Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih
menjadi permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi
TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB
dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara
dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization
(WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat
perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya
angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua
dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun
dengan laju 2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan
yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap besar.
Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta
(termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang
meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten
obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat
pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di
dunia terjadi di negara berkembang.1,2
Pada tahun 2014, WHO merilis bahwa Indonesia menduduki
peringkat kedua setelah Cina dengan penderita TB terbesar di dunia.
Indonesia merupakan negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia
Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development Goals
(MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan
85% pada tahun 2006.3

Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor,


yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan
meminum obat, harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda,
kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya

1
daya bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan
krisis ekonomi.
Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa
peran serta masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal
karena TB tidak hanya masalah kesehatan namun juga merupakan
masalah sosial. Keberhasilan penanggulangan TB sangat bergantung
pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Identitas Pasien
Nama : Tn. I
Tanggal Lahir/ Usia : 26 Desember 1982 (35 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Di Panjaitan Lrg. Kesuma Bangsa
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Dokter Dokter
Pemeriksa
Pemeriksa: : dr. Dini, Sp.P
No. RM : 58.77.28
MRS : 28 April 2018

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


A. Keluhan Utama
Os mengeluh Sesak nafas bertambah berat sejak 1 hari SMRS.

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ± 1 hari SMRS Os mengeluh sesak nafas bertambah berat.
Sesak dirasakan terus menerus dan tidak dipengaruhi cuaca. OS juga
mengeluh mual dan badan lemas. ± 7 hari SMRS Os mengeluh demam,
keringat malam hari dan sesak nafas, sesak terutama setelah melakukan
aktivitas berat. Sebelumnya ± 3 bulan yang lalu Os mengalami batuk
berdahak tetapi dahak sulit untuk dikeluarkan. Nafsu makan mulai
menurun, berat badan menurun 10 kg selama 3 bulan. Buang Air Besar
normal, buang air kecil normal. Riwayat asma sebelumnya tidak ada (-),
Hipertensi tidak ada (-), Diabetes melitus tidak ada (-).

3
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat dengan gejala sesak nafas yang sama disangkal (-)
 Riwayat Asma disangkal (-)
 Riwayat TBC positif (-)
 Riwayat diabetes melitus disangkal (-)
 Riwayat hipertensi disangkal (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluhan sesak nafas yang sama dalam keluarga disangkal (-)
 Riwayat Asma disangkal (-)
 Riwayat diabetes melitus disangkal (-)
 Riwayat hipertensi disangkal (-)

E. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat merokok : iya, 10 batang/hari
 Riwayat minum kopi : iya, 1 gelas / hari
 Riwayat minum alkohol : iya
 Riwayat olahraga : disangkal
 Riwayat makan : 3 kali sehari, sebanyak 1 piring setiap makan.

F. Riwayat Sosial Ekonomi Keluarga


Riwayat sosial ekonomi termasuk dalam ekonomi sedang.

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 128 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 41x/menit, reguler, thoracal, kussmaul (-)
Suhu Axila : 36,8 oC

4
BB : 36 kg
TB : 165 cm
IMT : 13,2

B. Pemeriksaan Fisik Khusus


Kepala : Normocephali, deformitas (-)
Mata : conjunctiva anemis (-), hiperemis (-/-), sclera
ikterik (-), mata cekung (-),edema palpebra (-),
sekret (-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cmH2O
Thoraks : simetris, retraksi (-/-)
 Paru
- Inspeksi : simetris, retraksi (-/-)
- Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri simetris
- Perkusi : pekak pada kedua lapang paru kanan dan kiri
- Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronchi (-/-), wheezing
(-/-)
 Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : datar
- Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
- Perkusi : timpani (+), asites (-) massa tidak ada, turgor
kembali cepat (< 2 detik)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia eksterna : dalam batas normal

5
Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), deformitas (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium darah dan urin rutin (diperiksa tanggal 28/04/2018)
Tanggal 28 April 2018

Parameter Hasil Nilai Normal interpretasi


Hematologi
Hemoglobin 11,1 g/dl 14,0 - 16,0 g/dl Anemis
Leukosit 14,8 /ul 4,2 – 11,0/ul leukositosis
Hitung Jenis 0/0.2/0.0/87/7,1/5.7 1-3/0-1/2-6/40- Shift to the
60/20-50/2-8 left
LED 54 mm/jam <10 mm/jam Meningkat
Trombosit 495.000 /ul 150.000 – 440.000 trombositosis
/ul
Hematokrit 34,2 % 42,0 – 52,0 % Menurun

