Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat-obatan yang sering


digunakan sebagai obat bagi mengatasi nyeri yang bersifat ringan sedang serta sebagai anti
inflamasi seperti pada pasien dengan kronik artritis (Scott, 2002). Lebih dari 30 juta tablet dan
70 juta resep di preskripsi per tahunnya di Amerika Syarikat sahaja. Tambahan lagi, sejak
diperkenalkan obat COX-2 inhibitor pada tahun 2000, jumlah peresepan NSAIDs meningkat
melebihi 111 juta resep per tahun. Namun, penggunaan NSAIDs dapat menginduksi
morbiditas yaitu mulai dari efek samping ringan seperti mual dan dispepsia (prevalensi sekitar
50- 60%) sehingga ke komplikasi yang lebih serius seperti penyakit tukak peptik (3- 4%)
yang menyebabkan pendarahan atau perforasi pada 1.5% pengguna NSAIDs per tahun.
Diperkirakan sekitar 20 000 pasien meninggal setiap tahun disebabkan komplikasi pada
sistem gastrointestinal oleh pemakaian NSAIDs (Valle, 2005). Dikatakan lebih dari 80%
pasien yang menderita tukak peptik yang disebabkan penggunaan NSAIDs, tidak
menunjukkan tanda-tanda awal seperti dispepsia sebelum terjadi komplikasi yang lebih parah.
Walaupun dengan penggunaan aspirin dosis 75mg/hari, dapat menyebabkan ulserasi pada
gastrointestinal terutama lambung dan duodenum (Valle, 2005). Faktor usia lanjut, riwayat
tukak peptik, penggunaan obat kortikosteroid, dosis NSAIDs yang tinggi, pemakaian
bermacam jenis NSAIDs dan lamanya durasi penggunaan NSAIDs dikatakan sebagai faktor
yang dapat meningkatkan lagi resiko kejadian tukak peptik. (Ramakrishnan, 2007).

NSAIDs bekerja dengan menginhibisi dua enzim yaitu cyclooxygenase-1 (COX1) dan
cyclooxygenase-2 (COX2). Kedua-dua enzim ini memproduksi prostaglandin, substansi kimia
di dalam tubuh yang berperan dalam mekanisme nyeri dan inflamasi. Namun, COX1 juga
menghasilkan prostaglandin yang berperan memproteksi mukosa lambung dari asam lambung
serta membantu mengatasi pendarahan. Oleh sebab itu, penggunaan NSAIDs dikatakan dapat
meningkatkan kecenderungan untuk menghidap tukak peptik. Resiko untuk menghidap tukak
peptik meningkat dengan meningkatnya dosis dan frekuensi penggunaan NSAIDs,
penggunaan lebih dari satu obat NSAIDs, lama masa penggunaan obat, umur 60 tahun dan ke
atas, serta perokok dan pengguna alkohol (Scott, 2002). Salah satu efek samping pemakaian
NSAIDs adalah penyakit tukak peptik. Tukak peptik adalah lesi yang terjadi karena
ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif (Suyono, 2001; Anwar, 2000;
Guyton, 1990). Menurut Harisson(1994), tukak peptik didefinisikan sebagai kerusakan
integritas mukosa lambung dan/atau duodenum yang menyebabkan gangguan lokal atau
1
ekskavasi yang disebabkan proses inflamasi. Tukak peptik dapat dibagi lagi menjadi dua
yaitu, tukak lambung dan tukak duodeni. Penyebab tersering tukak peptik adalah infeksi
bakteri Helicobacter pylori (H.Pylori) dan efek samping penggunaan Nonsteroidal Anti-
Inflammatory Drugs (NSAIDs). Di Amerika Syarikat, prevalensi tukak peptik mencecah
angka 350 000 pertahun.

Angka kematian disebabkan tukak peptik ialah 6000 penderita per tahun dengan
masingmasing 3000 dari penderita tukak duodeni dan 3000 lagi penderita tukak lambung
(Num,2011). Prevalensi tukak peptik di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara
6-15 % terutama pada usia 20-50 tahun (Suyono, 2001). Distribusinya pada pria lebih tinggi
dengan 10-15% serta pada wanita mencapai 4-15%. Di Medan, kira-kira 20,01% penduduk
yang menghidap tukak peptik. Tukak peptik merupakan lesi yang hilang timbul dan paling
sering didiagnosis pada orang dewasa usia pertengahan sampai usia lanjut, tetapi lesi ini
mungkin sudah muncul sejak usia muda (Robinson, 2004).

1.2 Rumusan Masalah


 Apa yang dimaksud dengan farmakovigilance ?
 Apa yang dimaksud dengan obat NSAID ?
 Bagaimana proses pelaporannya ?
 Apa saja obat – obat NSAID yang ditarik dari pasaran ?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui apa itu farmakovigilance.
 Untuk mengetahui apa itu obat NSAID.
 Untuk mnegetahui proses pelaporannya
 Untuk mengetahui apa saja obat – obat NSAID yang ditarik dari pasaran.

2
II. ISI
2.1 Farmakovigilance

Farmakovigilans adalah aktivitas memahami, mendeteksi, menilai dan mencegah efek


samping obat dan masalah lain terkait obat. Farmakovigilans didefinisikan sebagai ilmu dan
kegiatan yang berhubungan dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman, serta efek samping
obat dan masalah terkait obat yang mungkin ada. Di Indonesia peraturan terkait
farmakovigilans secara jelas mensyaratkan untuk industri farmasi melalui Indonesia Peraturan
Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011 tentang Penerapan
Farmakovigilans bagi Industri Iarmasi dan Peraturan Kemenkes No 1799 tentang industri
farmasi yang juga mencantumkan tentang farmakovigilans.
Termasuk dalam kegiatan Farmakovigilans adalah pengumpulan laporan dugaan efek
yang tidak diinginkan (suspected adverse reaction). Adverse reaction adalah respons terhadap
produk pengobatan (medical products) yang berbahaya dan tidak diinginkan, termasuk yang
ditimbulkan pada kondisi penggunaan sesuai izin edar yang disetujui, penggunaan di luar izin
yang disetujui termasuk penggunaan dalam dosis berlebih, penggunaan di luar indikasi (off-
label use), penggunaan yang tidak tepat (misuse), penyalahgunaan (abuse) dan kesalahan
pengobatan (medication error), serta paparan akibat pekerjaan (occupational exposure).
Secara khusus Farmakovigilans diharapkan dapat meningkatkan keamanan dan kesehatan
masyarakat terhadap risiko akibat penggunaan obat.
Pengawasan efek samping obat merupakan bagian dari farmakovigilans, karena
dengannya banyak kejadian efek samping obat dapat dicegah seperti yang terungkap dalam
riset-riset farmakovigilans. Penelitian di Belanda oleh Leendertse tahun 2008 menunjukkan,
hampir separuh dari angka kejadian tak diinginkan akibat penggunaan obat dapat dicegah.
Penelitian lain menunjukkan bahwa sebanyak 32,0% dari total kejadian ADR dapat dicegah
dan kejadian masuk rumah sakit akibat NSAIDs juga dapat dicegah.

2.2 Obat NSAID

Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat-obatan yang sering


digunakan sebagai obat bagi mengatasi nyeri yang bersifat ringan sedang serta sebagai anti
inflamasi seperti pada pasien dengan kronik artritis. Di Indonesia, akses masyarakat untuk
menggunakan NSAIDs didukung regulasi pemerintah dalam penggolongan obat, seperti obat
wajib apotek: diklofenak dan piroksikam (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1999),
obat bebas terbatas: ibuprofen (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993), dan obat
bebas: aspirin (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). Prevalensi penyakit
3
sendi yang membutuhkan pengobatan analgesik seumur hidup (van Laar et al., 2012) adalah
sebesar 24,7% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sementara itu,
penggunaan harian aspirin dosis rendah diindikasikan sebagai antikoagulan untuk pencegahan
serangan jantung dan stroke (FDA, 2016). Pada tahun 2015, penggunaan NSAIDs di Jawa
Tengah dengan jumlah penduduk 33.774.141 adalah sebagai berikut: metampiron, tablet 500
mg: 19.352.092; aspirin, tablet 100 mg: 152.692 dan tablet 500 mg: 3.498; ibuprofen, tablet
200 mg: 3.128.762 dan tablet 400 mg: 3.664.645 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
2015). Melihat cukup tingginya tingkat penggunaan NSAIDs di masyarakat, diperlukan
perhatian khusus pada keamanan obatnya. Penggunaan aspirin dan ibuprofen jangka panjang
menyebabkan ulkus

