PENDAHULUAN
1
Revisi 2017 Dalam Penentuan Tebal Lapis Perkerasan Pada Jalan Pancer
Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi”
2
3. Tidak memperhitungkan faktor biaya.
4. Hanya membahas perencanaan tebal lapis perkerasan.
3
---Halaman ini sengaja dikosongkan---
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Beban berlebih (overoading) adalah beban lalu-lintas rencana (jumlah
lintasan operasional rencana) tercapai sebelum umur rencana perkerasan ,atau
sering disebut dengan kerusakan dini (Iskandar, 2008).
Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Arteri
Kelas I Panjang ≤ 18.000 mm 10 Ton
Jalan Kolektor
Tinggi ≤ 4.200 mm
6
Lanjutan Tabel 2.1 Pembagian MST Menurut Kelas Jalan
Ukuran Kendaraan
Kelas Jalan Fungsi Jalan MST
Bermotor
Metode Bina Marga 1987 atau yang lebih dikenal dengan Metode
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987, merupakan metode yang bersumber dari
AASHTO ’72 dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi berbagai faktor seperti
kondisi alam, lingkungan, sifat tanah dasar, dan jenis lapis perkerasan yang
umumnya dipergunakan di Indonesia. Metode analisa komponen yang
dikembangkan Analisa Komponen tersebut mengatur metode perhitungan tebal
perkerasan untuk dua tipe jalan yaitu jalan baru dan perkuatan jalan lama. Prinsip
dasar perhitungan untuk kedua tipe jalan adalah sama. Metode ini merupakan
acuan yang digunakan di Indonesia modifikasi dari AASHTO ’72. Modifikasi
dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi alam, sifat tanah dasar dan jenis
7
lapisan yang umum dipakai di Indonesia. Parameter yang digunakan pada analisa
komponen adalah sebagai berikut:
Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki
tanda batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan
menurut Tabel 2.2.
8
Lanjutan Tabel 2.3 Koefisien Distribusi Kendaraan
Jumlah Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)
9
Lanjutan Tabel 2.4 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Kg Lb Kg Lb
10
2.3.1.2 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR
Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi.
Yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan. Jika
dilakukan menurut Pengujian Kepadatan Ringan (SKBI 3.3. 30.1987/UDC
624.131.43 (02) atau Pengujian Kepadatan Berat (SKBI 3.3. 30.1987/UDC
624.131.53 (02) sesuai dengan kebutuhan. Sementara ini dianjurkan untuk
mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya kepada pengukuran nilai CBR..
Harga yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan, ditentukan
sebagai berikut:
11
2.3.1.3 Faktor Regional (FR)
Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase,
bentuk alinyemen serta persentase kendaraan dengan berat 13 ton, dan kendaraan
yang berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata-rata per
tahun.
12
lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang
tersebut di bawah ini:
IP = 2,0: adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Catatan: Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT / jalan murah atau jalan
darurat maka IP dapat diambil 1,0.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta kekokohan)
pada awal umur rencana dapat dilihat pada Tabel 2.7.
13
Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
Roughness *)
Jenis Permukaan IPo
(mm/km)
LASTON ≥4 ≤ 1000
14
Tabel 2.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan
Kekuatan Bahan
Relatif Jenis Bahan
0,40 - - 744 - -
0,35 - - 590 - -
Laston
0,35 - - 454 - -
0,30 - - 340 - -
0,35 - - 744 - -
0,31 - - 590 - -
Lasbutag
0,28 - - 454 - -
- 0,28 - 590 - -
- 0,24 - 340 - -
- 0,13 - - 18 -
15
Lanjutan Tabel 2.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan
Kekuatan Bahan Jenis Bahan
Relatif
a1
a1 a2 a3 a1 a2 a3
- 0,13 - - 18 -
Tanah/lempung
- - 0,10 - - 20
kepasiran
≥ 10,00 10 Laston
b. Batas-batas minimum pada lapis pondasi dapat dilihat pada Tabel 2.10
16
Tabel 2.10 Batas Minimum Lapis Pondasi
Tebal Minimum
ITP Bahan
(cm)
10 Laston Atas
15 Laston Atas
Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum
adalah 10 cm.
