PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Farmakognosi berasal dari dua kata Yunani yaitu Pharmakon
yang berarti obat dan gnosis yang berarti ilmu atau pengetahuan.Jadi
farmakognosi berarti pengetahuan tentang obat.Di Indonesia saat ini
untuk praktikum Farmakognosi hanya meliputi segi pengamatan
makroskopis, mikroskopis, dan organoleptik. Simplisia merupakan
bahan utama yang harus tersedia di tempat meramu atau meracik obat
dan umumnya diramu atau diracik sendiri oleh tabib yang memeriksa
si penderita, sehingga dengan cara tersebut Farmakognosi dianggap
sebagai bagian dari Materia Medika. Simplisia di apotek digantikan
dengan sediaan-sediaan galenik yaitu tingtur, ekstrak, anggur dan
lain-lain (Ryzki, 2012).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat
dengan cara mengambil sari simplisia menurut cara yang tepat dan
diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Salah satu cara ekstraksi
yang paling sering dilakukan adalah dengan merebus simplisia selama
30 menit. Hasil rebusan disaring dengan kain atau kawat kasa. Setelah
itu, air hasil rebusan dimasak sambil diaduk-aduk hingga mengental.
Hasilnya diperoleh ekstrak kental simplisia yang bisa diolah lagi
menjadi serbuk simplisia, sirup, obat, lulur atau ramuan bentuk krim
(Sudewo, 2009).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesua, kemudian semua atau hamper
semua pelarut duapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Ditjen POM, 1995).
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun kecuali dinyatakan lain,
berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1979).
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai
obat, belum mengalami pengolahan apapun, dan jika tidak dinyatakan
atau disebutkan lain, simplisia merupakan bahan yang
dikeringkan.Simplisia dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani,
dan simplisia pelikan atau mineral.Simplisia nabati adalah simplisia
berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau eksudat tanaman.
Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan oleh selnya. Tahapan
pembuatan simplisia meliputi pengumpulan bahan baku, sortasi
basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering,
pengepakan atau penyimpanan, dan pemeriksaan mutu (Suharmiati,
2003).
Kadar abu adalah hasil abu yang dihasilkan dari proses
pembakaran sempurna sampel bahan berselulosa, misalnya kayu,
pulp dan kertas. Kadar air bisa menyatakan banyaknya garam mineral
dan bahan tambahan anorganik dari suatu bahan uji (Puspitasari,
et.al, 1991).
b. Tujuan
1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan.
2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan.
3. Adanya kandungan abu tidak larut dalam asam yang cukup tinggi
menunjukan adanya pasir atau kotoran lain.
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan
organik (Sudarmadji 2003). Kandungan abu dan komposisinya tergantung
pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Bahan pangan yang terdapat di
alam mengandung mineral yang berupa abu. Mineral yang terdapat dalam
satu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan
garam anorganik. Garam organik terdiri dari garam-garam asam malat,
oksalat, asetat, dan pektat, sedangkan garam anorganik antara lain dalam
bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, dan nitrat. Mineral juga
biasanya berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organis
(Sediaoetomo 2000).
a. Alat
1. Krus
2. Oven
3. Loyang
4. Tang krus
5. Desikator
6. Tempat tanur
7. Timbangan analitik
b. Bahan
c. Prosedur
Simplisia awal : 3 gr
𝑐−𝑎
Perhitungan kadar abu total 𝑥100%
𝑏
Dengan C : bobot krus dan abu (gr)
A : bobot cawan kosong (gr)
B : bobot simplisia awal (gr)
Perhitungan Krus A
35,016−34,47
Penentuan kadar abu total : 𝑥 100% = 18,2 %
3
Perhitungan Krus B
35,214−34,52
Penentuan kadar abu total : 𝑥100% = 23,13 %
3
2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini,proses pengabuan dilakukan dengan
menggunakan Muffle Furnace (tanur) yang memijarkan sampel pada
suhu mencapai 550°C penggunaan tanur karena suhunya dapat diatur
sesuai dengan suhu yang telah ditentukan untuk proses pengabuan.
Sampel yang telah halus ditimbang 3 gram, sebelum dimasukkan
kedalam tanur terlebih dahulu sampel dipanaskan dioven tujuannya
agar dapat meminimalkan asap atau jelaga yang muncul pada saat
pengabuan. Untuk kali ini analisis kadar abu total menggunakan
bahan atau sampel simplisia curcuma manggae rhizoma (temu
mangga). Setelah tercapai pengabuan yang dapat ditunjukkan pada
warna yang dihasilkan sampel setelah diarangkan,pada pengabuan
sampel telah menjadi abu berwarna putih abu-abu. Berat abu yang
didapat pada sampel temu mangga ini yakni krus A = 0,546 (g) dan
krus B = 0,694 (g), jauh sekali penurunan berat yang terjadi karena
berat sampel awal 3 gram,berarti selama proses pemanasan awal
sampai pada proses pengabuan telah terjadi penguapan air dan zat-zat
yang terdapat pada sampel,sehingga yang tersisa hanyalah sisa dari
hasil pembakaran yang sempurna yakni abu.
Pada sampel temu mangga ini didapat kadar abu sebesar 18,2%
untuk krus A dan 23,13% untuk krus B, yang dihitung berdasarkan
berat krus dan abu dikurangi krus kosong dibagi berat simplisia awal
dikalikan 100%.
Namun dalam literatur pada Farmakope Herbal Indonesia, abu
total curcuma manggae rhizoma (temu mangga) itu tidak lebih dari
8,1%, sedangkan hasil praktikum kadar abu kali ini menghasilkan
18,2% dan 23,13% sangat jauh dari literatur. Hal ini disebabkan
karena adanya kesalahan yang terjadi seperti kurang telitinya
praktikan saat menjalankan praktikum, atau disebabkan adanya
kotoran seperti pasir yang menempel pada sampel.
BAB V. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari penentuan kadar abu total simplisia curcuma
manggae rhizoma adalah 18,2% dan 23,13%.