Anda di halaman 1dari 20

i

Referat

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


STRONGILOIDIASIS

Oleh:
Radyat Fachreza, S.Ked
04084821921062

Pembimbing:
dr. Mega Permata, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Diagnosis dan Penatalaksanaan Strongiloidiasis

Oleh:
Radyat Fachreza, S.Ked
04084821921062

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya, periode 2
September 2019 s/d 10 November 2019.

Palembang, September 2019

dr. Mega Permata, Sp.PD

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, saya mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha


Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Diagnosis dan
Penatalaksaan Strongiloidiasis” ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Mega Permata, Sp.PD selaku
pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing.
Sebagai penulis, saya menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan
dalam penyusunan referat ini. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk
memperbaikinya. Di samping itu, diperlukan juga berbagai referensi lain untuk
mengembangkan telaah ilmiah ini.
Akhir kata, saya sangat berharap bahwa telaah ilmiah ini akan
memberikan manfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Palembang, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. .......................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 2
Strongyloides stercoralis .............................................................................3
Strongiloidisis ..............................................................................................4
Definisi .........................................................................................................4
Etiologi .........................................................................................................5
Faktor Risiko ................................................................................................5
Patogenesis dan Patologi ..............................................................................7
Manifestasi Klinis ........................................................................................9
Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................10
Penegakkan Diagnosis ................................................................................11
Tatalaksana ..................................................................................................12
Diagnosis Banding .......................................................................................14
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Soil-transmitted Helminths dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris


lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus), dan Strongyloides stercoralis.1
Strongiloides stercoralis pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam
tinja tentara Perancis yang mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina.
Strongiloides stercoralis terutama ditemukan di daerah beriklim tropik dan subtropik
dimana pada daerah tersebut terdapat kelembaban yang tinggi, sedangkan didaerah
beriklim dingin jarang ditemukan tetapi dapat bertahan didalam iklim yang dingin.1
Penyakit diare yang disebabkan oleh Strongiloides stercoralis disebut
Strongyloidiasis.2
Beberapa peneliti menyelidiki klasifikasi perbedaan siklus hidup dan mungkin
patogenesisnya dari cacing ini selama awal tahun 1900. Nigishori (1928) dan Faust
De Groat (1940) menjelaskan terjadinya autoinfeksi interna yang merupakan bagian
penting dalam siklus hidupnya, terutama bila berhubungan dengan pasien yang
rentan.2
Strongiloides stercoralis terutama ditemukan di daerah panas tetapi dapat
hidup di daerah beriklim dingin. Daerah geografisnya lebih sering tumpang tindih
dengan infeksi cacing tambang.2 Frekuensi di Amerika Serikat masih jauh dari dari
data sebenarnya disebabkan oleh gejalanya yang asimptomatis. Data terbaru diduga
100 – 200 juta orang terinfeksi oleh parasit ini dan ini tersebar kurang lebih di 70
negara.2
Cacing yang menyukai lingkungan kotor dan lembab ini sering ditemui pada
lingkungan yang kumuh dan lembab. Mahluk yang tergolong parasit ini masuk ke
dalam tubuh melalui makanan atau secara langsung menembus kulit tubuh. Bila
melalui makanan berarti telur atau larva cacing berada pada makanan yang tidak
higienis (sayur dan daging yang tidak dimasak matang, misalnya). Jika masuk secara
langsung, cacing bisa masuk lewat telapak kaki saat anak bermain di tempat-tempat
kotor seperti di tanah tanpa alas kaki.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strongyloides stercoralis
Taksonomi Strongyloides stercoralis
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis

Gambar 1. Siklus hidup Strongiloides stercoralis

2
Gambar 2. Strongyloides stercoralis jantan hidup bebas

Gambar 3. Strongyloides stercoralis betina hidup bebas dan larva rhabditiform

Ciri-ciri larva rhabditiform Strongyloides stercoralis :


 panjang ± 225 μm
 cavum bucalis pendek, lebar dan terbuka
 esophagus 1/3 dari panjang tubuh
 mempunyai 2 bulbus esophagus
 ujung posterior runcing