Untuk mencari nilai ITP dari berbagai jenis nomogram dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
17
18
19
20
21
Gambar 2.2 Nomogram Penentuan ITP
Sumber : Bina Marga, 1987
22
Umur rencana untuk perkerasan lentur jalan baru umumnya diambil 20
tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun. Umur rencana yang lebih besar dari
20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu-lintas yang terlalu besar
dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.
Untuk merencanakan umur rencana perkerasan baru dapat dilihat pada
Tabel 2.11
Catatan :
1. Jika dianggap sulit dalam menggunakan rumus rencana diatas, maka dapat
digunakan umur rencana berbeda, namun sebelumnya harus dilakukan
analisis dengan discounted lifecycle cost yang dapat menunjukkan bahwa
umur rencana tersebut dapat memberikan discounted lifecycle cost
terendah. . Nilai bunga diambil dari nilai bunga rata-rata dari Bank
Indonesia, yang dapat diperoleh dari
http://www.bi.go.id/web/en/Moneter/BI+Rate/Data+BI+Rate/.
2. Umur rencana harus memperhitungkan kapasitas jalan.
23
2.3.2.2 Faktor Distribusi Lajur dan Faktor Distribusi Arah
Beban lalu-lintas pada lajur rencana dinyatakan dalam kumulatif beban
gandar standar (ESA) dengan memperhitungkan faktor distribusi arah (DD) dan
faktor distribusi lajur (DL). Untuk jalan dua arah, faktor distribusi arah (DD)
umumnya diambil 0,50 kecuali pada lokasi-lokasi yang jumlah kendaraan niaga
cenderung lebih tinggi pada satu arah tertentu (Bina Marga, 2017). Dari beberapa
penelitian menunjukkan bahwa (DD) bervariasi dari 0,3 – 0,7 tergantung arah
mana yang ‘berat’ dan ‘kosong’.
Faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif
(ESA) pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah. Pada jalan yang
demikian, walaupun sebagian besar kendaraan niaga akan menggunakan lajur
luar, sebagian lainnya akan menggunakan lajur-lajur dalam. Faktor distribusi lajur
jalan yang ditunjukkan pada Tabel 2.12
1 100
2 80
3 60
4 50
24
ekivalen sumbu melalui jumlah repitisi beban lalu lintas (dalam satuan 𝐸𝑆𝐴) yang
akan diperkirakan melintas dalam kurun waktu tertentu (McCallum, 2011).
Dalam Manual Desain Perkerasan Metode Bina Marga Revisi 2017, beban
lalu-lintas dikonversi ke beban standar (ESA) dengan menggunakan Faktor
Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor) yang ditunjukan pada Tabel 2.3 dan
Tabel 2.13. Analisis struktur perkerasan dilakukan berdasarkan jumlah kumulatif
ESA pada lajur rencana sepanjang umur rencana (Bina Marga, 2017).
Desain yang akurat memerlukan perhitungan beban lalu-lintas yang akurat
pula. Studi atau survey beban gandar yang dirancang dan dilaksanakan dengan
baik merupakan dasar perhitungan ESA yang andal (Bina Marga, 2017).
Data beban gandar dapat diperoleh:
1. Jembatan timbang, timbangan statis atau WIM (survey langsung)
2. Survey beban gandar pada jembatan timbang atau WIM yang pernah
dilakukan dan dianggap cukup representative.
