Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

ANALISA KASUS

4.1 Pembahasan

Morbus Hansen (kusta) merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan


penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler
obligat. Penyakit Morbus Hansen dapat menyerang pada semua umur.
Kelompok umur terbanyak adalah 25-35 tahun, dibawah itu jarang. Cara
penularan kusta belum diketahui secara pasti namun ada anggapan klasik
bahwa penularan terjadi melalui kontak langsung antar kulit dan secara
inhalasi, sebab M.Leprae dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Predileksi ditemukan di wajah, badan, lengan, dan tungkai. Tanda kardinal
morbus hansen adalah lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi disertai
gangguan fungsi saraf berupa sensoris (anestesi), motoris (parese/paralisis),
otonom (kulit kering), ditemukan adanya Basil Tahan Asam (BTA).
Diagnosis dapat ditegakkan bila terdapat 1 tanda dari tanda kardinal
tersebut.1 Pada kasus ini diketahui Tn. H, laki-laki usia 51 tahun dengan
keluhan timbul bercak merah pada wajah sebelah kanan, dada, leher,
punggung, kaki dan telinga. Bercak kemerahan dirasakan tidak nyeri dan
tidak gatal serta keluhan kebas disangkal. Pada pemeriksaan BTA tanggal
29 mei 2019 dari 6 lokasi kerokan kulit yang diambil, ditemukan 2 lokasi
BTA yang positif. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan tersebut
ditemukan 2 tanda kardinal morbus hansen. Serta pada pemeriksaan KOH
pada tanggal 29 mei 2019 ditemukan spora (+) dan hifa (+). Pada tanggal 31
Juli 2019 pada pemeriksaan KOH didapat spora (+) dan hifa (-) pada pipi,
dagu, kaki dan dahi. Pasien didiagnosis Morbus Hansen tipe BL + Tinea
Versikolor.
Saat kontrol di Puskesmas kurang lebih dua bulan yang lalu, pasien
mendapat obat metilprednisolon 2x4mg dan eritromisin 3x500 mg dan
tampak wajah pasien moon face, pasien didiagnosis Tinea Versicolor +

47
Morbus Hansen tipe Multibasiler (BB). Selanjutnya pasien dirujuk ke
Puskesmas kembali untuk pengobatan Morbus Hansen dan pasien mendapat
krim ketokonazole 3x1.
Kurang lebih satu bulan yang lalu pasien kembali kontrol penyakitnya,
pada wajah pasien terdapat benjolan yang terasa nyeri di wajah dan badan.
Pasien mendapat terapi kortikosteriod yaitu metilprednisolon 16 mg tablet
dua kali sehari. Dua minggu kemudian pasien kembali kontrol untuk
tapering off metilprednisolon 16 mg (1-½-0) untuk satu minggu pertama,
selanjutnya metilprednisolon 16 mg (1 tab) untuk satu minggu kedua.
Berdasarkan kriteria klinis WHO, kusta dapat dibagi menjadi kusta
MB (multibasilar) dan kusta PB (pausibasilar) berdasarkan lesi kulit dan
banyaknya saraf yang terlibat. Pada kasus ini, pasien mengaku lesi awalnya
timbul di wajah namun dirasakan menyebar hampir pada seluruh tubuh
menandakan banyaknya lesi pada kasus ini > 5. Selain itu, pasien mengaku
wajah, dada, leher, lengan, punggung dan kaki.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat
dibandingkan lepra pada kasus ini lebih mengarah pada multibasilar (MB)
dibandingkan pausibasilar (PB). Berikut bagan diagnosis PB dan MB
menurut WHO (1995)

Tabel 4.1. Perbandingan kriteria klinis kusta MB, PB dan kasus


PB MB Kasus
1. Lesi kulit - 1-5 lesi > 5 lesi > 5 lesi
(makula datar, - hipo - distribusi
papul yang pigmentasi/ lebih
meninggi, nodus) eritema simetris
- distribusi tidak - hilangnya
simetris sensasi
kurang jelas
- hilangnya
sensasi yang
jelas
2. Kerusakan saraf - hanya satu - banyak Saraf yang
(menyebabkan cabang saraf cabang terkena N.
hilangnya saraf Ulnaris dextra
sensasi/kelemaha

48
n otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)

Selain itu, diagnosis kusta juga dapat ditegakkan dengan ditemukan 2


dari 3 tanda kardinal pertama atau ditemukan BTA. Tanda kardinal lepra
meliputi anestesia, pembesaran saraf, lesi tuberkuloid pada pasien berkulit
gelap berwarna hipopigmentasi, baik makular ataupun infiltratif. Pada
pasien berkulit berwarna putih, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
BTA. Pada kasus ini pasien telah melakukan pemeriksaan laboratorium dan
ditemukan BTA positif mendukung diagnosis kusta tipe multibasilar pada
kasus.
Kusta Multibasilar terdiri dari Mid Borderline (BB), Borderline
Lepromatous (BL), dan Lepromatosa Polar (LL) yang merupakan diagnosis
banding pada kasus ini. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BL lebih banyak lepromatosanya dan LL
adalah tipe lepromatosa 100% yang merupakan tipe stabil dan tidak
mungkin berubah lagi. Untuk membandingkan jenis dari kusta mustibasilar
ini dapat dinilai dengan membandingkan gambaran lesi, gejala klinis dan
saraf yang terlibat. Pada Borderline lepromatous leprosy(BL), lesi banyak
dan terdiri atas makula, papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out
annular. Anestesi tidak terjadi.
Tatalaksana pada kasus ini berupa medikamentosa dan non
medikamentosa. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah
dengan pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat serta mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan kortikosteroid segera. Pada pasien ini diberikan obat MDT
untuk Mutibasilar yaitu, rifampisin 600 mg setiap bulan, DDS 100 mg setiap
hari dan klofazimin300 mg setiap bulan, diteruskan 50 mg atau 100 mg
sehari atau 3x100 mg/minggu. WHO Expert Committee pada tahun 1998
telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis
dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulot

49
2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg
dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal. Rifampisin adalah obat
bakterisida kuat, yang dapat menghilangkan Mycobacterium Leprae dengan
cepat, sementara dapson dan klofazimin adalah obat bakteriostatik.
Rifampisin digunakan dalam terapi kombinasi dengan obat lainnya; bekerja
menghambat bakteri DNA-dependent RNA polymerase, bersifat bakterisida
terhadap M leprae. Dapson digunakan dalam terapi kombinasi. Bersifat
bakterisida dan bakteriostatik terhadap mikobakteri; mekanisme kerja
menghambat pertumbuhan bakteri. Klofazimin digunakan dalam terapi
kombinasi. Bersifat menghambat pertumbuhan mikobakteri, mengikat rantai
DNA mikobakteri. Memiliki sifat antimikroba tetapi mekanisme aksi belum
diketahui secara pasti. Pasien yang resisten atau menolak mengkonsumsi
klofazimin dapat digantikan dengan Ofloksasin dan Miosiklin.
Pada pasien ini diberikan pengobatan reaksi ENL dikarenakan pada
pemeriksaan didapatkan Nodus (+) di wajah dan badan yang terasa nyeri.
Pasien mendapat terapi kortikosteriod yaitu metilprednisolon 16 mg tablet
dua kali sehari. Dua minggu kemudian pasien kembali kontrol untuk
tapering off metilprednisolon 16 mg (1-½-0) untuk satu minggu pertama,
selanjutnya metilprednisolon 16 mg (1 tab) untuk satu minggu kedua.
Pengobatan pada pasien dengan tipe ENL obat yang paling sering dipakai
ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednisolon. Dosisnya bergantung
pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisolon 15-30 mg sehari, kadang-
kadang lebih. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedatif atau
bila berat penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan
kortikosteroid dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau
obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga
penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus menerus.

50
Tabel 4.2 perbedaan Reaksi tipe 1, 2, dan kasus
No Gejala tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2 Kasus
1 Tipe kusta Dapat terjadi pada Hanya pada Kusta tipe MB
kusta tipe PB kusta tipe
maupun MB MB
2 Waktu Biasanya segera Biasanya Pengobatan <6
timbulnya setelah setelah bulan
pengobatan mendapatkan
pengobatan
yang lama,
umumnya >6
bulan
3 Keadaan umum Umumnya baik, Ringan -
demam ringan sampai berat
(sub-febris) atau disertai
tanpa demam kelemahan
umum dan
demam tinggi
4 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul Timbul nodus
kulit menjadi lebih nodus terasa nyeri di
meradang kemerahan, wajah dan
(merah), bengkak, lunak, nyeri badan
berkilat, hangat. tekan.
Kadang-kadang Biasanya
hanya pada pada lengan
sebagian lesi. dan tungkai.
Dapat timbul Nodus tidak
bercak baru pecah
5 Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi Membesar di
umumnya berupa N. Ulnaris
nyeri saraf dan dextra
atau gangguan
fungsi saraf. Silent
neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-) -
ekstremitas
7 Peradangan Anestesi kornea Iritis, -
pada mata dan lagoftalmos iridosiklitis,
karena glaucoma,
keterlibatan N. V katarak, dll
dan N.VII
8 Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada -
pada organ lain testis, sendi,
ginjal,
kelenjar
getah bening

51
Diagnosis banding pada kasus adalah tinea corporis dan ptiriasis
versikolor. Tinea korporis, dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema,
skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang
erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah
satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing. Ptiriasis
versikolor, disebabkan oleh Malaize furfur. Gejala klinis Ptiriasis versikolor,
kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna – warni, bentuk tidak
teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular
dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita
peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball). Sedangkan pada kasus
tidak dilakukan pemeriksaan KOH untuk menentukan Tinea korporis dan
Ptiriasis Versicolor dikarenakan keluhan pasien saat ini terdapat bercak
merah yang punched out, BTA positif, dan pemeriksaan fisik terdapat
pembesaran saraf, hal tersebut sesuai dengan cardinal sign dari Morbus
Hansen, sehingga pasien diagnosis Morbus Hansen tipe Multibasiler dengan
reaksi tipe ENL. Secara gambaran klinis kedua penyakit tersebut
mempunyai kesamaan, seperti adanya makula hipopigmentasi pada kulit,
dan terkadang tidak memliki sensasi gatal lalu juga mempunyai predileksi
yang sama. Pasien juga diberikan obat ketokonazole krim 3x1. Krim
Derivat-derivatazol dioleskan 1-2 kali sehari selama 2-3 minggu. Efek
samping dari pengguanaan obat ini adalah rasa terbakar dan muncul rekasi
alergi. Berefek fungisidal 3 hari setelah pemakaian dan sebagian kecil
dimetabolisme di hati dan keluar melalui empedu. Pada penggunaan secara
topikal akan menimbulkan rasa tersengat, eritema, gatal, deskuamasi dan
urtikaria.

Tatalaksana non medikamentosa pada kasus ini berupa edukasi yang


diberikan kepada pasien mengenai penyakitnya dan rencana pengobatan
yang berkepanjangan (selama 12-18 bulan), Menganjurkan untuk
mengkonsumsi obat secara teratur dan tidak menghentikan pengobatan
tanpa seizin dokter, menjaga kebersihan (hygiene) seperti rutin mengganti

52
baju dan mandi, menjaga selalu daya tahan tubuh sepeti mengkonsumsi
vitamin, istirahat yang cukup dan konsumsi makanan yang mengandung
banyak nutrisi (lepra berhubungan erat dengan kondisi sistem imunitas
seseorang), menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk tidak
menggunakan piring makan, sendok dan gelas yang sama dengan anggota
keluarga yang lain (mencegah penularan kusta pada orang lain) serta
menyarankan pasien untuk menggunakan sabun mandi yang mengandung
banyak pelembab seperti sabun bayi karena kulit pasien yang kering.

Prognosis pada pasien ini bergantung pada kepatuhan terhadap


pengobatan, faktor predisposisi yang dapat diketahui serta berat-ringannya
lesi yang ditemukan. Berdasarkan tiga hal tersebut maka prognosis pada
pasien ini untuk vitam adalah bonam, fungsionam adalah dubia bonam,
sanationam adalah dubia ad bonam, dan kosmetik adalah dubia ad bonam
karena pada pasien didapatkan keadaan umum pasien baik, pasien memiliki
pendidikan yang cukup mampu memahami pentingnya pengobatan jangka
panjang terhadap penyakitnya, tidak terjadi kecacatan yang ditimbulkan
oleh penyakit Morbus Hansen.

53

Anda mungkin juga menyukai