Anda di halaman 1dari 54

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi
merupakan jenis kelas jalan III dengan lebar penampang 4 meter dan mempunyai
muatan sumbu terberat 8 ton. Jalan ini mempunyai jenis perkerasan
Hotmix/ACWC dan umur rencana 5 tahun. Perbaikan Jalan Pancer Kecamatan
Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi terakhir dilakukan pada tahun 2014 namun
pada tahun 2016 kondisi jalan tersebut sudah mengalami kerusakan seperti
keretakan hingga lubang-lubang besar.
Dalam perencanaan suatu jalan, tebal lapis perkerasan adalah salah satu
hal terpenting dalam perencanaan suatu jalan, tetapi semakin berkembangnya
zaman banyak bermunculan berbagai motode dalam penentuan tebal lapis
perkerasan jalan. Metode yang sering digunakan di lapangan adalah metode dari
Bina Marga sendiri, dimana metode yang sering digunakan adalah metode Bina
Marga tahun 1987. Tetapi pada metode Bina Marga tahun 1987 terdapat revisi
terbaru yaitu metode Bina Marga revisi 2017. Pada metode Bina Marga tahun
1987 dalam penentuan tebal lapis perkerasan mengacu kepada beberapa faktor
seperti koefisien distribusi kendaraan, angka ekivalen kendaraan, lintas ekivalen
rencana, DDT dan CBR, faktor regional, indeks permukaan, koefisien kekuatan
relatif, batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan.
Sedangkan pada Bina Marga revisi 2017 dalam penentuan tebal lapis
perkerasan mengacu kepada beberapa faktor seperti umur rencana, faktor
distribusi lajur dan faktor distribusi arah, faktor ekivalen beban, beban sumbu
standar kumulatif, pemilihan struktur perkerasan, CBR desain tanah dasar, lapis
pondasi, desain perkerasan. Perbedaan dan kompleksnya berbagai faktor dari
kedua metode tersebut dalam penentuan tebal lapis perkerasan menimbulkan
suatu pertanyaan apakah perbedaan penentuan tebal lapis perkerasan dari kedua
metode tersebut sangat signifikan atau tidak.

Dari latar belakang masalah diatas penulis melakukan penelitian dengan


judul “Perbandingan Metode Bina Marga 1987 Dengan Metode Bina Marga

1
Revisi 2017 Dalam Penentuan Tebal Lapis Perkerasan Pada Jalan Pancer
Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi”

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka muncul permasalahan
yang akan dibahas pada Proyek Akhir ini yaitu Bagaimana Perbandingan Metode
Bina Marga 1987 Dengan Metode Bina Marga Revisi 2017 Dalam Penentuan
Tebal Lapis Perkerasan Pada Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten
Banyuwangi?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perbandingan Metode


Bina Marga 1987 Dengan Metode Bina Marga Revisi 2017 Dalam Penentuan
Tebal Lapis Perkerasan Pada Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten
Banyuwangi.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini yaitu :


1. Dapat mengetahui Perbandingan Metode Bina Marga 1987 Dengan
Metode Bina Marga Revisi 2017 Dalam Penentuan Tebal Lapis Perkerasan
Kendaraan Pada Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten
Banyuwangi.
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk DPU Banyuwangi agar dapat
mempertimbangkan penggunaan suatu pedoman dalam penentuan tebal
lapis perkerasan oleh faktor angka ekivalen kendaraan.

1.5 Batasan Masalah


Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Pedoman yang digunakan yaitu Metode Metode Bina Marga 1987 Dengan
Metode Bina Marga Revisi 2017.
2. Studi kasus hanya Pada Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten
Banyuwangi.

2
3. Tidak memperhitungkan faktor biaya.
4. Hanya membahas perencanaan tebal lapis perkerasan.

3
---Halaman ini sengaja dikosongkan---

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konstruksi Perkerasan


Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak diantara
lapisan tanah dasar dan roda kendaraan yang berfungsi memberikan pelayanan
kepada sarana transportasi dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak
terjadi kerusakan yang berarti, agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu
yang diharapkan, maka pengetahuan tentang sifat, pengadaan dan pengolahan dari
bahan penyusun perkerasan jalan sangat diperlukan (Sukirman, 1999).
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat
dibedakan antara lain:
a) Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke
tanah dasar.
b) Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen sebagai bahan pengikat. Pelat beton tanpa tulang
yang diletakkan diatas tanah dasar tanpa lapis pondasi bawah. Beban
lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
c) Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu
perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat
berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku
diatas perkerasan lentur.
2.2 Beban Berlebih
2.2.1 Pengertian Beban Berlebih
Beban berlebih (overloading) adalah suatu kondisi beban gandar (as)
kendaraan melampaui batas beban maksimum yang diijinkan (Iskandar, 2008).

5
Beban berlebih (overoading) adalah beban lalu-lintas rencana (jumlah
lintasan operasional rencana) tercapai sebelum umur rencana perkerasan ,atau
sering disebut dengan kerusakan dini (Iskandar, 2008).

Beban berlebih (overloading) adalah jumlah berat muatan kendaraan


angkutan penumpang, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan dan
kereta tempelan yang diangkut melebihi dari jumlah yang di ijinkan (JBI) atau
muatan sumbu terberat (MST) melebihi kemampuan kelas jalan yang ditetapkan
(Perda Provinsi Kaltim No.09, 2006).

Muatan lebih adalah muatan sumbu kendaraan yang melebihi dari


ketentuan seperti yang tercantum pada peraturan yang berlaku (Kamus Istilah
Bidang pekerjaan Umum, 2008).

JBI (jumlah berat yang diijinkan) adalah berat maksimum kendaraan


bermotor berikut muatannya yang di ijinkan berdasarkan ketentuan. Muatan
sumbu terberat (MST) adalah jumlah tekanan maksimum roda-roda kendaraan
pada sumbu yang menekan jalan (Perda Provinsi Kaltim No.09, 2006).

2.2.2 Konsep Dasar Beban Berlebih

Muatan sumbu terberat (MST) dipakai sebagai dasar pengendalian dan


pengawasan muatan kendaraan di jalan yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Menurut Undang-Undang No. 22 tahun 2009 pasal 19 ayat
2 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Adapun MST dapat dibedakan
berdasarkan klasifikasi kelas jalan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pembagian MST Menurut Kelas Jalan


Ukuran Kendaraan
Kelas Jalan Fungsi Jalan MST
Bermotor

Lebar ≤ 2.500 mm
Jalan Arteri
Kelas I Panjang ≤ 18.000 mm 10 Ton
Jalan Kolektor
Tinggi ≤ 4.200 mm

6
Lanjutan Tabel 2.1 Pembagian MST Menurut Kelas Jalan
Ukuran Kendaraan
Kelas Jalan Fungsi Jalan MST
Bermotor

Jalan Arteri Lebar ≤ 2.500 mm

Kelas II Jalan Kolektor Panjang ≤ 12.000 mm 8 Ton

Jalan Lokal Tinggi ≤ 4.200 mm

Jalan Arteri Lebar ≤ 2.100 mm

Kelas III Jalan Kolektor Panjang ≤ 9.000 mm 8 Ton

Jalan Lokal Tinggi ≤ 3.500 mm

Jalan Arteri Lebar ≤ 2.500 mm

Kelas Khusus Jalan Kolektor Panjang ≤ 18.000 mm >10 Ton

Jalan Lokal Tinggi ≤ 4.200 mm

Sumber : UU No 22, 2009

2.3 Metode Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan Lentur Jalan Raya

2.3.1 Metode Bina Marga 1987

Metode Bina Marga 1987 atau yang lebih dikenal dengan Metode
Analisa Komponen SKBI 2.3.26.1987, merupakan metode yang bersumber dari
AASHTO ’72 dan dimodifikasi sesuai dengan kondisi berbagai faktor seperti
kondisi alam, lingkungan, sifat tanah dasar, dan jenis lapis perkerasan yang
umumnya dipergunakan di Indonesia. Metode analisa komponen yang
dikembangkan Analisa Komponen tersebut mengatur metode perhitungan tebal
perkerasan untuk dua tipe jalan yaitu jalan baru dan perkuatan jalan lama. Prinsip
dasar perhitungan untuk kedua tipe jalan adalah sama. Metode ini merupakan
acuan yang digunakan di Indonesia modifikasi dari AASHTO ’72. Modifikasi
dilakukan untuk penyesuaian dengan kondisi alam, sifat tanah dasar dan jenis

