TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Lepra, atau kusta, atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik
granulomatosa dan sekuele yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M.
Leprae), terutama mengenai saraf perifer, namun dapat juga mengenai kulit
dan kadang jaringan lain seperti mata, mukosa traktus respiratorius atas, otot,
tulang, sendi dan testis.1
2.1.2 Epidemiologi
2
dalam urin. Sputum dapat mengandung M.Leprae yang berasal dari traktus
rerspiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi lesi pertama.
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan terhadap orang
dewasa. Di Indonesia diperkirakan anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
terdapat dalam kelompok umur 25-35 tahun. Frekuensi pada wanita dan laki-
laki sama.1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar dipermulaan 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121
negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang dan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. Distribusi
tidak merata, yang tertinggi antara lain pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan
Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.2 Jumlah
kasus baru kusta di Sumatera Selatan adalah 296 jiwa (3,9%) pada 2011, 67
jiwa (0,87%) pada 2012 dan meningkat menjadi 196 jiwa (2,49%) pada tahun
2013.
2.1.3 Etiologi
3
2.1.4 Patofisiologi
2.1.5 Klasifikasi
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
4
yang meninggi, Hipopigmentasi/eritema simetris
infiltrate, plak
Distribusi tidak simetris
eritem, nocus)
dipersarafi oleh
saraf yang terkena
5
disertai lesi satelit di pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan
kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu
menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya
bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif
menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut
juga dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak
ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada
bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun
asimetris. Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak
terjadi.
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula
kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak
menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
Lesi
6
asimetris
BTA
Lesi
7
Jumlah Banyak Banyak tapi Beberapa,
distribusi luas, kulit sehat kulit sehat (+)
praktis tidak masih ada
ada kulit sehat
BTA
8
Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) penderita. Bila SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya jika SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk yaitu:
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline Tuberculoid
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
9
tipenya. Begitu juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada
beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana
lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi,
lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang sederhana misalnya jarum,
kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air dingin, pensil tinta
dan sebagainya.
Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Buatlah diagnosis
banding dengan banyak penyakit kulit lainnya. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan
diagnosis, mesikipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba
dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian
terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung
reaksi.1
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak.
yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan
dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di
daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita
yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya.
Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan menggunakan Voluntary Muscle
Test (VMT).
Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah
pembesaran, konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan.
Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N.
fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa
kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
10
Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M. Leprae yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama
kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Antara
lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.2Gejala-gejala kerusakan
saraf :
1. N. Ulnaris:
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis
Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
2. N. medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. Radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior
Anestesia telapak kaki
Claw toes
11
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. N. trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.
fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian
atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-
sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia
akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.2 Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid
dan kusta tipe neural:
1. Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang
pertama dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis
berbentuk nodus yag berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps
sensitif atau relaps resisiten.
2. Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut:
Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
Ada satu atau lebih pembesara saraf
12
Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang
disarafinya
Bakterioskopik negatif
Tes Mitsuda umumnya positif
Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau
tipe borderline atau nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan
histopatologik saraf.
13
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP).
2) Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
14
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.1
3) Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak
jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).
15
Gambar 2.1. Alur diagnosis dan klasifikasi kusta (Depkes, 2012) 4
16
sepanjang spektrum, terutama pada tipe borderline (tipe BT, BB, BL
yang mempunyai status imunologi tidak stabil). Arah pergeseran
spektrum dapat ke dua arah yaitu:
a. Pergeseran ke arah kutub tuberkuloid, dimana terjadi peningkatan
imunitas seluler disebut reaksi reversal. Tipe ini biasanya terjadi
setelah penyakit diobati.
b. Pergeseran ke arah kutub lepromatosa, dimana terjadi penurunan
imunitas seluler disebut reaksi downgrading. Tipe ini hanya terjadi
pada pasien yang tidak mendapat pengobatan adekuat, dan pada pria
sering dipresipitasi oleh pubertas, sedang pada wanita dipresipitasi
oleh kehamilan dan melahirkan.
