Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hansen

2.1.1 Definisi
Lepra, atau kusta, atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik
granulomatosa dan sekuele yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M.
Leprae), terutama mengenai saraf perifer, namun dapat juga mengenai kulit
dan kadang jaringan lain seperti mata, mukosa traktus respiratorius atas, otot,
tulang, sendi dan testis.1

Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.2 Kusta (leprae)
merupakan penyakit infeksi mikobakterium yang bersifat kronik progresif,
mula-mula menyerang saraf tepi dan kemudian terdapat manifestasi terhadap
kulit.2

2.1.2 Epidemiologi

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain tersebar di


seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia
termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. 1
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan
belum diketahu pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara
inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan
di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat

2
dalam urin. Sputum dapat mengandung M.Leprae yang berasal dari traktus
rerspiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi lesi pertama.
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan terhadap orang
dewasa. Di Indonesia diperkirakan anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
terdapat dalam kelompok umur 25-35 tahun. Frekuensi pada wanita dan laki-
laki sama.1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar dipermulaan 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121
negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang dan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. Distribusi
tidak merata, yang tertinggi antara lain pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan
Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.2 Jumlah
kasus baru kusta di Sumatera Selatan adalah 296 jiwa (3,9%) pada 2011, 67
jiwa (0,87%) pada 2012 dan meningkat menjadi 196 jiwa (2,49%) pada tahun
2013.

2.1.3 Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacteruym leprae yang ditemukan oleh


G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.leprae berbentuk kuman dengan
ukuran 3-8 um x 0,5 um, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram. Cara
penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu
melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua
adalah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet.1

3
2.1.4 Patofisiologi

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae pada


kaki mencit dan berkembang biak disekitar tempat suntikan. Dari berbagai
macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak
ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum
M.leprae yang disuntikkan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak
berarti meningkatkan perkembangbiakan.1
Sebenarnya M.Leprae mempunyai patogenesitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitas infeksinya.1
Basil ini bersifat obligat intraseluler (hidup dalam sel) terutama sel
makrofag dan sel Schwann. Organ yang diserang terutama saraf dan kulit.
Untuk pertumbuhan basil memerlukan tempat dingin di tubuh seperti hidung,
testis, cuping telinga dan saraf perifer yang dekat kulit.

2.1.5 Klasifikasi

Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler


(indeterminate dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan
lepromatous).

Tabel 2.1 Diagnosis Klinis menurut WHO1

PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)

Lesi kulit (makula 1-5 lesi >5 lesi


yang datar, papul
Distribusi lebih

4
yang meninggi, Hipopigmentasi/eritema simetris
infiltrate, plak
Distribusi tidak simetris
eritem, nocus)

Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya sensasi


(menyebabkan jelas kurang jelas
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

dipersarafi oleh
saraf yang terkena

BTA Negatif Positif

Tipe Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),


Tuberkuloid (T), Borderline
Borderline tuberkuloid lepromatous (BL), Mid
(BT) borderline (BB)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi


menjadi:2

a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula


eritema. Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita
mengalami kesembuhan spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap
pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka akan berubah
menjadi bentuk yang lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu
plak eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah,
ekstremitas, intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik,
dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami
anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid,
namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang

5
disertai lesi satelit di pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan
kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu
menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya
bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif
menuju bentuk lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut
juga dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak
ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada
bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun
asimetris. Dapat terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak
terjadi.
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula
kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak
menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.

Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB2

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate


Tuberkuloid
(TT) (I)
(BT)

Lesi

Bentuk Makula atau Makula dibatasi Hanya infiltrat


makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja

Jumlah Satu atau Satu dengan Satu atau


beberapa lesi satelit beberapa

Distribusi Terlokasi dan Asimetris Bervariasi

6
asimetris

Permukaan Kering,skuama Kering, Halus agak


skuama berkilat

Anestesia Jelas Jelas Tidak ada


sampai tidak
jelas

Batas Jelas Jelas Dapat jelas


atau tidak
jelas

BTA

Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau Biasanya


1+ negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif


lemah atau
negatif

*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru


dapat diketahui setelah 3 minggu

Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB2


Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline
(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)

Lesi

Bentuk Makula, Makula, plak, Plak, lesi


infiltrat difus, papul bentuk kubah,
papul, nodus lesi punched
out

7
Jumlah Banyak Banyak tapi Beberapa,
distribusi luas, kulit sehat kulit sehat (+)
praktis tidak masih ada
ada kulit sehat

Distribusi Simetris Cenderung Asimetris


simetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit


berkilap,
beberapa lesi
kering

Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

BTA

Pada lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak

Sekret hidung Banyak Biasanya tidak Tidak ada


ada

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya


negatif

2.1.6 Gejala Klinis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopik,


histopatologis dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinis lah
yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopik memerlukan
waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari.
Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi
yang sesuai.3

