Referat
Oleh:
Radyat Fachreza, S.Ked
04084821921062
Pembimbing:
dr. Mega Permata, Sp.PD
Referat
Diagnosis dan Penatalaksanaan Strongiloidiasis
Oleh:
Radyat Fachreza, S.Ked
04084821921062
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik Senior di Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang, Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya, periode 2
September 2019 s/d 10 November 2019.
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Strongyloides stercoralis
Taksonomi Strongyloides stercoralis
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides stercoralis
2
Gambar 2. Strongyloides stercoralis jantan hidup bebas
3
Ciri-ciri larva filariform Strongyloides stercoralis :
panjang ± 700 μm
cavum bucalis tertutup
esophagus 1/2 dari panjang tubuh
tidak mempunyai bulbus esophagus
ujung posterior tumpul dan bertakik
2.2 Strongiloidiasis
2.2.1 Definisi
Strongiloidiasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang
Strongyloides stercoralis. Strongyloides stercoralis merupakan nematoda usus,
pertama kali ditemukan pada tahun 1876 di dalam feses tentara Perancis yang
mengalami diare dan baru kembali dari Indo Cina. Strongyloides terutama ditemukan
4
di daerah beriklim tropik dan subtropik dimana pada daerah tersebut terdapat
kelembaban yang tinggi.2
2.2.2 Etiologi
Strongiloidiasis pada manusia disebabkan oleh parasit nematode
Strongyloides stercoralis, cacing nematode yang termasuk Soil Transmitted
Helminth (STH). Organisme penyebab strongyloidiasis pertama kali ditemukan oleh
Norman (1876) pada feses prajurit colonial Prancis yang menderita diare tidak
terkontrol di Cochin-China. Pada autopsy prajurit yang meninggal tadi, awalnya
diduga spesies yang dijumpai pada fesesnya berbeda dengan spesies yang diperoleh
dari dinding ileum, saluran empedu dan pankreasnya.2
Baru di kemudian hari Grassi (1879), Perronto (1880) dan Leuchart (1882)
mendemonstrasikan bahwa keduanya sebenarnya merupakan satu spesies yang sama
namun merupakan bagian yang berbeda dalam siklus organism ini. Disebutkan juga
bahwa ada beberapa spesies dari genus Strongyloides pada hewan yang dapat juga
menginfeksi manusia2
c. Perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia
itu sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat
dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing
yang tinggi.3
Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang memperhatikan
pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap
terjadinya infeksi cacing.3
d. Faktor sosial
Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan
tingkat pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi
cacing.3
2. Faktor Lingkungan
a. Iklim dan Suhu
Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang
lembab yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan
telur Ascaris lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur
Trichuris trichiura pada suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus
adalah 28-32°C, sedangkan Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C.3,4
b. Tanah
Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari
cahaya matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu
menyerap air dan mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah
dapat saling lengket dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing
tambang karena larva cacing ini memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya.4
6
c. Sinar matahari
Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar
matahari langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh
dan terlindung dari sinar matahari.3,4
d. Angin
Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan
telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan
telur cacing bersama debu.3,4
8
infektif. Kortikosteroid juga menyebabkan supresi eosinofil dan aktivasi
limfosit.
Penggunaan obat-obat immunosupresif untuk terapi kanker
Penderita infeksi virus HTLV-1
Ko-infeksi Strongyloidiasis dengan infeksi virus HTLV-1 (Human T cell
Lymphotropic Virus type 1) mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV-1.
Antigen strongyloidiasis mempercepat leukemogenesis.
Pengidap HIV/AIDS yang dengan keadaan imunodefisiensinya
awalnya diduga memiliki angka kejadian hiperinfeksi Strongyloidiasis yang
tinggi, ternyata angka hiperinfeksi ini tidaklah sesignifikan atau pun sebesar
yang diperkirakan dan penyebab penyimpangan ini juga measih belum
diketahui pasti. Sedangkan pasien yang mendapat transplantasi organ
memiliki angka hiperinfeksi yang tidak tinggi walaupun memakai obat-obat
immunosupresif. Hal ini kemungkinan dikarenakan obat yang dipakai untuk
menekan sistem imun tubuh pasien (untuk menekan reaksi penolakan tubuh
terhadap organ yang baru ditransplantasikan) adalag cyclosporine yang juga
mempunyai efek antihelmentik.
9
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi
nematoda usus berupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia (Suali,
2009; Maguire, 2010; WHO, 2012). Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara
makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai
warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau, dan ada-tidaknya mukus. Pada pemeriksaan
ini juga dinilai adatidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging,
empedu, sel darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan
untuk memeriksa parasit dan telur cacing1
Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua macam
cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kuantitatif
dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan kualitatif dilakukan
dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation method), Metode
Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz. Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk
menentukan intensitas infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui
jumlah telur per gram tinja (EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja
kualitatif berupa positif atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa
prevalensi seluruh jenis cacing atau per jenis cacing.1
Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas dalam
survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia.
Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang dapat
mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan
perhitungan telur cacing. Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat
kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan.1
Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik
Kato-Katz memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang
memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori
= 24 telur per gram feses). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari
sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa sampel feses. Klasifikasi
intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis cacing.
Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu ringan, sedang dan berat.
Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada tabel berikut :1
10
Tabel 1. Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing (WHO, 2012)
Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara kualitatif
dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau negatif cacing pada
feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh jenis cacing atau per jenis
cacing.1
Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi, deteksi
antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World Heatlh
Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan dalam
mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah bersifat
invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap terdeteksi setelah
penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan
nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi pemeriksaan serologi ini
masih kontroversial, terutama pada daerah endemis.1
11
2.2.8 Tatalaksana
Farmakologi6,10
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongiloidiasis, oleh
karena efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100%) serta pemberiannya
cukup dosis tunggal baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek
samping sedikit.
Dosis ivermectin 0,2 mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis tunggal. Angka
kesembuhan 98,7%, sebagai terapi alternatif adalah albendazole dan thiabendazole,
sedangkan di Indonesia sediaan yang ada pada umumnya adalah albendazole.
Dosis albendazole 25 mg/kgBB/hari, pemberiannya biasa berupa albendazole
400 mg 2x per hari (anak <2 tahun : 200 mg) selama 3-5 hari. Untuk kasus
hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga 15 hari. Angka kesembuhan 78,8%.
Efek samping pengobatan berupa diare, gatal-gatal dan mengantuk lebih
sering dijumpai pada ivermectin dibandingkan dengan albendazole.
12
Pengendalian Infeksi Nematoda Usus6,10
Pemberian obat cacing Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan
infeksi cacing di masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400
mg, dan untuk anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole
(dosis tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg
/ kg BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).
Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua
cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk
mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole. Benzimidazole
bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang menyebabkan
kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun albendazole dan
mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat perbedaan penggunaanya
dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap ascariasis dengan pemberian dosis
tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis.
Obat cacing benzimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus
yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel
pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris ,
walaupun pirantel pamoate tidak efektif untuk mengobati trichiuriasis. Pengobatan
dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia,
harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur.
Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa
pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan
prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil
pemeriksaan feses sampel prevalensi hanya didapati kurang dari 30%, dilakukan
pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening
menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi
bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada
orang dengan hasil positif saja.
b. Sanitasi Perbaikan
Sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH dengan cara
menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan intervensi utama untuk
menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya intervensi ini efektif harus
mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang tersedia sangat terbatas. Lagipula bila
digunakan sebagai intervensi primer untuk mengendalikan infeksi STH diperlukan
waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun supaya dapat efektif (Suriptiastuti,
2006).
14
BAB III
KESIMPULAN
Cacing yang menyukai lingkungan kotor dan lembab ini sering ditemui pada
lingkungan yang kumuh dan lembab. Mahluk yang tergolong parasit ini masuk ke
dalam tubuh melalui makanan atau secara langsung menembus kulit tubuh. Bila
melalui makanan berarti telur atau larva cacing berada pada makanan yang tidak
higienis (sayur dan daging yang tidak dimasak matang, misalnya). Jika masuk secara
langsung, cacing bisa masuk lewat telapak kaki saat anak bermain di tempat-tempat
kotor seperti di tanah tanpa alas kaki.
15
DAFTAR PUSTAKA
16