3
Ciri-ciri larva filariform Strongyloides stercoralis :
 panjang ± 700 μm
 cavum bucalis tertutup
 esophagus 1/2 dari panjang tubuh
 tidak mempunyai bulbus esophagus
 ujung posterior tumpul dan bertakik

Ciri-ciri cacing dewasa Strongyloides stercoralis :

Cacing betina parasiter :


 ukuran : panjang 2,2 mm dan lebar 0,04 mm
 tidak berwarna dan semi transparan
 dengan kutikula halus dan berstirae halus
 cavum bucalis pendek dengan esophagus panjang silindris
 sapasang uterus mengandung satu rangkaian telur yang sudah bersegmen

Cacing betina hidup bebas :


 ukuran : panjang 1 mm dan lebar 0,05 – 0,07 mm
 esophagus 1/3 anterior
 sepasang uterus mengandung satu rangkaian telur yang sudah bersegmen

Cacing jantan hidup bebas :


 ukuran : panjang 0,7 mm dan lebar 40 – 50 μm
 mempunyai 2 buah spicula
 ujung posterior melengkung ke arah ventral

2.2 Strongiloidiasis

2.2.1 Definisi
Strongiloidiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang
Strongyloides stercoralis. Strongyloides stercoralis merupakan nematoda usus,
pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam feses tentara Perancis yang
mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. Strongyloides terutama ditemukan

4
di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana pada daerah tersebut terdapat
kelembaban yang tinggi.2

2.2.2 Etiologi
Strongiloidiasis pada manusia disebabkan oleh parasit nematode
Strongyloides stercoralis, cacing nematode yang termasuk Soil Transmitted
Helminth (STH). Organisme penyebab strongyloidiasis pertama kali ditemukan oleh
Norman (1876) pada feses prajurit colonial Prancis yang menderita diare tidak
terkontrol di Cochin-China. Pada autopsy prajurit yang meninggal tadi, awalnya
diduga spesies yang dijumpai pada fesesnya berbeda dengan spesies yang diperoleh
dari dinding ileum, saluran empedu dan pankreasnya.2
Baru di kemudian hari Grassi (1879), Perronto (1880) dan Leuchart (1882)
mendemonstrasikan bahwa keduanya sebenarnya merupakan satu spesies yang sama
namun merupakan bagian yang berbeda dalam siklus organism ini. Disebutkan juga
bahwa ada beberapa spesies dari genus Strongyloides pada hewan yang dapat juga
menginfeksi manusia2

2.2.3 Faktor Risiko


Faktor host dan lingkungan merupakan faktor risiko infeksi cacing pada manusia
diantaranya:
1. Faktor Individu
a. Genetik
Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang dapat
mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir
tentang genom memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan
13 untuk mengendalikan Ascaris lumbricoides.3

b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri)


Usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah upaya dari
seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya.
Pedagang dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing.3
Pada prakteknya upaya higiene antara lain mencuci tangan dengan
sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai
5
alat seperti sendok dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila
panjang, tangan yang kotor dan kuku jari tangan kotor yang telah terinfeksi
telur cacing akan tertelan ketika makan.3

c. Perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia
itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat
dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing
yang tinggi.3
Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang memperhatikan
pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap
terjadinya infeksi cacing.3

d. Faktor sosial
Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan
tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi
cacing.3

2. Faktor Lingkungan
a. Iklim dan Suhu
Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang
lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan
telur Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur
Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus
adalah 28-32°C, sedangkan Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C.3,4

b. Tanah
Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari
cahaya matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu
menyerap air dan mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah
dapat saling lengket dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing
tambang karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya.4
6
c. Sinar matahari
Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar
matahari langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh
dan terlindung dari sinar matahari.3,4

d. Angin
Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan
telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan
telur cacing bersama debu.3,4