peptikum (FDA, 2007; National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2014)


atau penyakit ginjal kronis (Plantinga et al., 2011). Efek samping obat, adverse drug reaction
(ADR), adalah respon yang terjadi pada dosis penggunaan yang sesuai namun berefek
merugikan, maka diperlukan pengawasan untuk menjamin keselamatan pasien. Di Indonesia,
peran regulasi ini dipegang oleh Pusat MESO Nasional, bagian dari Direktorat Pengawasan
Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI (Direktorat
Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT, 2012).

Pengawasan efek samping obat merupakan bagian dari farmakovigilans, karena


dengannya banyak kejadian efek samping obat dapat dicegah seperti yang terungkap dalam
riset-riset farmakovigilans. Penelitian di Belanda oleh Leendertse et al. (2008) menunjukkan,
hampir separuh dari angka kejadian tak diinginkan akibat penggunaan obat dapat dicegah.
Penelitian lain menunjukkan bahwa sebanyak 32,0% dari total kejadian ADR dapat dicegah
(Bénard-Laribière et al., 2015) dan kejadian masuk rumah sakit akibat NSAIDs juga dapat
dicegah (Howard et al., 2007). Pencegahan ADR penting untuk menghindari pengeluaran
biaya dan penurunan kualitas hidup yang tidak perlu. ADR menambah waktu rawat inap
sebesar 1,91 hari (Commission of The European Communities, 2008), penanganannya dapat
menghabiskan biaya US$ 2262 untuk tiap ADR (Classen et al., 1997), dan NSAIDs termasuk
penyebab utama pengeluaran biaya terkait ADR (White et al., 1999).

Di Indonesia, pelaporan ADR ke Pusat MESO Nasional masih bersifat sukarela


sehingga belum dapat terpeta dengan baik. Pendataan baru sebatas pada penggunaan obat,
seperti dalam Profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2015 di mana penggunaan
metampiron, aspirin, dan ibuprofen cukup tinggi. Kota Surakarta memiliki kepadatan
penduduk tertinggi di Jawa Tengah yakni 11.633,14 per km2(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa

4
Tengah, 2015) sehingga ada kemungkinan bahwa penggunaan NSAIDs di Kota Surakarta
juga tinggi. Penelitian ini diharapkan dapat membantu menyediakan data mengenai prevalensi
dan profil penggunaan NSAIDs yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya gangguan
gastrointestinal dan gangguan ginjal. Dengan demikian, penelitian ini turut terlibat dalam
farmakovigilans di Indonesia.

2.3 Proses Pelaporan

Pelaporan ADR suatu obat akan menentukan berhasil atau tidaknya farmakovigilans.
Beberapa cara pelaporan ADR antara lain:

1. Laporan spontan oleh tenaga profesional kesehatan maupun industri farmasi kepada
pusat farmakovigilans nasional.
2. Metode lain seperti case-control study, record linkage, dan prescription event
monitoring.
3. Pusat farmakovigilans nasional.
4. WHO Programme for International Drug Monitoring.

Manifestasi klinik ROTD yang sering menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di
ruang perawatan penyakit dalam IRNA B RSCM adalah perdarahan saluran cerna (6
kejadian). Semua kejadian perdarahan saluran cerna disebabkan penggunaan obat anti
inflamasi non steroid (NSAID). Rata-rata NSAID digunakan dalam waktu yang lama yaitu 3
minggu sampai lebih dari tiga tahun. Terdapat dua pasien yang sebelumnya juga pernah
dirawat karena perdarahan saluran cerna yang dicurigai juga disebabkan oleh efek samping
NSAID. Durasi terpendek penggunaan NSAID yang menyebabkan perdarahan saluran cerna
ini adalah 3 hari, dimana pasien ini mempunyai riwayat pecah varises esofagus beberapa
tahun sebelumnya.