Kimia Klinik
SGOT 46 U/L 0-50 U/L Normal
SGPT 18 U/L 0-50 U/L Normal

Foto Thorax (tanggal 22 Agustus 2017)


Pada pemeriksaan FotoThorax didapatkan:
- Cor tidak membesar
- Infiltrat kedua paru
- Diafragma kanan dan kiri licin
- Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
- Tulang-tulsng intak
- Soft tissue baik
Kesan : TB paru duplex

6
Mikroskopis BTA (tanggal 2 Mei 2018)
Pada pemeriksaan BTA 3x didapatkan:
 BTA 1 (Negatif)
 BTA 2 (positif)
 BTA 3 (Positif)

2.5 Resume
Tn. I, laki-laki, 35 tahun, mengeluh sesak nafas + 7 hari SMRS dan
batuk berdahak + 3 bulan SMRS. Sesak nafas dirasakan saat aktfitas berat,
Os juga mengeluh mual, keringat malam hari dan demam, os juga mengeluh
nafsu makan berkurang dan berat badan turun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tampak sakit berat, tekanan
darah 120/70 mmHg, nadi 128 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup,
pernafasan 41x/menit, suhu 36,8o C.
Pada hasil laboratorium didapatkan hemoglobin 11,1 g/dl, leukosit
14,800 /ul, hitung jenis: 0/0.2/0/87/7.1/5.7. LED 54 mm/jam, trombosit
495.000 /ul, hematokrit 34,2%. Pada Pada pemeriksaan Foto Thorax
didapatkan TB Paru Duplex, Pada pemeriksaan BTA 3x didapatkan BTA 1
(negatif), BTA 2 (Positif ), BTA 3 (positif).

2.6 Diagnosis Kerja


Diagnosis kerja kasus ini adalah TB Paru

2.7 Diagnosis Banding


 PPOK
 Pneumonia

2.8 Tatalaksana
Berikut ini adalah tatalaksana yang diberikan:
 IVFD Asering gtt 20 x/m
 Rifampicin caps 1x300 mg
 Isoniazide tab 1x300 mg

7
 Pirazinamida tab 1x300 mg
 Etambutol tab 1x500 mg
 Ambroxol syr 3x1c

2.9 Pemeriksaan Anjuran


 Kultur bakteri
 Pemeriksaan B20

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

2.11 Follow Up

(tanggal 29 April 2018)


S : Sesak nafas, batuk dan badan lemas
O : Keadaan umum tampak sakit berat
TD : 120/70 N : 128x/menit RR : 41x /menit Temp : 36,8° C

A : TB paru
P:
1. IVFD Asering gtt 30 x/m
2. Rifampicin caps 1x300 mg
3. Isoniazide tab 1x300 mg
4. Pirazinamide tab 1x300 mg
5. Etambutol tab 1x500 mg
6. Ambroxol syr 3x1c

(tanggal 30 April 2018)


S : Sesak nafas, batuk dan badan lemas
O : Keadaan umum tampak sakit berat
TD: 120/90 N : 117x/m RR : 37x/m T : 370C
A : TB paru
P:
1. IVFD Asering gtt 30 x/m
2. Rifampicin caps 1x300 mg
3. Isoniazide tab 1x300 mg

8
4. Pirazinamide tab 1x300 mg
5. Etambutol tab 1x500 mg
6. Ambroxol syr 3x1c

(tanggal 1 Mei 2018)


S : Sesak berkurang, batuk dan badan lemas
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
TD: 100/60 N : 107x/m RR : 32x/m T : 370C

A : TB paru
P:
1. IVFD Asering gtt 30 x/m
2. Rifampicin caps 1x300 mg
3. Isoniazide tab 1x300 mg
4. Pirazinamide tab 1x300 mg
5. Etambutol tab 1x500 mg
6. Ambroxol syr 3x1c
(tanggal 2 Mei 2018)
S : Sesak nafas, demam, batuk dan badan lemas
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
TD: 90/60 N : 111x/m RR : 42x/m T : 38,20C

A : TB paru
P:
1. IVFD Asering gtt 30 x/m
2. Rifampicin caps 1x300 mg
3. Isoniazide tab 1x300 mg
4. Pirazinamide tab 1x300 mg
5. Etambutol tab 1x500 mg
6. Ambroxol syr 3x1c

