Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i


BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2
2.1. Definisi ............................................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi ..................................................................................................... 2
2.3 Etiologi .............................................................................................................. 2
2.4 Klasifikasi ......................................................................................................... 4
2.5 Patogenesis ........................................................................................................ 5
2.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis Banding ......................................................... 6
2.7 Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 10
2.8 Tatalaksana...................................................................................................... 10
2.9 Prognosis ......................................................................................................... 15
BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

i
BAB I
PENDAHULUAN

Skrofuloderma adalah adalah infeksi mikrobakterial tuberkulosis yang


menyerang anak-anak dan dewasa muda, dimana terjadi penyebaran langsung
tuberkulosis ke dalam kulit dari struktur dibawahnya seperti kelenjar getah bening
(terutama servikal), tulang atau paru atau dengan pajanan kontak terhadap
tuberkulosis dengan manifestasi berupa pembengkakan subkutan yang tidak nyeri
yang berubah menjadi abses dingin, ulkus multipel dan pengaliran traktus sinus1
Skrofuloderma umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, wanita
agak lebih sering terjadi daripada pria.2 Penyebab utama terjadinya adalah
mycobacterium tuberculosis dan mikobakterium atipikal. Kasus skrofuloderma
banyak sekali dilaporkan pada negara berkembang. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutan yang mengarah ke pembentukan
abses dingin dan gangguan sekunder kulit diatasnya. Ini biasanya bisa dalam bentuk
multibasiler ataupun pausibasiler.1

2.2. Epidemiologi
Penyebaran skrofuloderma sudah mendunia. Daerah persebaran terjadi pada
iklim dingin namun saat ini sudah terjadi pada daerah tropis. Skrofuloderma
masih menjadi kasus yang paling banyak di daerah negara berkembang.2
Skrofuloderma biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, wanita agak
lebih sering daripada pria.2

2.3 Etiologi
Penyebab utama skrofuloderma disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis dan mikrobakteria atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skoto
kromogen, yakni M. scrofulaceum dan golongan IV atau rapid growers. M.bovis
dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula mikrobakteria golongan
lain.2
2.3.1 M. Tuberculosis2
M. Tuberculosis mempunyai sifat sebagai: berbentuk batang, panjang 2-4 /
dan lebar 0.3-1.5/m, tahan asam, tidak bergerak, tidak membentuk spora,
aerob, dan suhu optimal pertumbuhan pada 37°C.
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam.
1. Sediaan Mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah
bening. Pada pewarnaan dengan cara Ziehl Neelsen, atau
modifikasinya, jika positif kuman tampak berwarna merah pada
dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M.

2
Tuberculosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam,
misalnya M. Leprae.
2. Kultur
Kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen,
pengeraman pada suhu 37°C. Jika positif koloni tumbuh dalam
waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman
tuberkulosis.
3. Binatang Percobaan
4. Tes Biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk
membedakan jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif
berarti jenis human.
5. Percobaan Resistensi
2.3.2 Mikobakterial Atipikal2
Mikobakterial atipikal merupakan kuman tahan asam yang agak lain
sifatnya dibandingkan dengan M. Tuberculosis, yakni patogenitasnya
rendah, pada pembiakan umumnya membentuk pigmen, dan tumbuh pada
suhu kamar. Kuman tersebut dibagi menjadi 4 golongan:
a. Golongan I: Fotokromogen
Dapat membentuk pigmen, bila mendapat cahaya, misalnya:
M. Marinum dan M. kansasii.
b. Golongan II: Skotokromogen
Dapat membentuk pigmen dengan atau tanpa cahaya,
misalnya: M. Scrofulaceum.
c. Golongan III: Nonfotokromogen
Tidak dapat atau sedikit membentuk pigmen, walaupun
mendapat cahaya contohnya: M. Avium-intracellulare dan M.
Ulcerans.
d. Golongan IV: Rapid Growers
Koloni tumbuh dalam beberapa hari, misalnya M. Fortuitum
dan M. Abscessus.

3
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi
menurut Pillsburry:3,4
2.4.1 Tuberkulosis Kutis Sejati
2.1.4.1.1 Tuberkulosis Kutis Primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberculosis chancre)
2.1.4.1.2 Tuberkulosis Kutis Sekunder
a. Tuberkulosis kutis miliaris
b. Skrofuloderma
c. Tuberkulosis kutis verukosa
d. Tuberkulosis kutis gumosa
e. Tuberkulosis kutis orifisialis
f. Lupus vulgaris
2.4.2 Tuberkulid
2.1.4.2.1 Bentuk Papul
a. Lupus miliaris diseminatus fasiei
b. Tuberkulid papulonekrotika
c. Liken skrofulosorum
2.1.4.2.2 Bentuk Granuloma dan Ulseronodulus
a. Eritema Nodusum
b. Eritema Induratum
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat pada kelainan kulit
disertai gambaran histopatologik yang khas. Tuberkulosis kutis primer berarti
kuman masuk pertama kali kedalam tubuh. Tuberkulid merupakan reaksi id, yang
berarti kelainan kulit akibat alergi. Pada kelainan kulit tersebut tidak ditemukan
kuman penyebab, tetapi kuman tersebut terdapat pada tempat lain di dalam tubuh,
biasanya paru. Pada tuberkulid tes tuberculin memberi hasil positif.
Sedangkan pada tuberkulosis sekunder merupakan tuberkulosis dengan adanya
infeksi ulang. Dalam 153 kasus dengan TB kulit dilaporkan dari Pakistan, 41,2%
memiliki lupus vulgaris, 35,3% skrofuloderma (terutama anak-anak), dan 19%
tuberkulosis veruka.

4
2.5 Patogenesis
Cara infeksi ada 6 macam:5
a. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya: Skrofuloderma.
b. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya: Tuberkulosis kutis orifisialis.
c. Penjalaran secara hematogen, misalnya: Tuberkulosis kutis miliaris.
d. Penjalaran secara limfogen, misalnya: Lupus vulgaris.
e. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit
tuberkulosis, misalnya: Lupus vulgaris.
f. Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi
lokalnya telah menurun, misalnya: Tuberkulosis kutis verukosa.
Susunan Kelenjar Getah Bening6
Untuk lebih mengetahui pathogenesis tuberkulosis kutis, terutama
skrofuloderma, maka perlu dipahami susunan kelenjar getah bening. Di leher
susunannya demikian.

Gambar 1: Susunan Kelenjar Getah Bening2

5
Tepat dibawah dagu terdapat kgb. Submentalis, di bawah mandibula ialah kgb.
Submandibularis. Di sekitar muskulus sternokleidomastoideus terdapat kgb.
Servikalis superfisialis dan profunda. Aliran getah bening dari daerah hidung,
faring, dan tonsil ditampung oleh kgb. Submandibularis kemudian ke servikalis
profunda, karena itu bagi skrofuloderma di leher kuman dapat masuk dari tonsil.
Demikian pula aliran getah bening paru akan menuju ke kgb tersebut.
Pada daerah lipat paha secara klinis terdapat 3 golongan kgb. Jika antara
spina iliaka anterior superior dan simfisis dibagi menjadi 2 bagian yang sama, maka
di bagian lateral terletak kgb. Inguinalis lateralis, sedangkan di bagian medial
terdapat kgb inguinalis medialis. Yang ketiga adalah kgb. Femoralis yang terletak
di trigonum femoralis.
Kgb yang menampung getah bening dari daerah ekstremitas bawah ialah
kgb. Inguinalis lateralis dan kgb. Femoralis. Selain itu kgb inguinalis lateralis juga
menampung getah bening dari kulit di perut di bawah umbilikus dan dari daerah
bokong.
Kgb di aksila merupakan kelenjar regional untuk ekstremitas atas serta dada
dan punggung. Pada skrofuloderma di lipat paha yang diserang ialan kgb. Inguinalis
lateralis dan femoralis karena port d’entrée biasanya terletak di ekstremitas bawah.
Kgb Inguinalis medialis merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna karena
itu pada skrofuloderma biasanya tidak membesar. Pada stadium lanjut dapat
membesar akibat penjalaran dari kgb. Inguinalis lateralis.

2.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis Banding


Pada gambaran klinis dapat diuraikan bentuk yang tersering adalah
skrofuloderma:
2.6.1 Gambaran Klinis Skrofuloderma7
Timbulnya skrofuloderma akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ
dibawah kulit yang telah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari
kgb, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya
pada tempat-tempat yang banyak didapati kgb superfisialis, yang tersering adalah
pada leher, kemudian disusul di ketiak dan dan terjarang pada lipat paha.

6
Port d’entrée skrofuloderma didaerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika
di ketiak kemungkinan port d’entrée pada apeks pleura, bila di lipat paha pada
ekstremitas bawah. Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis
tuberkulosis, berupa pembesaran kgb, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor.
Gambaran klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya
penyakit. Jika penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap,
artinya terdapat semua kelainan yang telah disebutkan. Bila penyakitnya belum
menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum terbentuk.
Sebagai kesimpulan, maka pada skrofuloderma yang menahun akan
didapati kelainan sebagai berikut: pembesaran banyak kgb dengan konsistensi
kenyal dan lunak tanpa tanda-tanda radang akut lain, selain tumor; periadenitis;
abses dan fistel multiple; ulkus-ulkus dengan sifat yang khas; sikatriks-sikatriks
yang memanjanng dan tidak teratur; dan jembatan kulit.
Pada skrofuloderm di leher biasanya klinisnya khas, sehingga tidak perlu
diadakan diagnosis banding. Jika di daerah ketiak, dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada kelenjar apokrin.
Skrofuloderma didaerah lipat paha kadang-kadang mirip penyakit venerik
ialah limfogranuloma venereum (LGV).

Gambar 2: Bekas luka atrofi di daerah


supraklavikula bilateral

dan di aksila kanan. Fistula purulen di


wilayah parasternal kanan

dan aksila kanan3

7
Gambar 3: Tuberkulin tes kulit
dengan hasil 25mm x 24mm3

2.6.2 Diagnosis Banding1, 8


Diagnosis banding skrofuloderma adalah hidradenitis supurativa,
mikobakterium atipikal, sporotrikosis, gummatous sifilis, dan actinomycosis.
Skrofuloderma di leher biasanya mempunyai gambaran klinis yang khas
sehingga tidak perlu diadakan diagnosis banding. Walaupun demikian
aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher.
Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan beberapa
muara fistel produktif.
Jika skrofuloderma terdapat di daerah ketiak dibedakan dengan hidradenitis
supurativa yakni infeksi oleh Piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut
bersifat akut dan disertai dengan tanda – tanda radang akut yang jelas, terdapat
gejala konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan
sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.
Hidradenitis supurativa (HS) adalah suatu keadaan kronik, yaitu infeksi kelenjar
apokrin yang berhubungan dengan axilla dan regio anogenital.
Skrofuloderma yang terdapat di lipatan paha kadang – kadang mirip dengan
penyakiy venerik yaitu limfogranuloma venereum (LGV). Perbedaan yang penting
adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual pada anamnesis disertai gejala
konsitusi (demam, malese, artralgia) dan terdapat kelima tanda radang akut.
Lokalisasinya juga berbeda, pada LGV yang diserang adalah kelenjar getah bening
inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma menyerang getah bening inguinal
lateral dan femoral. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang

8
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei
positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.
Sedangkan sprotrikosis merupaka infeksi jamur akut atau kronik yang
disebabkan oleh Sporothrix schenckii. Merupakan infeksi jamur profunda yang
kronis dan ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar getah bening serta lesi yang
berupa nodul lunak dan mudah pecah lalu membentuk ulkus yang indolen.

Gambar 4: Hidradenitis Supurativa8

Gambar 5: Sporotrikosis8

9
Gambar 6: Aktinomikosis8

2.7 Pemeriksaan Penunjang9


Pada tuberkulosis kutis LED meninggi, tetapi peninggian LED ini lebih
penting untuk pengamatan hasil pengobatan dari pada untuk membantu diagnosis.
Pemeriksaan bakteriologik terutama penting untuk menentukan etiologinya.
Sebagai pembantu diagnosis mempunyai arti yang kurang, karena hasilnya
memerlukan waktu yang lama (8 minggu untuk kultur dan binatang percobaan).
Pemeriksaan histopatologik lebih penting daripada pemeriksaan
bakteriologik untuk menegakkan diagnosis karena hasilnya cepat, yakni dalam satu
minggu. Tes tuberculin mempunyai arti pada usia 5 tahun kebawah dan jika positif
hanya berarti pernah atau sedang menderita penyakit tuberkulosis.

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non Medikamentosa
Keadaan umum diperbaiki, misalnya keadaan gizi dan anemia.
2.8.2 Medikamentosa
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis
paru. Harus memperhatikan syarat berikut:
a. Pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi
resistensi.

10
b. Pengobatan harus dalam kombinasi, maksudnya sama dengan butir satu. Dalam
kombinasi tersebut INH disertakan, karena obat tersebut bersifat bakterisidal.
Kriteria penyembuhan pada skrofuloderma ialah: semua fistel dan ulkus telah
menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang daripada 1 cm dan
berkonsistensi keras). Daftar obat antituberkulosis ialah INH (H), rifampisin ®,
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisidal. Sedangkan
etambutol (E) bersifat bakteriostatik.
Nama Obat Dosis Cara Efek samping yang
Pemberian utama
INH 5-10 mg/kgBB Per os dosis Neuritis perifer
tunggal
Rifampisin 10 mg/kgBB Per os, dosis Gangguan hepar
tunggal waktu
lambung
kosong
Pirazinamid 20-35 mg/kgBB Per os dosis Gangguan hepar
terbagi
Etambutol Bulan I/II 25 Per os dosis, Gangguan N II
mg/kgBB, berikutnya tunggal
15 mg/kgBB
Streptomisin 25 mg/kgBB Im Gangguan N VIII,
terutama cabang
vestibularis

Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, ialah tahapan awal (intensif) dan
tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal ialah membunuh kuman yang aktif
membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman
yang tumbuh lambat.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi
tb kutis menjadi 2 fase terdiri dari:9
 Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis
(OAT); isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu.
Terapi fase inisial dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb
kutis.

11
 Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian,
sebanyak 2-3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan
untuk mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.

Tabel 1. Paduan OAT Kategori III

Tablet Tablet Tablet Tablet


Tahap Lama Jumlah kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan minum obat
(5mg/kgbb) (10mg/kgbb) (25mg/kgbb) (18mg/kgbb)
Tahap inisial
(dosis 8 minggu 1 1 3 1 60
harian)
1
Tahap 2
Dosis:
lanjutan
18 minggu Dosis: - - 54
(dosis
10mg/kgbb
3xseminggu) 10mg/kgbb

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ


lain seperti tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma.
Regimen pengobatan yang diberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai
berikut:
 OAT kategori I
OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita
baru dengan BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan
penderita tb ekstraparu berat misalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb,
peritonitis tb, perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan
spondilitis. Regimen pengobatan terdiri dari pemberian Isoniazid,
rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol (2HRZE/ 4H3R3).
OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis
tetap (KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri

12
dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan
blister.14

Tabel 1.1 Paduan OAT KDT kategori I9


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu
Berat RHZE selama 16 minggu
badan (150mg/75mg/400mg/275mg) RH (150mg/150mg)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 1.2 Paduan OAT kombipak kategori I


Dosis per hari/kali
Jumlah
Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol
minum
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kg) (15mg/kg)
obat
@300mg @450mg @500mg @250mg
Inisial 8 minggu 1 1 3 3 56
Lanjutan 16 2 1 - - 48
minggu (10mg/kg) (10mg/kg)

 OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan
pengobatan setelah lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam
bentuk KDT dan kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin,
pirazinamid, sterptomisin dan etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).9

13
Tabel 2.1 Paduan OAT KDT kategori II9
Tahap Intensif tiap hari
RHZE Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
(150mg/75mg/400mg/275mg) + S
Berat RH (150mg/150mg) +
Selama 56 hari Selama 28
badan E(400mg)
Hari

30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT


+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

Tabel 2.2 Paduan OAT kombipak kategori II9


Tahap Lama INH Rifamfisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin Jumlah
terapi terapi (5mg/kg) (10mg/kg) (25mg/kgbb) Tab Tab injeksi minum
@300mg @450mg @500mg 250mg 400mg obat
Inisial 8 1 1 3 3 - 56
minggu 0,75gr
4 1 1 3 3 28
minggu
Lanjutan 20 2 1 - - - - 60
minggu Dosis: Dosis :
10mg/kg 10mg/kg

2.1.8.3 Terapi Pada Anak


Terapi OAT yang dipergunakan adalah isoniazid (5-15 mg/kg/hari),
rifampisin (10-20 mg/kg/hari) dan pirazinamid (15-30 mg/kg/hari) pada 2 bulan
pertama yang diikuti pemberian isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang sama
untuk 4 bulan berikutnya.
Terapi OAT lainnya adalah etambutol (15-25 mg/ kg/hari) dan streptomisin (15-40
mg/kg/hari) untuk 2 bulan. Etambutol digunakan pada anak usia di atas 6 tahun

14
dengan pertimbangan efek samping obat, digunakan pada saat anak yang ketajaman
visual sudah dapat dinilai dan membedakan warna dengan jelas. Streptomisin lebih
sering dipergunakan pada anak berusia kurang dari 6 tahun, penilaian terhadap
pendengaran anak sudah dapat dinilai dengan baik. Setelah diagnosis
skrofuloderma ditegakkan terapi dengan regimen 4 OAT (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol) segera dimulai.

2.9 Prognosis
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah
disebutkan, prognosisnya baik.

15
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis kutis, seperti tuberkulosis paru, terutama terdapat di negeri


yang sedang berkembang. Tuberkulosis kutis disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis dan mikobakterial atipikal.
Dalam pemeriksaannya menggunakan pemeriksaan histopatologik dengan
menggunakan biopsi. Dalam penatalaksanaannya pengobatan harus dilakukan
secara teratur tanpa terputus agar tidak terjadi resistensi. Dan pengobatan harus
dalam kombinasi dengan mengikutsertakan INH yang bersifat bakterisidal. Dalam
prognosisnya, jika mengikuti syarat yang sudah disebutkan maka akan memiliki
prognosis yang baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Tappeiner G, Wolff K. Tuberculosis and other mycobacterial infections. In:


Freedberg IM, Eisen Az, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editor.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill;
2012.p 2225-40
2. Djuanda, Adhi. Tuberkulosis Kutis. Dalam: Menaldi S L SW.editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2016.
3. Renan Bernardes de Mello: Scrofuloderm: A Diagnostic Challenge.
https://doi.org/ 10.1590/abd1806-4841.20188560 diakses pada 14 Oktober 2019
4. Bhutto AM, Solangi A, Khaskhely NM et al. Clinical and epidemiological
observations of cutaneous tuberculosis in Larkana, Pakistan. Int J Dermatol 2002;
41: 159–165
5. Bolognia, Juan L. Cutaneous Tuberculosis. In: Callen, Jeffrey,editors. Bolognia
Dermatology. 2nd ed. Vol 1. United States; Mosby Elsevier; 2008.
6. Agarwa S, Berth-Jones J. Atypical Mycobacteria. In: Lebwohl MG, Heyman WR,
Berth-Jones J, Coulson I, editor. Treatment of Skin Disease: Comprehensive
Therapeutic Strategic. London: Mosby; 2002 p.65-7
7. MacGregor R.R.: Cutaneous tuberculosis. Clinic Dermatology. 1995; 13(3):245-
255.
8. Yates VM, Rook GAW. Mycobacterial infections. In: Burns T, Breathnach S, Cox
N, Griffiths Ch, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. Massachusetts:
Blackwell publishing; 2004. p. 2810–14.
9. Odom RB, James WD, Berger TG. Mycobacterial diseases. In: Odom RB, James
WD, Berger T, editors. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 9th
ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000: 417-21.

17

Anda mungkin juga menyukai