Berdasarkan penelitian ini jenis obat yang sering berhubungan ROTD yang membuat
pasien usia lanjut dirawat di ruang perawatan penyakit dalam adalah obat golongan NSAID.
NSAID merupakan obat yang sering terkait dengan kejadian ROTD yang menyebabkan
pasien usia lanjut dirawat di rumah sakit dengan manifestasi klinik terbesar berupa gejala
saluran pencernaan seperti perdarahan saluran cerna, nyeri perut serta mual dan muntah.
Sebanyak 30% ROTD yang menyebabkan pasien usia lanjut dirawat di rumah sakit
disebabkan oleh NSAID

5
2.4 Obat – Obat NSAID Yang Telah di Tarik Dari Pasaran

Dari jurnal yang didapatkan obat yang ditarik karena alasan farmakovigilans di UE
dari tahun 2002 hingga 2011 (tabel 1). Salah satu contoh (obat antiinflamasi non steroid 4/19
(obat antiinflamasi non steroid) (NSAID)

Daftar reaksi obat yang merugikan yang dilaporkan dalam EudraVigilance, berkorelasi
dengan masalah keamanan yang diberikan sebagai alasan penarikan untuk setiap produk obat
yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini

6
Contoh lain, nimesulide NSAID, ditarik di Spanyol, Finlandia, Belgia dan Irlandia tetapi
masih tersedia di 15 negara anggota UE.

 Bromfenak
Bromfenak (Duract), obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), yang telah diperkenalkan pada
tahun 1997 sebagai analgesik jangka pendek untuk pasien ortopedi. Meski disetujui untuk
masa pemberian dosis kurang dari 10 hari, pasien menggunakannya untuk waktu yang lebih
lama. Hal ini mengakibatkan lebih dari 50 kasus luka hati parah, dan obat tersebut harus
ditarik pada tahun 1998.
 Oksifenilbutazon

Oksifenilbutazon adalah metabolit-hidroksi (1955) dengan khasiat dan sifat hampir sama,
kecuali tidak berdaya urikosuris. Pada tahun 1985, di kebanyakan Negara barat, obat ini telah
ditarik dari peredaran, karena banyak disalahgunakan sebagai analgetik umum.

 Rofecoxib

VIOXX (Merck) obat yang diganti oleh FDA tahun 1999, terbukti harus ditarik disaat
berumurnya baru 5 tahun, pada tanggal 30 September tahun 2004. Alasan obat yang diambil
adalah obat yang bias menyebabkan toksisitas jantung.VIOXX mengandung zat aktif
rofecoxib, merupakan salah satu antiinflamasi non steroid yang mengandung anti inflamasi,
analgetik dan antipiretik. Cara menunda adalah dengan menghentikan sintesis prostaglandin
melalui penghambatan cyclooxygenase-2 (COX-2). Merck menarik diri rofecoxib dari pasar
karena kekhawatiran tentang peningkatan risiko serangan jantung dan stroke yang terkait
dengan jangka panjang, penggunaan dosis tinggi.Merck menarik obat setelah pengungkapan
bahwa itu menyembunyikan informasi tentang risiko rofecoxib ini dari dokter dan pasisen
selama lebih dari lima tahun, sehingga antara 88.000 dan 140.000 kasus penyakit jantung
yang serius.

 Valdecoxib

Valdecoxib diproduksi dan dipasarkan dengan nama merek Bextra oleh GD Searle &
Company sebagai obat arthritis anti-inflamasi. Hal itu disetujui oleh Amerika Serikat Food
and Drug Administration pada tanggal 20 November 2001, untuk mengobati radang sendi dan
kram menstruasi.Dan tersedia dengan resep dalam bentuk tablet sampai tahun 2005 ketika
FDA meminta Pfizer menarik Bextra dari pasar Amerika.The FDA dikutip "potensi
peningkatan risiko untuk kardiovaskular yang serius (CV) efek samping," sebuah

7
"peningkatan risiko reaksi kulit yang serius" dan "fakta bahwa Bextra belum terbukti untuk
menawarkan keuntungan yang unik selama NSAID lain yang tersedia”. Berdasarkan temuan
efek samping yang fatal tersebut, Pfizer Inc. memutuskan untuk menghentikan peredaran dan
menarik produuknya yang mengandung valdecoxib secara sukarela dari pasar dibeberapa
Negara seperti US, Inggris, Canada, dan New Zealand. Untuk menyikapi hal tersebut, Badan
POM telah mengambil langkah membekukan izin edar produk yang mengandung valdecoxib
di Indonesia terhitung sejak tanggal 15 April 2005 sampai ada perkembangan baru mengenai
keamanan obat tersebut.