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dihubungkan dengan tempat tinggal
didaerah urban dan pada lingkungan yang padat.1 Tuberculosis merupakan infeksi
bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai
dengan pembentukkan granuloma pada jaringan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai-sel (cell-mediated
hypersensitivity).5 Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman kuman anaerob
yang dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai
kandungan lemak yang tinggi pada membrana selnya sehingga menyebabkan
bakteri ini tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung
dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap intraviolet, karena itu
penularannya terutama terjadi pada malam hari.6

3.2 Faktor Risiko TB


Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :
1. Faktor host terdiri dari:
a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB.
b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga
memiliki peran penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi
pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam
serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.
c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti
keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko
untuk terkena TB.

10
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki
risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu,
pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor
juga memiliki risiko untuk terkena TB.
e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih
banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak-
anak.

2. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan
berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di
lingkungan yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih
tinggi untuk terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh
terhadap risiko untuk terkena TB dimana sosioekonomi rendah
memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB.
Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak
yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB
positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat
(higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak
terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius,
terutama dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Berarti bayi dari
seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin
besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet
nuclei) yang infeksius.

3.3 Cara Penularan

Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan


kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan peningkatan
jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. Tuberculosis biasanya secara

11
inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari
pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil
tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui
inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh M. bovis dapat disebabkan oleh
susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi.

Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosi, sejenis kuman


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um, dan tebal 0,3-0,6/um. Yang
tergolongkan dalam kuman Mycobacterium tuberculosea complex adalah: 1). M.
tuberculosae, 2) Varian Asian, 3). Varian African I, 4). Varian African II, 5). M.
bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.

Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical adalah: 1.


M. kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra celullare, 4. M. scrofulaceum, 5. M.
malmacerese, 6. M. xenopi.

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid) kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid ini akan membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan
juga tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini karena kuman berada dalam
sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif kembali.

Sifat lain dari kuman ini adalah anaerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigen. Dalam hal
ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.

Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi


droplet saluran nafas yang mengandung kuman–kuman basil tuberkel yang berasal
dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus
biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.
Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru
atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi

12
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah
hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagositatau berkembang biak di dalam sel.
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.3

Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis


pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer
akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8
minggu.

Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :1


a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar.

Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai


infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberculosis post-primer = TB
pasca primer = TB Sekunder). TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di region atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior lobus superior
atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dais el-
sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

13
TB pasca primer dapat juga berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,
virulensi-nya dan imunitas pasien, sarang dini ini menjadi:
- Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
- Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segerah menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkampuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma
berkembang menghancurkan menghancurkan jaringan ikat sekirarnya
dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar menjadi kavitas.
Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal
karena infiltasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya pengkijuan dan kavitas adalah
karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh ensim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.

Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak.


Kavitas dapat:
a. Meluas kembali an menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila kavitas ini
masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB milier. Dapat
juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjtnnya mengikuti
perjalan seperti dahulu. Bisa juga menjadi TB endobrokial dan TB
endotrakeal atau empiema bila rupture ke pleura,
b. memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif
kembali menjadi cair dan kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi
mycetoma,

14
c. bersih dan menyembuh disebut open healed cavity. Dapat menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang disebut
stellate shaped.

3.4 Klasifikasi TB Paru


- Pembagian secara patologis
a. Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
b. Tuberculosis post primer (adult tuberculosis)
- Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberculosis Paru (Koch
Pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai
menyembuh).
- Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltat non-kavitas
pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi
satu lobus paru.
b. Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltat bayangan halus tidak lebih dari
satu bagian paru.
c. Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang
melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Menurut American Thoracic Society tahun 1974 memberikan


klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan
masyarakat.
- Kategori 0: Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat
kontak negatif, tes tuberculin negatif
- Kategori I: Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi.
Disini riwayat kontak positi, tes tuberculin negatif.

- Kategori II: Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes


tuberculin positif, radiologis dan sputum negatif.

15
- Kategori III: Terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah


berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis:
- Tuberkulosis paru
- Bekas tuberculosis paru
- Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam:
a. Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum
BTA negatif, tetapi tanda - tanda lain positif.
b. Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati. Disini
sputum BTA negatif dan tanda – tanda lain juga meragukan.