3. Data WIM Regional yang dikeluarkan oleh Ditjen Bina Marga
25
Tabel 2.13 Nilai VDF Masing-Masing Jenis Kendaraan Niaga
Bali, Nusa Tenggara,
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
Jenis
Beban Beban Beban Beban Beban Normal
Kendara Normal Normal Normal Normal
aktual aktual aktual aktual aktual
an
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
5B 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
6A 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5
6B 4,5 7,4 3,4 4,6 5,3 9,2 4,0 5,1 4,8 8,5 3,4 4,7 4,9 9,0 2,9 4,0 3,0 4,0 2,5 3,0
7A1 10,1 18,4 5,4 7,4 8,2 14,4 4,7 6,4 9,9 18,3 4,1 5,3 7,2 11,4 4,9 6,7 - - - -
7A2 10,5 20,0 4,3 5,6 10,2 19,0 4,3 5,6 9,6 17,7 4,2 5,4 9,4 19,1 3,8 4,8 4,9 9,7 3,9 6,0
7C1 15,9 29,5 7,0 9,6 11,0 19,8 7,4 9,7 11,7 20,4 7,0 10,2 13,2 25,5 6,5 8,8 14,0 11,9 10,2 8,0
7C2A 19,8 39,0 6,1 8,1 17,7 33,0 7,6 10,2 8,2 14,7 4,0 5,2 20,2 42,0 6,6 8,5 - - - -
26
Lanjutan Tabel 2.13 Nilai VDF Masing-Masing Jenis Kendaraan Niaga
Bali, Nusa Tenggara,
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
VDF 4
VDF 5
7C2B 20,7 42,8 6,1 8,0 13,4 24,2 6,5 8,5 - - - - 17,0 28,8 9,3 13,5 - - - -
7C3 24,5 51,7 6,4 8,0 18,1 34,4 6,1 7,7 13,5 22,9 9,8 15,0 28,7 59,6 6,9 8,8 - - - -
27
Tabel 2.14 Nilai VDF Masing-Masing Jenis Kendaraan Niaga
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
2
Muatan yang diangkut
motor
Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon
6a.1 6.1 Truk 2 sumbu-cargo ringan 1.1 Muatan umum 2 0,3 0,2
4,6 6,60
6a.2 6.2 Truk 2 sumbu-ringan 1.2 Tanah,pasir,besi,semen 2 0,8 0,8
6b1.1 7.1 Truk 2 sumbu-cargo sedang 1.2 Muatan umum 2 - - 0,7 0,7
28
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
Muatan2 yang diangkut
motor
Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon
7a1 9.1 Truk 3 sumbu -ringan 1.22 Muatan umum 3 3,9 5,60 7,6 11,2
29
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
Muatan2 yang diangkut
motor
Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon
7a2 9.2 Truk 3 sumbu-sedang 1.22 Tanah,pasir,besi,semen 3 3,9 5,60 28,1 64,4
30
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
Muatan2 yang diangkut
motor
Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon
31
2.4.2.2 Beban Sumbu Standar Kumulatif
Beban sumbu standard kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle
Load (CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban lalu-lintas desain pada lajur
desain selama umur rencana (Bina Marga, 2017), yang ditentukan dengan
persamaan 2.6
ESATH-1 = LHR JK VDFJK 365 DD DL R ............................. (2.6)
Dengan :
ESATH-1 : kumulatif lintasan sumbu standard ekivalen
(Ekivalent standard axle) pada tahun pertama.
LHRJK : lintasan harian rata-rata tiap jenis kendaraan niaga
(satuan kendaraan per hari).
VDFJK : factor ekivalen beban (Vehicle Damage Factor) tiap
jenis kendaraan niaga Tabel 2.13 dan Tabel 2.14
DD : Faktor Distribusi arah
DL : Faktor Distribusi Lajur Tabel 2.15
CESAL : kumulatif beban sumbu standard ekivalen selama
umur rencana
R : Faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif
R
1 0,01i 1
UR
............................................................................. (2.7)
0,01i
Dengan:
R = faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif
i = laju pertumbuhan lalu-lintas tahunan (%)
UR = Umur rencana (tahun)
32
R
1 0,01i 1
UR
1 0,01i2
UR11 1 0,01i2 URUR1 1
1 0,01i2 (2.8)
0,01i 0,01i2
Dengan:
R = faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatof
i1 = laju pertumbuhan tahunan lalu-lintas periode 1(%)
i2 = laju pertumbuhan lalu-lintas tahunan (%)
UR = total umur rencana (tahun)
UR1 = umur rencana periode 1 (tahun)
AC dengan CTB 3 - - - 2 2
33
Lanjutan Tabel 2.15 Pemilihan Jenis Perkerasan
ESA (juta) dalam 20 tahun
Bagan (pangkat 4 kecuali ditentukan lain)
Struktur Perkerasan
Desain
0 - 0,5 0,1- 4 >4-10 0 - 0,5 >30-200
AC tebal ≥ 100 mm
dengan lapis fondasi 3B - - 1, 2 2 2
asli
34
1. Metode distribusi normal standar
Jika tersedia cukup data yang valid (minimum 10 titik data uji
persegmen yang seragam) persamaan 2.9 dapat digunakan
35
diperoleh dari langkah 3. Nilai CBR pada urutan tersebut
adalah nilai CBR karakteristik.
