Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

FARMAKOTERAPI PASIEN FEBRIS THYPHOID COMPLICATED

Disusun Oleh:

Dwi Puspa Rani (I1C015010)

Khoirun Nisa’ (I1C015032)

Amelia Lusiani (I1C015046)

Putri Afidamayanti (I1C015064)

Mega Dewi Legiana (I1C015082)

Gita Damai (I1C015100)

Nama Dosen Pembimbing : Ika Mustikaningtias, M.Sc.,Apt.

Kelompok :5

Angkatan/kelas : 2015/B

Tanggal Diskusi Kelompok : Selasa,13 November 2018


LABORATORIUM FARMASI KLINIKl

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2018
A. KASUS

Profil Pasien

Nama pasien : An.Tw

No.RM : 103 xxx

Rg Rawat : Dahlia

Tgl lahir.umur : 6 tahun

BB : 35 kg

TB : 120 cm

Tgl. MRS : 25 Juli

Riwayat MRS : Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu, mual,
muntah, lemas, pucat setiap kali makan muntah sejak 3 HSMRS, mulai
mengigau sejak kemarin, seperti bingung tidak dapat diajak
komunikasi

RPD :-

DPJP : dr. SGD, Sp.PD

Diagnosa : Febris Thyphoid Complicated

Hasil Pemantauan Harian Pasien

Parameter Nilai 25/7 26/7 27/7 28/7 29/7 30/7 31/7 1/8
Normal

T TD(mmHg 120/80 110/ 100/ 100/ 100/ 100/ 110/ 110/ 110/
T ) 70 70 70 70 70 80 80 80
V
Nadi(x/me 60-100 65 60 60 62 66 68 68 68
nit)

1
Suhu(०C 36,5-37,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5

Nafas(x/me 12-20 20 22 21 22 20 21 22 22
nit)

K Delirium + + + + - - - -
el
uh Stupor + + + + - - - -
an
Bicara - - - - + + + +

Waspada + + + + - - - -

Terapi Aturan Pakai 25/ 26 27/ 28/ 29 30 31/ 1/8


7 /7 7 7 /7 /7 7

Ter Ceftriaxon 2x 1 gram ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓


api
Par
Rantin 2x 1 ampul ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
ente
ral
Tamoliv- 100 mL ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
infus

Invomit 3x1 ampul ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Terai Infepsa 3x1cth ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓


Oral

2
IVF Kaen 3 B ✓ ✓ ✓ ✓ R ✓ ✓ ✓
D L

Daftar Terapi Farmakologis

Laboratorium

Parameter Nilai Normal 25/7 26/7 27/7

Hb 13-18/12-16 12,4 11,9 12,3

Leukosit 3200-10.000 5550 5440 3980

Hct 40-50/35-45 38 36 38

Trombosit 110.000-380.000 124.000 100.000 66.000

SGOT 5-35 59

SGPT 5-35 15

Trigliserida 40-160/35-135 190

HDL-C 30-70 18,3

Pemeriksaan Penunjang

Jenis Hasil:
Pemeriksaan: -
Meningitis (+)

Spesimen: CSF

3
Tanggal: 25/7

Jenis Hasil
Pemeriksaan:
S. thyphi + 1/80
Serologi
S. typhii + 1/320
Spesimen:-
S. paratyhphi B.O + 1/80
Tanggal:25/7

4
B. Dasar Teori

1. Patofisiologi
- Tyfoid complication

5
Demam tyfoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella sp. Bakteri tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan
masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus,
bakteri ini melekat pada mikrovili yang kemudian pada melalui barier usus
yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan
internalisasi dalam vakuola intraselluler. Kemudian Salmonella sp menyebar
ke sistem limfoid dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak
didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil negatif.
Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari (Nelwan, 2012).

Bakteri dalam pembuluh darah akan menyebar ke seluruh tubuh dan


berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial yakni di hati,

6
limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam
makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarakn kembali ke
dalam sistem peredaran darah dan menyebabkam bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen
(Nelwan, 2012).

Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati


dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum
terminal. Ulserasi pada Peyer’s patch dapat terjadi melalui proses inflamasi
yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi pendarahan dan
perforasi usus dapat menyusul ulserasi (Nelwan, 2012).

Kekambuhan dapa terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-


organ sistem retikolendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi
kembali. Menetapkan Salmonella sp dalam tubuh manusia diistilahkan
sebagai pembawa kuman atau carrier (Nelwan, 2012).

Pasien menderita febris thyphoid complicated, hal ini ditunjukkan


dengan pasien mengalami demam <38C selama 3 hari dan tidak mengalami
penurunan, mual, muntah, lemas, dan pucat. Selain itu, menurut (WHO,2011)
complicated disease pada demam tifoid ditunjukkan dengan adanya
perubahan status mental. Hal ini terjadi pada pasien karena pasien mengalami
delirium (+) 25/7-28/7, stupor (+) 25/7-28/7, dan berbicara (-) 25/7-28/7.
Selain itu, pasien juga sudah mengalami komplikasi meningitis pada
pemeriksaan spesimin CSF sejak diagnosa ditegakkan pada tanggal 25/7.
Oleh karena itu, pemilihan antibiotik harus berdasarkan pada kemampuan
membunuh bakteri yang dicurigai dan mampu efektif masuk ke cairan
serebrospinal (cerebrospinal fluid/CSF) (Ibrahim, 2018).

Berdasarkan pemeriksaan serologis, hasil yang didapatkan yaitu :

7
- S. thyphi O + 1/80

- S. thyphi H + 1/320

- S. Parathyphi B.O + 1/80

Tes serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella


yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik
terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah. Prinsip tes serologi
widal adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang
dideteksi yakni aglutinin O dan H (PMK, 2006).

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam


sampai puncaknya pada minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampai
6-12 bulan. Sedangkan Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke
4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian (PMK,
2006).

- Antigen Somatik (O) = Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan bersifat


kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Titer
antibodi yang timbul oleh antigen O selalu lebih rendah dari titer antigen H.
- Antigen Flagel (H)= merupakan protein termolabil dan bersifat imunogenik.
Antigen ini rusak dengan pendidihan dan alkohol, tapi tidak rusak dengan
formaldehid.
Mengenai interpretasi tes widal, belum ada kesepakatan tentang nilai
titer patokan, karena tidak sama masing-masing daerah tergantung
endemisitas daerah. Kebanyakan titer O 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam tifoid (PMK, 2006).

Besar titer antibody yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di


Indonesia belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kegunaan uji widal untuk diagnosis demam tifoid
bergantung prosedur yang digunakan di masing-masing rumah sakit atau
laboratorium. Menurut penelitian Loho et al. uji widal dianggap positif bila
titer antibody 1/160, baik untuk agglutinin O maupun H dengan kriteria
diagnostic tunggal atau gabungan. Bila dipakai kriteria tunggal maka
agglutinin O lebih bernilai diagnostic daripada agglutinin.

8
Uji Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk
aglutinin O maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila
dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada
aglutinin H (Loho, T., et al., 2000). Dari data penunjang yang didapatkan,
terlihat bahwa adanya aglutinin O memiliki hasil positif pada titer 1/80 maka
dapat dikatakan pasien mengalami paratyphi karena nilai positif tersebut lebih
besar dari nilai normal yaitu 1/160.

Berdasarkan guideline (WHO, 2011), kasus yang dialami pasien


berdasarkan klasifikasi demam tifoid merupakan kasus “confirmed case” ,
karena pasien mengalami demam persisten (38C atau lebih) selama lebih dari
3 hari dan pada pemeriksaan laboratorium, pasien positif terinfeksi S.typhi
pada CSF.

2. Guideline Terapi

(Typhoid Guideline, (2010)

9
C. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan

1. Subjective
Demam sejak 4 hari yang lalu, mual, muntah, lemas, pucat setiap kali makan
muntah sejak 3 HSMRS, mulai mengigau sejak kemarin, seperti bingung tidak
dapat diajak komunikasi.

Objective

Hasil Pemantauan Harian Pasien

Para Nilai 25/7 26 27/ 28 29/ 30/ 31/ 1/ Ket Interpreta


meter Nor /7 7 /7 7 7 7 8 si
mal

T TD(m 120/ 110/ 10 10 10 10 11 11 11 Me Febris


T mHg) 80 70 0/ 0/7 0/ 0/7 0/8 0/8 0/ nur Thyphoid
Complicate
V 70 0 70 0 0 0 80 un
d

Nadi(x 60- 65 60 60 62 66 68 68 68 Nor -


/menit 100 mal
)

Suhu 36,5- 39,5 39, 39, 39, 39, 39, 39, 39, Me Demam
37,5 5 5 5 5 5 5 5 nin
(०C) gka
t

Nafas( 12- 20 22 21 22 20 21 22 22 Me
x/meni 20 nin
t) gka
t

Laboratorium

10
Parameter Nilai 25 26 27 Ket Interpretasi
Normal

Hb 12-16 12,4 11,9 12,3 Normal -

Leukosit 3200-10.000 5550 5440 3980 Normal -

Hct 35-45 38 36 38 Normal -

Trombosit 110.000- 124.000 100.000 66.000 Menurun Infeksi


380.000 bakteri

SGOT 5-35 59 Meningk Thyphoid


at

SGPT 5-35 15 Menurun

Trigliserida 40-160/35- 190 Meningk


135 at

HDL-C 30-70 18,3 Menurun

3. Problem Medik

Diagnosa Pasien : Febris Thyphoid Complicated

Problem Medik Pasien : Febris Thyphoid Complicated, mual, muntah,


lemas, pucat setiap kali makan muntah sejak 3
HSMRS

4. Assesment

S O Problem Terapi Assesment Rekomendasi/ Plan

11
medik Penatalaksaan DRP

Demam, TD Febris Ceftriaxon, DRP: Kebutuhan terapi Diberikan


mual menuru Thyphoid Rantin,, tambahan dexamethason 3 mg/kg
muntah, n , suhu Complicate Tamoliv- iv pelan selama 30
lemas , mening infus, Uraian DRP: Demam menit dan dilanjutkan
d tifoid dengan komplikasi 1 mg/kg dan diulangi
delliriun kat Invomit,
(+), Inpepsa neurologis yang ditandai dalam interval 6-8 jam
stupor adanya dellirium dan selama 2 hari
(+), stupor serta didiagnosis
bicara (-) meningitis yang
meningkatkan tekanan
intrakranial, perlu
diterapi dengan
dexamethason dosis
tinggi iv ditambahkan
pada pemberian
antibiotik
(WHO,2011).selain itu,
obat golongan kortiko
steroid dapat
mengurangi mortality
pada pasien (Typhoid
Guideline, 2010).

DRP:Terapi Tanpa Terapi inpepsa


Indikasi (sukralfat) dihentikan.
Uraian DRP: Pasien Ranitidin tetap
diterapi dengan inpepsa diberikan 2 kali sehari
(sukralfat) 3x1 cth 1 ampul
tanggal 25/7-1/8 ,
sedangkan pasien tidak
mengalami gangguan
pencernaan (gastritis),
selain itu pasien
mengalami penurunan
kesadaran, sehingga
pasien tidak dapat
diterapi secara p.o
dengan inpepsa. Inpepsa
(sukralfat) juga tidak
dianjurkan untuk
digunakan pada anak
dibawah 15 tahun
(PIONAS, 2018). Untuk
penggunaan ranitidin
tetap digunakan karena
ranitidin dapat

12
mencegah kenaikan
asam lambung yang
dapat terjadi akibat
pasien kurang mendapat
asupan makanan dimana
pasien selalu muntah
setiap kali makan
(Wardaniati, 2016).

Kebutuhan Kaen 3B, DRP: Terapi Tidak Pemberian Infus RL


Cairan RL Tepat pada tanggal 29/7
Uraian DRP: Pasien dihentikan dan tetap
diberikan infus RL pada menggunakan infus
tanggal 29/7. Kaen 3B yang berisi
Seharusnya, tetap NaCl, KCl, Na-laktat,
menggunakan terapi dan anhydrous
suportif yaitu infus Kaen
dextrose, dengan
3B yang merupakan
cairan yang dapat volume pemberian
mengatasiadanyakondisi pada anak 50 mL/jam
hipokalemi, (MIMS,2018)
hiponatremi, dan
hipoglikemi yang
biasaterjadi pada
pasienthypus
(WHO,2011)

5. Plan (Tujuan Terapi, Terapi Non Farmakologis dan Farmakologis yang disarankan,
Monitoring, dan KIE)

❏ Tujuan Terapi
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah terjadinya komplikasi
3. Menghilangkan nyeri dan Mencegah terjadinya ulkus lambung
4. Mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
5. Menghindari kematian

13
6. Eradikasi total bakteri untuk mencegah kekambuhan (Nelwan, 2012)

❏ Terapi Non Farmakologis


- Tirah Baring : dilakukan sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih sampai 14 hari (Sakinah dan Indria, 2016). Tirah baring (bed rest)
dilakukan pada pasien yang membutuhkan perawatan akibat sebuah penyakit
atau kondisi tertentu dan merupakan upaya mengurangi aktivitas yang
membuat kondisi pasien menjadi lebih buruk. Petunjuk dari dokter akan
diberikan berupa apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan
selama bed rest. Semua itu tergantung pada penyakit yang diderita pasien.
Ada yang hanya diminta untuk mengurangi aktivitas, ada yang memang
benar-benar harus beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan
aktivitas apapun (Kusumastuti,2017). Tirah baring (bed rest)
direkomendasikan bagi pasien demam tifoid untuk mencegah komplikasi
perforasi usus atau perdarahan usus. Mobilisasi harus dilakukan secara
bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien (Sakinah dan Indria, 2016).
- Diet Lunak Rendah Serat : asupan serat maksimal 8 gram/ hari,
menghindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam,
berbumbu tajam serta diberikan dalam porsi kecil (Sakinah dan Indria, 2016).
Jenis makanan yang harus dijaga adalah diet lunak rendah serat karena pada
demam tifoid terjadi gangguan pada sistem pencernaan. Makanan haruslah
cukup cairan, kalori, protein, dan vitamin. Memberikan makanan rendah serat
direkomendasikan, karena makanan rendah serat akan memungkinkan
meninggalkan sisa dan dapat membatasi volume feses agar tidak merangsang
saluran cerna. Demi menghindari terjadinya komplikasi pedarahan saluran
cerna atau perforasi usus direkomendasikan dengan pemberian bubur saring
(Sakinah dan Indria, 2016).
- Menjaga Kebersihan : tangan harus dicuci sebelum menangani makanan,
selama persiapan makan, dan setelah menggunakan toilet (Upadhyay, et al.,
2015). Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada
kejadian demam tifoid, untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk
meningkatkan praktik cuci tangan sebelum makan untuk mencegah penularan
bakteri Salmonella typhi ke dalam makanan yang tersentuh tangan yang kotor

14
dan mencuci tangan setelah buang air besar agar kotoran atau feses yang
mengandung mikroorganisme patogen tidak ditularkan melalui tangan ke
makanan(Andayani dan Fibriana, 2018). Tangan harus dicuci dengan sabun
setidaknya selama 15 detik dibilas dan dikeringkan dengan baik(Upadhyay, et
al., 2015). Banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang belum
memenuhi syarat kesehatan di Indonesia, seperti tingkat kebersihan yang
buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus demam tifoid (Purba,
et al., 2016).
Kebiasaan jajan makanan di luar rumah menjadi salah satu faktor
risiko penularan demam tifoid dapat terjadi ketika seseorang makan di tempat
umum dan makanannya disajikan oleh penderita tifus laten (tersembunyi)
yang kurang menjaga kebersihan saat memasak, mengakibatkan penularan
bakteri Salmonella typhi pada pelanggannya(Paputungan, et al., 2016). Orang
yang baru sembuh dari tifoid masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam
tinja dan air kemih sampai 3 bulan setelah sakit dan dapat menjadi karier
kronik bila masih mengandung basil sampai 1 tahun atau lebih. Bagi
penderita yang tidak diobati dengan adekuat, insiden karier didilaporkan 5-
10% dan kurang lebih 3% menjadi karier kronik(Andayani dan Fibriana,
2018).

Perlunya peningkatan hygiene perorangan khususnya mencuci tangan


dengan baik dan benar saat sebelummakan, serta mengurangi kebiasaan
jajanatau makan di luar penyediaan rumah.Selain itu, bagi dinas terkait perlu
memberikan penyuluhan kesehatan tentang hygiene untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kontaminasi makanan yang dapat menyebabkan
penyakit demam tifoid (Pramitasari, 2013).

- Mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.


- Menjaga jalan napas
- Memposisikan miring untuk menghindari aspirasi
- Mengubah posisi pasien setiap 2 jam, pasien harus berbaring di alas
yang kering serta perhatikan titik-titik yang tertekan.
(WHO, 2009)

❏ Terapi Farmakologis dan Pembahasan Penyelesaian DRP

15
Problem Medik Febris Tyhphoid Complicated:

Pasien didiagnosa febris typoid complicated meningitis, menurut Typhoid


Guideline (2010) lini pertama terapi untuk demam typhoid dengan severe case adalah
sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone). Demam tyfoid dengan severe case adalah
demam typhoid dengan adanya komplikasi seperti colitis, perforation, meningitis,
psikosis, myocarditis, disseminated intravascular coagulation, thrombocytopenia,
hemolytic ureamic syndrome, shock dan koma.

Demam tifoid dengan komplikasi neurologis yang ditandai adanya dellirium


dan stupor serta didiagnosis meningitis yang meningkatkan tekanan intrakranial,
perlu diterapi dengan dexamethason dosis tinggi iv ditambahkan pada pemberian
antibiotik (WHO,2011).selain itu, obat golongan kortikosteroid dapat mengurangi
mortality pada pasien (Typhoid Guideline, 2010). Steroid membatasi produksi
mediator inflamasi seperti IL-1, IL-6 dan TNF dan eksudat dan membantu
mengurangi edema, sehingga menurunkan tekanan serebral dan oleh karena itu
meningkatkan aliran CSF di dalam tadah sehingga membantu menstabilkan
penghalang darah otak (Siddiqui, 2012).

Menurut Kemenkes RI No 364 (2006) tentang Pedoman Pengendalian


Demam tifoid dapat diberikan terapi simptomatik untuk perbaikan keadaan umum
pasien yaitu dapat diberikan trapi antipiretik untuk kenyamanan penderita, terutama
unuk anak-anak karena itu pasien diberikan Tamoliv-infus yang berisi paracetamol
sebagai antipiretik. Kemudian pasien mengeluhkan mual dan muntah diberikan terapi
antiemetik yaitu invomit yang berisi ondansentron untuk mengatasi keluhan pasien.

Alasan Pemilihan Ranitidine

Pasien mengalami lemas, pucat dan setiap kali makan selalu muntah
akibatnya tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuh dan lambung mengalami
kekosongan. Hal tersebut dapat merangsang peningkatan asam lambung dan
menimbulkan rasa nyeri pada perut. Untuk mencegah hal tersebut terjadi pada pasien
maka, pasien diberikan terapi Rantin yang berperan dalam mengurangi faktor agresif
dengan cara menghambat histamin pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal

16
tidak terangsang mengeluarkan asam lambung (Wardaniati, 2016). Pemberian rantin
diberikan 2 kali sehari 1 ampul.

Alasan Pemilihan Ceftriakson

Untuk infeksi meningitis, masih banyak golongan antibiotik yang sensitif,


termasuk sefalosporin generasi tiga. Pada pasien anak >2 tahun, direkomendasikan
ceftriakson, dibandingkan kloramfenikol walaupun kloramfenikol masih banyak
diresepkan untuk mengatasi demam tifoid, padahal penggunaan kloramfenikol
memiliki efek samping supresi bone marrow yang terjadi setelah 7 hari terapi,
menyebabkan fatal irreversibleidiosyncratic aplastic anaemia serta meningkatkan
kematian. Oleh karena itu, kloramfenikol bukan merupakan first-line choice untuk
terapi demam tifoid dengan meningitis (Eliakim-Raz, 2015).

Sedangkan menurut (WHO, 2009) antibiotik lini pertama yang digunakan


pada pasien demam tifoid dengan komplikasi meningitis yaitu ceftriakson 100 mg/kg
BB iv-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12 jam. Dibandingkan kloramfenikol,
ceftriakson dapat menurunkan demam lebih cepat sehingga lama terapi lebih singkat,
efek samping lebih ringan, dan angka kekambuhan lebih rendah. Rata-rata waktu
demam turun dalam 4 hari dan aman diberikan pada anak-anak dengan dosis 50-100
mg/kg/hari (Sidabutar, 2010). Dalam kasus ini, pasien mengalami penurunan
kesadaran, sehingga diberikan ceftriakson iv dan diberikan selama 10 hari (WHO,
2009).

Alasan Pemilihan Dexametason

17
Selain itu, penggunaan kortikosteroid juga direkomendasikan pada pasien
demam tifoid yang mengalami komplikasi meningitis. Kortikosteroid dapat
menurunkan edema otak, hipertensi intrakranial, dan inflamasi meningen.
Deksametason mampu menembus CSF lebih baik dibanding kortikosteroid lainnya,
sehingga menjadi pilihan utama karena dapat menurunkan kecacatan neurologis pada
kasus anak, serta menurunkan mortalitas 80-90% ). Dexametason ditujukan untuk
mengurangi tekanan intracranial yang terjadi karena meningitis yang dialami pasien.

(Ibrahim, 2018; WHO,2011).

Menurut (WHO, 2011) dexamethason harus diberikan dengan dosis tinggi iv


untuk terapi tambahan antimicrobials. Dexamethason diberikan dengan initial dose 3
mg/kg BB iv secara pelan selama 30 menit, setelah 6 jam diberikan 1 mg/kg BB
setiap 6 jam. Dexamethason tidak efektif apabila diberikan dosis rendah pada
demam tifoid dengan komplikasi meningitis.

Alasan Tamoliv Infus

Tamoliv (paracetamol) merupakan obat analgetik dan antipiretik yang


digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal atau sakit ringan dan demam.
Cara kerja parasetamol sebagai analgetik dengan meningkatkan ambang rangsang
rasa sakit pada prostalglandin. Cara kerja parasetamol sebagai antipiretik bekerja

18
langsung pada pusat pengatur panas di hipotalamus (Tjay, 2000). Pemberian
paracetamol ditujukan untuk mengatasi febris yang dialami pasien.

Alasan Kaen 3B

Kaen 3B merupakan larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan


harian air, elektrolit, dan dextrose. Hal tersebutdipilihkarenauntuk
mengatasiadanyakondisihipokalemi, hiponatremi, dan hipoglikemi yang biasaterjadi
pada pasienthypus (WHO,2011). Pasien dengan kondisi mual muntah sejak tiga hari
sebelum masuk rumah sakit mengalami kesulitan dalam mendapatkan asupan
karbohidrat. Sehingga pasien lebih tepat diberikan Kaen 3B daripada RL yang hanya
berisi elektrolit (MIMS, 2018).

Jadii saran terapi untuk An.Tw :

MRS KRS
Obat Dosis Frekuensi
25 26 27 28 29 30 31 1

Ceftriakson 1 gram 2x sehari ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Rantin 1 ampul 2x sehari ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ -

Tamoliv-infus 100 mL ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Invomit 1 ampul 3x sehari ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓

Dexamethason 3 mg/kg pelan ✓ ✓ - - - - - - -


BB iv dan selama 30
dilanjutkan menit ,
1 mg/kg diulangi
BB dalam
interval 6-8
jam selama
2 hari

19
Kaen 3 B 50 mL Per jam ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ -

❏ Monitoring

Monitoring Target
Keberhasilan
Obat
Keberhasilan ESO

Ceftriakson mengatasi infeksi sakit kepala, mual, tidak terjadi


meningitis muntah, diare infeksi meningitis
(ISO, 2017)

Rantin mengurangi sekresi asam sakit kepala (ISO, asam lambung


lambung 2017) netral (tidak
meningkat) dan
tidak terjadi nyeri
perut

Tamoliv-infus melegakan sakit kepala, ruam kulit, tidak terjadi


sengal-sengal atau sakit hipotensi, demam serta
ringan dan demam. leukopenia, gejala lain seperti
neutropenia (ISO, sakit kepala.
2017)