2. Reaksi tipe 2 ( ENL)
Reaksi ini merupakan imunitas humoral, dan terjadi pergeseran tipe
lepra sepanjang spektrum. Reaksi tipe 2 terjadi akibat reaksi antigen-
antibodi disertai pembentukan kompleks imun pada tempat depot
antigen di berbagai jaringan. Ini menyebabkan terjadinya peradangan
akut dimana fokus basil lepra. Reaksi ENL terjadi pada pasien lepra tipe
LL, dan kadang pada tipe BL.1
3. Reaksi tipe 3 (Lucio phenomenon)
Reaksi ini hanya terjadi pada Lucio leprosy yaitu bentuk murni dari tipe
LL, merupakan reaksi paling berat.1
17
kemungkinanan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk
respon imun humoral, berupa fenomena kompeks imun akibat reaksi antara
antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian
akan menghasilkan komplek imun.2
Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik. Dengan
terbentuknya kompleks imun ini maka ENL termasuk di dalam golongan
penyakit komplek imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat
antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar antibodi imunoglobulin
penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini
terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak
daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobatan
tahun kedua. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan
hancur yang kemudian kuman – kuman lepra ini akan menjadi antigen, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun ini terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai
organ.2
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ
lain dapat mengakibatkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.
ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat
diterangkan secara imunologik.1
Pada reaksi ENL tidak terjadi perubahan tipe kusta, lain halnya
dengan reaksi reversal yang terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB,
BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan
utama dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas seluler, yaitu bila
terjadi peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya
belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat
kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan
saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
18
memadai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas yang memiliki peranan
untuk menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk
borderline ini dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik
turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS juga.
Begitu pula reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan
disertai peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.1
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema menjadi
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat semakin infiltrat lagi,
dan lesi lama menjadi bertambah luas. 1
Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan karena sangat
menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala
neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.2
2.1.9 Diagnosis
19
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari
biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis
versikolor, Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma
annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,
psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada
lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh
yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis
idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas.
Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto,
anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena
melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural
berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai
efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan
pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin.
Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan
diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik
20
terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter
hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler.
Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang
terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis
anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau
simetris. Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia
eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo
lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih
tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih
yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya
terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu
vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal
ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata,
vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu
pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir
menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor, disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya
adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor
yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur
merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu
faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat
rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu,
kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh
terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang
bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai
efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis,
bercak berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas
sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan
berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal
21
ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti
and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema,
skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang,
terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak –
bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center
healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang
mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna
merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya
diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya
sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan
liken planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif.
Ditandai dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan
lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak –
bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya,
eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak
merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat
konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel
pilosebaseayang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala
klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit,
berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik
dan saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak
menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan
kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf
22
dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan,
dan jari – jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada
urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis,
cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis
menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan
sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan
defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan.
Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.
2.1.10 Tatalaksana
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diamniodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif
yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.1
Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah
menggunakan multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk
kusta baru dimulai pada tahun 1971. Pada saat ini ada berbagai macam dan
cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO,
dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang
paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS karena DDS adalah obat
antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai
dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial
ekonomi rendah.
23
Efek samping obat
Ketersediaan obat
Harga obat
Kemungkinan penerapannya
1. DDS
DDS pada 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi. Resistensi
hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pseudobasilar
oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi
primer terjadi apabila, ditulari oleh M.leprae yang telah resisten dan
manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL)
bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih
dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi sedangkan pada
derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder dari DDS dapat terjadi karena monoterapi DDS,
dosis yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, minum obat tidak
adekuat baik dosis maupun lama pemberiannya, pengobatan terlalu
lama, setelah 4-24 tahun. Efek samping DDS antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer,
sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksis, hepatitis, hipoalbuminemia
dan methemoglibinemia.1
2. Rifampisin
Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi salah satu komponen
kombinasi DDS dengan dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap
hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan tidak boleh
diberikan setiap minggu karena efek sampingnya. Efek samping yang
24
dapat terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal,
flu-like syndrome, dan erupsi kulit.2
3. Klofazimin (lampren)
Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti
sehingga dapat digunakan pada penanggulangan ENL dengan dosis yang
lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul
setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus telah dibuktikan
pada tahun 1982. Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit
menjadi merah kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera,
sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis yang lebih besar. Hal ini bisa
terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna yang dideposit terutama
pada sel sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi
bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak penggunaan
obat dihentikan. Efek samping lain yang terjadi karena penggunaan
dosis besar adalah nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan
vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.
4. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia
obat ini jarang digunakan. Distribusi protionamid di dalam tubuh tidak
merata sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.
5. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang panting aktif
terhadap. Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah
400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai
gangguan susuanan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang
membutuhkan penghentian pemakainan obat. Penggunaan pada anak,
25
remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena dalam
percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibatkan atropati.2
6. Minosiklin
Termasuk kedalam golongan tetrasiklin, mempunyai efek
bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah
dibandingkan rifampisin. Dosis harian yang bisa diberikan adalah 100
mg. Efek samping dari penggunaan minoksidil adalah sama seperti
tertrasiklin dapat mengakibatkan berubahnya warna gigi pada anak,
kadang-kadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran
mukosa, berbagai saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk
dizzined, dan unsteadiness. Oleh sebab itu minosiklin tidak boleh
diberikan pada anak-anak dan ibu yang hamil.
7. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
baktersid terhadap M leprae. Pada penderita kusta lepromatosa dosis
harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 200 mg.
MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA
positif) adalah:
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengunaannya harus diawasi
DDS 100 mg setiap hari
Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
26
pemeriksaan secara kinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal
setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiler ini
hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat
singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan
cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai
seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From
Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan)
secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun.
Kalau tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan
bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian
oral dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT dengan BTA negatif) adalah:
Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
DDS 100 mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,
berarti RFT setelah 6-9 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9
bulan. Selama pengobatan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopik kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis, dan
bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksaan RFC.
Apabila RFT telah tercapai tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis,
penderita tidak lagi diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak
yang menganjurkan diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi
adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi
tunggal, pausibasiler dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasiler
dengan lesi lebih dari 5 buah.
27
Sebagai standar pengobatan. WHO Expert Committee pada tahun 1998
telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis
dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi
kulot 2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi
tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan
Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai
alasan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen
untuk situasi khusus.1
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten
pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal
ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400mg dan
minoksiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50
mg ditambah ofloksasin 400mg atau minoksiklin 100 mg setiap hari
selama 18 bulan.
Bagi penderita yang menolak klofamizin, dapat diberikan ofloksasin
400 mg/hari atau minosiklin 100mg/ hari selama 12 bulan. Alternatif lain
ialah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan sampai 24 bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisolon. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya
prednisolon 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya
makin tinggi dosisnya, tetapi perlu diberikan 15-30 mg sehari, kadang-
kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi
sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai
diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian
kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedatif
atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan
kortikosteroid dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul
28
kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu,
sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak
boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini
tidak didapat.1
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai
anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung
pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya
antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada
kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan
dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai
usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih
bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya
dihentikan.
Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama
penaggulangan ENL ini,obat-obat antikusta yang sedang diberikan
diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.
29
efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak
efektif untuk reaksi reversal.
Pemberian prednisolon
- minggu 1-2 : 40 mg
- minggu 3-4 : 30 mg
- minggu 5-6 : 20 mg
- minggu 7-8 : 15 mg
- minggu 9-10 : 10 mg
- minggu 11-12 : 5 mg
Pemberian lampren
ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan
pada steroid (pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0),
perlu ditambahakan klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3
bulan. Bila ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3
bulan. Jika ada perbaikan diturunkan menjadi 100mg/hari selama 2-3
bulan dan selanjutnya kembali ke dosis klofazimin semula, 50 mg/hari,
kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau dihentikan bila
penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisolon
diturunkan secara bertahap.
Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat
MDT mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau Prevention of
Disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena,
30
memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa
sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka ,
atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki
agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy (1997) membuat klasifikasi
cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta.
31