7
lapisan yang umum dipakai di Indonesia. Parameter yang digunakan pada analisa
komponen adalah sebagai berikut:

2.3.1.1 Lalu Lintas

a. Jumlah Jalur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas
jalan raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki
tanda batas jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan
menurut Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan


Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)

L < 5,5 m 1 jalur

5,5 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur

8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur

11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur

15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur

18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur

Sumber : Bina Marga, 1987


Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang
lewat pada jalur rencana ditentukan menurut Tabel 2.3

Tabel 2.3 Koefisien Distribusi Kendaraan


Jumlah Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)

Lajur 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah

1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,000

2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,500

3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475

4 lajur - 0,30 - 0,450

5 lajur - 0,25 - 0,425

8
Lanjutan Tabel 2.3 Koefisien Distribusi Kendaraan
Jumlah Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)

Lajur 1 arah 2 arah Lajur 1 arah

6 lajur - 0,20 - 0,400

Sumber : Bina Marga, 1987


*) berat total < 5 ton, misalnya mobil penumpang, pick up, mobil hantaran
**) berat total > 5 ton, misalnya, bus, truk, traktor, semi trailler, trailler.
b. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan menurut Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen

Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu ganda

1.000 2.205 0,0002 -

2.000 4.409 0,0036 0,0003

3.000 6.614 0,0183 0,0016

4.000 8.818 0,0577 0,0050

5.000 11.023 0,1410 0,0121

6.000 13.228 0,2923 0,0251

7.000 15.432 0,5415 0,0466

8.000 17.637 0,9238 0,0794

8.160 18.000 1,0000 0,0860

9.000 19.841 1,4798 0,1273

10.000 22.046 2,2555 0,1940

11.000 24.251 3,3022 0,2840

12.000 26.455 4,6770 0,4022

13.000 28.660 6,4419 0,5540

14.000 30.864 8,6647 0,7452

15.000 33.069 11,4184 0,9820

9
Lanjutan Tabel 2.4 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

Beban Sumbu Angka Ekivalen

Kg Lb Kg Lb

16.000 35.276 14,7815 1,2712

Sumber : Bina Marga, 1987


c. Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen
1. Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan di tentukan
pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa
median atau masing-masing arah pada jalan dengan median.
2. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dihitung dengan persamaan 2.1
sebagai berikut:
LEP = ∑nj=1 LHR j x C j x E j .......................................................... (2.1)
Catatan : j = jenis kendaraan.
3. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dihitung dengan persamaan 2.2
berikut:

LEA = ∑nj=1LHR j (1+ i)UR x C j x E j ............................................. (2.2)

Catatan: i = perkembangan lalu lintas


j = jenis kendaraan.
4. Lintas Ekivalen Tengah (LET) dihitung dengan persamaan 2.3
sebagai berikut:

LET = ½ x (LEP + LEA) .................................................................. (2.3)


5. Lintas Ekivalen Rencana (LER) dihitung dengan persamaan 2.4
sebagai berikut:
LER = LET x FP ............................................................................... (2.4)
Faktor penyesuaian (FP) tersebut di atas ditentukan dengan persamaan
2.5

FP = UR/10 ....................................................................................... (2.5)

10
2.3.1.2 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR
Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi.
Yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan. Jika
dilakukan menurut Pengujian Kepadatan Ringan (SKBI 3.3. 30.1987/UDC
624.131.43 (02) atau Pengujian Kepadatan Berat (SKBI 3.3. 30.1987/UDC
624.131.53 (02) sesuai dengan kebutuhan. Sementara ini dianjurkan untuk
mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya kepada pengukuran nilai CBR..
Harga yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang dilaporkan, ditentukan
sebagai berikut:

a. Tentukan harga CBR terendah.


b. Tentukan berapa banyak harga dari masing-masing nilai CBR yang
sama dan lebih besar dari masing-masing nilai CBR.
c. Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100%. Jumlah lainnya
merupakan persentase dari 100%.
d. Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah
tadi.
e. Nilai CBR yang mewakili adalah yang didapat dari angka
persentase 90% .

Gambar 2.1 Korelasi DDT dan CBR


(Bina Marga, 1987)

11
2.3.1.3 Faktor Regional (FR)
Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase,
bentuk alinyemen serta persentase kendaraan dengan berat 13 ton, dan kendaraan
yang berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata-rata per
tahun.

Mengingat persyaratan penggunaan disesuaikan dengan "Peraturan


Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya" edisi terakhir, maka pengaruh keadaan
lapangan yang menyangkut permeabilitas tanah dan perlengkapan drainase dapat
dianggap sama. Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini, Faktor
Regional hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen (kelandaian dan tikungan),
persentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim (curah hujan) dapat
dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Faktor Regioanl (FR)


Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
( < 6 %) (6 – 10 %) ( > 10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I < 900
mm/th 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5

Iklim II > 900


mm/th 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5

Sumber : Bina Marga, 1987

Catatan : Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan, pemberhentian


atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada daerah rawa-
rawa FR ditambah dengan 1.

2.3.1.4 Indeks Permukaan (IP)

Indeks Permukaan ini menyatakan nilai daripada kerataan / kehalusan


serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-

12
lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang
tersebut di bawah ini:

IP =1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak


berat sehingga sangat mengganggu lalu Iintas kendaraan.

IP = 1,5: adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin


(jalan tidak terputus).

IP = 2,0: adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap

IP = 2,5: adalah menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil


dan baik.

Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana,


perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas
ekivalen rencana (LER dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP)


LER = Lintas Klasifikasi Jalan

Ekivalen Rencana *) Local Kolektor arteri tol

< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -

10-100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -

100-1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -

> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5

Sumber : Bina Marga, 1987

*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Catatan: Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT / jalan murah atau jalan
darurat maka IP dapat diambil 1,0.

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta kekokohan)
pada awal umur rencana dapat dilihat pada Tabel 2.7.