(b) Dari kumpulan data yang sudah diurutkan, hitung mulai
dari data yang terkecil hingga mencapai data diurutan yang
diperoleh dari langkah 3. Nilai CBR persentil ke-10 adalah
nilai rata-rata dari dua nilai CBR yaitu CBR pada urutan
tersebut dan urutan berikutnya.
36
Tabel 2.16 Desain Fondasi Jalan Minimum
Kelas kekuatan tanah Beban lalu-lintas pada lajur rencana dengan umur
CBR tanah dasar (%) Uraian struktur pondasi rencana 40 tahun (juta ESA5)
dasar Stabilisasi semen (6)
<2 2–4 >4
Tebal minimum perbaikan tanah dasar
≥6 SG6 Perbaikan tanah dasar dapat Tidak diperlukan perbaikan
5 SG5 berupa stabilisasi semen atau - - 100
4 SG4 material timbunan pilihan (sesuai 100 150 200 300
perkerasan untuk jalan raya minor (nilai Lapisan penopang berbutir (4)(5) 1000 1250 1500
minimum – ketentuan lain berlaku)
37
Catatan:
(1) Desain harus mempertimbangkan semua hal yang kritikal; syarat
tambahan mungkin berlaku
(2) Ditandai dengan kepadatan dan CBR lapangan yang rendah
(3) Menggunakan nilai CBR in-situ, karena nilai CBR rendaman tidak
relevan
(4) Permukaan lapis penopang diatas tanah SG1 dan gambut diasumsikan
mempunyai daya dukung setara nilai CBR 2,5%, dengan demikian
ketentuan perbaikan tanah SG2,5 berlaku.
(5) Tebal lapis penopang dapat dikurangi 300 mm jika tanah asal dipadatkan
pada kondisi kering.
(6) Untuk perkerasan kaku, material perbaikan tanah dasar berbutir halus
(klasifikasi A4 sampai A6) harus berupa stabilisasi semen.
38
Tabel 2.17 Bagan Desain 3 Perkerasan Lentur Opsi Biaya Minimum Dengan
CTB
F12 F2 F3 F4 F5
Untuk lalu-lintas
dibawah 10 juta
ESA5 lihat bagan Lihat Bagan Desain 4 untuk alternatif perkerasan kaku3
desain 3A – 3B
dan 3C
Repitisi beban
sumbu
kumulatif 20
>10 – 30 > 30 – 50 > 50 – 100 > 100 – 200 > 200 - 500
tahun pada lajur
rencana
(106ESA5)
Jenis
Permukaan AC AC
berpengikat
Jenis Lapis
Cement Treated Base (CTB)
Fondasi
AC WC 40 40 40 50 50
AC BC4 60 60 60 60 60
AC BC atau AC
74 100 125 160 220
Base
Fondasi
Agregat Kelas 150 150 150 150 150
A
39
2. n-ketentuan struktur fondasi bagan desain 2 – berlaku
3. CTB mungkin tidak ekonomis untuk jalan dengan beban lalu-lintas < 10
juta ESA5, rujuk Bagan Desain – 3A, 3B, dan 3C sebagai alternatif
4. Pilih bagan desain 4 untuk sulusi perkerasan kaku dengan pertimbangan
life cycle cost yang lebih rendah untuk kondisi tanah dasar biasa (bukan
tanah lunak).
5. AC-BC harus dihampar dengan tebal padat minimum 50 mm dan
maksimum 80 mm
Tabel 2.18 Bagan Desain 3A Desain Perkerasan Lentur dengan HRS
HRS WC 50 30
HRS Base - 35
40
Tabel 2.19 Bagan Desain 3B Desain Perkerasan Lentur - Aspal dengan Lapis
Fondasi Berbutir
STRUKTUR PERKERASAN
Kumulatif
beban
sumbu 20
>50- >100
tahun pada <2 ≥ 2-4 > 4-7 > 7-10 >10-20 >20-30 >30-50
100 -200
lajur
rencana
(106ESA5)
AC WC 40 40 40 40 40 40 40 40 40
AC BC 60 60 60 60 60 60 60 60 60
LPA Kelas
400 300 300 300 300 300 300 300 300
A
Catatan 1 2 3
Catatan:
1. FFF1 atau FFF2 harus lebih diutamakan dari pada solusi FF1 dan FF2
(Bagan Desain 3A) atau dalam situasi jika HRS berpotensi mengalami
rutting.
