Anda di halaman 1dari 4

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang paling banyak
dikonsumsi di dunia, sebagai bahan makanan, produk kebersihan, kosmetik, maupun
biofuel. Sunarko (2009) menambahkan minyak kelapa sawit dinilai paling efisien
dibanding berbagai sumber minyak nabati lainnya, seperti kedelai, bunga matahari,
zaitun, dan kelapa. Hasil minyak kelapa sawit mencapai 6-8 ton/ha/tahun dengan
rendemen sebesar 21%, sedangkan sumber minyak nabati lainnya hanya mampu
menghasilkan minyak maksimal 1,5 ton/ha. Minyak sawit tergolong ke dalam komoditas
unggulan dengan prospek yang menjanjikan baik di Indonesia maupun di dunia.
Produksi minyak sawit terbesar di dunia saat ini masih didominasi oleh Indonesia
dan Malaysia. Bahkan dua Negara tersebut secara keseluruhan menyumbangkan sekitar
85 – 90% dari total produksi minyak sawit dunia (Anonim, 2016). Saat ini, posisi
Indonesia dalam produksi minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) masih
berada di tingkat pertama mengungguli Malaysia dan beberapa negara yang masuk ke
dalam sepuluh besar penghasil kelapa sawit dunia. Produksi Crude Palm Oil (CPO)
Indonesia mencapai 35.000,00 Metric Ton (MT), sedangkan Malaysia dan Thailand
hanya sebesar 21.000,00 MT dan 2.300,00 MT (IndexMundi, 2016).
Berdasarkan data dari IndexMundi (2016) produksi minyak kelapa sawit
Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Produksi CPO dan turunannya
sepanjang 2015 diperkirakan mencapai 32,5 juta ton yang mengalami kenaikan sebesar
3% dibanding pada 2014 yang hanya sebesar 31,5 juta ton. Peningkatan produksi tersebut
berdampak pada peningkatan volume ekspor minyak kelapa sawit ke berbagai Negara.
GAPKI (2015) menyebutkan volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia sepanjang
2015 mencapai 18,64 milyar US$. Selain itu, total ekspor CPO beserta turunannya dari
wilayah Indonesia mencapai 24,40 juta ton atau naik 21% pada 2015 dibanding dengan
2014 yang hanya mencapai 21,76 juta ton. Direktorat Jenderal Perkebunan (2015)
mengemukakan bahwa produksi total minyak sawit Indonesia dalam kurun waktu 10
tahun (2006 – 2016) mengalami peningkatan dari 17,53 juta ton menjadi 33,500 juta ton.
Hal tersebut sebanding dengan volume ekspor yang meningkat dari 10,37 juta ton
menjadi 19,04 juta ton di tahun 2005 – 2015.

1
Peningkatan produksi CPO Indonesia tidak terlepas dari usaha pengembangan dan
ekstensifiksi perkebunan kelapa sawit. Ekstensifikasi ditempuh melalui perluasan lahan
perkebunan. Secara garis besar, pengusaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia
dilakukan oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan
Perkebunan Rakyat (PR). Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2014) luas
perkebunan kelapa sawit hingga 2013 mencapai 5.381.166 ha untuk Perkebunan Besar
Swasta (PBS), 727.767 ha dari Perkebunan Besar Negara (PBN) dan 4.356.087 ha berasal
dari Perkebunan Rakyat (PR). Luasan lahan tersebut semakin bertambah seiring
berjalannya waktu, mengingat tingkat konsumsi minyak sawit dunia yang semakin besar.
Kebutuhan lahan pengusahaan yang meluas membawa konsekuensi pada digunakannya
lahan sub optimal sebagai areal pengusahaan komoditas kelapa sawit.
Lahan marginal merupakan jenis lahan yang tidak banyak dimanfaatkan dalam
aktivitas budidaya pertanian, karena beberapa faktor pembatas diantaranya pH yang
ekstrim (tinggi atau rendah), miskin hara, topografi miring, rendahnya kadar lengas tanah,
dan bahan organik relatif sedikit. Selain itu, pH tanah yang ekstrim rendah secara umum
diikuti oleh akumulasi logam berat, misalnya aluminium (Al), besi (Fe), dan mangan
(Mn) yang keberadaannya bersifat meracun bagi tanaman. Keracunan ion logam misalnya
Mn, menyebabkan penurunan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Secara garis
besar, bibit kelapa sawit diketahui memiliki sifat toleran terhadap kondisi tanah masam,
yakni tetap dapat tumbuh dengan baik pada pH 4,3, sebagaimana penelitian Nieuwolt et
al., (1982) cit. Auxtero dan Shamshuddin (1991). Namun demikian, pada kondisi pH
tanah yang rendah memicu peningkatan akumulasi ion logam yang berpotensi meracuni
tanaman.
Keracunan Mn pada tanaman dapat ditinjau dari berbagai tanggapan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman, yang sebelumnya didahului oleh tanggapan biokemis,
fisiologis, anatomis, dan morfologis. Kasraci et al. (1996) menambahkan bahwa
keracunan Mn menyebabkan tanaman menampakkan gejala klorosis yang ditandai
dengan terdapatnya spot-spot berwarna putih di bagian tajuk dan akar berwarna cokelat
kehitaman. Di tinjau dari pertumbuhannya, keracunan mangan (Mn) berakibat pada
terhambatnya pertumbuhan dan pemanjangan sel akar, terutama pada tanaman Casuarina
equisetifolia yang tergolong tanaman tahunan dengan tingkat toleransi terhadap cekaman
abiotik yang tinggi. Tengoua et al. (2015) menambahkan makin tinggi konsentrasi