2.2.4 Patogenesis dan Patologi


Transmisi dengan penetrasi larva filariform infektif melalui kulit dari
tanah yang terkontaminasi, atau per oral. Transmisi juga kemungkinan dapat
terjadi transplacental (dari ibu ke janin yang dikandungnya) dan transmammary
(dari ibu ke bayinya melalui air susu) oleh karena pernah ditemukan kasusnya
pada hewan mamalia lain. Penetrasi larva filariform infektif menembus kulit
menimbulkan Cutaneus Larva Migran dan Visceral Larva Migrans.5
Larva ini kemudian menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa
sampai ke jantung kanan dan kapiler pulmonal. Kemudian keluar dari kapiler
pulmonal dan penetrasi ke dalam alveoli paru. Di duga saat keluar dari kapiler
pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan menimbulkan infiltrasi seluler
pada paru. Kadang dapat terlihat gambaran bercak infiltrat yang menyebar pada
gambaran radiologis paru (Loeffler pneumonia). Kumpulan gejala klinis yang
ditimbulkan oleh parasit muda ini saat sedang berada di paru dan saluran
pernafasan disebut dengan Sindroma Loeffler.5
Parasit ini kemudian bermigrasi ke saluran nafas atas, sampai ke
esophagus dan tertelan masuk ke lambung dan usus. Di sana parasit ini dengan
cepat berkembang menjadi dewasa. Betina lalu berkembang biak secara
parthenogenensis (Kraust, 1932 dan Faust berpendapat bahwa ada bentuk
parasitik jantan, dan bahwa juga betina berkembang biak melalui kopulasi yang
tejadi di duodenum atau yeyunum. Walaupun para ahli selain mereka belum ada
yang dapat menemukan parasitik jantan). Betina kemudian membuat lubang di
mukosa saluran cerna untuk menaruh telur-telurnya.5
7
Pada infeksi berat gambaran mukosa dapat terlihat seperti gambaran
sarang tawon (“honeycombed appearance”). Telur yang menetas mengeluarkan
larva rhabditiform yang lalu akan keluar melalui feses. Saat parasit ini berada di
saluran cerna, timbulah gejala-gejala saluran cerna seperti nyeri abdomen, kram,
malabsorbsi dan sebagainya. Prepaten period (=masa inkubasi ekstrinsik) ±1
bulan. Keadaan terjadinya autoinfeksi internal maupun eksternal akan mengarah
ke hiperinfeksi. Hal ini akan menyebabkan parasit ini dapat bertahan lama
bahkan sampai bertahun-tahun pada tubuh seseorang sehingga dapat bertahan
hidup di belahan dunia manapun dan dalam iklim apapun. Hal ini pula yang
diduga sebagai penyebab sering rekurennya gejala klinis yang merupakan cirri
dari penyakit ini.5
Pada akhir masa inkubasi dan pada tahap awal infeksi aktif terjadi
leukositosis (s/d 25.000) dengan eosinofilia (>40%). Kemudiam, saat infeksi
menjadi kronis leukositosis berganti menjadi neutropenia dan monositosis
relative, sementara eosinofilia moderat tetap betahan selama bertahun-tahun.
Pada keadaan kurangnya eosinofilia, disertai dengan leukopenia, pada kasus
kronis menunjukkan prognosa yang buruk.5
Pada keadaan tertentu larva filariform dapat gagal keluar dari kapiler
pulmonal paru menuju alveoli, lalu bermigrasi ke dalam venule pulmonal dan
masuk ke sirkulasi sistemik tubuh. Hal ini dapat mengarah kepada “disseminated
infection” yang dapat menyerang organ-organ lain seperti paru, hati dan jantung.
Namun keadaan “disseminated (menyebar)” ini sendiri tidak berhubungan
dengan beratnya infeksi. Kasus “disseminated” biasanya terjadi pada penderita
dengan immunosupresi/ immunocompromised.5
Hiperinfeksi Strongyloides stercoralis merupakan sindrom autoinfeksi
yang meningkat dan gejala-gejalanya disebabkan oleh peningkatan migrasi larva
Strongyloides stercoralis. Hiperinfeksi dapat berakibat fatal. Sebagai penanda
hiperinfeksi adalah peningkatan deteksi jumlah larva dalam feses. Faktor risiko
hiperinfeksi strongyloidiasis adalah pasien yang immunocompromized,
diantaranya:5
 Pengguna kortikosteroid
Diduga ikatan anatara kortikosteroid dengan reseptor hormone steroid
mempercepat transformasi larva rhabditiform menjadi larva filariform