Dalam dua – tiga bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan


apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam
klasifikasi ini perlu dicantumkan:
1. Status bakteriologi
2. Mikroskopik sputum BTA (langsung)
3. Biakan sputum BTA
4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberculosis
paru
5. Status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti
tuberculosis.

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:


a. Kategori 1, ditujukan terhadap:
- Kasus baru dengan sputum positif
- Kasus baru dengan bentuk TB berat
b. Kategoru 2, ditujukan terhadap:
- Kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
c. Kategori 3, ditujukan terhadap:
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak meluas

16
- Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebutkan dalam kategori
1
d. Kategori 4, ditujukan terhadap: TB kronik.

3.5 GEJALA KLINIS


Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam–macam
atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali
dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah:
- Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi kadang
kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan
ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
- Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk – produk
radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak
sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam
jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu atau berbulan – bulan
peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah hilang timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan
sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
- Sesak napas.
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru – paru.

17
- Nyeri dada.
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
- Malaise.
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus (nerat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.

3.6 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
pun terutama pada kasus–kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
simptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelianan pada pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran/suara
yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi atau
auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan
dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan di
dapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring.
Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya
menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot – otot intercostals. Bagian paru yang sakit

18
jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat
menjadi lebih dari setengah jumlah jaringan paru – paru, akan terjadi
pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan
arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikiti terjadinnya kor pulmonal dan
gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan tanda – tanda kor pulmonal
dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right
ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang
mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan
edema.
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru
sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara
pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit
paru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang positif.

3.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS


Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberculosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ini
memberikan keuntungan seperti pada tuberculosis anak – anak dan
tuberculosis milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu
negatif.
Lokasi lesi tuberculosis umumnya didaerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah (bagian inferior) atau daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya
pada tuberculosis endobakterial).
Pada awal penyakit lesi masih merupakan sarang–sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan batas
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan

19
terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma.
Pada kavitas yang bayangannya berupa cincin yang mula–mula
berdinding tipis. Lama–lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila
terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris–garis. Pada kalsifikasi
bayangannya tampak sebagai bercak–bercak padat dengan densitas tinggi.
Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dpat
terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/pleura
(pneumothoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam–macam bayangan
sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis – garis
fibrotic, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan
emfisema.
Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh–aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran
kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Disamping itu perlu diingat juga
faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai
25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto
lateral, top lordotik, onlik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrate yang betul–betul nyata. Lesi
penyakit yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi
yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada
orang – orang yang sudah tua.

20
Pemeriksaan khusus yang kadang – kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberculosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah
banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography
Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior disbanding radiologis
biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat
transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses – proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.

3.8 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


- Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-
kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada
saat tuberculosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit
masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit
mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit
masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan
dengan gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin
meningkat; 3). Kadar natrium darah menurun. Pemeriksaan tersebut di
atas nilainya juga tidak spesifik.
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberculosis masih aktif atau
tidak. Criteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128.
Pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena angka – angka
positif palsunya masih besar.

21
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga
dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa
peneliti mendapat nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-
95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena mendapat
angka – angka yang lebih rendah. Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih
dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai sarana
tunggal untuk diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah
menentukan adanya antibody IgG yang spesifik terhadap antigen
M.tuberculosae. sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma
M.tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonic dan
dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis
bila pada titer 1:10.000 dedapatkan hasil PAP-TB positf. Hasil positif
palsu kadang masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan
masa 3 bulan revaksinasi BCG.
Uji serologi lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya
dengan PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini dipakai antigen LAM
(Lipoarabinimannan) yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir
plastik. Sisir ini dicelupkan kedalam serum pasien. Antibody spesifik
anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada
sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.
- Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping
itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang –
kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak
batuk atau tidak batuk produktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari
sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2
liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan
memberikan tambahan obat – obat mukolitik ekspektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit,

22
sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan
brushing atau brobchila washing atau BAL (broncho alveolar lavage).
BTA dari sputum juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini
sering dikerjakan pada anak – anak karena mereka sulit mengeluarkan
dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang – kadang sulit
ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat
proses penyakit ini terbuka keluar, sehingga sputum yang mengandung
kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50%
pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum
mereka.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang –kuramgnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 Ml sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thian Hok
yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:
- Pemeriksan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
- Pemeriksaan sediaan langsung dengan miksroskop flouresens
(pewarnaan khusus)
- Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
- Pemeriksaan terhadap resistensi obat
Pemeriksaan dengan mikroskop flouresens dengan sinar ultraviolet
walaupun sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena
pewarnaan yang dipakai (auramin-rho-damin) dicurigai bersifat
karsinogen.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tubercuiosis mulai tampak.
Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, niakan
dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.