2. Perkerasan dengan CTB (Bagan Desain 3) dan pilihan perkerasan kaku
dapat lebih efektif biaya tapi tidak praktis jika sumber daya yang
dibutuhkan tidak tersedia.
3. Untuk desain perkerasan lentur dengan beban > 10 juta CESA5,
diutamakan menggunakan Bagan Desain 3. Bagan desain 3B digunakan
jika CTB sulit untuk diimplementasikan. Solusi dari FFF5 – FFF9 dapat
lebih praktis daripada solusi Bagan Desain 3 atau 4 untuk situasi
konstruksi tertentu seperti: (i) perkerasan kaku atau CTB bias menjadi
41
tidak praktis pada pelebaran perkerasan lentur eksisting atau, (ii) diatas
tanah yang berpotensi konsolidasi atau, (iii) pergerakan tidak seragam
(dalam hal perkerasan kaku) atau, (iv) jika sumber daya kontraktor tidak
tersedia.
4. Tebal minimum lapis fondasi agregat yang tercantum di dalam Bagan
Desain 3 dan 3A diperlukan untuk memastikan drainase yang mencukupi
sehingga dapat membatasi kehilangan kekuatan perkerasan pada musim
hujan. Kondisi tersebut berlaku untuk semua bagian desain kecuali bagan
desain 3B
5. Tebal LFA berdasarkan Bagan Desain 3B dapat dikurangi untuk subgrade
dengan daya dukung lebih tinggi dan struktur perkerasan dapat
mengalirkan air dengan baik (faktor m ≥ 1). Lihat Bagan Desain 3C.
6. Semua CBR adalah nilai setelah sampel direndam 4 hari.
Tabel 2.20 Bagan Desain 3C Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi Agregat A Untuk
Tanah Dasar CBR ≥ 7% (Hanya untuk Bagan Desain 3B)
STRUKTUR PERKERASAN
Kumulatif
beban
sumbu 20
>10- >20- >30- >50- >100
tahun pada <2 ≥ 2-4 > 4-7 > 7-10
20 30 50 100 -200
lajur
rencana
(106ESA5)
Subgrade
CBR ≥ 400 300 300 300 300 300 300 300 300
5.5-7
Subgrade
CBR ≥ 7- 330 220 215 210 205 200 200 200 200
10
Subgrade
260 150 150 150 150 150 150 150 150
CBR ≥ 10
42
Lanjutan Tabel 2.20 Bagan Desain 3C Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi
Agregat A Untuk Tanah Dasar CBR ≥ 7% (Hanya untuk Bagan
Desain 3B)
STRUKTUR PERKERASAN
Subgrade
200 150 150 150 150 150 150 150 150
CBR ≥ 15
43
Kota Padang Sta 15+000 s/d 19+000” yang dilakukan oleh Ardi Nurdiansyah
Syahputra dkk, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta
Padang. Latar belakang dilakukan penelitian ini adalah perencanaa tebal perkeras
di Indonesia yang banyak menggunakan metode bina marga dimana metode bina
marga merupakan modifikasi dari metode AASHTO 1972 revisi 1981 modifikasi
ini dilakukan untuk menyesuaikan alam, lingkungan, sifat tanah dasar dan jenis
bahan perkerasab yang umun digunakan. Tebal perkerasan lentur pada pekerjaan
perkerasan, pengaspalan, dan pembangunan jembatan ruas jalan By Pass kota
Padang direncanakan dengan metoda Bina Marga. Karena metode Analisa
Komponen Bina Marga mengambil rujukan kepada metode AASHTO 1993 tetapi
sudah di sesuaikan dengan kondisi atau faktor regional di Indonesia (Hamirhan,
2005). Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan membandingkan Metode Analisa
Komponen Bina Marga dengan metode AASHTO 1993. Hasil dari penelitian
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.21.