8
infektif. Kortikosteroid juga menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi
limfosit.
 Penggunaan obat-obat immunosupresif untuk terapi kanker
 Penderita infeksi virus HTLV-1
Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV-1 (Human T cell
Lymphotropic Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV-1.
Antigen strongyloidiasis mempercepat leukemogenesis.
Pengidap HIV/AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya
awalnya diduga memiliki angka kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang
tinggi, ternyata angka hiperinfeksi ini tidaklah sesignifikan atau pun sebesar
yang diperkirakan dan penyebab penyimpangan ini juga measih belum
diketahui pasti. Sedangkan pasien yang mendapat transplantasi organ
memiliki angka hiperinfeksi yang tidak tinggi walaupun memakai obat-obat
immunosupresif. Hal ini kemungkinan dikarenakan obat yang dipakai untuk
menekan sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi penolakan tubuh
terhadap organ yang baru ditransplantasikan) adalag cyclosporine yang juga
mempunyai efek antihelmentik.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Umumnya strongiloidiasis tidak menimbulkan gejala sama sekali


(asimptomatik). Namun, pada beberapa kasus, penderita infeksi ini mengalami
gejala-gejala seperti:5,7

 Nyeri perut bagian atas atau sensasi terbakar.


 Diare dan konstipasi yang bergantian secara berkala.
 Batuk.
 Ruam.
 Bercak merah pada kulit di dekat anus.
 Muntah.
 Kehilangan berat badan.

9
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi
nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali,
2009; Maguire, 2010; WHO, 2012). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara
makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai
warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan
ini juga dinilai adatidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging,
empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan
untuk memeriksa parasit dan telur cacing1
Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam
cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif
dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan
dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation method), Metode
Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz. Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk
menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui
jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja
kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa
prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.1
Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam
survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia.
Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat
mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan
perhitungan telur cacing. Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat
kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan.1
Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik
Kato-Katz memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang
memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori
= 24 telur per gram feses). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari
sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi
intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing.
Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat.
Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :1

10
Tabel 1. Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing (WHO, 2012)

Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara kualitatif
dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif cacing pada
feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing atau per jenis
cacing.1
Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi
antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh
Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam
mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat
invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah
penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan
nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini
masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.1

2.2.7 Penegakkan Diagnosis


 Menemukan larva rhabditiform atau pun larva filariform pada sediaan feses,
cairan duodenum, cairan ascites, dan sputum (pada kasus yang disseminated).
Larva rhabditiform biasanya dijumpai pada sediaan tinja segar. Larva
filariform dapat dijumpai pada pembiakan tinja dan pembiakan sekret
duodenum yang diambil dengan duodenal sonde.1,6,7
 Serologis dengan Antibody Detection Assay termasuk EIA, IFA, dan IHA
dengan sensitivitas terbesar pada teknik EIA.7,8,9
 Diagnosis klinis tidak pasti, karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala
klinis yang nyata. Diagnosis pasti yaitu apabila menemukan larva rabditiform
dalam tinja segar dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. Biakan tinja
selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva rabditiform dan
cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas.8,9

11
2.2.8 Tatalaksana
Farmakologi6,10
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongiloidiasis, oleh
karena efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100%) serta pemberiannya
cukup dosis tunggal baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek
samping sedikit.
Dosis ivermectin 0,2 mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis tunggal. Angka
kesembuhan 98,7%, sebagai terapi alternatif adalah albendazole dan thiabendazole,
sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah albendazole.
Dosis albendazole 25 mg/kgBB/hari, pemberiannya biasa berupa albendazole
400 mg 2x per hari (anak <2 tahun : 200 mg) selama 3-5 hari. Untuk kasus
hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga 15 hari. Angka kesembuhan 78,8%.
Efek samping pengobatan berupa diare, gatal-gatal dan mengantuk lebih
sering dijumpai pada ivermectin dibandingkan dengan albendazole.

Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan6,10


Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat
mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain dilakukan
dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan hygiene perorangan
serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan
dan menggunting kuku secara rutin.
2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi
intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.
3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih
dahulu.
4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan menggunakan
sabun.
5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk
memakai alas kaki.

12
Pengendalian Infeksi Nematoda Usus6,10
Pemberian obat cacing Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan
infeksi cacing di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400
mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole
(dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg
/ kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).
Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua
cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk
mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole
bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan
kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan
mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya
dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis
tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis.
Obat cacing benzimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus
yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel
pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris ,
walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis. Pengobatan
dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia,
harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur.
Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa
pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan
prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil
pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan
pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening
menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi
bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada
orang dengan hasil positif saja.

a. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)


Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya
reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda
usus, tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui
promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan
13
buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan
penyebaran infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya
pengendalian infeksi cacing dan terjadinya reinfeksi (Suriptiastuti, 2006).

b. Sanitasi Perbaikan
Sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara
menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk
menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus
mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagipula bila
digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan
waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif (Suriptiastuti,
2006).

2.2.9 Diagnosis Banding


 Askariasis
 Ankilostomiasis

14
BAB III
KESIMPULAN

Strongiloidiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang


Strongyloides stercoralis. Strongyloides stercoralis merupakan nematoda usus,
pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam feses tentara Perancis yang
mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. Strongyloides terutama ditemukan
di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana pada daerah tersebut terdapat
kelembaban yang tinggi.

Cacing yang menyukai lingkungan kotor dan lembab ini sering ditemui pada
lingkungan yang kumuh dan lembab. Mahluk yang tergolong parasit ini masuk ke
dalam tubuh melalui makanan atau secara langsung menembus kulit tubuh. Bila
melalui makanan berarti telur atau larva cacing berada pada makanan yang tidak
higienis (sayur dan daging yang tidak dimasak matang, misalnya). Jika masuk secara
langsung, cacing bisa masuk lewat telapak kaki saat anak bermain di tempat-tempat
kotor seperti di tanah tanpa alas kaki.

Diagnosis klinis tidak pasti, karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala


klinis yang nyata. Diagnosis pasti yaitu apabila menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum.

Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongiloidiasis, oleh


karena efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100%) serta pemberiannya
cukup dosis tunggal baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek
samping sedikit.
Dosis ivermectin 0,2 mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis tunggal. Angka
kesembuhan 98,7%, sebagai terapi alternatif adalah albendazole dan thiabendazole,
sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah albendazole.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit ini pada umumnya adalah dengan
pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi
tidak memutuskan mata rantai penularan. Pemutusan rantai penularan dilakukan
dengan perbaikan sanitasi di lingkungan dan higien perorangan serta pendidikan
kesehatan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Lynne S Garcia. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. EGC Jakarta. 1996.


Hal : 155 – 161
2. Soedarto. Helmintologi Kedokteran. EGC Jakarta 1995. Hal : 91 – 93
3. Harison. Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Hal : 1040 – 1041
4. Srisari Gandahusada. Parasitologi Kedokteran. FKUI. Jakarta. Edisi 3.
2004. Hal : 20 – 23
5. Harold W Brown. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta. 1979. Hal :
183 – 189
6. Emily Carpenter. Strongyloides stercoralis. 1996. Last up date March, 27
2006
7. Cohen, Powderly : infectious Disease. 2nd ed. 2004 : 503 – 515, 1186 –
1187
8. Goh SK, Chow PK, Chung AY, et all : Strongyloides colitis in patient with
Cushing Syndrom. Gastrointest Endosc 2004 May ; 59(6): 738 – 741
9. Ly MN, Bethel SL : Cutaneus strongyloidiasis infection. An usual
presentation. J Am Acad Deramtol 2003 Augt ; 49.
10. Moon TD, Oberhelm RA: Antiparasitic therapy in child. Pediadtric Journal
2005 Jun ; 52 (3): 917 - 948

16

Anda mungkin juga menyukai