 Celecoxib

Dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko masalah jantung. Pengunaan obat studi di sidang
kanker juga terhenti pada 17 Desember.

 Aspirin
Aspirin (asam metilsalisilat atau acetosal) merupakan nsaid yang punya 3 efek yaitu:
analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Efek toksik aspirin sering terjadi pada anak-anak
(karena rasanya yang enak sehingga anak sering minta lagi). Efek toksiknya yaitu hipertermi,
asidosis metabolik (sesak). Aspirin memiliki efek urikosurik (seperti probenecid,
sulfinpirazone), artinya pada dosis tinggi meningkatkan asam urat di dalam urin. Namun
tablet aspirin yang disediakan dosis 500mg sehingga tidak lazim untuk digunakan terapi asam
urat karena butuh minum 10 tablet agar mencapai efek (dosis 5g per hari). Jadi, aspirin dosis
antipiretik tidak bisa digunakan untuk terapi gout artritis karena pada kadar tersebut belum
bisa meningkatkan ekskresi asam urat. Aspirin cocok digunakan pada pasien dm karena
memiliki efek insulin like activity. Aspirin dapat meningkatkan sensitivitas reseptor insulin,
sehingga dapat menimbulkan hipoglikemia. Aspirin juga digunakan sebagai antiplatelet untuk
terapi stroke. Aspirin bekerja dengan menghambat pembentukan tromboksan.
 Alopurinol
Alopurinol digunakan untuk penyakit pirai karena menurunkan kadar asam urat. Pengobatan
jangka panjang dapat mengurangi frekuensi serangan, menghambat pembentukan tofi,
memobilisasi asam urat dan mengurangi besarnya tofi. Efek samping tersering adalah adanya
raksi kulit. Bila adanya kemerahan pada kulit, penggunaan alopurinol harus dihentikan,
karena gangguan akan menjadi berat.

 Asam mefenamat
Asam mefenamat termasuk obat pereda nyeri yang digolongkan sebagai nsaid. Asam
mefenamat dapat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri, namun lebih sering
8
diresepkan untuk mengatasi sakit gigi, nyeri otot, dan nyeri sendi. Sebagaimana obat-obat
lainnya, asam mefenamat dapat menyebabkan berbagai efek samping. Sejumlah efek samping
asam mefenamat yang biasanya muncul adalah kelelahan, mengantuk, sakit kepala, muntah,
mual, tidak nafsu makan, gangguan pencernaan dan nyeri pada ulu hati.
 Kolkisin
Kolkisin efektif digunakan pada gout akut, menghilangkan nyeri dalam waktu 48 jam pada
sebagian besar pasien. Kolkisin mengontrol gout secara efektif dan mencegah fagositosis
kristal urat oleh neutrofil, tetapi seringkali membawa efek samping, seperti mual, muntah dan
diare.
 Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam fenil propionat, yang diperkenalkan pertama kali dibanyak
negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu kuat. Indikasi
Ibuprofen antara lain reumatik arthtritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan sendi, dan
pembengkakan. Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan. Ibuprofen tidak dianjurkan
diberikan pada ibu hamil dan menyusui.
 Piroksikam
Indikasi dari piroksikam yaitu rheumatoid arthritis dan osteoarthritis sebagai anti inflamasi
dan analgetik. Piroksikam berfungsi hanya untuk penyakit inflamasi sendi. Pikroksikam tidak
dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak lambung, dan pasien yang sedang minum
antikoagulan. Sejak Juni 2007 karena efek samping serius di saluran cerna lambung dan
reaksi kulit yang hebat, oleh EMEA(badan POM se Eropa) dan pabrik penemunya,
piroksikam hanya dianjurkan penggunaannya oleh para spesialis rematologis, inipun
digunakan sebagai pengobatan lini kedua.

 Dipiron (Metampiron)
Dipiron (metampiron seperti antalgin dan novalgin) punya sifat hidrofilik. Metampiron masih
digunakan di indonesia sebagai nsaid. Namun di luar negeri sudah tidak digunakan karena
adanya efek agranulocytosis dan depresi sumsum tulang yang sangat besar.
 Phenylbutazone
Phenylbutazone, nsaid yang efek anti-inflamasinya sangat kuat. Phenylbutazone tidak
digunakan untuk analgesik dan antipiretik. Obat ini sering menyebabkan stephen-johnson
syndrome. Penggunaannya dengan glibenclamid menimbulkan efek hipoglikemia.

9
 Lumiracoxib

Di antara semua coxib yang telah dikembangkan, lumiracoxib tampaknya paling


selektif untuk inhibisi COX-2 (rasio COX-2/COX-1 500). Secara struktural, lumiracoxib
merupakan analog lemah dari asam fenilasetat dan berefek sama dengan
diklofenak.Lumiracoxib memiliki yang paruh yang sangat singkat (3–6 jam). Uji klinis
memperlihatkan lumiracoxib 100–400 mg per hari efektif pada pasien OA dan RA, dengan
risiko komplikasi saluran cerna yang lebih rendah secara signifikan ketimbang OAINS
nonselektif. Namun pada November 2007, lumiracoxib (Prexige, Novartis) ditarik oleh
regulator MHRA karena mengakibatkan kerusakan hati.

 Nimesulide

Dewan Obat-obatan Irlandia telah memutuskan untuk menangguhkan Nimesulide dari


pasar Irlandia dan merujuknya ke Komite UE untuk Produk Obat-obatan Manusia (CHMP)
untuk peninjauan profil manfaat / risikonya. Keputusan ini disebabkan oleh pelaporan enam
kasus gagal hati yang berpotensi terkait dengan IMB oleh Unit Transplantasi Hati
Nasional,Rumah Sakit Universitas St. Vincent . Kasus-kasus ini terjadi pada periode 1999
hingga 2006.

10
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Farmakovigilans didefinisikan sebagai ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan
pendeteksian, penilaian, pemahaman, serta efek samping obat dan masalah terkait
obat yang mungkin ada.
 Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat-obatan yang sering
digunakan sebagai obat bagi mengatasi nyeri yang bersifat ringan sedang serta sebagai
anti inflamasi seperti pada pasien dengan kronik artritis.
 Pelaporan ADR suatu obat akan menentukan berhasil atau tidaknya farmakovigilans
yaitu Laporan spontan oleh tenaga profesional kesehatan maupun industri farmasi
kepada pusat farmakovigilans nasional. Metode lain seperti case-control study, record
linkage, dan prescription event monitoring. Pusat farmakovigilans nasional. WHO
Programme for International Drug Monitoring.
 Beberapa contoh obat yang sudah ditarik dari pasaran diantaranya Rofecoxib,
Valdecoxib, Lumiracoxib, Nimesulide dan lainnya.

3.2 Saran

Diharapkan untuk para pembaca agar lebih mencari tahu lebih luas lagi tentang obat –
obatan NSAID yang telah ditarik dari pasaran maupu obat-obat yang belum ditarik tetapi
memiliki toksissitas tinggi bagi tubuh.

11
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2011. Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 tentang Penerapan


Farmakovigilans bagi Industri Farmasi.

Maigetter, et.al. 2015. Pharmacovigilance in India, Uganda and South Africa with reference
to WHO’s minimum requirement.s Int J Health Policy Manag 2015, 4(5), 295–305

Naranjo CA, U Busto, et al. 1981. A method for estimating the probability of adverse drug
reactions. Clinical Pharmacology and Therapeutics; 30(2): 239-45.

Nofiarny, Dwi. 2016. Pengenalan farmakovigilans: apa dan mengapa di perlukan?. Medical
review. Vol 29 No 1

12

Anda mungkin juga menyukai