Invomit mengatasi mual dan konstipasi, sakit mual dan muntah


muntah kepala, sedasi teratasi
(ISO, 2017)

Dexamethason mengurangi tekanan gangguan GI kecacatan


(jarang terjadi)
intracranial yang terjadi (Medscape, 2018) neurologis pada
karena meningitis yang anak serta
dialami pasien mortalitas
menurun hingga
80-90%

20
Kaen 3 B menyeimbangan elektrolit hiperkalemia keseimbangan
(MIMS, 2018). elektrolit terjaga

Monitoring

- Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau
perubahan perilaku anak.
- Pantau suhu badan (status demam), denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah
setiap 6 jam, selama setidaknya dalam 48 jam pertama.
- Pantau keseimbangan cairan yang masuk (infus atau minum)dan cairan tubuh yang
keluar (urine, feses) harus seimbang.
- Periksa tetesan infus secara rutin. (WHO, 2009)

Jadwal Monitoring

No Paramete Nilai Jadwal 25/ 26/ 27/ 28/ 29/ 30/7 31/ 1/8
r Normal Pemantaua 7 7 7 7 7 7
n

1. Suhu (ºC) 36,5- Setiap hari √ √ √ √ √ √ √ √


37,3

2. RR 12 – 18 Setiap hari √ √ √ √ √ √ √ √
(x/menit)

3. SGOT 5 – 35 1 x /minggu √ √
u/L

4. SGPT 5 – 35 1 x /minggu √ √
u/L

21
5. Leukosit 3200 – 1 x /minggu √ √
10000

6. Trombosit 150- 1 x /minggu √ √


140.000
/µL

7. Delirium - Setiap hari √ √ √ √ √ √ √ √

8. Stupor - Setiap hari √ √ √ √ √ √ √ √

9. Kesadaran + Setiap hari √ √ √ √ √ √ √ √


(Bicara)

❏ KIE

Nama Obat Jadwal minum Jumlah Manfaat Obat Hal yang Perlu
diperhatikan

Ceftriakson 2x sehari 1 gram Mengatasi Pasien gangguan


infeksi fungsi hati dan ginjal
meningitis (ISO, 2017)

Rantin 2x sehari 1 ampul Mengurangi Hipersensitifitas


sekresi asam (ISO, 2017).
lambung
(Wardaniati,
2016).

Tamoliv-infus 100 mL Melegakan Gangguan ginjal


sakit kepala, berat (ISO, 2017)
sengal-sengal
atau sakit
ringan dan
demam.

22
Invomit 3x sehari 1 ampul Mengatasi mual Reaksi
dan muntah hipersensitifitas
(ISO, 2017)

Dexamethason Pelan selama 30 menit 3 mg/kg BB iv Mengurangi Hati-hati pada


, diulangi dalam dan dilanjutkan 1 penggunaan jangka
tekanan
interval 6-8 jam mg/kg BB
selama 2 hari intracranial panjang pada pasien
dengan gagal
yang terjadi
jantung, hipertensi
karena
(ISO, 2017)
meningitis yang
dialami pasien

Kaen 3 B per jam 50 mL/ jam Memenuhi Monitoring kondisi


kebutuhan cairan, hidrasi dan elektrolit
elektrolit, dan pasien
glukosa tubuh

➢ KIE untuk Tenaga Kesehatan


1. Memberitahukan untuk memonitoring kadar elektrolit pasien
2. Mengontrol tanda vital pasien, terutama suhu dan kebutuhan elektrolit.
➢ KIE untuk Pasien
1. Ketika mengkonsumsi antibiotik direkomendasikan bersamaan dengan air putih.
Apabila dikonsumsi bersamaan dengan jus buah, alkohol maupun produk susu
seperti halnya mentega, yogurt, dan keju dapat mengganggu proses absorpsi tubuh
terhadap antibiotik. Rentang waktu selama 3 jam setelah mengkonsumsi antibiotik
barulah diperbolehkan mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut. Jus anggur
serta suplemen diet yang mengandung mineral seperti halnya kalsium juga dapat
mengurangi efek kerja antibiotik (Institute for Quality and Efficiency in Health Care,
2017).
➢ KIE untuk Keluarga Pasien
1. Hindari makanan yang belum dimasak, termasuk buah yang tidak dikupas
2. Menghindari minum-minuman dingin.
3. Mencuci tangan sebelum/sesudah makan
4. Mengingatkan pasien untuk menggunakan obat sesuai dengan aturan dan jadwal
yang diberikan
5. Memotivasi pasien untuk meningkatkan semangat hidup.
6. Mengingatkan pasien untuk tidak melakukan aktivitas fisik yang berlebih dan stres

23
7. Membantu pasien untuk melakukan aktivitas yang sulit dilakukan oleh pasien.
(WHO, 2011)

DAFTAR PUSTAKA

Angga Maulana Ibrahim, Tiara Rezka Katiandagho. 2018. Tatalaksana dan Pencegahan
Meningitis Meningokokus. RSD Madani, Palu, Indonesia.

Andayani dan Fibriana, A, I. 2018. Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Karangmalang di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmalang. Higeia Journal of Public
Health Research and Development.

Institute for Quality and Efficiency in Health Care. 2017. Using medication : Using
antibiotics correctly and avoiding resistance. Available online at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme dhealth/PMH0087079/ [Diakses pada 17
november 2018].
ISO. 2017. Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 51. ISFI. Jakarta

Kemenkes RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No


364/Menkes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Kemenkes
RI. Jakarta.

Kusumastuti, S. 2017. Rancang Bangun Alat Bantu Aktivitas Pasien Bed Rest. Orbith,
13(1)

Loho, T., Sutanto, H., Silman, E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator,diagnosis
dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : UI Press.

MIMS, 2018, Drug Information, Medical Index Specialities, www.mims.com (diakses


pada 17 November 2018).

Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011, Gangguan Neurologi : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah, Medika Salemba, Jakarta.

Noa Eliakim-Raz, Adi Lador, Yaara Leibovici-Weissma et al. 2015. Efficacy and safety
of chloramphenicol: joining the revival of old antibiotics? Systematic review and
meta-analysis of randomized controlled trials. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy.

Typhoid Guideline, 2010, Guidelines for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Typhoid Fever, Ministry of Health Fiji Islands.

24
Paputungan, W., Rombot, D., dan Akili, R. H. 2016. Hubungan Antara Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Upai Kota Kotambugu Tahun 2015. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi, 5(2):
266-275

Peraturan Menteri Kesehatan. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Kemenkes RI.
Jakarta.

PIONAS. 2018. Pusat Informasi Obat Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan ,
http://pionas.pom.go.id, Diakses tanggal 19November 2018.

Purba, I.E., Wandra, T., Nugrahini, N., et al. 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid
di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Media Litbangkes, 26(2): 99-108

Pramitasari, O.P. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada
Penderita di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 2(1):1-10
RHH Nelwan. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI/RSCM. Jakarta. Vol 39. No.4.

Sakinah dan Indria, A. 2016. Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Wanita
Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter Keluarga. Jurnal Medula
Unil.Volume 5. Nomor 2

Siddiqui, Emad. 2012. Role of Dexamethasone in Meningitis. Meningitis.Aga Khan


University Hospital Pakistan

Sondang Sidabutar, Hindra Irawan Satari. 2010. Pilihan Terapi Empiris pada Anak :
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RS Dr Cipto
Mangunkusumo. FKUI. Jakarta. Vol 11. No.6.
Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya Edisi VI. Jakarta : Penerbit PT. Elex Media Komputindo.

Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India,
63.

Wardaniati, Isna., Almahdy A., Azwir Dahlan. 2016. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidin
dengan Sukralfat dan Ranitidin dengan Antasida dalam Pengobatan Gastritis di
SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) AHmad Mochtar
Bukittinggi. Jurnal Farmasi Higea. Volume 8 (1).

WHO. 2009. Pocket Book of Hospital Care for Children, Guidelines for the Management of
Common Illnesses with Limited Resources,. Ministry of Health and Child Welfare
World Health Organization.

WHO. 2011. Guidelines for The Management of Thyphoid Fever. Ministry of Health and
Child Welfare. World Health Organization.

25
26

Anda mungkin juga menyukai