13
Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (IPo)
Roughness *)
Jenis Permukaan IPo
(mm/km)

LASTON ≥4 ≤ 1000

3,9 – 3,5 > 1000

LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 > 2000

HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 > 2000

BURDA 3,9 – 3,5 < 2000

BURTU 3,4 – 3,0 < 2000

LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000

LATASBUM 2,9 – 2,5

LATASIR 2,9 – 2,5

JALAN TANAH ≤ 2,4

JALAN KERIKIL ≤ 2,4

Sumber : Bina Marga, 1987

2.3.1.5 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya


sebagai lapis permukaan, pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi
sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan
yang distabilisasi dengan semen atau kapur), atau CBR (untuk bahan lapis
pondasi bawah), koefisien kekuatan relative dapat dilihat pada Tabel 2.8

14
Tabel 2.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien Kekuatan
Kekuatan Bahan
Relatif Jenis Bahan

a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm) CBR (%)

0,40 - - 744 - -

0,35 - - 590 - -
Laston

0,35 - - 454 - -

0,30 - - 340 - -

0,35 - - 744 - -

0,31 - - 590 - -
Lasbutag

0,28 - - 454 - -

a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm) CBR (%)

0,30 - - 340 - - HRA

0,26 - - 340 - - Aspal macadam

0,25 - - - - - Lapen (mekanis)

0,20 - - - - - Lapen (manual)

- 0,28 - 590 - -

- 0,26 - 454 - - Laston Atas

- 0,24 - 340 - -

- 0,23 - - - - Lapen (mekanis)

- 0,19 - - - - Lapen (manual)

Stab. Tanah dengan


- 0,15 - - 22 -
semen

- 0,13 - - 18 -

Stab. Tanah dengan


- 0,15 - - 22 -
kapur

15
Lanjutan Tabel 2.8 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan
Kekuatan Bahan Jenis Bahan
Relatif
a1
a1 a2 a3 a1 a2 a3

- 0,13 - - 18 -

- 0,14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)

- 0,13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)

- 0,12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)

- - 0,13 - - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)

- - 0,12 - - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)

- - 0,11 - - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)

Tanah/lempung
- - 0,10 - - 20
kepasiran

Sumber : Bina Marga, 1987

2.3.1.6 Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Permukaan


a. Batas-batas minimum pada lapis permukaan dapat dilihat pada Tabel
2.9.

Tabel 2.9 Batas Minimum Lapis Permukaan


Tebal Minimum
ITP Bahan
(cm)

< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras/Burtu/Burda)

3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston

6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston

7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston

≥ 10,00 10 Laston

Sumber : Bina Marga, 1987

b. Batas-batas minimum pada lapis pondasi dapat dilihat pada Tabel 2.10

16
Tabel 2.10 Batas Minimum Lapis Pondasi
Tebal Minimum
ITP Bahan
(cm)

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,


< 3,00 15
stabilitas tanah dengan kapur

Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,


20*)
3,00 – 7,49 stabilitas tanah dengan kapur

10 Laston Atas

7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,

stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam

15 Laston Atas

10 – 12,14 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,

stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam,

Lapen, Laston Atas

≥ 12,25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,

stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam,

Lapen, Laston Atas

Sumber : Bina Marga, 1987

c. Lapis Pondasi Bawah

Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum
adalah 10 cm.

Untuk mencari nilai ITP dari berbagai jenis nomogram dapat dilihat pada
Gambar 2.2.

ITP : a1.d1 + a2.d2 + a3.d3 ...................................................................... (2.6)

17
18
19
20
21
Gambar 2.2 Nomogram Penentuan ITP
Sumber : Bina Marga, 1987

2.3.2 Metode Bina Marga Revisi 2017


Metode Bina Marga Revisi 2017 atau yang lebih dikenal dengan Metode
Manual Perkerasan Jalan Revisi 2017 adalah salah satu metode yang digunakan
untuk perencanaan perkerasan jalan baru, pelebaran jalan dan rekonstruksi
perkerasan lentur dan kaku (Khansa, 2017). Pada metode ini dijelaskan faktor-
faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan struktur perkerasan dan
kepraktisan konstruksi untuk kondisi di Indonesia.
2.3.2.1 Umur Rencana Jalan (UR)
Umur rencana jalan merupakan jumlah tahun dari saat jalan itu dibuka
untuk lalu-lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang bersifat
struktural (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan). Selama masa umur
rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan tetap harus dilaksanakan, seperti
pelapisan nonstruktural yang berfungsi sebagai lapis aus (Sukirman,1999).

22
Umur rencana untuk perkerasan lentur jalan baru umumnya diambil 20
tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahun. Umur rencana yang lebih besar dari
20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu-lintas yang terlalu besar
dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.
Untuk merencanakan umur rencana perkerasan baru dapat dilihat pada
Tabel 2.11

Tabel 2.11 Umur Rencana Perkerasan Jalan Baru (UR)


Umur rencana
Jenis Perkerasan Elemen Perkerasan (tahun)1

Lapisan aspal dan lapisan berbutir 20

Perkerasan Lentur Fondasi Jalan


40
Semua perkerasan untuk daerah yang tidak
dimungkinkan pelapisan ulang (Overlay), seperti:

Perkerasan Lentur jalan perkotaan, underpass, jembatan, terowongan. 40

Cement Treated Based (CTB)

Lapis fondasi atas, lapis fondasi bawah, lapis beton


Perkerasan Kaku
semen, dan lapis fondasi jalan.

Jalan Tanpa Penutup Semua elemen (termasuk fondasi jalan) Minimum 10

Sumber: Bina Marga, 2017

Catatan :
1. Jika dianggap sulit dalam menggunakan rumus rencana diatas, maka dapat
digunakan umur rencana berbeda, namun sebelumnya harus dilakukan
analisis dengan discounted lifecycle cost yang dapat menunjukkan bahwa
umur rencana tersebut dapat memberikan discounted lifecycle cost
terendah. . Nilai bunga diambil dari nilai bunga rata-rata dari Bank
Indonesia, yang dapat diperoleh dari
http://www.bi.go.id/web/en/Moneter/BI+Rate/Data+BI+Rate/.
2. Umur rencana harus memperhitungkan kapasitas jalan.

23
2.3.2.2 Faktor Distribusi Lajur dan Faktor Distribusi Arah
Beban lalu-lintas pada lajur rencana dinyatakan dalam kumulatif beban
gandar standar (ESA) dengan memperhitungkan faktor distribusi arah (DD) dan
faktor distribusi lajur (DL). Untuk jalan dua arah, faktor distribusi arah (DD)
umumnya diambil 0,50 kecuali pada lokasi-lokasi yang jumlah kendaraan niaga
cenderung lebih tinggi pada satu arah tertentu (Bina Marga, 2017). Dari beberapa
penelitian menunjukkan bahwa (DD) bervariasi dari 0,3 – 0,7 tergantung arah
mana yang ‘berat’ dan ‘kosong’.
Faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif
(ESA) pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah. Pada jalan yang
demikian, walaupun sebagian besar kendaraan niaga akan menggunakan lajur
luar, sebagian lainnya akan menggunakan lajur-lajur dalam. Faktor distribusi lajur
jalan yang ditunjukkan pada Tabel 2.12

Tabel 2.12 Faktor Distribusi Lajur (DL)


Kendaraan niaga pada lajur desain(% terhadap populasi
Jumlah Lajur setiap arah kendaraan niaga)

1 100

2 80

3 60

4 50

Sumber: Bina Marga, 2017

2.3.2.3 Faktor Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor)


Beban sumbu adalah jumlah tekanan roda dari satu sumbu kendaraan
terhadap jalan. Beban tersebut selanjutnya didistribusikan ke fondasi jalan, bila
daya dukung jalan tidak mampu menahan muatan sumbu maka jalan akan rusak,
oleh karena itu ditetapkanlah beban sumbu terberat yang bisa melalui suatu kelas
jalan tertentu. Semua jenis kendaraan dengan beban sumbu yang berbeda,
diekivalenkan terhadap beban sumbu standar dengan menggunakan angka

24
ekivalen sumbu melalui jumlah repitisi beban lalu lintas (dalam satuan 𝐸𝑆𝐴) yang
akan diperkirakan melintas dalam kurun waktu tertentu (McCallum, 2011).
Dalam Manual Desain Perkerasan Metode Bina Marga Revisi 2017, beban
lalu-lintas dikonversi ke beban standar (ESA) dengan menggunakan Faktor
Ekivalen Beban (Vehicle Damage Factor) yang ditunjukan pada Tabel 2.3 dan
Tabel 2.13. Analisis struktur perkerasan dilakukan berdasarkan jumlah kumulatif
ESA pada lajur rencana sepanjang umur rencana (Bina Marga, 2017).
Desain yang akurat memerlukan perhitungan beban lalu-lintas yang akurat
pula. Studi atau survey beban gandar yang dirancang dan dilaksanakan dengan
baik merupakan dasar perhitungan ESA yang andal (Bina Marga, 2017).
Data beban gandar dapat diperoleh:
1. Jembatan timbang, timbangan statis atau WIM (survey langsung)
2. Survey beban gandar pada jembatan timbang atau WIM yang pernah
dilakukan dan dianggap cukup representative.
3. Data WIM Regional yang dikeluarkan oleh Ditjen Bina Marga

Timbangan survey beban gandar yang menggunakan sistem statis harus


mempunyai kapasitas beban roda (tunggal atau ganda) minimum 18 ton atau
kapasitas beban sumbu tunggal minimum 35 ton. Pembebanan faktual
diasumsikan berlangsung sampai tahun 2020. Setelah tahun 2020, diasumsikan
beban kendaraan sudah terkendali dengan beban sumbu nominal terberat (MST)
12 ton.
Jika survei beban gandar tidak mungkin dilakukan oleh perencana dan data
survei beban gandar sebelumnya tidak tersedia, maka nilai VDF pada Tabel 2.13
dan Tabel 2.14 dapat digunakan untuk menghitung ESA (Bina Marga, 2017).
Tabel 2.13 menunjukkan nilai VDF regional masing-masing jenis kendaraan
niaga yang diolah dari data studi WIM yang dilakukan oleh Ditjen Bina Marga
pada tahun 2012-2013. Apabila survey lalu-lintas dapat mengidentifikasi jenis dan
muatan kendaraan niaga, dapat digunakan data VDF masing-masing jenis
kendaraan menurut Tabel 2.14. Untuk periode beban faktual (sampai tahun 2020),
digunakan nilai VDF beban nyata. Untuk periode beban normal (terkendali)
digunakan nilai VDF dengan muatan sumbu terberat 12 ton..

25
Tabel 2.13 Nilai VDF Masing-Masing Jenis Kendaraan Niaga
Bali, Nusa Tenggara,
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
Jenis
Beban Beban Beban Beban Beban Normal
Kendara Normal Normal Normal Normal
aktual aktual aktual aktual aktual
an
VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5
5B 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

6A 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5 0.55 0.5

6B 4,5 7,4 3,4 4,6 5,3 9,2 4,0 5,1 4,8 8,5 3,4 4,7 4,9 9,0 2,9 4,0 3,0 4,0 2,5 3,0

7A1 10,1 18,4 5,4 7,4 8,2 14,4 4,7 6,4 9,9 18,3 4,1 5,3 7,2 11,4 4,9 6,7 - - - -

7A2 10,5 20,0 4,3 5,6 10,2 19,0 4,3 5,6 9,6 17,7 4,2 5,4 9,4 19,1 3,8 4,8 4,9 9,7 3,9 6,0

7B1 - - - - 11,8 18,2 9,4 13,0 - - - - - - - - - - - -

7B2 - - - - 13,7 21,8 12,6 17,8 - - - - - - - - - - - -

7C1 15,9 29,5 7,0 9,6 11,0 19,8 7,4 9,7 11,7 20,4 7,0 10,2 13,2 25,5 6,5 8,8 14,0 11,9 10,2 8,0

7C2A 19,8 39,0 6,1 8,1 17,7 33,0 7,6 10,2 8,2 14,7 4,0 5,2 20,2 42,0 6,6 8,5 - - - -

26
Lanjutan Tabel 2.13 Nilai VDF Masing-Masing Jenis Kendaraan Niaga
Bali, Nusa Tenggara,
Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua

Jenis Beban Beban Beban Beban Beban


Normal Normal Normal Normal Normal
Kendara aktual aktual aktual aktual aktual
an
VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5

VDF 4

VDF 5
7C2B 20,7 42,8 6,1 8,0 13,4 24,2 6,5 8,5 - - - - 17,0 28,8 9,3 13,5 - - - -

7C3 24,5 51,7 6,4 8,0 18,1 34,4 6,1 7,7 13,5 22,9 9,8 15,0 28,7 59,6 6,9 8,8 - - - -

Sumber: Bina Marga, 2017

27
Tabel 2.14 Nilai VDF Masing-Masing Jenis Kendaraan Niaga
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
2
Muatan yang diangkut
motor

1 1 Sepeda Motor 1.1 2 30,4

Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0.3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

6a.1 6.1 Truk 2 sumbu-cargo ringan 1.1 Muatan umum 2 0,3 0,2
4,6 6,60
6a.2 6.2 Truk 2 sumbu-ringan 1.2 Tanah,pasir,besi,semen 2 0,8 0,8

6b1.1 7.1 Truk 2 sumbu-cargo sedang 1.2 Muatan umum 2 - - 0,7 0,7

28
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
Muatan2 yang diangkut
motor

1 1 Sepeda Motor 1.1 2 30,4

Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0.3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

6b1.2 7.2 Truk 2 sumbu-sedang 1.2 Tanah,pasir,besi,semen 2 1,6 1,7

6b2.1 8.1 Truk 2 sumbu-berat 1.2 Muatan umum 2 0,9 0,8


3,8 5,50
6b2.2 8.2 Truk 2 sumbu-berat 1.2 Tanah,pasir,besi,semen 2 7,3 11,2

7a1 9.1 Truk 3 sumbu -ringan 1.22 Muatan umum 3 3,9 5,60 7,6 11,2

29
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
Muatan2 yang diangkut
motor

1 1 Sepeda Motor 1.1 2 30,4

Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0.3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

7a2 9.2 Truk 3 sumbu-sedang 1.22 Tanah,pasir,besi,semen 3 3,9 5,60 28,1 64,4

7a3 9.3 Truk 3 sumbu-berat 1.1.2 3 0,1 0,10 28,9 62,2

Truk 2 sumbu dan trailer 90,4


7b 10 1.2-2.2 4 0,5 0,70 36,9
penarik 2 sumbu

7c1 11 Truk 4 sumbu-trailer 1.2-22 4 0,3 0,50 13,6 24,0

30
Faktor Ekivalen
Beban (VDF)
Jenis Kendaraan Distribusi tipikal
(ESA / Kendaraan)
Konfigur
Kelompok
Uraian asi Semua
sumbu VDF
sumbu Semua kendaraan VDF
Klasifika Alternati Pangka
kendaraan bermotor Pangkat
si lama f t5
bermotor kecuali sepeda 4
Muatan2 yang diangkut
motor

1 1 Sepeda Motor 1.1 2 30,4

Sedan/angkot/pickup/station
2,3,4 2,3,4 1.1 2 51,7 74,3
wagon

5a 5a Bus kecil 1.2 2 3,5 5,00 0.3 0,2

5b 5b Bus besar 1.2 2 0,1 0,20 1,0 1,0

7c2.1 12 Truk 5 sumbu-trailer 1.2-22 5 0,7 1,00 19,0 33,2

7c2.2 13 Truk 5 sumbu-trailer 1.2-222 5 30,3 69,7

7c3 14 Truk 6 sumbu-trailer 1.22-222 6 0,3 0,50 41,6 93,7

Sumber: Bina Marga, 2017

31
2.4.2.2 Beban Sumbu Standar Kumulatif
Beban sumbu standard kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle
Load (CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban lalu-lintas desain pada lajur
desain selama umur rencana (Bina Marga, 2017), yang ditentukan dengan
persamaan 2.6
ESATH-1 =  LHR JK  VDFJK  365  DD  DL  R ............................. (2.6)

