Anda di halaman 1dari 5

Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan

sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat.

kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu
ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan. ketika suara motor memecah suara rintik
gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.

suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur
menjadi alunan suara gamelan.

apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini. dan ketika sayup-sayup suara itu
perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.

sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu
ke depan. "Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan
motornya.

"mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis
tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari
tadi. "kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang
kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan"
(Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari
kota, yang rencananya mau KKN" pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah
desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini,
dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab.

"pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok"

(pelosok bagaimana- maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)

tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya
kok membingungkan.
"mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin
capek, jadi, mari, tak- antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal)

di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok
ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat
saya sungkan saja kamu)

di situ, Widya menyadari, ada yang salah. tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah
gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa,
meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar.

sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu- di dalam kamar, Widya pun bertanya,
maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya
sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama
itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad. Nur, lebih memilih untuk diam. "ngene,
awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar apa
tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?)

"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan,
apalagi)

berbeda dengan Ayu,- Nur, menatap Widya dengan ngeri.

sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, ra
onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu
gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek" (Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini,
tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara
gamelan, itu pertanda buruk) mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah
ngomong yang tidak-tidak.

"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku,
mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu" (Nur, jangan ngomong
sembarangan kamu- bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari
kamu sudah ngomong ha; yang gak masuk akal begini)
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.

saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga
dengar suara gamelan itu) katanya. "masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang
dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)

"Astaghfirullah" kata Widya tidak percaya.

Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya
memeluk dan mencoba menenangkanya. benar kata ibunya tempo hari.

"Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna,
bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan
yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur Cerita tentang Nur
dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat
sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya,
namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara,
berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.

mungkin Nur lebih sensitif. memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang
lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya
sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren
ternama di kota "J". terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di
lupakan oleh semua rombongan ini. "Nur," kata Widya masih menenangkan "Nur bisa ndak,
cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga
deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih" (Nur, bisa gak cerita
ini jangan sampai menyebar ke teman-teman) (kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa
dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya) Nur
mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati
begitu saja. keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini,
akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari,
sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak
sendiri-sendiri. "ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek,
sarjana lagi" kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan
bahasa indonesia, mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun
wong deso, gak lali kuliah" (itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak
lupa kuliah) Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?" "bukan" kata
beliau santai. "pertanian" "Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada
sawah, gimana sih pak?) "ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian
harus terjun ke sawah" jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur,
dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam. sampailah, mereka di
pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa. aneh. itu yang pertama kali di pikirkan
Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.
pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu
besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya. Nur yang tadi ikut tertawa,
tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi,
itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya. "ngapunten pak, niki nopo nggih kok"
(mohon maaf pak, ini kenapa ya kok) belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya
"saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai
kain, gitu to?" Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu
dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil "ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan
orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman" terang pak Prabu, yang jawabanya sama
sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun
pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya. "wong pekok yo isok
mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan
lapangan bola pak) pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba
diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak. "semoga saja, kalain tahu yang di omongkan
ya" kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya
rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton
memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu. "mongo pak, bisa lanjut ke tempat
selanjutnya" tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak
Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh
darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam
jalan air. tanpa terasa, hari sudah siang. Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak
Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di
utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan. namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya
banyak menemukan keganjilan. keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua
kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap
dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat
Widya tidak tenang. setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu
bukan hal yang bagus. Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya
tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan
oleh 4 orang saja. kemudian, sampailah di titik paling menakutkan "Tipak talas" kalau kata
pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah
setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh
janur kuning layaknya pernikahan "kenapa tidak boleh pak?" tanya Ayu penasaran. pak Prabu
diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya. "iku
ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang,
lalu tersesat bagaimana?" (itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya
mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?) sekali
lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan
merinding melihat jalanan setapak itu, nyata. Lanjut gak?? jadi cuma ngasih tau. cerita ini
sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu
itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita. btw, waktu denger ini, gw
itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu

Anda mungkin juga menyukai