2
mangan (Mn) yang diaplikasikan pada bibit kelapa sawit umur 3 bulan mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan tanaman, yang ditandai dengan penurunan tinggi tanaman
dan bobot kering tanaman.
Tanggapan anatomi organ vegetatif akibat keracunan Mn masih belum banyak
dikaji, terutama pada komoditas kelapa sawit. Gomes et al. (2011) mengemukakan bahwa
keracunan ion logam pada Brachiaria decumbens menyebabkan degradasi dinding sel,
penebalan lapisan exodermis,dan perbesaran ukuran sel korteks. Keracunan ion logam
menyebabkan degenerasi sel pada jaringan akar. Trakheid pada xilem tampak lebih tebal
dibandingkan tanaman pada kondisi normal. Beberapa penelitian juga menyebutkan
bahwa keracunan ion logam berakibat pada semakin luasnya ukuran vakuola dan
kekacauan pada sitoplasma sel, sehingga organela sel tersusun tidak beraturan. Penelitian
terdahulu telah dilakukan oleh Kasraci et al. (1996) yang bertujuan untuk mengetahui
dampak Al dan Mn pada pertumbuhan dan komposisi hara tanaman Casuarina
equisetifolia. Makin tinggi konsentrasi Mn yang diaplikasikan, berdampak pada
terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hartley (1984) menyebutkan bahwa harga optimum
mangan (Mn) pada tanaman kelapa sawit berada pada kisaran < 100 – 1000 ppm. Dengan
demikian, konsentrasi Mn melebih batas optimum (>1000 ppm) diduga menyebabkan
keracunan tanaman kelapa sawit, sehingga berdampak pada perubahan karakter anatmoi
maupun pertumbuhan. Akan tetapi, penelitian mengenai dampak keracunan Mn terhadap
anatomi dan pertumbuhan tanaman kelapa sawit masih belum banyak dilakukan. Oleh
sebab itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk memberikan informasi yang lebih
terperinci terkait tanggapan anatomi dan pertumbuhan tanaman kelapa sawit terhadap
keracunan Mn. Informasi yang diperoleh menjadi acuan awal untuk pengembangan
hibrida baru dengan karakter toleran maupun pengembangan teknologi agronomis yang
mampu menginduksi ketahanan tanaman kelapa sawit terhadap keracunan Mn.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Berapa konsentrasi Mn jaringan yang mulai meracun bagi kelapa sawit dan
bagaimana tanggapan karakter anatomi dan pertumbuhan tanaman kelapa
sawit terdampak keracunan Mn di fase pembibitan utama?
1.2.2. Adakah hubungan antara perubahan karakter anatomi dengan tanggapan
pertumbuhan tanaman kelapa sawit dalam kondisi keracunan Mn?

3
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.2. Menentukan konsentrasi Mn yang mulai meracun dan mempelajari tanggapan
anatomis dan pertumbuhan tanaman kelapa sawit terhadap keracunan Mn
1.3.2. Menentukan hubungan antara perubahan karakter anatomis dengan perubahan
karakter pertumbuhan tanaman kelapa sawit dalam kondisi keracunan Mn.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai dampak
keracunan Mn terhadap karakter anatomis dan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Informasi
dasar yang diperoleh dari kegiatan penelitian menjadi landasan dalam pengembangan
hibrida baru dengan tingkat ketahanan terhadap keracunan Mn, maupun pengembangan
teknologi agronomis tertentu untuk mengatasi dampak negatif keracunan Mn. Apabila
hal ini dapat terwujud, maka pengembangan komoditas kelapa sawit di lahan marginal
yang mengakumulasi Mn tetap bernilai ekonomis karena capaian produktivitas tanaman
setara dengan penanaman di area lahan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai