i
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Skrofuloderma adalah tuberkulosis subkutan yang mengarah ke pembentukan
abses dingin dan gangguan sekunder kulit diatasnya. Ini biasanya bisa dalam bentuk
multibasiler ataupun pausibasiler.1
2.2. Epidemiologi
Penyebaran skrofuloderma sudah mendunia. Daerah persebaran terjadi pada
iklim dingin namun saat ini sudah terjadi pada daerah tropis. Skrofuloderma
masih menjadi kasus yang paling banyak di daerah negara berkembang.2
Skrofuloderma biasanya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, wanita agak
lebih sering daripada pria.2
2.3 Etiologi
Penyebab utama skrofuloderma disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberculosis dan mikrobakteria atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skoto
kromogen, yakni M. scrofulaceum dan golongan IV atau rapid growers. M.bovis
dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula mikrobakteria golongan
lain.2
2.3.1 M. Tuberculosis2
M. Tuberculosis mempunyai sifat sebagai: berbentuk batang, panjang 2-4 /
dan lebar 0.3-1.5/m, tahan asam, tidak bergerak, tidak membentuk spora,
aerob, dan suhu optimal pertumbuhan pada 37°C.
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam.
1. Sediaan Mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah
bening. Pada pewarnaan dengan cara Ziehl Neelsen, atau
modifikasinya, jika positif kuman tampak berwarna merah pada
dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M.
2
Tuberculosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam,
misalnya M. Leprae.
2. Kultur
Kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen,
pengeraman pada suhu 37°C. Jika positif koloni tumbuh dalam
waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman
tuberkulosis.
3. Binatang Percobaan
4. Tes Biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk
membedakan jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif
berarti jenis human.
5. Percobaan Resistensi
2.3.2 Mikobakterial Atipikal2
Mikobakterial atipikal merupakan kuman tahan asam yang agak lain
sifatnya dibandingkan dengan M. Tuberculosis, yakni patogenitasnya
rendah, pada pembiakan umumnya membentuk pigmen, dan tumbuh pada
suhu kamar. Kuman tersebut dibagi menjadi 4 golongan:
a. Golongan I: Fotokromogen
Dapat membentuk pigmen, bila mendapat cahaya, misalnya:
M. Marinum dan M. kansasii.
b. Golongan II: Skotokromogen
Dapat membentuk pigmen dengan atau tanpa cahaya,
misalnya: M. Scrofulaceum.
c. Golongan III: Nonfotokromogen
Tidak dapat atau sedikit membentuk pigmen, walaupun
mendapat cahaya contohnya: M. Avium-intracellulare dan M.
Ulcerans.
d. Golongan IV: Rapid Growers
Koloni tumbuh dalam beberapa hari, misalnya M. Fortuitum
dan M. Abscessus.
3
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi
menurut Pillsburry:3,4
2.4.1 Tuberkulosis Kutis Sejati
2.1.4.1.1 Tuberkulosis Kutis Primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberculosis chancre)
2.1.4.1.2 Tuberkulosis Kutis Sekunder
a. Tuberkulosis kutis miliaris
b. Skrofuloderma
c. Tuberkulosis kutis verukosa
d. Tuberkulosis kutis gumosa
e. Tuberkulosis kutis orifisialis
f. Lupus vulgaris
2.4.2 Tuberkulid
2.1.4.2.1 Bentuk Papul
a. Lupus miliaris diseminatus fasiei
b. Tuberkulid papulonekrotika
c. Liken skrofulosorum
2.1.4.2.2 Bentuk Granuloma dan Ulseronodulus
a. Eritema Nodusum
b. Eritema Induratum
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat pada kelainan kulit
disertai gambaran histopatologik yang khas. Tuberkulosis kutis primer berarti
kuman masuk pertama kali kedalam tubuh. Tuberkulid merupakan reaksi id, yang
berarti kelainan kulit akibat alergi. Pada kelainan kulit tersebut tidak ditemukan
kuman penyebab, tetapi kuman tersebut terdapat pada tempat lain di dalam tubuh,
biasanya paru. Pada tuberkulid tes tuberculin memberi hasil positif.
Sedangkan pada tuberkulosis sekunder merupakan tuberkulosis dengan adanya
infeksi ulang. Dalam 153 kasus dengan TB kulit dilaporkan dari Pakistan, 41,2%
memiliki lupus vulgaris, 35,3% skrofuloderma (terutama anak-anak), dan 19%
tuberkulosis veruka.
4
2.5 Patogenesis
Cara infeksi ada 6 macam:5
a. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya: Skrofuloderma.
b. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya: Tuberkulosis kutis orifisialis.
c. Penjalaran secara hematogen, misalnya: Tuberkulosis kutis miliaris.
d. Penjalaran secara limfogen, misalnya: Lupus vulgaris.
e. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit
tuberkulosis, misalnya: Lupus vulgaris.
f. Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi
lokalnya telah menurun, misalnya: Tuberkulosis kutis verukosa.
Susunan Kelenjar Getah Bening6
Untuk lebih mengetahui pathogenesis tuberkulosis kutis, terutama
skrofuloderma, maka perlu dipahami susunan kelenjar getah bening. Di leher
susunannya demikian.
5
Tepat dibawah dagu terdapat kgb. Submentalis, di bawah mandibula ialah kgb.
Submandibularis. Di sekitar muskulus sternokleidomastoideus terdapat kgb.
Servikalis superfisialis dan profunda. Aliran getah bening dari daerah hidung,
faring, dan tonsil ditampung oleh kgb. Submandibularis kemudian ke servikalis
profunda, karena itu bagi skrofuloderma di leher kuman dapat masuk dari tonsil.
Demikian pula aliran getah bening paru akan menuju ke kgb tersebut.
Pada daerah lipat paha secara klinis terdapat 3 golongan kgb. Jika antara
spina iliaka anterior superior dan simfisis dibagi menjadi 2 bagian yang sama, maka
di bagian lateral terletak kgb. Inguinalis lateralis, sedangkan di bagian medial
terdapat kgb inguinalis medialis. Yang ketiga adalah kgb. Femoralis yang terletak
di trigonum femoralis.
Kgb yang menampung getah bening dari daerah ekstremitas bawah ialah
kgb. Inguinalis lateralis dan kgb. Femoralis. Selain itu kgb inguinalis lateralis juga
menampung getah bening dari kulit di perut di bawah umbilikus dan dari daerah
bokong.
Kgb di aksila merupakan kelenjar regional untuk ekstremitas atas serta dada
dan punggung. Pada skrofuloderma di lipat paha yang diserang ialan kgb. Inguinalis
lateralis dan femoralis karena port d’entrée biasanya terletak di ekstremitas bawah.
Kgb Inguinalis medialis merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna karena
itu pada skrofuloderma biasanya tidak membesar. Pada stadium lanjut dapat
membesar akibat penjalaran dari kgb. Inguinalis lateralis.
6
Port d’entrée skrofuloderma didaerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika
di ketiak kemungkinan port d’entrée pada apeks pleura, bila di lipat paha pada
ekstremitas bawah. Skrofuloderma biasanya mulai sebagai limfadenitis
tuberkulosis, berupa pembesaran kgb, tanpa tanda-tanda radang akut, selain tumor.
Gambaran klinis skrofuloderma bervariasi bergantung pada lamanya
penyakit. Jika penyakitnya telah menahun, maka gambaran klinisnya lengkap,
artinya terdapat semua kelainan yang telah disebutkan. Bila penyakitnya belum
menahun, maka sikatriks dan jembatan kulit belum terbentuk.
Sebagai kesimpulan, maka pada skrofuloderma yang menahun akan
didapati kelainan sebagai berikut: pembesaran banyak kgb dengan konsistensi
kenyal dan lunak tanpa tanda-tanda radang akut lain, selain tumor; periadenitis;
abses dan fistel multiple; ulkus-ulkus dengan sifat yang khas; sikatriks-sikatriks
yang memanjanng dan tidak teratur; dan jembatan kulit.
Pada skrofuloderm di leher biasanya klinisnya khas, sehingga tidak perlu
diadakan diagnosis banding. Jika di daerah ketiak, dibedakan dengan hidradenitis
supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada kelenjar apokrin.
Skrofuloderma didaerah lipat paha kadang-kadang mirip penyakit venerik
ialah limfogranuloma venereum (LGV).
7
Gambar 3: Tuberkulin tes kulit
dengan hasil 25mm x 24mm3
8
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei
positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.
Sedangkan sprotrikosis merupaka infeksi jamur akut atau kronik yang
disebabkan oleh Sporothrix schenckii. Merupakan infeksi jamur profunda yang
kronis dan ditandai dengan adanya pembesaran kelenjar getah bening serta lesi yang
berupa nodul lunak dan mudah pecah lalu membentuk ulkus yang indolen.
Gambar 5: Sporotrikosis8
9
Gambar 6: Aktinomikosis8
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non Medikamentosa
Keadaan umum diperbaiki, misalnya keadaan gizi dan anemia.
2.8.2 Medikamentosa
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis
paru. Harus memperhatikan syarat berikut:
a. Pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi
resistensi.
10
b. Pengobatan harus dalam kombinasi, maksudnya sama dengan butir satu. Dalam
kombinasi tersebut INH disertakan, karena obat tersebut bersifat bakterisidal.
Kriteria penyembuhan pada skrofuloderma ialah: semua fistel dan ulkus telah
menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang daripada 1 cm dan
berkonsistensi keras). Daftar obat antituberkulosis ialah INH (H), rifampisin ®,
pirazinamid (Z), dan streptomisin (S) yang bersifat bakterisidal. Sedangkan
etambutol (E) bersifat bakteriostatik.
Nama Obat Dosis Cara Efek samping yang
Pemberian utama
INH 5-10 mg/kgBB Per os dosis Neuritis perifer
tunggal
Rifampisin 10 mg/kgBB Per os, dosis Gangguan hepar
tunggal waktu
lambung
kosong
Pirazinamid 20-35 mg/kgBB Per os dosis Gangguan hepar
terbagi
Etambutol Bulan I/II 25 Per os dosis, Gangguan N II
mg/kgBB, berikutnya tunggal
15 mg/kgBB
Streptomisin 25 mg/kgBB Im Gangguan N VIII,
terutama cabang
vestibularis
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, ialah tahapan awal (intensif) dan
tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal ialah membunuh kuman yang aktif
membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman
yang tumbuh lambat.
Centers for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan kemoterapi
tb kutis menjadi 2 fase terdiri dari:9
Fase inisial
Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis
(OAT); isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu.
Terapi fase inisial dimaksudkan untuk memusnahkan bakteri penyebab tb
kutis.
11
Fase lanjutan
Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian,
sebanyak 2-3xseminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan
untuk mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.
12
dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan
blister.14
OAT kategori II
OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan
pengobatan setelah lalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam
bentuk KDT dan kombipak, terdiri dari isoniazid, rifamfisin,
pirazinamid, sterptomisin dan etambutol (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3).9
13
Tabel 2.1 Paduan OAT KDT kategori II9
Tahap Intensif tiap hari
RHZE Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
(150mg/75mg/400mg/275mg) + S
Berat RH (150mg/150mg) +
Selama 56 hari Selama 28
badan E(400mg)
Hari
14
dengan pertimbangan efek samping obat, digunakan pada saat anak yang ketajaman
visual sudah dapat dinilai dan membedakan warna dengan jelas. Streptomisin lebih
sering dipergunakan pada anak berusia kurang dari 6 tahun, penilaian terhadap
pendengaran anak sudah dapat dinilai dengan baik. Setelah diagnosis
skrofuloderma ditegakkan terapi dengan regimen 4 OAT (isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol) segera dimulai.
2.9 Prognosis
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah
disebutkan, prognosisnya baik.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17