan Jenis Mangrove


Kerapatan Jenis (Ind/ha)
Pohon Semai
Jenis
Kuadran Kuadran
I II III I II III
  Rhizopora
0.03 0.04 0.02 2.45 3.48 1.76
apiculata
 Sonneratia alba 0.03 0.01 0.02 2.84 0.79 1.86

B. Kerapatan Relatif
Jenis Rhizopora apiculata memiliki kerapatn relatif tertinggi karena kondisi
substrat yang umumnya mengandung bahan organik yang sangat cocok untuk
pertumbuhanya, selain itu jenis Rhizopora apiculata merupakan tumbuhan pioneer.
Menurut Parawansa (2007) dalam Usman (2013) ketergantungan jenis tumbuhan
pioneer terhadap jenis tanah ditunjukan oleh genus Rhizopora yaitu merupakan ciri
umum untuk tanah berlumpur yang bercampur dengan bahan organik.
Tabel 8. Kerapatan Relatif Mangrove
Kerapatan relatif (%)
Pohon Semai
Jenis Kuadran Kuadran
I II III I II III
  Rhizopora
20 26.6 13.3 18.5 26.6 13.3
apiculata
 Sonneratia alba 20 66.6 13.3 21.5 5.9 14.1
C. Dominansi Jenis dan Relatif
            Dominansi suatu jenis merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan
suatu jenis tumbuhan kategori pohon dalam hal bersaing dengan tumbuhan lainnya,
dalam hal ini terkait  dengan besarnya diameter tumbuhan (Prasetyo, 2007 dalam
Usman 2013). Perhitungan nilai dominansi ini hanya dilakukan pada kategori pohon
untuk mengetahui INP kategori pohon. Hasil perhitungan dominansi mangrove pada
lokasi praktikum dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9. Dominansi Jenis dan Dominansi Relatif
Dominansi
Jenis Jenis (M2/Ha) Relatif (%)
Kuadran Kuadran

I II III I II III
  Rhizopora
0.029 0.032 0.025 0.33 0.37 0.29
apiculata
 Sonneratia alba 0.024 0.022 0.027 0.32 0.30 0.36

                      Berdasarkan perhitungan dominansi pada Tabel 9 bahwa nilai dominansi


jenis tertinggi yaitu jenis Rhizopora apiculata dengan nilai dominansi sebesar 0.032
m2/Ha ditemukan pada kuadran II, sedangkan nilai dominansi jenis terendah yaitu
jenis Sonneratia alba sebesar 0.022 m2/Ha. Nilai dominansi relatif pohon setiap
kuadran menunjukan bahwa Rhizopora apiculata memiliki presentase  dominansi
0.37 %  yang terdapat pada kuadran II.
D. Frekuensi
Kedua spesies mangrove ini memiliki nilai frekuensi yang sama karena
kondisi substrat sangat cocok untuk pertumbuhannya sehingga kedua jenis
mangrove ini menyebar merata pada setiap transek pengamatan. Hal in sesuai
pendapat Pramuji (2001) dalam Usman (2013), bahwa pada tanah lumpur yang
lembek di tumbuhi Rhizopora mucronata dan Lumnitzera litorea dengan penyebaran
merata dan meluas, sedangkan pada wilayah pesisir yang berpasir dan berombak
besar pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Dipantai terbuka pohon yang
dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah Avicennia dan
  Sonneratia. Avicennia cenderung hidup pada tanah yang berpasir agak keras
sedangkan Sonneratia pada tanah yang berlumpur lembut (Nonji, 1993).
Tabel 10. Frekuensi Jenis Mangrove
Frekwensi (F)
Pohon Semai
Jenis
Kuadran Kuadran
I II III I II III
 Rhizopora apiculata 1 1 1 1 1 1
 Sonneratia alba 1 1 1 1 1 1