23
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA
dengam cara Bactec (Bactec 400 radio metric System), dimana kuman
sudah dapat dideteksi dalam 70-10hari. Disamping itu dengan teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB
dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.tuberculosae yang
tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilakukan
juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.
Kadang–kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada
fenomena dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat
mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.
Untuk pemeriksaan BTA sediaan miksoskopis biasa dan sediaan
biakan, bahan – bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan
bronkus, jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan
kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan tinja.

- Tes Tuberkulin
Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. Tuberculosae, M. bovis, dan vaksinasi
BCG dan Mycobacterium pathogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat.

3.9 Diagnosis
WHO tahun 1991 memberikan criteria diagnosis pasien tuberculosis:
- Pasien dengan sputum BTA positif:
1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan, atau
2. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang
sesuai dengan gambaran TB aktif, atau
3. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif.
- Pasien dengan sputum BTA negatif:

24
1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran
radiologis sesuai dengan TB aktif atau,
2. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali tetapi biakannya positif.
Di samping TB paru terdapat juga TB ekstra paru, yakni pasien
dengan kelainan histologist atau dengan gambaran klinis sesuai dengan
TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya
menunjukkan hasil M. tuberculosae.
Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi
berdasarkan riwayat penyakitnya yakni:
- Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapat obat anti TB lebih dari
1 bulan.
- Kasus kambuh yakni pasien yang pernah dinyatakan sembuh dari TB,
tetapi kemudian timbul lagi TB aktifnya.
- Kasus gagal (smear positive failure), yakni:
a. Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapat
obat anti TB lebih dari 5 bulan, atau
b. Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat
obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTA-nya positif.
- Kasus kronik, yakni pasien dengan sputum BTAnya tetap positif
setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTA-nya masih
positif.

3.10 Penatalaksanaan
A. PRINSIP PENGOBATAN
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka
prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

25
b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.


A. Tahap Intensif
- Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
- Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
B. Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
(dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

B. Regimen Pengobatan
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.
Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh
bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai
adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin.
Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang
paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan
streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme
sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para
Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan
Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid,

26
dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan
dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin
digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti
TB. Rejimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan
kombinasi OAT dengan dosis tetap.

Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE Kode huruf tersebut adalah


akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau
frekwensi. Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2
bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang
huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Sebagai contoh, untuk TB kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya : Tahap
awal/intensif adalah 2HRZE : Lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT
(HRZE) diberikan setiap hari. Tahap lanjutan adalah 4H3R3 : Lama pengobatan
4 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu.
- 2HRZE/4H3R3
Kategori 1 - 2HRZE/4HR
- 2HRZE/6HE
- 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 2 - 2HRZES/HRZE/5HRE

- 2HRZ/4H3R3
Kategori 3 - 2HRZ/4HR
- 2HRZ/6HE
Tabel 1. Paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO dan
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):

27
Paduan OAT Yang Digunakan Di Indonesia:

- KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR
diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Obat ini diberikan untuk:
- Penderita baru TB Paru BTA Positif.
- Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit
berat”
- Penderita TB Ekstra Paru berat
Tahap Lama Dosis Per hari/kali Jumlah
Pengobatan Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet
Blister
Isoniazid Rifampisin Pirazinammid Etambutol
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg Harian
*)

Tahap Intensip 2 bulan 1 1 3 3 56


(dosis harian)
4 bulan 2 1 58

Tabel 2. Paduan OAT Kategori 1 dalam paket kombipak untuk penderita


dengan berat badan antara 33 – 50 kg

Catatan : *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian. Satu paket kombipak kategori 1 berisi
104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 48 blister

28
HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam
1 dos besar.

- KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari.
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya
pernah diobati, yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
Dosis Per hari/kali

Tahap Lama Tablet Isoniazid Kaplet Tablet Tablet Tablet Vial


Pengobatan Pengobatan @300 mg Rifampisin Pirazinamid Etambutol Etambutol Streptomisin
@450 mg @500 mg @250 mg @1,5 gr
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 3 0,75 gr
(dosis harian)
Dilajutkan 1 bulan 1 1 3 3
Tahap lanjutan 5 bulan 1 1 1 2
(dosis 3xseminggu)

Tabel 3. Panduan OAT kategori 2 dalam paket kombipak untuk penderita dengan berat
badan antara 33-50 kg.

