Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh memiliki jumlah sel darah
merah (hemoglobin) yang terlalu sedikit berada < 11 gr/dl (Proverawati, 2013).
Anemia merupakan masalah gizi yang paling sering di dunia. Penyebabnya
antara lain, malaria, infeksi parasit, defisiensi gizi, dan haemoglobinophatie.
Defisiensi gizi yang terjadi adalah anemia gizi yang kekurangan zat besi. Hal ini
merupakan masalah kesehatan baik di negara kaya maupun negara miskin.
Anemia zat besi merupakan indikator kesehatan tidak langsung bagi anak
prasekolah dan ibu hamil (WHO, 2001).

Anemia merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang terus


menjadi perhatian pemerintah. Pada tahun 2012, WHO melaporkan bahwa
prevalensi anemia pada ibu hamil di dunia berkisar rata-rata 41,8%. Selain itu,
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, angka
kejadian anemia di Indonesia masih tinggi, terdapat 37,1% ibu hamil yang
mengalami anemia (Riskesdas, 2013), angka ini menunjukkan peningkatan
dibandingkan prevalensi kejadian anemia tahun 2007 yaitu sebesar 24,5%
(Riskesdas,2007). Di Nusa Tenggara Barat berdasarkan hasil Survei Cepat
Anemia yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2013,
diketahui bahwa angka anemia pada ibu hamil di NTB adalah 56,5 %. Angka
tersebut menunjukkan bahwa kejadian anemia di Nusa Tenggara Barat berada
diatas prevalensi nasional ≥ 40 persen.

Faktor penyebab terjadinya anemia pada kehamilan dapat disebabkan


oleh faktor penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, faktor penyebab
secara langsung diantaranya yaitu asupan makanan. Asupan makanan sumber
protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan anemia. Kekurangan protein
menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transpor zat-zat gizi. Pertumbuhan
janin akan terhambat jika ibu kekurangan protein. Protein dapat meningkatkan
absorbsi zat besi non-heme khususnya protein hewani. Protein bersama zat besi
menyusun hemoglobin. Protein juga berperan dalam transportasi besi dalam

1
bentuk transferin. Selain protein, asupan sumber zat besi yang tidak adekuat
juga menyebabkan terjadinya anemia. Kekurangan zat besi berasosiasi kurang
menguntungkan untuk ibu dan bayi, termasuk meningkatkan risiko pendarahan,
sepsis, kematian ibu, prematuritas, kematian perinatal, dan berat badan lahir
rendah (WHO,1999). Selain itu terdapat faktor pendorong (enhacer) dan
penghambat (inhibitor) menjadi perhatian penting dalam menilai asupan zat besi.
Adapun salah satu zat gizi mikro yang digunakan bersama-sama dengan zat
besi untuk meningkatkan penyerapan zat gizi yang disebut dengan faktor
pendorong yaitu vitamin C. Vitamin C sangat berpengaruh terhadap
pembentukan kadar hemoglobin karena vitamin C membantu dalam penyerapan
zat besi (Novitasari,2014). Namun, terdapat juga beberapa zat dalam makanan
yang dapat menjadi penghambat penyerapan zat besi atau inhibitor. Zat tanin
dalam teh dan kopi termasuk inhibitor kuat bagi zat besi. Selain itu, pada
makanan yang mengandung kalsium, fosfat maupun fitat yang dikonsumsi dalam
jumlah besar akan menganggu penyerapan dari zat besi tersebut . Hal ini sejalan
dengan penelitian Pratiwi, dkk (2018) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara kebiasaan mengkonsumsi sumber pangan inhibitor zat besi
dengan kejadian anemia.
Ketidakpatuhan ibu untuk mengkonsumsi tablet zat besi secara rutin
merupakan faktor penyebab kejadian anemia, hal ini bisa disebabkan karena
faktor ketidaktahuan pentingnya tablet zat besi untuk kehamilannya
(Mandariska, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian Nugroho, dkk (2017) di
Kabupaten Fakfak Papua Barat yang menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara kepatuhan konsumsi tablet zat besi terhadap kejadian anemia
pada ibu hamil.
Penyebab terjadinya anemia pada ibu hamil menurut Harsono (2013)
selain faktor konsumsi, disebabkan juga oleh penyakit-penyakit kronis seperti
Tuberkolosis Paru, Infeksi Cacing Usus dan Penyakit Malaria. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Maliya, dkk (2014) di Sukoharjo menunjukkan
bahwa sebanyak 46,67% responden yang terkena anemia mengalami
kecacingan dengan mayoritas jenis cacing yang ditemukan adalah cacing
tambang.
Selain faktor konsumsi makanan sumber zat besi dan faktor risiko lainnya
atau faktor penyebab tidak langsungnya yang dapat menyebabkan anemia
2
adalah umur ibu, paritas, status KEK, jarak kehamilan, umur kehamilan, tingkat
pendidikan,serta status ekonomi ibu hamil .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2017) di Bantul yang
menyatakan bahwa usia ibu, paritas, dan status KEK berpengaruh terhadap
status anemia pada ibu hamil. Menurut Manuaba (2010), wanita yang
mempunyai usia berisiko yaitu wanita hamil yang mempunyai umur kurang dari
20 tahun dan lebih dari 35 tahun dapat merugikan kesehatan ibu maupun
pertumbuhan janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil. Selain
itu, faktor paritas juga berpengaruh terhadap status anemia ibu hamil. Ibu hamil
dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibandingkan dengan paritas rendah. Status KEK pada ibu hamil turut
mempengaruhi anemia pada ibu hamil. Ibu hamil yang anemia biasanya memiliki
status gizi yang tidak baik. Sesuai dengan teori Almatsier (2009) menyatakan
bahwa status gizi sangat berpengaruh terhadap kejadian anemia dalam
kehamilan.
Jarak kehamilan pendek menjadi salah satu penyebab yang dapat
mempercepat terjadinya anemia pada wanita. Jarak kehamilan yang baik
minimal dua tahun. Jarak kehamilan yang kurang dari dua tahun memungkinkan
kondisi ibu belum pulih, sehingga zat besi yang ada di dalam tubuhnya terbagi
untuk pemulihan tubuhnya dan kebutuhan kehamilan berikutnya (Fatimah dkk,
2011).
Umur kehamilan juga dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil.
Berdasarkan laporan survei cepat anemia di provinsi NTB (2013) menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur kehamilan ibu dengan
kejadian anemia gizi (p=0,011). Hiperemesis gravidarum diduga sebagai
penyebab tingginya anemia pada trimester I, terutama yang disebabkan oleh
mual dan muntah pada umur kehamilan ke 2 dan 3 pada pagi hari “morning
sickness”. Menjelang trimester kedua, kebutuhan zat besi mulai meningkat.
Pada saat terjadi pertambahan jumlah sel-sel darah merah, yang akan terus
berlanjut sampai trimester ketiga. Pertambahan sel darah merah disebabkan
oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dari janin, seperti yang terjadi pada
hyperthyroidsm. Konsentrasi hemoglobin menurun selama trimester kedua
sampai mencapai rata-rata 1 g/dl (Yuwono, S.R dkk 2013).

3
Berdasarkan hasil penelitian Yanti, dkk (2012) di Pringsewu Lampung
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu
hamil dengan kejadian anemia. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki baik dalam pencegahan anemia kehamilan,
pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Sebaliknya, pendidikan rendah akan menghambat perkembangan sikap
seseorang.
Pendapatan seseorang juga dapat mempengaruhi status anemia pada
ibu hamil. Menurut Wijanto status pekerjaan biasanya erat hubungannya dengan
pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu hamil yang tidak bekerja kemungkinan
akan menderita anemia lebih besar dibandingkan pada ibu yang bekerja. Hal ini
disebabkan pada ibu yang bekerja akan menyediakan makanan, terutama yang
mengandung sumber zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan yang tidak
bekerja (Tristiyanti, 2006).
Berdasarkan Laporan Evaluasi Gizi Mikro Provinsi NTB Tahun 2013 angka
anemia tertinggi terdapat di kota Mataram dengan nilai 85% . Angka tersebut
menunjukkan bahwa kejadian anemia di Kota Mataram berada di atas prevalensi
nasional yaitu ≥40 persen. Kota Mataram merupakan ibukota dari provinsi Nusa
Tenggara Barat , yang merupakan wilayah strategis yang dekat dengan sarana
perbelanjaan yang sebagai akses memperoleh bahan makanan dan fasilitas
kesehatan sebagai tempat memperoleh informasi kesehatan. Akan tetapi,
kejadian anemia masih tetap terjadi. Maka dari itu, peneliti ingin melakukan
kegiatan survey cepat gizi untuk mengetahui prevalensi anemia pada ibu hamil
dan faktor- faktor risiko yang menyebabkan terjadinya kejadian anemia pada ibu
hamil.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Mengetahui besarnya prevalensi anemia gizi pada ibu hamil dan faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia ibu hamil di Kota
Mataram.

4
2. Tujuan Khusus
a. Mengukur prevalensi anemia pada ibu hamil
b. Mengetahui karakteristik sampel (usia ibu, tingkat pendidikan,
pendapatan)
c. Mengetahui tingkat konsumsi protein, zat besi, vitamin C pada ibu hamil
d. Mengetahui pola konsumsi sumber pangan penghambat absorpsi zat
besi pada ibu hamil
e. Mengetahui kepatuhan konsumsi tablet zat besi pada ibu hamil
f. Mengetahui penyakit infeksi (kecacingan) pada ibu hamil
g. Mengetahui status kesehatan ibu hamil (umur kehamilan, jarak
kehamilan, paritas)
h. Mengetahui status KEK pada ibu hamil
i. Mengetahui hubungan usia ibu hamil terhadap kejadian anemia
j. Menganalisis hubungan pendidikan terhadap kejadian anemia pada ibu
hamil
k. Mengenalisis hubungan pendapatan terhadap kejadian anemia pada ibu
hamil
l. Menganalisis hubungan tingkat konsumsi protein, zat besi dan vitamin C
dengan kejadian anemia pada ibu hamil
m. Menganalisis hubungan pola konsumsi sumber pangan penghambat
absorpsi zat besi dengan kejadian anemia pada ibu hamil
n. Menganalisis hubungan kepatuhan konsumsi tablet zat besi dengan
kejadian anemia pada ibu hamil
o. Menganalisis hubungan penyakit infeksi (kejadian kecacingan) dengan
kejadian anemia pada ibu hamil
p. Menganalisis hubungan umur kehamilan dengan kejadian anemia pada
ibu hamil
q. Menganalisis hubungan jarak kehamilan dengan kejadian anemia pada
ibu hamil
r. Menganalisis hubungan paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil
s. Menganalisis hubungan status KEK dengan kejadian anemia pada ibu
hamil

Anda mungkin juga menyukai