E. Frekwensi Relatif
Jenis Rhizopora apiculata dan Sonneratia alba ditemukan pada semua transek
pengamatan, hal ini disebabkan jenis ini lebih banyak memperoleh unsur hara 
dibandingkan jenis lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat pramudji (2000) dalam
usman (2013), bahwa tinggi rendahnya nila frekuensi relatif disebabkan oleh
terjadinya kompetisi yang tidak seimbang antar jenis mangrove yang menempati
suatu habitat yang sama, sehingga kurang kompetitif dalam memperoleh unsur hara.
Tabel 11. Frekuensi Relatif Mangrove
Frekwensi Relatif (Fr)
Jenis Pohon Semai
Kuadran Kuadran
I II III I II III
Rhizopora apiculata 33.3 33.3 33.3 33.3 33.3 33.3
Sonneratia alba 33.3 33.3 33.3 33.3 33.3 33.3

F. Analisis Indeks Nilai Penting (INP)


Jenis Rhizopora mucronata memiliki nilai INP tertinggi pada kategori pohon
dan semai. Hasil ini menunjukan bahwa hutan mangrove pada lokasi penelitian
dalam kondisi baik. Jenis Rhizopora mucronata mempunyai peranan yang tinggi
dilokasi praktikum karena mangrove jenis ini memiliki karakteristik dan morfologi
yang mendukung dalam hal bersaing dengan jenis lainnya dan dapat dikatakan
susbtart dilokasi praktikum baik untuk pertumbuhan mangrove.
Keadaan ekosistem mangrove seperti ini mencerminkan bahwa ekosistem
hutan mangrove pada lokasi praktikum belum banyak mengalami perubahan yang
disebabkan oleh kegiatan manusia, walaupun ada sebagian masyarakat
memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove ini sebagai alat bantu pada alat tangkap
sero, kayu bakar, dan bangunan rumah.
Martobroto dan Sudrajat (1974) dalam Prasetyo (2007) menjelaskan bahwa
area mangrove yang memiliki nilai penting tinggi menandakan bahwa mangrove di
area tersebut dalam kondisi baik dan belum mengalami perubahan, sebaliknya
apabila kondisi ini berkurang atau berubah menjadi daratan karena manusia, maka
perlu dilakukan rehabilitasi agar keseimbangan ekosistem terjaga. Analisis data
untuk menentukan nilai indeks penting sebagai berikut :

  
 
Tabel 12. Analisis Indeks Nilai Penting (INP)
Analisis Indeks Nilai Penting (INP)
Pohon Semai
Jenis
Kuadran Kuadran
I II III I II III
Rhizopora apiculata 53.63 60.27 46.89 51.8 59.9 46.6
Sonneratia alba 53.62 40.26 46.96 54.8 39.2 47.4

G. Indeks Keanekaragaman 

      
1
Rhizopora apiculata                H​
​= - ∑ 0.98 log 0.98 = 0.008
1
Sonneratia alba                       H​
​= - ∑ 0.989 log 0.989 = 0.004
            
       Indeks keanekaragaman untuk setiap jenis yakni Rhizopora apiculata memiliki
indeks keanekaragaman 0.008 dan Sonneratia alba memiliki nilai indeks
keanekaragaman 0.004, nilai ini menunjukan keanekaragaman rendah. Hal ini
sesuai pendapat Shannon-Wienner bahwa nilai H’ < 1 menunjukan bahwa
keanekaragaman jenis pada suatu transek atau stasiun berada dalam kelimpahan
yang sedikit atau rendah.

4.2.3 Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove


A. Suhu
        Parameter pendukung perairan yang memegang peranan penting kehidupan
mangrove untuk menunjang kehidupannga. Suhu merupakan salah satu parameter
yang penting bagi keberlangsungan hidup biota laut. Suhu dapat mempengaruhi
proses – proses dalam suatu ekosistem mangrove seperti fotosintesis dan respirasi
(Usman, 2013). Suhu yang terukur berkisar pada wilayah mangrove Desa Langge
berkisar 280C - 300C. hal ini sesuai dengan pendapat Saenger (1979) dalam Usman
(2013) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 180C -
300C.

B. Substrat
        Karakteristik substrat merupakan faktor utama yang membatasi
pertumbuhan dan distribusi tanaman mangrove. Dari hasil pengamatan bahwa tipe
substrat di setiap kuadran adalah lumpur. Hal in sesuai pendapat Pramuji (2001)
dalam Usman (2013), bahwa pada tanah lumpur yang lembek di tumbuhi Rhizopora
mucronata dan Lumnitzera litorea dengan penyebaran merata dan meluas,
sedangkan pada wilayah pesisir yang berpasir dan berombak besar pertumbuhan
vegetasi mangrove tidak optimal. Dipantai terbuka pohon yang dominan dan
merupakan pohon perintis umumnya adalah Avicennia dan   Sonneratia. Avicennia
cenderung hidup pada tanah yang berpasir agak keras sedangkan Sonneratia pada
tanah yang berlumpur lembut (Nonji, 1993).

BAB V
KESIMPULAN
Kesimpulan
                      Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mangrove yang
terdapat pada lokasi praktek dengan kuadran 10 x 10 yaitu jenis Rhizopora apiculata
dan Sonneratia alba. Analisis untuk kerapatan, dominansi, frekuensi, indeks nilai
penting dan indeks keseragaman yang tertinggi terdapat pada jenis Rhizopora
apiculata  dan yang terendah pada jenis Sonneratia alba, namun nilai ini tidak terlalu
besar perbedaannya. Keadaan substrat pada lokasi pratek terlihat baik untuk
pertumbuhan dari kedua jenis mangrove ini yakni berlumpur dan keadaan suhunya
terlihat stabil yakni 280C - 300C.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem


Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia.  Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, 2012. Identifikasi Dan Pemetaan
Potensi Pulau-Pulau Kecil (Pulau Dudepo Dan Pulai Mohinggito) Provinsi
Gorontalo. Laporan Akhir. PT. Hulanthalo Rajawali Utara. Gorontalo.
Hasmawati, M. 2001. Studi Vegetasi Hutan mangrove di Pantai Kuri Desa Nisombalia,
kecamatan marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Skripsi Jurusan ilmu
kelautan dan Perikanan. Makassar.
Hutabarat, S. Dan S.M.Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Hutchings, P. dan P. Saenger. 1987. Ecology of Mangrove. Australia : University  of
Queensland Press.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan
Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat.
Tesis Magister.Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Indonesia.
Kaharuddin, 1994. Marine Sediment and Preparation. Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Makassar.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan
kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan
Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.
Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Alih
bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni. The Great Barrier Reef Marine Park
Authority. Townsville, Australia.
Macnae, W. 1974. Mangrove Forest and Fisheries. FAO/UNDP. Indian Ocean
Programme. Rome.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M.
Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta, Indonesia. 108 hl
Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection. hydrobiologia, 285:277-
282.
Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di
Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP
Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada
Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut
Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Tilohe, H. 2013. Kontribusi Hutan Mangrove Terhadap Masyarakat Pesisir Desa
Mootilango Kecamatan Duhadaa Kabupaten Pohuwato. Laporan Praktek
Kerja Lapangan. Universitas Negeri Gorontalo. UNG.
Usman dkk, 2013. Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek
Kabupaten Gorontalo Utara. Nike Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan
Volume 1, No.1, Juni 2013.
 

Deheto Hulonthalo di 18.49


Berbagi

1 komentar:

ayhie sasaja 16 Juli 2017 00.51


assalamualaikum min bsa mnta nmor yg bsa d hbungi nggk? soalnya sya jga mw penelitian
ttg hbungan kpdatan kepiting dengan kerapatan hutan mangrove d kec anggrek. Bsa?
Balas

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: dwiyulianti818@gmail.com (Google)

Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya

‹ Beranda ›
Lihat versi web

Mengenai Saya
Deheto Hulonthalo
Ikuti 3

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai