Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra,
2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di
Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa
massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikro arsitektur tulang, dan
penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat
meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati,
2006).
Osteoporosis kini telah menjadi salah satu penyebab penderitaan dan cacat
pada kaum lanjut usia. Bila tidak ditangani, osteoporosis dapat mengakibatkan
patah tulang, cacat tubuh, bahkan timbul komplikasi hingga terjadi kematian.
Resiko patah tulang bertambah dengan meningkatnya usia. Pada usia 80 tahun,
satu dari tiga wanita dan satu dari lima pria berisiko mengalami patah tulang
panggul atau tulang belakang. Sementara, mulai usia 50 tahun kemungkinan
mengalami patah tulang bagi wanita adalah 40%, sedangkan pada pria 13%
(Tandra, 2009).
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa definisi osteoporosis?
b. Bagaimana epidemiologi osteoporosis?
c. Bagaimana etiologi osteoporosis?
d. Bagaimana klasifikasi osteoporosis?
e. Bagaimana menisfestasi klinik osteoporosis?

1
1.3 Tujuan
a. Mengetahui definisi osteoporosis
b. Mengetaui epidemiologi osteoporosis
c. Mengetahui etiologi osteoporosis
d. Mengetahui klasifikasi osteoporosis
e. Mengetshui menifestasi klinik osteoporosis

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan
struktur tulang (perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga
menyebabkan tulang menjadi muah patah. ( Duque and Troen, 2006 dan Hughes,
2006 ).
Secara tidak langsung massa tulang yang memiliki sedikit lebih rendah
dari orang normal. Sehingga untuk terjadinya patah tulang akan lebih rendah
dibandingkan dengan osteoporosis. Dari kejadian osteopenia ini lama kelamaan
akan menjadi akan menjadi osteoporosis. (Cosman, 2009).
Osteoporosis sering disebut juga dengan “silent disease”, karena penyakit
ini datang secra tiba-tiba, tidak memiliki gejala yang jelas dan tidak terdeteksi
hingga orang tersebut mengalami patah tulang. (Nuhonni, 2009). Akan tetapi,
menurut Yatim (2003), biasanya seseorang yang mengalami osteoporosis akan
merasa sakit/ pegal-pegal di bagian punggung atau daerah tulang tersebut. Dalam
beberapa hari/minggu, rasa sakit tersebut dapat hilang dengan sendiri dan tidak
akan bertambah sakit dan menyebar jika mendapat beban yang berat. Biasanya
postur tubuh penderita osteoporosis akan melihat membungkuk dan terasa nyeri
pada tulang yang mengalami kelainan tersebut (ruas tulang belakang). (Yatim,
2003).
Osteoporosis terbagi menjadi 2 tipe, yaitu primer dan sekunder.
Osteoporosis primr terbagi lagi menjadi 2 tipe 1 (postmenopausal) dan tipe 2
(senile). Penyebab terjadinya osteoporosis tipe 1 erat kaitannya dengan hormon
estrogen dan kejadian menopause pada wanita. Tipe ini biasanya terjadi selama
15-20 tahun setelah masa menopause atau pada wanita sekitar 51-73 tahun (Putri,
2009) dan pada tipe ini tulang trabekular menjadi sangat rapuh sehingga memiliki
kecepatan fraktur 3 kali lebih cepat dari biasanya. (Riggs et al, 1982 dalam
National Research Council, 1989) Sedangkat tipe 2 biasanya terjadi diatas usia 70
tahun 2 kali lebih sering menyerang wanita. Penyebab terjadinya senile
osteoporosis yaitu karena kekurangan kalsium dan kurangnya sel-sel perangsang

3
pembentuk vitamin D, dan terjadinya tulang pecah dekat sendi lutut dan paha
dekat sendi panggul. ( Yatim, 2003 )
Tipe osteoporosis sekunder, terjadinya karena adanya gangguan kelainan
hormon, penggunaan obat-obatan dan gaya hidup yang kurang baik seperti
konsumsi alkohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok. ( Hartono, 2004 )
2.2 Epidemiologi
Wanita lebih sering mengalami osteoporosis dan lebih ekstensif lebih dari
pria karena masa puncak masa tulang juga lebih rendah dan efek kehilangan
estrogen selama menopause, wanita Afrika/Amerika memiliki masa tulang lebih
besar dari pada wanita kaukasia lebih tidak rentang terhadap osteoporosis. Wanita
kaukasia tidak gemuk dan berkerangka kecil mempunyai resiko tinggi
osteoporosis. Lebih setengah dari semua wanita diatas usia 45 tahun
memperlihatkan bukti pada sinar x adanya osteoporosis.
Identifikasi awal wanita usia belasan dan dewasa muda yang mempunyai
resiko tinggi dan pendidikan untuk meningkatkan asupan kalsium, berpartisipasi
dalam latihan pembebanan berat badan teratur, dan mengubah gaya hidup
misalnya mengurang penggunaan cafein, sigaret dan alcohol akan menurunkan
resiko menurunkan resiko menurunkan osteoporosis, fraktur tulang dan kecacatan
yang diakibatkan pada usia lanjut.
Prevalensi osteoporosis pada wanita 75 tahun adalah 90%. Rata-rata
wanita usia 75 telah kehilangan 25% tulang kortikortiroidnya dan 40%
trabekuarnya dengan bertambahnya usia populasi ini isendensi fraktur 1,3 jt
pertahun, nyeri dan kecacatan yang berkaitan dengan nyeri meningkat.( Agung.
2016).
2.3 Etiologi
Osteoporosis (sekunder dan fraktur osteoporosis) disebabkan oleh
glukokortikoid yang mengganggu absorbs kalsium diusus dan peningkatan
ekstraksi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,
hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Terhadap osteoblas
glukokortikoid akan menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun.
Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi

4
tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. (Sudoyo
Aru, 2006 ).
Faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis adalah : (Nurarif, A.H &
Kusuma, H. 2015)
1. Umur : sering terjadinya pada usia lanjut.
2. Ras : Kulit putih mempunyai resiko paling tinggi.
3. Faktor keturunan : ditemukan riwayat keluarga dengan keropos tulang
4. Adanya kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis vertebra. Terutama
terjadi pada wanita umur 50-60 tahun dengan densitas tulang yang rendah
dan di atas umur 70 tahun dengan BMI yang rendah. (BMI = Mody Mass
Index yaitu berat badan dibagi kuadrat tinggi badan).
5. Aktivitas fisik yang kurang.
6. Tidak pernah melahirkn.
7. Menopause dini (menopause yang terjadi pada umur 46 Tahun)
8. Gizi (kekurangan protein dan kalsium dalam masa kanak-kanak dan
remaja).
9. Hormonal yaitu kadar esterogen plasma yang kurang.
10. Obat misalnya kortikosteroid.
11. Kerusakan tulang akibat kelelahan fisik.
12. Jenis kelamin : 3 kali lebih sering terjadi pada wanita
Selain itu, ada pula faktor risiko yang dapat mencetuskan timbulnya
penyakit osteoporosis yaitu :
1. Determinan Massa Tulang
a. Faktor genetik
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain
kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai
struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia. Jacii
seseorang yang mempunyai tulang kuat ( terutama kulit Hitam Amerika ),
relatif imun terhadap fraktur karena osteoporosis.

5
b. Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor
genetk. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan
berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.
Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa ada hubungan langsung
dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut
menunjukkan respons terhadap kerja mekanik Beban mekanik yang berat
akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar.
Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai
adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan
atau tungkainya, sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan
dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang
lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Faktor makanan
dan hormon. Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi
yang cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai
maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian
makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas kebutuhan maksimal
selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang
yang melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai
dengan kemampuan genetiknya.
2. Determinan penurunan Massa Tulang
a. Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko
fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini
tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang
normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat
genetiknya serta beban mekanis den besar badannya. Apabila individu
dengan tulang yang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa
tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu
tersebut relatif masih mempunyai tulang tobih banyak dari pada individu
yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama

6
b. Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang terpenting
dalarn proses penurunan massa tulang sehubungan dengan lanjutnya usia.
Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting antara
faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal.
c. Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia, terutama
pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi yang sangat
penting. Wanita-wanita pada masa pre menopause, dengan masukan
kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak banyak, akan mengakibatkan
keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang mereka yang masukan
kalsiumnya baik dan absorbsinyajuga baik, menunjukkan keseimbangan
kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa
menopause ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan
keseimbangan kalsium dalam tubuhnya
d. Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan
ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui urin, hal ini akan
meningkatkan ekskresi kalsium. Pada umumnya protein tidak dimakan
secara tersendiri, tetapi bersama makanan lain. Apabila makanan tersebut
mengandung fosfor, maka fosfor tersebut akan mengurangi ekskresi
kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor tersebut akan mengubah
pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari makanan yang
mengandung protein berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan untuk
terjadi keseimbangan kalsium yang negatif
e. Estrogen.
Berkurangnya/ hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan
terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh
karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga
menurunnya konservasi kalsium di ginjal.

7
f. Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan
mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan
kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan
massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak
ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
g. Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan.
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan
kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat.
Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti.
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi osteoporosis : (chairuddin Rasjad, 2007)
1. Osteoporosis primer
Osteoporosis primer terbagi menjadi 2 tipe, yaitu :
- tipe 1 : tipe yang timbul pada wanita pasca menopause
- tipe 2 : terjadi pada orang lanjut usia baik pada pria maupun wanita.
2. Osteoporosis sekunder
Disebabkan oleh penyakit-penyakit tulang erosive (misalnya, myeloma
multiple, hipertiroidisme, hiperparatioridisme) adan akibat obat-obatan
yang toksik untuk tulang (misalnya glukokortikoid)
3. Osteoporosis idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan di temukan pada :
a) usia kanak-kanak (juvenii)
b) usia remaja (adolesen)
c) wanita pra-menopause
d) pria usia pertengahan.
2.5 Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang dapat ditimbulkan yaitu (Nurarif, A.H & Kusuma,
H, 2015):
1. Manifestasi umum : penurunan tinggi badan, lordosis, Nyeri pada tulang,
atau fraktur, biasanya pada vertebra, pinggul atau lengan bagian bawah.

8
2. Nyeri tulang: terutama pada tulang belakang yang intensitas seranganya
meningkt pada malam hari.
3. Deformitas tulang : dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan
menyebabkan kifosis anguler yang dapat menyebabkan medulla spinalis
tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.
4. Nyeri fraktur akut dapat diatasi dalam 2 hingga 3 bulan. Nyeri fraktur
kronis dimanifestasikan sebagai rasa nyeri yang dalam dan dekat dengan
tempat patahan.
2.6 Patofisiologi
Osteoporosis merupakan kelainan metabolik tulang yang ditandai dengan
berkurangnya massa tulang dan adanya kerusakan dari arsitektur tulang sehingga
terjadi peningkatan kerapuhan tulang yang dapat menyebabkan mudah terjadi
fraktur. Massa tulang yang berkurang akan membuat tulang semakin tipis dan
rapuh sehingga mudah patah pada trauma yang ringan.
Bone remodelling terjadi seumur hidup dan mencapai puncaknya saat
dewasa (sekitar umur 30 tahun) kemudian menurun sesuai pertambahan umur,
kemudian terjadi keseimbangan antara aktivitas osteblastik dan osteoklastik
(pembentukan dan resorpsi tulang). Keseimbangan tersebut dipengaruhi oleh
hormon estrogen, paratiroid dan kalsitriol.
Pada pasca menopause, terjadi penurunan estrogen yang dapat
menyebabkan meningkatnya resorpsi tulang, dan diduga berhubungan dengan
peningkatan sitokin. Resorpsi tulang tersebut akan meningkatkan kadar kalsium
dalam darah dan menyebabkan penekanan terhadap hormon paratiroid. Kadar
hormon paratiroid yang rendah sering dijumpai pada penderita osteoporosis, yang
juga akan menurunkan kadar 1,25 dehydroxy vitamin D (kalsitriol), sehingga
penyerapan kalsium jadi menurun. Telah banyak diketahui bahwa osteoporosis
pasca menopause menunjukkan bahwa ada gangguan penyerapan kalsium serta
rendahnya kadar 1,25 Dehydroxy vitamin D dalam darah.(Agung, 2016).
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah, (Nurarif, A.H &
Kusuma, H, 2015):

9
a. Foto Rontgen polos
b. CT-Scan : dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam diagnostic dan terapi follow up
c. Pemeriksaan laboratorium
2.8 Penatalaksanaan
The national osteoporosis guideline group (NOGG) telah memperbarui
guideline 2009 pada hal penegakan diagnosis dan tatalaksana osteoporosis wanita
post menopouse dan pria usia sekurang-kurangnya 50 Tahun di inggris. Sejak
tahun 2009 telah terjadi banyak pembaharuan di lapangan terutama dalam
tatalaksana osteoporosis Yang diinduksi glukokortikoid, lalu peran calcium dan
vitamin D serta keuntungan dan resiko terapi bisphosphonate, seperti yang
dikatakan oleh J. Composton, MD dari the university of Cambridge School of
Clinical Medicine, United Kingdom,dan kolega dari the NOGG. (Nurarif, A.H &
Kusuma, H.2015):
Beberapa hal yang disorot dalam guideline NOGG 2013:

1. Terapi farmakologi yang dapat menurunkan risiko terjadinya fraktur vertebra


(dan beberapa kasus fraktur tulang panggul ) seperti bisphosphoanate,
denosumab, rekombian hormone parathyroid, reloxifene, dan strontium
ranelate. Pada NOGG 2009, terapi yang diakui untuk kasus fraktu vertebra,
non vertebra dan fraktur tulang panggul hanya alendronate, risedronate,
zoledronate dan terapi sulih hormone.
2. Alendronate genetic direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena
kerja spectrum luasnya sebagai agen antifraktur dengan harga terjangkau.
3. Ibandronate, risedronate, zoledronic acid, denosumab, raloxifane atau
strontium ranelate digunakan sebagai terapi pilihan jika aldronate
dikontraindikasikan atau tidak dapat di toleransi dengan baik oleh pasien.
4. Karena harga yang mahal, maka rekombinan hormon parathyroid hanya
diberikan kepada pasien dengan risiko sangat tinggi fraktur terutama pada
vertebra.
5. Wanita postmenopause dapat mendapatkan manfaat dari calcitrol,etidronate,
dan terapi hormone pengganti.

10
6. Terapi untuk pria dengan risiko tinggi terjadi fraktur harus dimulai dengan
alendronate, risedronate, zoledronste, atau teriparatide.
7. Bagi wanita post menpause, terapi yang diakui untuk pencegahan dan
pengobatan osteoporosis akibat glukokortiroid yaitu alendronate dan
risedronate, sementara itu terapi pilihan yang diakui baik unntuk wanita dan
juga pria adalah teriparatide dan zoledronate.
8. Suplemen kalsium dan vitamin D secara luas direkomendasikan untuk para
lansia dan sebagai terapi osteoporosis.
9. Efek potensial pada kardiovasskular akibat pemberian suplemen kalsium
masih kontrovesial, namun sangat baik jika asupan kalsium melalui makanan
ditingkatkan dan menggunakan suplemen vitamin D saja dari pada
mengkonsumsi suplemen calcium dan vitamin D bersamaan.
10. Penghentian mendadak bisphoponate dihibungkan dengan penurunan BMD
dan bone turn over setelah 2-3 tahun diterapi engan alendronate dan
risedronate.
11. Terapi bisphophonate dilanjutkan mesikipun tanpa evaluasi lebih lanjut
terutama pada pasien dengan risiko sangat tinggi terjadi fraktur, dimana
review terapi dan evaluasi fungsi ginjal cukup dilakukan setiap 5 tahun sekali.
12. Jika biosphonate dihentikan, risiko fraktur dievaluasi ulang tiap kali setelah
terjadinya fraktrur baru, atau setelah 2 tahun jika terjadi fraktur baru.
13. Setelah 3 tahun diterapi dengan zoledronaate, manfaat yang timbul pada
BMD akan tetap ada sampai dengan 3 tahun setelah terapi dihentikan.
Kebanyakan pasien harus menghentikan pengobatan setelah terapi 3 tahun,
dan dokter harus melakukan evaluasi ulang akan kebutuhan untuk
melanjutkan terapi dalam 3 tahun mendatang.
14. Pasien dengan fraktur vertebra sebelumnya atau terapi awal osteoporosis
tulang panggul dengan skor T BMD kurang dari sama dengan -2,5 SD dapat
mengalami penigkatan risiko fraktur vertebra jika zoledronate dihentikan.

11
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Anamnesa
a. Identitas Klien
Seperti nama, umur, jenis kelamin, agama, suku atau bangsa, bahasa,
pendidikan, pekerjaan, status, dan tempat tinggal.
b. Keluhan Utama
Pasien mengeluh ngilu di bagian esktremitas.
c.Riwayat kesehatan
Pengkajian merupakan peranan penting pada saat evaluasi penderita
osteoporosis. Terkadang hal pertama yang dikeluhkan oleh pasien
mengarah pada diagnosis. Faktor lain yang diperhatikan antara lain umur,
jenis kelamin, ras, status haid, fraktur pada trauma minimal, imobilisasi
lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan cahaya
matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan teratur dan
bersifat bantalan berat. Obat-obatan yang dikonsumsi pasien dalam jangka
waktu lama harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid, anti
konvulsan, antasida yang mengandung aluminium, sodium florida, dan
bifosfonat etidronat, alkohol dan kebiasaan merokok juga merupakan
faktor resiko terjadinya osteoporosis.
d. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga,
mengisis waktu luang, rekreasi, berpakaian,makan, mandi, toilet. Olahraga
dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa dirinya
menjadi lebih baik. Selain itu juga dapat memperthankan tonus ototdan
gerakan sendi. Pada usia lanjut perlu aktivitas yang adekuat untuk dapat
mempertahankan fungsi tubuh.aktivitas tubuh memerlukan interaksi yang
kompleks antara saraf dan muskoloskeletal. Beberapa perubahan yang
terjadi sehubungan dengan menurunnya gerak persendian merupakan

12
kemampuan gerak cepat dan lancar menurun, stamina menurun dan
kemampuan memanipulasi ketrampilan motorik halus pun menurun.
B. Pemeriksaan fisik
a. Sistem pernafasan
Pada penderita kifosis berat terjadi perubahan pernafasan, karena adanya
penekanan pada fungsional paru.
b. Sistem kardiovaskuler
Tanda dan gejala kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau
mayakinkan mengenai perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit
petunjuk diagnosa yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis.
Tanda-tanda tromboflebitis antara lain eritmia, eema, nyeri tekan dan tanda
homans positif. Intoleransi ortostatik bisa menunjukkan suatu gerakan
untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan
tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitan dalam
mengikuti perintah dan sinkop.
c. Sistem persyarafan
Nyeri punggung yang disertai dengan pembatasan pergerakan spinal yang
disadari dan halus merupakan indikasi adnya fraktur satu atau lebih fraktur
kompresi vertebral.
d. Sistem perkemihan
Bukti adanya perubahan-perubahan fungsi perkemihan termasuk tanda-
tanda fisik berupa urin sedikit dengan frekuensi sering, distensi abdomen
bagian bawah, dan batas kandung kemih dapat diraba. Gejala-gejala
kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berekskresi
dan tekanan atau nyeri pada abdomen di bagian bawah.
e. Sistem pencernaan
Gangguan yang terjadi pada sistem pencernaan adalah konstipasi termasuk
rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, rasa penuh, tekanan.
Pengosongan rektum yang tidak sempurna, anoreksia, mual, gelisah,
depresi mental, iritabilitas, kelemahan, da sakit kepala.

13
f. Sistem muskuluskeletal
Inspeksi dan palpasi pada daerah columna vertebratalis, psien dengan
osteoporosis sering menunjukkan kifosis dan penurunan tinggi badan.
Adanya perubahan dalam gaya berjalan, deformitas tulang, nyeri spinal.
Lokasi fraktur yang sering terjadi adalah antara vertebrata thorakal 8 dan
lumbal 3. Indicator utama dari parahnya imobilitas pada sistem
muskoloskeletal adlahpenurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan
otot, rentang gerak sendi, dan kekuatan skeletal. Pengkajian fungsi secara
periodik dapat digunakan untuk memantau perubahan dan keefektifan
intervensi.
C. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi, yang menjadi khas adalah densitas atau massa tulang yang
menurun yang terlihat pada vertebrata spinalis.
b. Ct-scan
c. Foto Rontgen polos
d. Pemeriksaan laboratorium
D. Pola pengkajian Gordon
1) Persepsi kesehatan / penanganan
Persepsi klien tentang status kesehatan umum. Ketaatan pada praktik
kesehatan preventif. Apabila pasien sakit, pasien segera berobat ke rumah
sakit/puskesmas.
2) Nutrisi-metabolik
Pola masukan makanan dan cairan, keseimbangan cairan dan elektrolit,
kemampuan umum untuk penyembuhan. Intake makanan pasien sebelum
sakit bisa menghabiskan 1 porsi makan, tetapi selama sakit intake
makanan pasien berkurang begitu juga dengan intake cairan.
3) Eliminasi
Pola fungsi pembuangan (usus, kandung kemih, kulit) dan persepsi klien.
4) Aktivitas/latihan
Pola latihan, aktivitas, bersenang-senang, rekreasi, dan kegiatan sehari-
hari, faktor-faktor yang mempengaruhi pola-pola individu yang
diharapkan atau diinginkan.

14
5) Kognitif-perseptual
Keadekuatan alat sensori, seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan,
sentuhan, penghidu, persepsi nyeri, kemampuan fungsional kognitif.
6) Istirahat-tidur
Pola tidur dan periode istirahat-relaksasi selama 24 jam sehari, dan juga
kualitas dan kuantitas.
7) Persepsi diri / konsep diri
Sikap individu mengenai dirinya, persepsi terhadap kemampuan, citra
tubuh, perasaan senang dan pola emosi.
8) Peran-hubungan
Persepsi pasien tentang peran yang utama dan tanggung jawab dalam
situasi kehidupan sekarang.
9) Seksualitas / reproduksi
Kepuasan atau ketidakpuasan yang dirasakan klien dengan seksualitas.
Tahap dan pola reproduksi.
10) Koping / toleransi
Pola koping yang umum, toleransi stres, sistem pendukung, dan
kemampuan yang dirasakan untuk mengendalikan dan menangani situasi.
3.2 Analisa Data

Data fokus Masalah Etiologi


DS: Nyeri akut Pergeseram fragmen
Pasien mengatakan nyeri tulang akibat fraktur
pada bagian tulang dan
persendian
DO:
- Klien tampak meringis
- Skala nyeri 5 (0-10)
- TD: 130/90 mmHg
- Nadi: 96 x/menit
- RR: 24x/menit
- Suhu: 36 0C

15
DS: Hambatan mobilitas Fungsi ekstremitas dan
- Pasien mengatakan fisik penurunan kekuatan otot.
nyeri ketika berjalan
- Pasien mengatakan
lemas
DO:
Pasien mengalami
penurunan tinggi badan
DS: Defisiensi Kurangnya informasi
Pasien mengatakan pengetahuan proses osteoporosis dan
kurang mengerti tentang program terapi.
penyakitnya
DO:
- Pasien terlihat gelisah
- Klien/keluarga
banyak bertanya
DS: Ansietas Kurangnya informasi dan
Pasien mengatakan cemas perubahan dalam status
dengan adanya perubahan kesehatan.
status kesehatannya
DO:
- Wajah pasien terlihat
gelisah
DS: Resiko jatuh Gangguan keseimbangan,
- Pasien mengeluh penurunan aktifitas, dan
kemampuan gerak cepat kekuatan otot.
menurun
- Pasien mengatakan
keseimbangan tubuhnya
menurun
DO: Tubuh pasien terlihat

16
bungkuk
DS: Defisit perawatan diri Gangguan fungsi
- Pasien mengatakan ekstremitas.
malas untuk mandi
dan berdandan
- Pasien merasa lemas
DO:
- Rambut pasien terlihat
kusam dan kotor
- Kuku panjang dan
tidak terawat
DS: Risiko cedera Gangguan keseimbangan,
Pasien mengeluh penurunan aktivitas dan
kemampuan gerak cepat kekuatan otot.
menurun
DO:
Tulang belakang terlihat
bungkuk

3.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa yang mungkin muncul akibat osteoporosis antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
ekstremitas dan penurunan kekuatan otot.
3. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi proses
osteoporosis dan program terapi.
4. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi dan perubahan
dalam status kesehatan.
5. Resiko jatuh berhubungan dengan gangguan keseimbangan, penurunan
aktifitas, dan kekuatan otot.
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan fungsi ekstremitas.
7. Resiko cedera berhubungan dengan dampak perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh.

17
3.4 Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa 1: Nyeri akut berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam nyeri akut dapat
diatasi
Kriteria hasil:
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
- Mampu mengenali (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi Rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. pengkajian yang dilakukan
komprehensif termasuk lokasi, secara komprehensif dapat
karakteristik, durasi, frekuensi, mengidentifikasikan secara
kualitas, dan faktor presipitasi mendetail dan menyeluruh
mengenai keluhan pasien.
2. Kontrol lingkungan yang dapat 2. Gangguan lingkungan dan
mempengaruhi nyeri seperti suhu rangsangan dapat
ruangan, kebisingan meningkatkan tekanan
3. Ajarkan tekhnik nonfarmakologi vaskuler serebral
(distraksi, guide imagery) 3. Meningkatkan relaksasi dan
4. Berikan analgetik sesuai indikasi dapat mengurangi nyeri
4. Analgetik dapat mengurangi
nyeri

2. Diagnosa 2: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


fungsi ekstremitas dan penurunan kekuatan otot.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam, hambatan mobilitas fisik
dapat diatasi

18
Kriteria hasil:
- Klien dapat meningkatkan aktivitas fisik
- Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
- Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
- Mampu memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
Intervensi Rasional
1. Periksa vital sign 1. Mengetahui perubahan TTV
sebelum/sesudah latihan dan lihat pasien sebelum dan sesudah
respon pasien saat latihan. latihan, sebagai evaluasi
respon pasien setelah
2. Konsultasikan dengan terapi fisik dilakukan latihan.
tentang rencana ambulasi sesuai 2. Kolaborasi dengan terapist
dengan kebutuhan pasien. akan lebih baik
3. Bantu pasien untuk
menggunakan alat bantu saat 3. Membantu pasien sehingga
berjalan dan cegah terjadinya memudahkan pasien saat
cedera berjalan dan mencegah
4. Kaji kemampuan pasien dalam terjadinya cedera
mobilisasi 4. Mengetahui kemampuan
5. Latih pasien dalam pemenuhan pasien dalam mobilisasi
kebutuhan ADLS secara mandiri 5. Melatih pasien dalam
sesuai kemampuan memenuhi kebutuhan ADLS
6. Ajarkan pasien bagaimana secara mandiri sesuai dengan
merubah posisi dan berikan kemampuannya
batuan jika diperlukan. 6. Agar pasien tahu bagaimana
teknik merubah posisi

3. Diagnosa 3: Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya


informasi proses osteoporosis dan program terapi.
Tujuan : setelah dilakuka perawatan 1x24 jam, defisiensi pengetahun
dapat diatasi

19
Kriteria hasil:
- Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
prognosis dan program pengobatan.
- Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar
- Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan tentang proses penyakit 1. Pasien mengetahui proses
dengan cara yang tepat terjadinya penyakit yang
2. Identifikasi kemungkinan dialaminya
penyebab dengan cara yang tepat. 2. Mengetahui kemungkinan
3. Diskusikan perubahan gaya hidup penyebab terjadinya penyakit
yang mungkin diperlukan untuk dengan tepat
mencegah komplikasi di masa 3. Mencegah terjadinya
yang akan datang atau proses komplikasi di masa yang akan
pengontrolan penyakit. datang
4. Diskusikan pilihan terapi atau 4. Dengan terapi yang tepat akan
penanganan mempercepat penyembuhan
5. Dukung pasien untuk pasien.
mengeksplorasi atau mendapatkan 5. Membantu pasien dalam
pilihan kedua dengan cara yang mengeksplorasi atau
tepat atau yang diindikasikan. mendapatkan pilihan kedua
dengan cara yang tepat atau
yang diindikasikan.

4. Diagnosa 4: Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi dan


perubahan dalam status kesehatan.
Tujuan: setelah dilakukan perawatan 1x24 jam, ansietas dapat diatasi
Kriteria hasil:
- Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas

20
- Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas
- TTV dalam batas normal
- Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
Intervensi Rasional
1. Gunakan pendekatan yang 1. Mengurangi kecemasan pasien
menenangkan 2. Pasien mengetahui tujuan
2. Jelaskan semua prosedur dan apa prosedur yang dilakukan pasien
yang dirasakan selama prosedur 3. Teknik relaksasi dapat
3. Intruksikan pada pasien untuk mengurangi kecemasan
menggunakan teknik relaksasi
4. Dengarkan dengan penuh 4. Meningkatkan kepercayaan
perhatian pasien terhadap perawat
5. Mengetahui tingkat kecemasan
5. Identifikasi tingkat kecemasan pasien
6. Bantu pasien mengenal situasi 6. Membantu pasien dalam
yang menimbulkan kecemasan mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan

5. Diagnosa 5: Resiko jatuh berhubungan dengan gangguan keseimbangan,


penurunan aktifitas, dan kekuatan otot.
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 3x24 jam resiko jatuh dapat diatasi
Kriteria hasil:
- Keseimbangan: kemampuan untuk mempertahankan ekuilibrum
- Perilaku pencegahan jatuh: tindakan individu atau pemberi asuhan untuk
meminimalkan faktor resiko yang dapat memicu jatuh dilingkungan
individu
- Tidak ada kejadian jatuh
- Pasien mampu memahami cara pencegahan jatuh

21
Intervensi Rasional
1. Identifikasi defisit kognitif atau 1. Mengetahui kekurangan
fisik pasien yang dapat pengetahuan atau fisik pasien
meningkatkan potensi jatuh yang dapat meningkatkan potensi
dalam lingkungan tertentu jatuh dalam lingkungan tertentu
2. Identifikasi perilaku dan faktor 2. Dengan mengetahui perilaku dan
yang mempengaruhi resiko jatuh faktor yang mempengaruhi resiko
jatuh, kita dapat memberikan
informasi kepada pasien sehingga
kemungkinan kejadian
munculnya gangguan dapat
3. Ajarkan pasien bagaimana jatuh dicegah
untuk meminimalkan cedera 3. Pasien mengetahui bagaimana
4. Memberikan pengetahuan cara meminimalkan cedera ketika
kepada anggota keluarga tentang jatuh
faktor resiko yang berkontribusi 4. Agar anggota keluarga lebih
terhadap jatuh dan bagaimana waspada dan mencegah
mereka dapat menurunkan resiko terjadinya jatuh
tersebut
5. Berkolaborasi dengan anggota 5. Meminimalkan efek samping dari
tim kesehatan lain untuk obat yang berkontribusi terhadap
meminimalkan efek samping jatuh
dari obat yang berkontribusi
terhadap jatuh

6. Diagnosa 6: Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan fungsi


ekstremitas.
Tujuan: setelah dilakukan perawatan 2x24 jam, defisit perawatan diri
dapat diatasi
Kriteria hasil:
- Klien terbebas dari bau badan

22
- Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk melakukan
ADLS
- Dapat melakukan ADLS dengan bantuan
Intervensi Rasional
1. Monitor kemampuan pasien 1. Mengetahui kemampuan
untuk perawatan diri yang pasien dalam perawatan
mandiri mandiri
2. Monitor kebutuhan pasien 2. Mengetahui kebutuhan pasien
untuk alat-alat bantu untuk untuk alat-alat bantu untuk
kebersihan diri, berpakaian, kebersihan diri, berpakaian,
berhias, toileting dan makan berhias, toileting dan makan
3. Sediakan bantuan sampai 3. Melatih pasien untuk bisa
pasien mampu secara utuh melakukan self-care secara
untuk melakukan self-care utuh
4. Dorong pasien untuk 4. Pasien menjadi lebih
melakukan aktivitas sehari-hari semangat dalam melakukan
yang normal sesuai aktivitas sehari-hari secara
kemampuan yang dimiliki normal
5. Ajarkan pasien/keluarga untuk 5. Melatih pasien/keluarga
mendorong kemandirian, untuk dapat meningkatkan
memberikan bantuan hanya jika kemandirian
pasien tidak mampu
melakukannya

7. Diagnosa 7: Resiko cedera berhubungan dengan dampak perubahan


skeletal dan ketidakseimbangan tubuh.
Tujuan: cedera tidak terjadi dengan criteria hasil klien tidak jatuh dan
tidak mengalami fraktur, klien dapat menghindari aktivitas yang
mengakibatkan fraktur.
Kriteria hasil:
- Klien terbebas dari cidera

23
- Klien mampu menjelaskan cara/metode untuk mencegah injury/cidera
- Klien mampu menjelaskan faktor resiko dari lingkungan/perilaku
personal.
Intervensi Rasional
1. Ciptakan lingkungan yang bebas 1. Menciptakan lingkungan yang
dari bahaya missal : tempatkan aman mengurangi risiko
klien pada tempat tidur rendah, terjadinya kecelakaan
berikan penerangan yang cukup,
tempatkan klien pada ruangan
yang mudah untuk diobservasi
2. Ajarkan pada klien untuk 2. Pergerakan yang cepat akan
berhenti secara perlahan,tidak memudahkan terjadinya fraktur
naik tangga dan mengangkat kompresi vertebra pada klien
beban berat osteoporosis.
3. Observasi efek samping obat- 3. Obat-obatan seperti diuretic,
obatan yang digunakan fenotiazin dapat menyebabkan
pusing, mengantuk dan lemah
yang merupakan predisposisi
klien untuk jatuh.
4. Pasang side rail tempat tidur 4. Terhindar dari kemungkinan
jatuh dari tempat tidur

24
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Osteoporosis adalah kondisi terjadinya penurunan densitas atau matriks
atau massa tulang, peningkatan porositas tulang, dan penurunan proses
mineralisasi disertai dengan kerusakan arsitektur mikro jaringan tulang yang
mengakibatkan penurunan kekokohan tulang sehingga tulang menjadi mudah
patah. Penyakit osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang
progresif, sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari
mineral-mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan
padat. Jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang, maka
tulang menjadi kurang padat dan lebih rapuh, sehingga terjadilah osteoporosis.
Selain itu osteoporosis dapat disebabkan faktor genetik, mekanis, hormonal,
makanan, protein, estrogen, rokok, kopi, alkohol dan kalsium juga mempengaruhi
terjadinya osteoporosis sebab wanita-wanita pada masa pre menopause, dengan
masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak banyak, akan mengakibatkan
keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang mereka yang masukan
kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium
positif.
4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini perawat diharapkan mampu memberikan
perawatan dan edukasi kepada pasien atau masyarakat sedini mungkin akan
terjadinya osteoporosis, karena selain dari faktor genetik juga di sebabkan oleh
waktor makan sehingga dengan memberikan edukasi pada masyarakat,
masyarakat mampu mencegah dengan memulai hidup sehat, olah raga yang tertur
guna melatih kekuatan otot dan tulang sehingga dapat menimalisir terjadinya
osteooporosis.

25
DAFTAR PUSTAKA

Duque, Gustavo and Troen, Burce R. Skeletal Aging, dalam Buku Geriatric
Nutrition The Health Profesional’s Hanbook Third Edition. Jones and
Bartlett Publishers. 2006.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan:
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc.edisi revisi jilid 1.
Jogjakarta: Mediaction.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan:
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc.edisi revisi jilid 2.
Jogjakarta: Mediaction.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan:
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc.edisi revisi jilid 3.
Jogjakarta: Mediaction.
Rasjad Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Edisi ketiga, Yarsif
Watampore, Jakarta, 2007; 355-357
Suryati, A, Nuraini, S. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Penyakit Osteoporosis
Pada Sekelompok Osteoporosis Di RSIJ, 2005. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, Vol.2, No.2, Juli 2006:107-126.
Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Tandra, Hans. 2009. Osteoporosis Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang


Keropos. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yatim, Faisal. 2003. Osteoporosis Penyakit Kerapuhan Tulang Pada Manula.
Jakarta: Pustaka Obor.

26

Anda mungkin juga menyukai