Anda di halaman 1dari 5

3 Bukti Perjuangan Bangsa di Sumatera

Dahulu kala, tepatnya di Indonesia tertulis sejarah kelam dimana kaum pribumi
ditindas, diperas, dan diperdaya oleh kaum kolonial Inggris dan Belanda. Tidak hanya sampai
disini, terdapat pula bukti bukti yang berbentuk fisik dan ada pula yang berbentuk lisan. Kali
inj saya akan memberi contoh 3 bukti fisik perjuangan bangsa di sumatera.

Yang pertama, Fort de Kock. Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang
berdiri di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer
pada tahun 1825 pada masa Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen
dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama
Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara
Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak
meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-1837. Di sekitar benteng masih terdapat meriam-
meriam kuno periode abad ke 19. Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh
sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.

Benteng Fort de Kock digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari
gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-
1837 .Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat peme-
rintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak
tahun 1825 pemerintah Kolonial Belanda telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai
tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut
yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan
tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat
peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Fort de Kock juga dibangun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil
menduduki daerah di Sumatra Barat. Benteng tersebut merupakan tanda penjajahan dan
perluasan kekuasaan Belanda terhadap wilayah Bukittinggi,Agam,
dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Sumatera Barat, mereka meman-
faatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok
agama. Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok aga-
ma selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.
Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda
diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak
Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.

Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolonial Belanda pun melanjutkan


rencananya mengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun
Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malambung. Di daerah tersebut juga dibangun
gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kompleks pemakaman, pasar, sarana
transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua
nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Pada masa itu memang, Kolonial
Belanda menguasai 75 persen wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.
Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan
benteng Fort de Kock kini berubah menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park)
dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih
ada sebagai bangunan bercat putih-hijau setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock dilengkapi
dengan ,meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh
pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-
anak.
Benteng ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang
Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah
kiri pintu masuk sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah
gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh Jembatan
Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukittinggi. Kawasan ini hanya
terletak 1 km dari pusat kota Bukittinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan
Tuanku nan Renceh.
Benteng ini adalah satu dari 2 benteng belanda yang ada di Sumatera Barat, yang satu
lagi terletak di Batusangkar dengan nama benteng Fort Van der Capellen karena 2 kota inilah
dahulu yang paling susah ditaklukan belanda saat Perang Paderi.

Berikutnya, Benteng Marlborough. Kota Bengkulu memiliki sejarah panjang


pendudukan Inggris. Kongsi dagang yang awalnya masuk ke negeri yang dahulunya disebut
Bangkahulu itu untuk mengambil hasil bumi berupa kopi dan rempah-rempah serta membangun
perkebunan pohon getah jarak dan merica.
Kongsi dagang itu terus berkembang hingga Inggris akhirnya memutuskan untuk
menjadikan Bengkulu sebagai wilayah pertahanan dan unjuk kekuatan militer.

Simbol kekuasaan Inggris yang utama adalah Fort Marlborough atau Benteng
Marlborough. Benteng itu dibangun di kawasan strategis menghadap Samudra Hindia di atas
bukit buatan yang jika dilihat dari udara menyerupai kura-kura yang menghadap ke daratan.

Benteng itu adalah benteng terbesar kedua di Asia yang dibangun Inggris setelah benteng
di Madras India. Waktu pembangunan benteng pertahanan yang dulunya dikelilingi kanal
sedalam 5 meter itu mencapai 22 tahun, dari 1719 hingga 1741. Ada dua buah jembatan
sepanjang 20 meter harus dilalui sebelum kita masuk ke pintu utama bangunan melingkar
tersebut.

Dedi Mulyadi, salah seorang warga yang direkrut untuk menjadi petugas pengantar
pelancong mengatakan, pada sisi sebelah selatan saat terdapat tiga buah makam yaitu Gubernur
Jendral Inggris Thomas Parr, istrinya Francess Parr dan asisten setianya Carles Murray.

Mereka dimakamkan berdampingan setelah dibunuh dalam satu serangan mendadak di


kediamannya pada 23 Desember 1807. Parr tewas dalam serangan warga sipil di kediamannya
Mount Felix yang saat ini digunakan sebagai kediaman resmi gubernur Bengkulu dan berganti
nama menjadi Balai Raya Semarak Bengkulu.

Kemarahan warga itu merupakan wujud protes terhadap kebijakannya menaikkan pajak
hasil bumi dan sangat berpihak kepada koloni.

"Untuk mengenang kematian Thomas Parr pemerintah Inggris membangun monumen di


seberang benteng yang saat ini dikenal dengan nama tugu bulek," ujar Dedi di Bengkulu, Rabu,
5 April 2017.

Masuk ke areal utama benteng, kita bisa melihat ruang tahanan berjeruji yang berjejer
panjang. Berbagai fungsi ruangan terlihat dari papan nama di masing-masing bilik.