8
Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) penderita. Bila SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya jika SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk yaitu:

TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti : Tuberkuloid indefinite

BT : Borderline Tuberculoid

BL : Borderline lepromatous

Li : Lepromatosa indefinite

LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Diagnosis lepra biasanya atas dasar gambaran klinis dibantu


pemeriksaan BTA dari lesi dan pemeriksaan histopatologis. Diagnosis lebih
mudah dibuat. Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan 2 dari 3 tanda
kardinal pertama atau ditemukan BTA.1 Tanda kardinal lepra meliputi:
1. Anestesia : pada daerah yang terkena
2. Pembesaran saraf: pada tempat predileksi
3. Lesi kulit : lesi tuberkuloid pada pasien berkulit gelap berwarna
hipopigmentasi, baik makular ataupun infiltratif. Pada pasien berkulit
terang berwarna seperti tembaga atau merah
4. Pemeriksaan laboratorium pada lesi lepra ditemukan BTA
Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada
kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat
bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan kepada hasil
pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan
hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan
diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan
sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda

9
tipenya. Begitu juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada
beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana
lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi,
lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang sederhana misalnya jarum,
kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air dingin, pensil tinta
dan sebagainya.
Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Buatlah diagnosis
banding dengan banyak penyakit kulit lainnya. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan
diagnosis, mesikipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba
dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian
terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung
reaksi.1
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak.
yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan
dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di
daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita
yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya.
Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan menggunakan Voluntary Muscle
Test (VMT).
Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah
pembesaran, konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan.
Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N.
fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa
kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

10
Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M. Leprae yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya
yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama
kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Antara
lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.2Gejala-gejala kerusakan
saraf :
1. N. Ulnaris:
 Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
 Clawing kelingking dan jari manis
 Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
2. N. medianus
 Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah
 Tidak mampu aduksi ibu jari
 Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
 Ibu jari kontraktur
 Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. Radialis
 Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
 Tangan gantung (wrist drop)
 Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
 Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
 Kaki gantung (foot drop)
 Kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior
 Anestesia telapak kaki
 Claw toes

11
 Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
 Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
 Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. N. trigeminus
 Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
 Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.
fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian
atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-
sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia
akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.2 Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid
dan kusta tipe neural:
1. Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang
pertama dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis
berbentuk nodus yag berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps
sensitif atau relaps resisiten.
2. Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut:
 Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit
 Ada satu atau lebih pembesara saraf

12
 Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang
disarafinya
 Bakterioskopik negatif
 Tes Mitsuda umumnya positif
 Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau
tipe borderline atau nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan
histopatologik saraf.

Pemeriksaan Fungsi Saraf


1) Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
- Rasa tajam
- Suhu
2) Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis, yaitu:
a) Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
b) Tes Pilokarpin
c) Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,
n.radialis, dan n. peroneus

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaaan bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)


Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah

13
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan


dengan jumlah solid dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100


BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA
harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan.

2) Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses

14
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan
dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak
dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur
tersebut.1

3) Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak
jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).

15
Gambar 2.1. Alur diagnosis dan klasifikasi kusta (Depkes, 2012) 4

2.1.8 Reaksi kusta


Reaksi lepra adalah timbulnya gejala dan tanda peradangan akut pada
lesi pasien lepra. Reaksi merupakan penyebab utama kerusakan saraf.
Peradangan ini disebabkan oleh sistem imun tubuh yang menyerang lepra.
Ada 3 macam reaksi yaitu:1
1. Reaksi tipe 1 (reaksi reversal dan downgrading)
Reaksi tipe I ini merupakan hipersensitivitas seluler disebabkan oleh
peningkatan aktivitas sistem imun tubuh dalam melawan basil lepra
termasuk basil yang mati. Pada reaksi ini dapat terjadi perubahan derajat
imunitas seluler, dimana penyakit mengalami pergeseran tipe lepra

16
sepanjang spektrum, terutama pada tipe borderline (tipe BT, BB, BL
yang mempunyai status imunologi tidak stabil). Arah pergeseran
spektrum dapat ke dua arah yaitu:
a. Pergeseran ke arah kutub tuberkuloid, dimana terjadi peningkatan
imunitas seluler disebut reaksi reversal. Tipe ini biasanya terjadi
setelah penyakit diobati.
b. Pergeseran ke arah kutub lepromatosa, dimana terjadi penurunan
imunitas seluler disebut reaksi downgrading. Tipe ini hanya terjadi
pada pasien yang tidak mendapat pengobatan adekuat, dan pada pria
sering dipresipitasi oleh pubertas, sedang pada wanita dipresipitasi
oleh kehamilan dan melahirkan.
2. Reaksi tipe 2 ( ENL)
Reaksi ini merupakan imunitas humoral, dan terjadi pergeseran tipe
lepra sepanjang spektrum. Reaksi tipe 2 terjadi akibat reaksi antigen-
antibodi disertai pembentukan kompleks imun pada tempat depot
antigen di berbagai jaringan. Ini menyebabkan terjadinya peradangan
akut dimana fokus basil lepra. Reaksi ENL terjadi pada pasien lepra tipe
LL, dan kadang pada tipe BL.1
3. Reaksi tipe 3 (Lucio phenomenon)
Reaksi ini hanya terjadi pada Lucio leprosy yaitu bentuk murni dari tipe
LL, merupakan reaksi paling berat.1

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan


penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum
diketahui dengan pasti sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum
jelas tersebut akan diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun
tubuh kita dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun
patologik dan reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat
dibedakan menjadi eritema nodosum leprosum (ENL) dan reaksi reversal
atau reaksi upgrading.2
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada
BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar

17
kemungkinanan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk
respon imun humoral, berupa fenomena kompeks imun akibat reaksi antara
antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian
akan menghasilkan komplek imun.2
Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik. Dengan
terbentuknya kompleks imun ini maka ENL termasuk di dalam golongan
penyakit komplek imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat
antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar antibodi imunoglobulin
penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini
terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak
daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobatan
tahun kedua. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan
hancur yang kemudian kuman – kuman lepra ini akan menjadi antigen, serta
mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun ini terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai
organ.2
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ
lain dapat mengakibatkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,
limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.
ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat
diterangkan secara imunologik.1
Pada reaksi ENL tidak terjadi perubahan tipe kusta, lain halnya
dengan reaksi reversal yang terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB,
BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan
utama dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas seluler, yaitu bila
terjadi peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya
belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat
kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan
saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang

18
memadai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas yang memiliki peranan
untuk menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk
borderline ini dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik
turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS juga.
Begitu pula reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan
disertai peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.1
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema menjadi
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat semakin infiltrat lagi,
dan lesi lama menjadi bertambah luas. 1
Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan karena sangat
menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala
neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.2

2.1.9 Diagnosis

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena


memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign),
yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat
tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau
eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada
bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan
rasa nyeri.
2.Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

19
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi
kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari
biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.

Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis
versikolor, Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma
annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,
psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada
lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh
yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis
idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas.
Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto,
anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena
melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural
berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai
efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan
pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin.
Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan
diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik

20
terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter
hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler.
Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang
terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis
anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau
simetris. Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia
eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo
lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih
tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih
yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya
terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu
vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal
ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata,
vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu
pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir
menyeluruh merupakan vitiligo total.
Ptiriasis versikolor, disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya
adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor
yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur
merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu
faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat
rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu,
kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh
terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang
bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai
efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis,
bercak berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas
sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan
berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal

21
ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti
and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema,
skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang,
terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak –
bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center
healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang
mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna
merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya
diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya
sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan
liken planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif.
Ditandai dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan
lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak –
bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya,
eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak
merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat
konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel
pilosebaseayang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala
klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit,
berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik
dan saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak
menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan
kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf

22
dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan,
dan jari – jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada
urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis,
cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis
menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan
sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan
defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan.
Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

2.1.10 Tatalaksana
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diamniodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif
yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.1
Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah
menggunakan multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk
kusta baru dimulai pada tahun 1971. Pada saat ini ada berbagai macam dan
cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO,
dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang
paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS karena DDS adalah obat
antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai
dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial
ekonomi rendah.

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:

 Mencegah dan mengobat resistensi


 Memperpendek masa pengobatan
 Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

 Efek terapeutik obat

23
 Efek samping obat
 Ketersediaan obat
 Harga obat
 Kemungkinan penerapannya

1. DDS
DDS pada 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi. Resistensi
hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pseudobasilar
oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat.
Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi
primer terjadi apabila, ditulari oleh M.leprae yang telah resisten dan
manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL)
bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih
dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi sedangkan pada
derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder dari DDS dapat terjadi karena monoterapi DDS,
dosis yang terlalu rendah, minum obat tidak teratur, minum obat tidak
adekuat baik dosis maupun lama pemberiannya, pengobatan terlalu
lama, setelah 4-24 tahun. Efek samping DDS antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer,
sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksis, hepatitis, hipoalbuminemia
dan methemoglibinemia.1

2. Rifampisin
Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi salah satu komponen
kombinasi DDS dengan dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap
hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan tidak boleh
diberikan setiap minggu karena efek sampingnya. Efek samping yang

24
dapat terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal,
flu-like syndrome, dan erupsi kulit.2

3. Klofazimin (lampren)
Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti
sehingga dapat digunakan pada penanggulangan ENL dengan dosis yang
lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul
setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus telah dibuktikan
pada tahun 1982. Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit
menjadi merah kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sklera,
sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis yang lebih besar. Hal ini bisa
terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna yang dideposit terutama
pada sel sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi
bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak penggunaan
obat dihentikan. Efek samping lain yang terjadi karena penggunaan
dosis besar adalah nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan
vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.
4. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia
obat ini jarang digunakan. Distribusi protionamid di dalam tubuh tidak
merata sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.
5. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang panting aktif
terhadap. Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah
400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh
kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai
gangguan susuanan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang
membutuhkan penghentian pemakainan obat. Penggunaan pada anak,

25
remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena dalam
percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibatkan atropati.2

6. Minosiklin
Termasuk kedalam golongan tetrasiklin, mempunyai efek
bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah
dibandingkan rifampisin. Dosis harian yang bisa diberikan adalah 100
mg. Efek samping dari penggunaan minoksidil adalah sama seperti
tertrasiklin dapat mengakibatkan berubahnya warna gigi pada anak,
kadang-kadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran
mukosa, berbagai saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk
dizzined, dan unsteadiness. Oleh sebab itu minosiklin tidak boleh
diberikan pada anak-anak dan ibu yang hamil.
7. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
baktersid terhadap M leprae. Pada penderita kusta lepromatosa dosis
harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek diare yang terbukti sering
ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 200 mg.

MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA
positif) adalah:
 Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengunaannya harus diawasi
 DDS 100 mg setiap hari
 Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.

Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36


bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis
harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus
dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan

26
pemeriksaan secara kinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal
setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasiler ini
hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat
singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan
cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai
seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From
Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan)
secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun.
Kalau tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan
bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian
oral dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT dengan BTA negatif) adalah:
 Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
 DDS 100 mg setiap hari
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,
berarti RFT setelah 6-9 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9
bulan. Selama pengobatan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopik kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis, dan
bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksaan RFC.
Apabila RFT telah tercapai tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis,
penderita tidak lagi diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak
yang menganjurkan diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi
adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi
tunggal, pausibasiler dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasiler
dengan lesi lebih dari 5 buah.

27
Sebagai standar pengobatan. WHO Expert Committee pada tahun 1998
telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis
dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi
kulot 2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi
tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan
Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai
alasan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen
untuk situasi khusus.1
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten
pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal
ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400mg dan
minoksiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50
mg ditambah ofloksasin 400mg atau minoksiklin 100 mg setiap hari
selama 18 bulan.
Bagi penderita yang menolak klofamizin, dapat diberikan ofloksasin
400 mg/hari atau minosiklin 100mg/ hari selama 12 bulan. Alternatif lain
ialah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan sampai 24 bulan.

Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisolon. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya
prednisolon 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya
makin tinggi dosisnya, tetapi perlu diberikan 15-30 mg sehari, kadang-
kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi
sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai
diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian
kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedatif
atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan
kortikosteroid dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul

28
kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu,
sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak
boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini
tidak didapat.1
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai
anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung
pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya
antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada
kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan
dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai
usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih
bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya
dihentikan.
Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama
penaggulangan ENL ini,obat-obat antikusta yang sedang diberikan
diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal


Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab
kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi
dosisnya. Biasanya diberikan prednisolon 40 mg sehari, kemudian
diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan
dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara
mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang

29
efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak
efektif untuk reaksi reversal.
Pemberian prednisolon
- minggu 1-2 : 40 mg
- minggu 3-4 : 30 mg
- minggu 5-6 : 20 mg
- minggu 7-8 : 15 mg
- minggu 9-10 : 10 mg
- minggu 11-12 : 5 mg
Pemberian lampren
ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan
pada steroid (pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0),
perlu ditambahakan klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3
bulan. Bila ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3
bulan. Jika ada perbaikan diturunkan menjadi 100mg/hari selama 2-3
bulan dan selanjutnya kembali ke dosis klofazimin semula, 50 mg/hari,
kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau dihentikan bila
penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisolon
diturunkan secara bertahap.

Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat
MDT mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau Prevention of
Disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila
terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena,

30
memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa
sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka ,
atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki
agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy (1997) membuat klasifikasi
cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta.

Cacat pada tangan dan kaki

 Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada


kerusakan atau deformitas yang terlihat
 Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan
atau deformitas yang terlihat
 Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

 Tingkat 0 : tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus)


 Tingkat 1 : ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi
tidak terlihat, visus sedikit berkurang
 Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat dan atau
visus yang sangat terganggu
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya
tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik
dapat diperbaiki.
Cara lain ialah dengan cara kekaryaan yaitu dengan memberi
lapangan pekerjaan yang sesuai untuk cacat tubuhnya, sehingga dapat
berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri selain itu dapat
dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1

31

Anda mungkin juga menyukai