Catatan:
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 144 blister harian yang terdiri dari 84 blister HRZE untuk tahap
intensif, dan 60 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan
dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 28 vial Streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan
(60 spuit dan aquabidest) untuk tahap intensif.

- KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu.

29
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
• Penderita TB ekstra paru ringan.

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Jumlah


Pengobatan Pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Blister
@300 mg @450 mg @500 mg harian
Tahap Intensif 2 bulan 1 1 3 56
(dosis harian)
Tahap Lanjutan 4 bulan 2 1 50
(dosis 3xseminggu)
Tabel 4. Paduan OAT Kategori 3 dalam paket kombipak Untuk penderita
dengan berat badan antara 33 – 55 kg.

Catatan : *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian

Satu paket kombipak kategori 3 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZ
untuk tahap intensif, dan 50 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas
dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

- OAT SISIPAN
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Paduan OAT Sisipan untuk
penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg 1 tablet Isoniazid 300 mg,
1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3 tablet
Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang
dikemas dalam 1 dos kecil.

- Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Tetap


Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix
Dose Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat
kompipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet
yang ada sudah berisi 2, 3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:

30
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat
badan penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga
dapat meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka
penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah
pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya.

Beberapa hal yang mungkin terjadi dan perlu diantisipasi dalam


pelaksanaan pemakaian OAT-FDC :
Salah persepsi, petugas akan menganggap dengan OAT-FDC,
kepatuhan penderita dalam menelan obat akan terjadi secara otomatis,
karenanya pengawasan minum obat tidak diperlukan lagi. Tanpa jaminan
mutu obat, maka bio-availability obat, khususnya Rifampisin akan
berkurang. Jika kesalahan peresepan benar terjadi dalam OAT-FDC, maka
akan terjadi kelebihan dosis pada semua jenis OAT dengan Risiko
toksisitas atau kekurangan dosis (sub-inhibitory concentration) yang
memudahkan berkembangnya resistensi obat. Bila terjadi efek samping
sulit menentukan OAT mana yang merupakan penyebabnya. Karena
paduan OAT-FDC untuk kategori-1 dan kategori-3 yang ada pada saat ini
tidak berbeda maka dapat menurunkan nilai pentingnya pemeriksaan dahak
mikroskopis bagi petugas. Pemakaian OAT-FDC tidak berarti mengganti
atau meniadakan tatalaksana standar dan pengawasan menelan obat.
Tablet OAT-FDC Komposisi/kandungan Pemakaian

4 FDC 75 mg INH Tahap Intensif/awal dan sisipan


harian
150 mg Rifampisin

400 mg Pirazinamid

31
275 Etambutol

2 FDC 150 mg INH Tahap Lanjutan 3 kali seminggu

150 mg Rifampisin

Perlengkapan Panduan Kategori-2:

Tablet etambutol @400 mg

Injeksi (vial) Streptomisin 750 mg

Aquabidest dan Spuit

Tablet. 6 jenis OAT-FDC yang tersedia di program penanggulangan TB

Panduan pengobatan OAT-FDC yang tersedia saat ini di Indonesia terdiri


dari:

2(HRZE)/4(HR)3 untuk Kategori 1 dan Kategori 3

2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3 untuk Kategori 2

Dosis Pengobatan

Pada tabel 6 berikut ini disampaikan Dosis Pengobatan Kategori-1 dan


Kategori-3: {2(HRE)/4HR)3}

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan

(tiap hari selama 2 bulan) (3 kali seminggu selama 4 bulan)

30-37 kg 2 tablet 4 FDC 2 tablet 2 FDC

38-54 kg 3 tablet 4 FDC 3 tablet 2 FDC

55-70 kg 4 tablet 4 FDC 4 tablet 2 FDC

>70 kg 5 tablet 4 FDC 5 tablet 2 FDC

Tablet.7 Dosis Pengobatan Kategori-1 dan Kategori-3 : {2(HRZE)/4(HR)3}

Sedangkan untuk Dosis Pengobatan Kategori 2 disampaikan pada tabel


berikut

32
{2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3}:

Berat Badan Tahap Intensif (tiap hari selama 3 bulan) Tahap Lanjutan

Setiap hari Setiap hari (3 kali seminggu

selama 2 bulan Selama 1 bulan selama 5 bulan)

30-37 kg 2 tablet 4 FDC + 2 tablet 4 FDC 2 tablet 2 FDC +

500mg Streptomisin 2 tablet Etambutol

Injeksi

38-54 kg 3 tablet 4 FDC + 3 tablet 4 FDC 3 tablet 2 FDC +

750mg Streptomisin 3 tablet Etambutol

Injeksi

55-70 kg 4 tablet 4 FDC + 4 tablet 4 FDC 4 tablet 2 FDC +

1 g Streptomisin 4 tablet Etambutol

Injeksi *)

>70 kg 5 tablet 4 FDC + 5 tablet 4 FDC 5 tablet 2 FDC +

1 g Streptomisin 5 tablet Etambutol

Injeksi *)

Tabel. 8 Dosis Pengobatan Kategori 2

*) dosis maksimal 1g, untuk penderita >60 tahun dosis 500mg – 750mg
Jumlah standar Dosis pemakaian OAT-FDC sebulan
Pemakaian harian : 28 dosis diselesaikan dalam sebulan
Pemakaian 3 kali seminggu : 12 dosis diselesaikan dalam sebulan
Satu blister tablet FDC (4FDC atau 2FDC) terdiri dari 28 tablet

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan

Jumlah blister tablet Jumlah blister tablet

4 FDC 2 FDC

33
30-37 kg 4 BLISTER 3 BLISTER + 12 tablet

38-54 kg 6 BLISTER 5 BLISTER + 4 tablet

55-70 kg 8 BLISTER 6 BLISTER + 24 tablet

>70 kg 10 BLISTER 8 BLISTER + 16 tablet

Tabel.9 Jumlah Blister OAT-FDC untuk Kategori-1 dan Kategori-3

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan

Jumlah Blister Jumlah Vial Jumlah Blister Jumlah Blister

Tablet 4 FDC Streptomisin Tablet 2 FDC Tablet Etambutol

30-37 kg 6 Blister 56 Vial 4 Blister + 8 tablet 4 Blister + 8 tablet

38-54 kg 9 Blister 56 Vial 6 Blister + 12 tablet6 Blister + 12 tablet

55-70 kg 12 Blister 112 Vial 8 Blister + 16 tablet8 Blister + 16 tablet

>70 kg 15 Blister 112 Vial 10 Blister + 20 tablet


10 Blister + 20 tablet

Tablet 10. Jumlah Blister OAT + FDC untuk Kategori-2

Pengobatan TB paru dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan


efek samping baik yang bersifat ringan maupun yang berat. Tabel di bawah ini
menjelaskan efek samping OAT dari yang ringan maupun berat dengan
pendekatan gejala:7

Efek Samping Ringan Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu makan Rifampisin Semua OAT diminum

malam sebelum tidur

Nyeri Sendi Pyrazinamid Beri Aspirin

Kesemutan sampai rasa INH Beri Vitamin B6 (piridoxin)

terbakar di kaki 100 mg per hari

Warna Kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa,

34
Pada urin tapi beri penjelasan kepada

pasien

Efek Samping Berat Penyebab Penatalaksanaan

Gatal dan Kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk pelaksanaan di

kulit OAT bawah.

Tuli Strepstomisin Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan Strepstomisin Streptomisin dihentikan,

ganti dengan Etambutol.

Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT sampai

OAT Ikterus menghilang.

Bingung dan muntah-muntah Hampir semua Hentikan semua OAT, segera

(permulaan ikterus karena obat) OAT lakukan tes fungsi hati.

Ganguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol

Purpura dan rejatan (syok) Rifampisin Hentikan Rifampisin

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”


dilakukan dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara
dapat diberikan anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan
ketat. Gatal –gatal tersebut pada sebagian pasien akan hilang, namun pada
sebagian pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini terjadi
maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai kemerahan
kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis.7

3.11 Komplikasi
Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut.

35
- Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, larigitis, usus,
Poncet’s arthropathy.
- Komplikasi lanjut: obstruksi jalan nafas  SOPT (Sindorma
Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat 
fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom
gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan
krisis TB.

36
BAB IV
ANALISIS KASUS

4.1 Analisis Kasus


Pada kasus seorang laki-laki berusia 35 tahun yang bekerja sebagai
buruh bangunan datang dengan keluhan berupa sesak nafas, terutama
melakukan aktifitas berat dan tidak dipengaruhi cuaca, Os juga mengeluh
batuk berdahak, demam, keringat malam hari, nafsu makan berkurang dan
berat badan turun. Pada kasuss ini dari hasil anamnesis ditemukan gejala
klinis dari TB paru, karena gejala klinis dari TB paru adalah sesak nafas,
batu/batuk berdarah ≥ 2 minggu, demam, nyeri dada dan malaise berupa
penurunan berat badan.
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang
sudah sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dihubungkan dengan
tempat tinggal didaerah urban dan pada lingkungan yang padat.1
Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukkan
granuloma pada jaringan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh
hipersensitivitas yang diperantarai-sel (cell-mediated hypersensitivity).5
Adanya keluhan sesak nafas pasien yang tidak dipengaruhi aktivitas
dan cuaca serta sesak yang tidak berkurang meskipun tidur dengan bantal
tinggi, menandakan sesak yang terjadi bukan disebabkan oleh kelainan
asma ataupun gangguan jantung. Sesak pada kasus ini dapat terjadi karena
terdapat nya infiltrat kedua paru oleh infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis yang menyebabkan penurun fungsi paru.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tampak sakit berat dan adanya
pernafasan cepat dan dangkal dengan frekuensi 41x/m, nadi cepat dengan
frekuensi 128x/m. Pada pemeriksaan spesifik terdapat perkusi yang redup
pada kedua paru. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah
bagian apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas,
maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial.
Akan di dapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan

37
nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar,
perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.
Pada hasil laboratorium didapatkan hemoglobin 11, 1 g/dl, luekosit
14,800 /ul, HJ 0/0.2/0/57/7.1/5.7, LED 54 mm/jam, trombosit 495.000 /ul, Ht
34,2% dan sputum BTA -++. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah
mulai meningkat.
Pada pemeriksaan radiologi, terdapat infiltrate di kedua paru, kesan
TB paru duplex. Lokasi lesi tuberculosis umumnya didaerah apeks paru
(segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga
mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau daerah hilus menyerupai tumor
paru (misalnya pada tuberculosis endobakterial).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini berupa IVFD Asering
gtt 30x/m, Rifampicin caps 1x300 mg, Isoniazide tab 1x300 mg,
pyrazinamide tab 1x300 mg, etambutol tab 1x500 mg dan Ambroxol syr
3x1c.
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Penggunaan obat
rifampicin adalah untuk menghambat mekanisme kerja RNA- polimerase
yang tergantung pada DNA dari mikrobakteri dan beberapa mikroorganisme.
Penggunaan isoniazide untuk Berpengaruh terhadap proses biosintesis lipid,
protein, asam nukleat dan glikolisis. Aksi utama isoniazid menghambat
biosintesis asam mikolat yang mempunyai konstituen penting dalam dinding
sel mikrobakteri. Pirazinamid merupakan suatu bakterisidik, terutama untuk
basil tuberkel intraseluler dimana obat ini efektif untuk tuberkulosis yang
merupakan infeksi intraseluler. Mekanisme kerja etambutol yaitu
menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan
sel mati, dapat timbul resistensi bila digunakan tunggal, bersifat

38
tuberkulostatik (hanya aktif terhadap sel yang sedang tumbuh) dan menekan
pertumbuhan kuman TB yang resisten terhadap isoniazid dan streptomisin.
Ambroxol diberikan untuk mengatasi batuk produktif yang dialami pasien.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi kelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia.
2. Horsburgh, C.R., 2009. Epidemiology of Tuberculosis.
3. World Health Organization (WHO). (2015). Tuberculosis. Retrieved from
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/
4. Price, S.A., Standridge, M.P., 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price,
S.A., Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC ; 852-861.

5. Pharmateutical care untuk penyakit tuberculosis. 2005. Direktorat Bina


Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
6. Thomas M. Daniel. 2012. Tuberkulosis dalam Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
7. Rab Tabrani. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta. Penerbit CV. Trans Info
Media.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman
Penaggulangan Nasional TBC. Jakarta: Depkes RI.

40

Anda mungkin juga menyukai