Salah satunya adalah ruang interogasi Presiden Sukarno saat diasingkan di Bengkulu
pada 1938 hingga 1942. Tepat di sebelahnya terdapat beberapa ruang tahanan, barak militer
dan gudang peluru.
Semua dinding dibuat sangat tebal dan berlapis. Tanda bahwa Fort Marlborough sebagai
bangunan pertahanan militer terlihat dari jajaran meriam di lapangan dan tiap sudut Benteng
yang semuanya menghadap ke barat tepatnya ke arah laut atau Samudra Hindia.

Satu meriam besar terlihat berbeda karena diarahkan ke arah utara. Di sana terdapat satu
bukit yang disebut Tapak Paderi.

Bukit itu menutup pandangan dan dijadikan lokasi pendaratan kapal yang membawa
pasukan Paderi dari Sumatra Barat saat merapat ke Bengkulu untuk membantu perjuangan
rakyat Bengkulu untuk berperang.

"Selain kokoh dan strategis, Benteng Marlborough juga menjadi simbol kekuatan militer
Inggris di Asia Tenggara," kata Dedi Mulyadi.

Yang terakhir adalah Benteng Anna, Fort Anne atau lebih dikenal dengan Bentang
Anna merupakan peninggalan sejarah dari beberapa benteng yang berada di pesisir barat
Sumatera, tepatnya berada di wilayah Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Fort Anne
sendiri merupakan peninggalan dari tentara Inggris yang menguasai sebagian kecil Sumatera.
Benteng Anna sendiri tidak seperti Benteng Marlborough yang masih berdiri dengan kokoh
bangunannya.

Benteng Anna didirikan oleh kolonial Inggris (East India Company) pada tahun 1798 di
tepi sungai Selagan yang berada di kabupaten Mukomuko, pada saat itu benteng ini
dipergunakan untuk pertahanan perang dan aktivitas perdagangan hasil bumi. Nama Benteng
Anna Sendiri diambil dari nama seorang bangsawan yaitu Keningin Anne van England.

Benteng Anna hanya tinggal nama, sedangkan bangunannya tidak lebih dari 10% yang
masih berdiri dan tersisa. Benteng yang pernah didirikan di tahun 1798 tersebut terletak di
Kabupaten Muko-Muko yang dulunya digunakan untuk pertahanan perah dan aktivitas
perdagangan. Kini Benteng Anna menjadi salah satu lokasi tujuan wisata bersejarah yang bisa
di kunjungi para wisatawan.

Meskipun saat ini Benteng Anna telah runtuh dan hanya tersisa beberapa puing-puing
bangunannya. Beberapa wisatawan dan traveler masih banyak yang mengunjunginya meskipun
hanya sekedar berfoto-foto. Ketika traveler mengunjungi Benteng Anna traveler hanya akan
menemui sisa sisa tembok dan reruntuhan yang sudah tidak berbentuk. Di ujung bentang
traveler juga akan menemui dua buah meriam kuno yang masih utuh.

Meskipun benteng ini merupakan peninggalan inggris, traveler akan melihat papan nama
yang bertuliskan Cagar Budaya Benteng Anna. Suasana sekitar benteng yang terletak di
tepi sungai Selegan ini dinding-dindingnya sudah banyak yang hilang. Tengahnya dan sekitaran
benteng tersebut berupa rumput yang rapi. Diperkirakan Benteng Anna mempunyai lebar
sekitar 58,5 meter dan panjang 63 meter, lebih kecil dari pada Benteng Marlborough

Benteng ini sengaja dibuat untuk menghadapi serangan para pribumi terhadap kaum
kolonial. Mereka memiliki kekuatan besar sehingga tidak mudah untuk dikalahkan, kita hari ini
seharusnya mensyukuri hidup ini atas kehidupan yang damai. Kedamaian itu tidaklah gratis,
perlu biaya besar dan bahkan nyawa nenek moyang kita semakin banyak yang melayang.

Menghormati dan mengenang jasa para pahlawan kita adalah hal yang sangat dianjurkan.
Namun, kita harus tetap ingat siapa yang memberi kekuatan kita, yakni Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan untuk mengusir para penjajah dari tanah air kita.

Tugas kita sebagai generasi dimasa modern ini, adalah berusaha untuk membangun
bangsa agar menjadi bangsa yang berkualitas, bangsa yang memiliki insan-insan cendekiawan
yang berperan aktif dalam pengembangan negara. Kita harus menjadi sosok sosok yang cerdas
dalam menghadapi kerasnya persaingan global.

Maka dari itu, tuntutan dari kita adalah terus melestarikan dan menjaga bukti-bukti
sejarah yang telah tertulis dimasa lampau, agar kita tetap memahami apa itu arti dari sejarah,
serta sikap kebangsaan yang harus kita ambil dengan baik.

Nama : Enrico Febrian

Fak/Prodi : FT/Teknik Elektro

NIM : 20191330009

Anda mungkin juga menyukai