44
Marga 2002 atau Modifikasi AASHTO 1993 (American Association of State
Highway Transportation Officials). Untuk itu penyusun mencoba mengalisis
Desain Perkerasan Jalan tersebut dengan Metode Bina Marga 1987 (Metode
Analisa Komponen) dan Metode Bina Marga 2002. Hasil dari penelitian ini
didapatkan niali tebal lapis perkerasan yaitu Metode Bina Marga 1987diperoleh
hasil sebagai berikut: AC-WC 4,0 cm; AC-BC 6,0 cm; AC-Base 7,5 cm; Agregat
Base Kelas A 15,0 cm; Agregat Base Kelas B 20,0 cm dan Urugan Pilihan
(Selected Embankment) 30,0 cm. Sedangkan dengan Metode Bina Marga 2002
diperoleh hasil sebagai berikut: AC-WC 3,75 cm; AC-BC 5,0 cm; AC-Base 7,5
cm; Agregat Base Kelas A 15,0 cm; Agregat Base Kelas B 20,0 cm dan Urugan
Pilihan (Selected Embankment) 30,0 cm.
45
---Halaman ini sengaja dikosongkan---
46
BAB 3
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian
Jalan Pancer
Gambar 3.1 diatas merupakan peta lokasi penelitian yaitu pada ruas
Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. Jalan Pancer ini
merupakan jalur utama yang dilewati oleh kendaraan berat untuk menuju ke
Proyek Penambangan Emas Tumpang Pitu oleh PT. Bumi Suksesindo (BSI), dan
tempat wisata Pantai Pulau Merah dan Pantai Wedi Ireng. Untuk foto geometrik
47
Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat Pada
Gambar 3.2.
48
Gambar 3.4 Kondisi Drainase Jalan
(Dokumentasi, 2019)
Mulai
Tinjauan Pustaka
49
A
Data Sekunder :
1. Data LHR
2. Data CBR tanah
3. Data Umur Rencana Jalan
4. Data Iklim Pada Jalan
5. Data Kelandaian Jalan
6. Data Lapis Perkerasan
7. Data Sumbu Kendaraan
8. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
Selesai
50
3.3 Tinjauan Pustaka
Data Sekunder :
1. Data LHR
2. Data CBR tanah
3. Data Umur Rencana Jalan
4. Data Iklim Pada Jalan
5. Data Kelandaian Jalan
6. Data Lapis Perkerasan
7. Data Sumbu Kendaraan
8. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
51
Menganalisa data tersebut sehingga dapat diketahui tebal lapis
perkerasan jalan.
b. Metode Bina Marga Revisi 2017 dengan menggunakan data data
LHR, data CBR tanah, data umur rencana jalan, data jenis
kendaraan, data beban kendaraan, data sumbu kendaraan, , faktor
pertumbuhan lalu lintas. Menganalisa data tersebut sehingga
dapat diketahui tebal lapis perkerasan jalan.
2. Hasil dan Pembahasan
Setelah dilakukan pengolhan data maka dapat diketahui nilai tebal
perkerasan jalan dari kedua metode yaitu metode Bina Marga 1987
dan metode Bina Marga Revisi 2017 dapat membandingkankannya
apakah perbedaaan dari kedua metode ini sangat signifikikan atau
tidak.
3. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil pengolahan data, akan disimpulkan bagaimana
perbandingan metode Biba Marga 1987 dengan Metode Manual
Perkerasan Jalan Revisi 2017 dalam penentuan tebal lapis perkerasan
pada Jalan Pancer Kecamantan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi.
Penulis juga dapat memberikan saran agar penulisan proposal dan
laporan ini dapat dijadikan wawasan dalam perencanaan
pembangunan jalan di Kabupaten Banyuwangi khususnya daerah
industri dan wisata.
52
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Proyek Akhir
Des Januari Februari Maret April Mei Juni
Minggu Minggu
Nama Kegiatan Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
ke- ke-
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Studi Pustaka
Pembuatan Proposal
Seminar Proposal
Revisi Proposal
Pengumpulan Data
Hasil dan Pembahasan
Pembuatan Laporan
Sidang Tugas Akhir
Revisi Laporan
Sumber: Hasil Pengolahan, 2018
53
---Halaman ini sengaja dikosongkan---
54