Dengan :
ESATH-1 : kumulatif lintasan sumbu standard ekivalen
(Ekivalent standard axle) pada tahun pertama.
LHRJK : lintasan harian rata-rata tiap jenis kendaraan niaga
(satuan kendaraan per hari).
VDFJK : factor ekivalen beban (Vehicle Damage Factor) tiap
jenis kendaraan niaga Tabel 2.13 dan Tabel 2.14
DD : Faktor Distribusi arah
DL : Faktor Distribusi Lajur Tabel 2.15
CESAL : kumulatif beban sumbu standard ekivalen selama
umur rencana
R : Faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif

Pertumbuhan lalu-lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor


pertumbuhan kumulatif (Cumulative Growth Factor) pada persamaan 2.7

R
1  0,01i   1
UR
............................................................................. (2.7)
0,01i

Dengan:
R = faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif
i = laju pertumbuhan lalu-lintas tahunan (%)
UR = Umur rencana (tahun)

Apabila diperkirakan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan


sepanjang total umur rencana (UR), dengan i1 % selama periode awal (UR 1
tahun) dan i2% selama sisa periode berikutnya (UR-UR1), faktor pengali
pertumbuhan lalu-lintas kumulatif dapat dihitung menggunakan persamaan 2.8

32
R
1  0,01i   1
UR

 1  0,01i2 
UR11  1  0,01i2 URUR1  1
1  0,01i2   (2.8)
0,01i  0,01i2 
Dengan:
R = faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatof
i1 = laju pertumbuhan tahunan lalu-lintas periode 1(%)
i2 = laju pertumbuhan lalu-lintas tahunan (%)
UR = total umur rencana (tahun)
UR1 = umur rencana periode 1 (tahun)

2.4.2.3 Pemilihan Struktur Perkerasan


Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi berdasarkan volume lalu-
lintas, umur rencana, dan kondisi fondasi jalan. Tabel 2.15 merupakan batasan
dalam pemilihan struktur perkerasan yang akan digunakan. Batasan pada Tabel
2.15 tidak mutlak, perencana harus mempertimbangkan biaya terendah selama
umur rencana, keterbatasan dan kepraktisan pelaksanaan. Pemilihan alternative
desain berdasarkan manual ini harus didasarkan pada discounted lifecycle cost
terendah (Bina Marga, 2017).

Tabel 2.15 Pemilihan Jenis Perkerasan


ESA (juta) dalam 20 tahun
Bagan (pangkat 4 kecuali ditentukan lain)
Struktur Perkerasan
Desain
0 - 0,5 0,1- 4 >4-10 >10-30 >30-200

Perkerasan kaku dengan


lalu lintas berat (diatas 4 - - 2 2 2

tanah dengan CBR ≥2,5%)


Perkerasan kaku dengan
lalu-lintas rendah (daerah 4A - 1, 2 - - -

pedesaan dan perkotaan)


AC WC modifikasi atau
SMA modifikasi dengan 3 - - - 2 2

CTB (ESA pangkat 5)

AC dengan CTB 3 - - - 2 2

33
Lanjutan Tabel 2.15 Pemilihan Jenis Perkerasan
ESA (juta) dalam 20 tahun
Bagan (pangkat 4 kecuali ditentukan lain)
Struktur Perkerasan
Desain
0 - 0,5 0,1- 4 >4-10 0 - 0,5 >30-200

AC tebal ≥ 100 mm
dengan lapis fondasi 3B - - 1, 2 2 2

berbutir (ESA pangkat 5)


AC atau HRS tipis diatas -
3A - 1, 2 - -
lapis fondasi berbutir
Burda atau burtu dengan
LPA kelas A atau batuan 5 3 3 - - -

asli

Lapis Fondasi Soil Cement 6 1 1 - - -

Perkerasan tanpa penutup 7 1 - - - -

Sumber: Bina Marga, 2017

2.4.2.4 CBR Desain Tanah Dasar


Pada Metode Bina Marga Revisi 2017 nilai CBR digunakan untuk
menentukan tebal lapis penopang (Capping Layers) pada tanah dasarnya. Nilai
CBR yang digunakan adalah nilai CBR segmen. Ruas jalan yang didesain harus
dikelompokkan berdasarkan kesamaan segmen yang mewakili kondisi tanah dasar
yang dapat dianggap seragam (tanpa perbedaan yang signifikan).
Pengelompokkan awal dapat dilakukan berdasarkan hasil kajian meja dan
penyelidikan lapangan atas dasar kesamaan geologi, pedologi, kondisi drainase
dan topografi, serta karakteristik geoteknik (seperti gradasi dan plastisitas).
Secara umum disarankan untuk menghindari pemilihan segmen seragam
yang terlalu pendek. Jika nilai CBR yang diperoleh sangat bervariasi, perencana
harus membandingkan manfaat dan biaya antara pilihan membuat segmen
seragam yang pendek berdasarkan variasi nilai CBR tersebut, atau membuat
segmen yang lebih panjang berdasarkan nilai CBR yang lebih konservatif.
Dua metode perhitungan CBR karakteristik adalah sebagai berikut:

34
1. Metode distribusi normal standar
Jika tersedia cukup data yang valid (minimum 10 titik data uji
persegmen yang seragam) persamaan 2.9 dapat digunakan

CBR karakteristik = CBR rata-rata – f x deviasi standard ......... (2.9)


Dengan:
1. f = 1,645 (probabilitas 95%), untuk jalan tol atau jalan
bebas hambatan.
2. f = 1,282 (probabilitas 90%), untuk jalan kolektor dan
arteri
3. f = 0,842 (probabilitas 80%), untuk jalan local dan jalan
kecil
4. Koefisien variasi (CV) maksimum dari data CBR untuk
suatu segmen tidak lebih besar dari 25%. Koefisien variasi
sampai dengan 30% masih boleh digunakan.
Apabila jumlah data per segmen kurang dari 10 maka nilai CBR
terkecil dapat mewakili sebagai CBR segmen.
2. Metode Persentil
Prosedur perhitungan CBR karakteristik dengan Metode Persentil
adalah sebagai berikut:
1. Susun data CBR secara berurutan dari nilai terkecil hingga
terbesar.
2. Hitung jumlah total data nilai CBR (n)
3. Hitung 10% dari (n), nilai yang diperoleh disebut sebagai
indeks
4. Jika indeks yang diperoleh merupakan bilangan pecahan,
lakukan pembulatan ke bilangan terdekat dan lanjutkan ke
langkah 5(a). jika indeks yang dihasilkan berupa bilangan
bulat, lanjutkan ke langkah 5(b).
5. (a) Dari kumpulan data yang sudah diurutkan, hitung mulai
dari data terkecil hingga mencapai data diurutan yang

35
diperoleh dari langkah 3. Nilai CBR pada urutan tersebut
adalah nilai CBR karakteristik.
(b) Dari kumpulan data yang sudah diurutkan, hitung mulai
dari data yang terkecil hingga mencapai data diurutan yang
diperoleh dari langkah 3. Nilai CBR persentil ke-10 adalah
nilai rata-rata dari dua nilai CBR yaitu CBR pada urutan
tersebut dan urutan berikutnya.

2.3.2.6 Lapis Penopang (Capping Layers)


Lapis penopang merupakan lapisan yang terletak diantara tanah dasar
dan lapisan pondasi bawah dari struktur perkerasan. Lapis penopang berfungsi
sebagai lantai kerja yang kokoh bagi struktur perkerasan sepanjang periode
pelaksanaan. Lapis penopang harus dipadatkan dengan metode dan mencapai
tingkat kepadatan yang ditentukan atau yang disetujui oleh Direksi Pekerjaan.
Pada perkerasan kaku pemadatan maksimum yang mungkin dicapai lapis
penopang sangat penting untuk meminimalkan retak akibat perbedaan penurunan
lapis penopang setelah perkerasan.
Pada Metode Bina Marga Revisi 2017, tebal lapis penopang dapat
dipengaruhi oleh nilai CBR tanah dasarnya. Nilai tebal tipis lapis penopang dapat
ditentukan dengan melihat Tabel 2.16

36
Tabel 2.16 Desain Fondasi Jalan Minimum

Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku

Kelas kekuatan tanah Beban lalu-lintas pada lajur rencana dengan umur
CBR tanah dasar (%) Uraian struktur pondasi rencana 40 tahun (juta ESA5)
dasar Stabilisasi semen (6)
<2 2–4 >4
Tebal minimum perbaikan tanah dasar
≥6 SG6 Perbaikan tanah dasar dapat Tidak diperlukan perbaikan
5 SG5 berupa stabilisasi semen atau - - 100
4 SG4 material timbunan pilihan (sesuai 100 150 200 300

3 SG3 persyaratan Spesifikasi Umum, 150 200 300


2,5 SG2,5 Revisi 3 – Pekerjaan Tanah) 175 250 350
(Pemadatan lapisan ≤ 200 mm
Tanah ekspansif (potensi pemuaian > 5%) 400 500 600
tebal gembur
Lapis Penopang(4)(5) 1000 1100 1200 Berlaku ketentuan
Perkerasan diatas tanah yang sama dengan
SG1(3) -atau-lapis penopang dan
lunak(2) 650 750 850 fondasi jalan
geogrid(4)(5)
Tanah gambut dengan HRS atau DBST untuk perkerasan lentur

perkerasan untuk jalan raya minor (nilai Lapisan penopang berbutir (4)(5) 1000 1250 1500
minimum – ketentuan lain berlaku)

Sumber: Bina Marga, 2017

37
Catatan:
(1) Desain harus mempertimbangkan semua hal yang kritikal; syarat
tambahan mungkin berlaku
(2) Ditandai dengan kepadatan dan CBR lapangan yang rendah
(3) Menggunakan nilai CBR in-situ, karena nilai CBR rendaman tidak
relevan
(4) Permukaan lapis penopang diatas tanah SG1 dan gambut diasumsikan
mempunyai daya dukung setara nilai CBR 2,5%, dengan demikian
ketentuan perbaikan tanah SG2,5 berlaku.
(5) Tebal lapis penopang dapat dikurangi 300 mm jika tanah asal dipadatkan
pada kondisi kering.
(6) Untuk perkerasan kaku, material perbaikan tanah dasar berbutir halus
(klasifikasi A4 sampai A6) harus berupa stabilisasi semen.

2.3.2.7 Desain Perkerasan


Desain perkerasan merupakan sebuah rancangan dalam pemilihan jenis
dan ketebalan dari tiap lapis perkerasan jalan. Pemilihan desain perkerasan yang
akan digunakan Dalam menentukan desain tebal perkerasan menggunakan
Manual Desain Perkerasan Jalan Bina Marga Revisi 2017 didasarkan pada jumlah
lalu lintas rencana, pertimbangan biaya terendah dan jenis material lapis
perkerasan yang akan digunakan. Pada Manual Desain Perkerasan Bina Marga
Revisi 2017 desain perkerasan ditunjukkan dengan bagan-bagan desain yang
disesuaikan dengan jumlah beban sumbu standar pangkat 5 (CESA5). Dalam
menentukan bagan desain yang akan digunakan untuk perencanaan lapis
perkerasan menggunakan Manual Desain Bina Marga Revisi 2017 dapat dilihat
dari Tabel 2.15 Pemilihan jenis perkerasan. Untuk perkerasan lentur, bagan
desain perkerasan yang digunakan adalah Bagan desain 3, 3A, 3B, dan 3C.
Keempat desain tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-
masing sehingga perlu adanya penyesuaian dengan kondisi di lapangan dalam
menentukan bagan desain yang akan digunakan. Bagan desain yang digunakan
untuk menentukan desain perkerasan lentur dengan Metode Bina Marga Revisi
2017 dapat ditlihat pada Tabel 2.17, Tabel 2.18 dan Tabel 2.19

38
Tabel 2.17 Bagan Desain 3 Perkerasan Lentur Opsi Biaya Minimum Dengan
CTB

F12 F2 F3 F4 F5

Untuk lalu-lintas
dibawah 10 juta
ESA5 lihat bagan Lihat Bagan Desain 4 untuk alternatif perkerasan kaku3
desain 3A – 3B
dan 3C

Repitisi beban
sumbu
kumulatif 20
>10 – 30 > 30 – 50 > 50 – 100 > 100 – 200 > 200 - 500
tahun pada lajur
rencana
(106ESA5)

Jenis
Permukaan AC AC
berpengikat

Jenis Lapis
Cement Treated Base (CTB)
Fondasi

AC WC 40 40 40 50 50

AC BC4 60 60 60 60 60

AC BC atau AC
74 100 125 160 220
Base

CTB3 150 150 150 150 150

Fondasi
Agregat Kelas 150 150 150 150 150
A

Sumber: Bina Marga, 2017


Catatan :
1. Ketentuan-ketentuan struktur fondasi bagian desain 2-berlaku

39
2. n-ketentuan struktur fondasi bagan desain 2 – berlaku
3. CTB mungkin tidak ekonomis untuk jalan dengan beban lalu-lintas < 10
juta ESA5, rujuk Bagan Desain – 3A, 3B, dan 3C sebagai alternatif
4. Pilih bagan desain 4 untuk sulusi perkerasan kaku dengan pertimbangan
life cycle cost yang lebih rendah untuk kondisi tanah dasar biasa (bukan
tanah lunak).
5. AC-BC harus dihampar dengan tebal padat minimum 50 mm dan
maksimum 80 mm
Tabel 2.18 Bagan Desain 3A Desain Perkerasan Lentur dengan HRS

Kumulatif beban sumbu 20


tahun pada lajur rencana (106 FF1 < 0,5 0,5 ≤ FF2 ≤ 4,0
CESA5)

Jenis permukaan HRS atau penetrasi makadam HRS

Struktur Perkerasan Tebal lapisan (mm)

HRS WC 50 30

HRS Base - 35

LFA Kelas A 150 250

LFA Kelas A atau Kelas B


atau kerikil alam atau lapis
150 125
distabilisasi dengan CBR >
10%3

Sumber: Bina Marga, 2017


Catatan:

1. Bagan Desain 3A merupakan alternative untuk daerah yang HRS


menunjukkan riwayat kinerja yang baik dan daerah yang dapat
menyediakan material yang sesuai (gap graded mix)
2. HRS tidak sesuai untuk jalan dengan tanjakkan curam dan daerah
perkotaan dengan beban lebih besar dari 2 juta ESA5

40
Tabel 2.19 Bagan Desain 3B Desain Perkerasan Lentur - Aspal dengan Lapis
Fondasi Berbutir

STRUKTUR PERKERASAN

FFF1 FFF2 FFF3 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9

Solusi yang dipilih Lihat catatan 2

Kumulatif
beban
sumbu 20
>50- >100
tahun pada <2 ≥ 2-4 > 4-7 > 7-10 >10-20 >20-30 >30-50
100 -200
lajur
rencana
(106ESA5)

Ketebalan Lapis Perkerasan (mm)

AC WC 40 40 40 40 40 40 40 40 40

AC BC 60 60 60 60 60 60 60 60 60

AC Base 0 70 80 105 145 160 180 210 245

LPA Kelas
400 300 300 300 300 300 300 300 300
A

Catatan 1 2 3

Sumber: Bina Marga, 2017

Catatan:

1. FFF1 atau FFF2 harus lebih diutamakan dari pada solusi FF1 dan FF2
(Bagan Desain 3A) atau dalam situasi jika HRS berpotensi mengalami
rutting.
2. Perkerasan dengan CTB (Bagan Desain 3) dan pilihan perkerasan kaku
dapat lebih efektif biaya tapi tidak praktis jika sumber daya yang
dibutuhkan tidak tersedia.
3. Untuk desain perkerasan lentur dengan beban > 10 juta CESA5,
diutamakan menggunakan Bagan Desain 3. Bagan desain 3B digunakan
jika CTB sulit untuk diimplementasikan. Solusi dari FFF5 – FFF9 dapat
lebih praktis daripada solusi Bagan Desain 3 atau 4 untuk situasi
konstruksi tertentu seperti: (i) perkerasan kaku atau CTB bias menjadi

41
tidak praktis pada pelebaran perkerasan lentur eksisting atau, (ii) diatas
tanah yang berpotensi konsolidasi atau, (iii) pergerakan tidak seragam
(dalam hal perkerasan kaku) atau, (iv) jika sumber daya kontraktor tidak
tersedia.
4. Tebal minimum lapis fondasi agregat yang tercantum di dalam Bagan
Desain 3 dan 3A diperlukan untuk memastikan drainase yang mencukupi
sehingga dapat membatasi kehilangan kekuatan perkerasan pada musim
hujan. Kondisi tersebut berlaku untuk semua bagian desain kecuali bagan
desain 3B
5. Tebal LFA berdasarkan Bagan Desain 3B dapat dikurangi untuk subgrade
dengan daya dukung lebih tinggi dan struktur perkerasan dapat
mengalirkan air dengan baik (faktor m ≥ 1). Lihat Bagan Desain 3C.
6. Semua CBR adalah nilai setelah sampel direndam 4 hari.

Tabel 2.20 Bagan Desain 3C Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi Agregat A Untuk
Tanah Dasar CBR ≥ 7% (Hanya untuk Bagan Desain 3B)

STRUKTUR PERKERASAN

FFF1 FFF2 FFF3 FFF4 FFF5 FFF6 FFF7 FFF8 FFF9

Kumulatif
beban
sumbu 20
>10- >20- >30- >50- >100
tahun pada <2 ≥ 2-4 > 4-7 > 7-10
20 30 50 100 -200
lajur
rencana
(106ESA5)

TEBAL LFA A (mm) PENYESUAIAN TERHADAP BAGAN DESAIN 3B

Subgrade
CBR ≥ 400 300 300 300 300 300 300 300 300
5.5-7

Subgrade
CBR ≥ 7- 330 220 215 210 205 200 200 200 200
10

Subgrade
260 150 150 150 150 150 150 150 150
CBR ≥ 10

42
Lanjutan Tabel 2.20 Bagan Desain 3C Penyesuaian Tebal Lapis Fondasi
Agregat A Untuk Tanah Dasar CBR ≥ 7% (Hanya untuk Bagan
Desain 3B)
STRUKTUR PERKERASAN

FFF1 FFF2 FFF1 FFF2 FFF1 FFF2 FFF1 FFF2 FFF1

Subgrade
200 150 150 150 150 150 150 150 150
CBR ≥ 15

Sumber: Bina Marga, 2017

2.4 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang


dilakukan adalah:

Penelitian yang berjudul “Penggunaan Metode Analisa Komponen dan


Metode AASHTO 1993 Untuk Perbandingan Nilai Tebal Perkerasan Lentur Jalan
Raya” yang dilakukan oleh Taufikkurrahman, Fakultas Teknik Sipil Universitas
Wisnuwardhana Malang. Latar belakang dilakukan penelitian ini adalah
banyaknya jalan yang rusak sebelum masa umur jalan selesai dan hal ini sangat
menghambat aktifitas masyarakat. Dan untuk memperbaiki jalan yang rusak
tersebut tentu tidak sedikit biaya yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk
memperbaiki ataupun membangun jalan itu kembali. Dari kejadiaan tersebut
timbul suatu pola pemikiran apakah hal ini dikarenakan kurang tepatnya motode
yang digunakan dalam perencanaan tebal perkerasan struktur pada perkerasan
jalan yang digunakan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini untuk merencankan
tebal perkerasan jalan yang direncankan dengan Metode Bina Marga dan Metode
AASHTO 1993 dalam pembuatan jalan baru. Hasil dari penelitian tersebut adalah
tebal lapisan permukaan dengan perbedaan tebal yang sedikit, pada lapisan 1 tebal
lapisan 30 mm menggunakan metode Bina Marga dan metode AASHTO 1993
sebesar 26 mm, lapisan 2 tebal lapisan 100 mm menggunakan metode Bina Marga
dan metode AASHTO 1993 sebesar 96 mm, lapisan 3 tebal lapisan 200 mm
menggunakan metode Bina Marga dan metode AASHTO 1993 sebesar 220 mm.

Penelitian dengan judul “Analisis Tebal Perkerasan Lentur Dengan


Metode Analisa Komponen Bina Marga dan AASHTO 1993 Ruas Jalan By Pass

43
Kota Padang Sta 15+000 s/d 19+000” yang dilakukan oleh Ardi Nurdiansyah
Syahputra dkk, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta
Padang. Latar belakang dilakukan penelitian ini adalah perencanaa tebal perkeras
di Indonesia yang banyak menggunakan metode bina marga dimana metode bina
marga merupakan modifikasi dari metode AASHTO 1972 revisi 1981 modifikasi
ini dilakukan untuk menyesuaikan alam, lingkungan, sifat tanah dasar dan jenis
bahan perkerasab yang umun digunakan. Tebal perkerasan lentur pada pekerjaan
perkerasan, pengaspalan, dan pembangunan jembatan ruas jalan By Pass kota
Padang direncanakan dengan metoda Bina Marga. Karena metode Analisa
Komponen Bina Marga mengambil rujukan kepada metode AASHTO 1993 tetapi
sudah di sesuaikan dengan kondisi atau faktor regional di Indonesia (Hamirhan,
2005). Untuk itu penelitian ini dilakukan dengan membandingkan Metode Analisa
Komponen Bina Marga dengan metode AASHTO 1993. Hasil dari penelitian
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.21.

Tabel 2.21 Perbandingan Tebal Lapis Perkerasan Penelitian Terdahulu


Tebal Lapisan
Lapisan
Bina Marga AASTHO 1993
Lapisan 1 7,5 cm 10 cm
Lapisan 2 19 cm 16 cm
Lapisan 3 35 cm 21 cm
Sumber: Syahputra, 2016

Penelitian dengan judul “Analisis Desain Perkerasan Jalan Metode Bina


Marga 1987, Bina Marga 2002 Dan Evaluasi Struktur Perkerasan Jalan (Ruas
Pelebaran Jalan Bantal-Mukomuko Bengkulu)” yang dilakukan oleh Joko
Wibowo Program Studi Magister Teknik Sipil Universitas Muhammdiyah
Surakarta pada tahun 2017 ini dilatar belakangi mengingat perkembangan
pembangunan jalan yang cukup pesat maka dibutuhkan suatu perencanaan jalan
yang cukup handal dan 3 memadai baik di tingkat Pusat maupun Provinsi. Salah
satu perencanaan yang penyusun teliti adalah perencanaan perkerasan jalan lentur
pada Paket 11 Ruas Pelebaran Jalan Bantal – Mukomuko Bengkulu. Proyek ini
didesain atau direncanakan oleh P2JN Provinsi Bengkulu dengan Metode Bina

44
Marga 2002 atau Modifikasi AASHTO 1993 (American Association of State
Highway Transportation Officials). Untuk itu penyusun mencoba mengalisis
Desain Perkerasan Jalan tersebut dengan Metode Bina Marga 1987 (Metode
Analisa Komponen) dan Metode Bina Marga 2002. Hasil dari penelitian ini
didapatkan niali tebal lapis perkerasan yaitu Metode Bina Marga 1987diperoleh
hasil sebagai berikut: AC-WC 4,0 cm; AC-BC 6,0 cm; AC-Base 7,5 cm; Agregat
Base Kelas A 15,0 cm; Agregat Base Kelas B 20,0 cm dan Urugan Pilihan
(Selected Embankment) 30,0 cm. Sedangkan dengan Metode Bina Marga 2002
diperoleh hasil sebagai berikut: AC-WC 3,75 cm; AC-BC 5,0 cm; AC-Base 7,5
cm; Agregat Base Kelas A 15,0 cm; Agregat Base Kelas B 20,0 cm dan Urugan
Pilihan (Selected Embankment) 30,0 cm.

45
---Halaman ini sengaja dikosongkan---

46
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitan ini dilakukan di ruas Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran
Kabupaten Banyuwangi. Untuk lebih jelasnya mengenai lokasi penelitian tugas
akhir, dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut ini.

Lokasi penelitian

Jalan Pancer

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian


(Google Maps, 2019)

Gambar 3.1 diatas merupakan peta lokasi penelitian yaitu pada ruas
Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. Jalan Pancer ini
merupakan jalur utama yang dilewati oleh kendaraan berat untuk menuju ke
Proyek Penambangan Emas Tumpang Pitu oleh PT. Bumi Suksesindo (BSI), dan
tempat wisata Pantai Pulau Merah dan Pantai Wedi Ireng. Untuk foto geometrik

47
Jalan Pancer Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dapat dilihat Pada
Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Kondisi Badan Jalan


(Dokumentasi, 2019)

Gambar 3.3 Kondisi Bahu Jalan


(Dokumentasi, 2019)

48
Gambar 3.4 Kondisi Drainase Jalan
(Dokumentasi, 2019)

3.2 Flowchart Penelitian


Secara umum tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Mulai

Tinjauan Pustaka

49
A

Data Sekunder :
1. Data LHR
2. Data CBR tanah
3. Data Umur Rencana Jalan
4. Data Iklim Pada Jalan
5. Data Kelandaian Jalan
6. Data Lapis Perkerasan
7. Data Sumbu Kendaraan
8. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Pengolahan Data Metode Pengolahan Data Metode Bina


Bina Marga 1987 Marga Revisi 2017

Hasil dan Pembahasan:

Perbandingan Nilai Tebal Lapis Perkerasan Jalan Dari Kedua


Metode

Kesimpulan dan Saran

Selesai

Gambar 3.5 Diagram Alir Penelitian

(Hasil Pengolahan, 2019)

50
3.3 Tinjauan Pustaka

Sebelum memulai pengumpulan data dan pengolahannya tahap persiapan


merupakan kegiatan awal. Dalam tahap persiapan ini adalah kegiatan tinjauan
pustaka yaitu mempelajari mengenai masalah atau parameter-parameter yang
berhubungan dengan penentuan tebal lapis perkerasan jalan baik itu metode Bina
Marga 1987 maupun metode Bina Marga Revisi 2017.

3.4 Pengumpulan Data

Meminta data yang diperlukan Laporan Proyek Akhir dari penelitian


terdahulu yang telah melakukan survey pada jalan tersebut, kepada Dinas
Pekerjaan Umum Banyuwangi dan juga kepada BMKG Banyuwangi.

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah Data


Sekunder yang dianataranya sebagai berikut:

Data Sekunder :
1. Data LHR
2. Data CBR tanah
3. Data Umur Rencana Jalan
4. Data Iklim Pada Jalan
5. Data Kelandaian Jalan
6. Data Lapis Perkerasan
7. Data Sumbu Kendaraan
8. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

3.5 Pengolahan Data

Setelah data sekunder sudah didapat tahap selanjutnya adalah:

1. Menganalisis data dengan 2 metode yaitu:


a. Metode Bina Marga 1987 dengan menggunakan data LHR tahun,
data CBR tanah, data umur rencana jalan, data iklim pada jalan,
data kelandaian jalan, data lapis perkerasan yang digunakan, ,
data sumbu kendaraan, faktor pertumbuhan lalu lintas.

51
Menganalisa data tersebut sehingga dapat diketahui tebal lapis
perkerasan jalan.
b. Metode Bina Marga Revisi 2017 dengan menggunakan data data
LHR, data CBR tanah, data umur rencana jalan, data jenis
kendaraan, data beban kendaraan, data sumbu kendaraan, , faktor
pertumbuhan lalu lintas. Menganalisa data tersebut sehingga
dapat diketahui tebal lapis perkerasan jalan.
2. Hasil dan Pembahasan
Setelah dilakukan pengolhan data maka dapat diketahui nilai tebal
perkerasan jalan dari kedua metode yaitu metode Bina Marga 1987
dan metode Bina Marga Revisi 2017 dapat membandingkankannya
apakah perbedaaan dari kedua metode ini sangat signifikikan atau
tidak.
3. Kesimpulan dan Saran
Dari hasil pengolahan data, akan disimpulkan bagaimana
perbandingan metode Biba Marga 1987 dengan Metode Manual
Perkerasan Jalan Revisi 2017 dalam penentuan tebal lapis perkerasan
pada Jalan Pancer Kecamantan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi.
Penulis juga dapat memberikan saran agar penulisan proposal dan
laporan ini dapat dijadikan wawasan dalam perencanaan
pembangunan jalan di Kabupaten Banyuwangi khususnya daerah
industri dan wisata.

3.6 Jadwal Pelaksanaan


Jadwal kegiatan Tugas Akhir ini diawali dengan melakukan studi
literatur sebelum melaksanakan pembuatan proposal. Setelah melaksanakan
Seminar Proposal Tugas Akhir untuk diuji, Langkah selanjutnya adalah meminta
Data Jalan kepada pihak dan instansi yang terkait, lalu menganalisa data tersebut
menggunakan dua metode sehingga dapat diketahui tebal lapis perkerasannya.
Adapun jadwal pelaksanaan kegiatan tugas akhir dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut

52
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Proyek Akhir
Des Januari Februari Maret April Mei Juni
Minggu Minggu
Nama Kegiatan Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
ke- ke-
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Studi Pustaka
Pembuatan Proposal
Seminar Proposal
Revisi Proposal
Pengumpulan Data
Hasil dan Pembahasan
Pembuatan Laporan
Sidang Tugas Akhir
Revisi Laporan
Sumber: Hasil Pengolahan, 2018

Keterangan: : Waktu pelaksanaan kegiatan

53
---Halaman ini sengaja dikosongkan---

54

Anda mungkin juga menyukai