Disusun Oleh:
Kelompok :5
Angkatan/kelas : 2015/B
JURUSAN FARMASI
2018
A. KASUS
Profil Pasien
Rg Rawat : Dahlia
BB : 35 kg
TB : 120 cm
Riwayat MRS : Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu, mual,
muntah, lemas, pucat setiap kali makan muntah sejak 3 HSMRS, mulai
mengigau sejak kemarin, seperti bingung tidak dapat diajak
komunikasi
RPD :-
Parameter Nilai 25/7 26/7 27/7 28/7 29/7 30/7 31/7 1/8
Normal
T TD(mmHg 120/80 110/ 100/ 100/ 100/ 100/ 110/ 110/ 110/
T ) 70 70 70 70 70 80 80 80
V
Nadi(x/me 60-100 65 60 60 62 66 68 68 68
nit)
1
Suhu(०C 36,5-37,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5 39,5
Nafas(x/me 12-20 20 22 21 22 20 21 22 22
nit)
K Delirium + + + + - - - -
el
uh Stupor + + + + - - - -
an
Bicara - - - - + + + +
Waspada + + + + - - - -
2
IVF Kaen 3 B ✓ ✓ ✓ ✓ R ✓ ✓ ✓
D L
Laboratorium
Hct 40-50/35-45 38 36 38
SGOT 5-35 59
SGPT 5-35 15
Pemeriksaan Penunjang
Jenis Hasil:
Pemeriksaan: -
Meningitis (+)
Spesimen: CSF
3
Tanggal: 25/7
Jenis Hasil
Pemeriksaan:
S. thyphi + 1/80
Serologi
S. typhii + 1/320
Spesimen:-
S. paratyhphi B.O + 1/80
Tanggal:25/7
4
B. Dasar Teori
1. Patofisiologi
- Tyfoid complication
5
Demam tyfoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella sp. Bakteri tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan
masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus,
bakteri ini melekat pada mikrovili yang kemudian pada melalui barier usus
yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan
internalisasi dalam vakuola intraselluler. Kemudian Salmonella sp menyebar
ke sistem limfoid dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem
limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak
didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil negatif.
Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari (Nelwan, 2012).
6
limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam
makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarakn kembali ke
dalam sistem peredaran darah dan menyebabkam bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen
(Nelwan, 2012).
7
- S. thyphi O + 1/80
- S. thyphi H + 1/320
8
Uji Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk
aglutinin O maupun H dengan kriteria diagnostik tunggal atau gabungan. Bila
dipakai kriteria tunggal maka aglutinin O lebih bernilai diagnostik daripada
aglutinin H (Loho, T., et al., 2000). Dari data penunjang yang didapatkan,
terlihat bahwa adanya aglutinin O memiliki hasil positif pada titer 1/80 maka
dapat dikatakan pasien mengalami paratyphi karena nilai positif tersebut lebih
besar dari nilai normal yaitu 1/160.
2. Guideline Terapi
9
C. Penatalaksanaan Kasus dan Pembahasan
1. Subjective
Demam sejak 4 hari yang lalu, mual, muntah, lemas, pucat setiap kali makan
muntah sejak 3 HSMRS, mulai mengigau sejak kemarin, seperti bingung tidak
dapat diajak komunikasi.
Objective
Suhu 36,5- 39,5 39, 39, 39, 39, 39, 39, 39, Me Demam
37,5 5 5 5 5 5 5 5 nin
(०C) gka
t
Nafas( 12- 20 22 21 22 20 21 22 22 Me
x/meni 20 nin
t) gka
t
Laboratorium
10
Parameter Nilai 25 26 27 Ket Interpretasi
Normal
3. Problem Medik
4. Assesment
11
medik Penatalaksaan DRP
12
mencegah kenaikan
asam lambung yang
dapat terjadi akibat
pasien kurang mendapat
asupan makanan dimana
pasien selalu muntah
setiap kali makan
(Wardaniati, 2016).
5. Plan (Tujuan Terapi, Terapi Non Farmakologis dan Farmakologis yang disarankan,
Monitoring, dan KIE)
❏ Tujuan Terapi
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah terjadinya komplikasi
3. Menghilangkan nyeri dan Mencegah terjadinya ulkus lambung
4. Mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
5. Menghindari kematian
13
6. Eradikasi total bakteri untuk mencegah kekambuhan (Nelwan, 2012)
14
dan mencuci tangan setelah buang air besar agar kotoran atau feses yang
mengandung mikroorganisme patogen tidak ditularkan melalui tangan ke
makanan(Andayani dan Fibriana, 2018). Tangan harus dicuci dengan sabun
setidaknya selama 15 detik dibilas dan dikeringkan dengan baik(Upadhyay, et
al., 2015). Banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang belum
memenuhi syarat kesehatan di Indonesia, seperti tingkat kebersihan yang
buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus demam tifoid (Purba,
et al., 2016).
Kebiasaan jajan makanan di luar rumah menjadi salah satu faktor
risiko penularan demam tifoid dapat terjadi ketika seseorang makan di tempat
umum dan makanannya disajikan oleh penderita tifus laten (tersembunyi)
yang kurang menjaga kebersihan saat memasak, mengakibatkan penularan
bakteri Salmonella typhi pada pelanggannya(Paputungan, et al., 2016). Orang
yang baru sembuh dari tifoid masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam
tinja dan air kemih sampai 3 bulan setelah sakit dan dapat menjadi karier
kronik bila masih mengandung basil sampai 1 tahun atau lebih. Bagi
penderita yang tidak diobati dengan adekuat, insiden karier didilaporkan 5-
10% dan kurang lebih 3% menjadi karier kronik(Andayani dan Fibriana,
2018).
15
Problem Medik Febris Tyhphoid Complicated:
Pasien mengalami lemas, pucat dan setiap kali makan selalu muntah
akibatnya tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuh dan lambung mengalami
kekosongan. Hal tersebut dapat merangsang peningkatan asam lambung dan
menimbulkan rasa nyeri pada perut. Untuk mencegah hal tersebut terjadi pada pasien
maka, pasien diberikan terapi Rantin yang berperan dalam mengurangi faktor agresif
dengan cara menghambat histamin pada reseptor H2 sel parietal sehingga sel parietal
16
tidak terangsang mengeluarkan asam lambung (Wardaniati, 2016). Pemberian rantin
diberikan 2 kali sehari 1 ampul.
17
Selain itu, penggunaan kortikosteroid juga direkomendasikan pada pasien
demam tifoid yang mengalami komplikasi meningitis. Kortikosteroid dapat
menurunkan edema otak, hipertensi intrakranial, dan inflamasi meningen.
Deksametason mampu menembus CSF lebih baik dibanding kortikosteroid lainnya,
sehingga menjadi pilihan utama karena dapat menurunkan kecacatan neurologis pada
kasus anak, serta menurunkan mortalitas 80-90% ). Dexametason ditujukan untuk
mengurangi tekanan intracranial yang terjadi karena meningitis yang dialami pasien.
18
langsung pada pusat pengatur panas di hipotalamus (Tjay, 2000). Pemberian
paracetamol ditujukan untuk mengatasi febris yang dialami pasien.
Alasan Kaen 3B
MRS KRS
Obat Dosis Frekuensi
25 26 27 28 29 30 31 1
Tamoliv-infus 100 mL ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓
19
Kaen 3 B 50 mL Per jam ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ ✓ -
❏ Monitoring
Monitoring Target
Keberhasilan
Obat
Keberhasilan ESO
20
Kaen 3 B menyeimbangan elektrolit hiperkalemia keseimbangan
(MIMS, 2018). elektrolit terjaga
Monitoring
- Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran, kejang, atau
perubahan perilaku anak.
- Pantau suhu badan (status demam), denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah
setiap 6 jam, selama setidaknya dalam 48 jam pertama.
- Pantau keseimbangan cairan yang masuk (infus atau minum)dan cairan tubuh yang
keluar (urine, feses) harus seimbang.
- Periksa tetesan infus secara rutin. (WHO, 2009)
Jadwal Monitoring
No Paramete Nilai Jadwal 25/ 26/ 27/ 28/ 29/ 30/7 31/ 1/8
r Normal Pemantaua 7 7 7 7 7 7
n
2. RR 12 – 18 Setiap hari √ √ √ √ √ √ √ √
(x/menit)
3. SGOT 5 – 35 1 x /minggu √ √
u/L
4. SGPT 5 – 35 1 x /minggu √ √
u/L
21
5. Leukosit 3200 – 1 x /minggu √ √
10000
❏ KIE
Nama Obat Jadwal minum Jumlah Manfaat Obat Hal yang Perlu
diperhatikan
22
Invomit 3x sehari 1 ampul Mengatasi mual Reaksi
dan muntah hipersensitifitas
(ISO, 2017)
23
7. Membantu pasien untuk melakukan aktivitas yang sulit dilakukan oleh pasien.
(WHO, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Angga Maulana Ibrahim, Tiara Rezka Katiandagho. 2018. Tatalaksana dan Pencegahan
Meningitis Meningokokus. RSD Madani, Palu, Indonesia.
Andayani dan Fibriana, A, I. 2018. Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Karangmalang di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmalang. Higeia Journal of Public
Health Research and Development.
Institute for Quality and Efficiency in Health Care. 2017. Using medication : Using
antibiotics correctly and avoiding resistance. Available online at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme dhealth/PMH0087079/ [Diakses pada 17
november 2018].
ISO. 2017. Informasi Spesialite Obat Indonesia Volume 51. ISFI. Jakarta
Kusumastuti, S. 2017. Rancang Bangun Alat Bantu Aktivitas Pasien Bed Rest. Orbith,
13(1)
Loho, T., Sutanto, H., Silman, E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator,diagnosis
dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : UI Press.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari, 2011, Gangguan Neurologi : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah, Medika Salemba, Jakarta.
Noa Eliakim-Raz, Adi Lador, Yaara Leibovici-Weissma et al. 2015. Efficacy and safety
of chloramphenicol: joining the revival of old antibiotics? Systematic review and
meta-analysis of randomized controlled trials. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy.
Typhoid Guideline, 2010, Guidelines for the Diagnosis, Management, and Prevention of
Typhoid Fever, Ministry of Health Fiji Islands.
24
Paputungan, W., Rombot, D., dan Akili, R. H. 2016. Hubungan Antara Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas
Upai Kota Kotambugu Tahun 2015. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi, 5(2):
266-275
Peraturan Menteri Kesehatan. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Kemenkes RI.
Jakarta.
PIONAS. 2018. Pusat Informasi Obat Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan ,
http://pionas.pom.go.id, Diakses tanggal 19November 2018.
Purba, I.E., Wandra, T., Nugrahini, N., et al. 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid
di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Media Litbangkes, 26(2): 99-108
Pramitasari, O.P. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada
Penderita di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 2(1):1-10
RHH Nelwan. 2012. Tatalaksana Terkini Demam Tifoid. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI/RSCM. Jakarta. Vol 39. No.4.
Sakinah dan Indria, A. 2016. Tata Laksana Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Wanita
Hamil Trimester Pertama: Peran Intervensi Dokter Keluarga. Jurnal Medula
Unil.Volume 5. Nomor 2
Sondang Sidabutar, Hindra Irawan Satari. 2010. Pilihan Terapi Empiris pada Anak :
Kloramfenikol atau Seftriakson?. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RS Dr Cipto
Mangunkusumo. FKUI. Jakarta. Vol 11. No.6.
Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya Edisi VI. Jakarta : Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
Upadhyay, Rajesh., Nadkar., Milind,Y., et al. 2015. API Recommendations for the
Management of Typhoid Fever. Journal of The Association of Physicians of India,
63.
Wardaniati, Isna., Almahdy A., Azwir Dahlan. 2016. Gambaran Terapi Kombinasi Ranitidin
dengan Sukralfat dan Ranitidin dengan Antasida dalam Pengobatan Gastritis di
SMF Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) AHmad Mochtar
Bukittinggi. Jurnal Farmasi Higea. Volume 8 (1).
WHO. 2009. Pocket Book of Hospital Care for Children, Guidelines for the Management of
Common Illnesses with Limited Resources,. Ministry of Health and Child Welfare
World Health Organization.
WHO. 2011. Guidelines for The Management of Thyphoid Fever. Ministry of Health and
Child Welfare. World Health Organization.
25
26