Anda di halaman 1dari 11

A.

Penyelenggaraan Negara
Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam
mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan
dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara
adalah semangat para Penyelenggara Negara dan pernimpin pemerintahan.
Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) tahun, Penyelenggara
Negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal,
sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hal itu terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan
tanggung jawab pada Presiden/Mandataris. Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakat pun belum
sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang
efektif terhadap penyelenggaraan negara.
Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab tersebut
tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang
ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan
negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi
peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut tidak hanya
dilakukan oleh Penyeienggara Negara, antar-Penyelenggara Negara,
melainkan juga Penyelenggara Negara dengan pihak lain seperti keluarga,
kroni, dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi
negara.
Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional
sesuai tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari
seluruh Penyelenggara. Negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi,
dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang
menghendaki terwujudnya Penyelenggaan. Negara yang mampu
menjalankan tugas dan fungsinya, yang dilaksanakan secara efektif,
1
efisien, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, sebagaimana
diamanatkan oieh Ketetapan Majelis Perrnusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia. Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang ini memuat tentang kegentuan yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi, kolusi dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para
Penyelenggara Negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang ini merupakan bagian atau subsistem dari
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum
terhadap perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok undang-
undang ini adalah para Penyelenggara Negara yang meliputi Pejabat
Negara pada Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga
Tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat Negara, dan atau
pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyeienggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian
hukum, asas tertib penyeienggaraan negara, asas kepentingan umum, asas
keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas
akuntabilitas.
Pengaturan tentang peren serta masyarakat dalam undangundang
ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki
masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial

2
secara optimal terhadap penyelenggaraan negara dengan tetap mnenaati
rambu-rambu hukum yang berlaku.
Agar undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara efektif
maka diatur pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan
berwenang melakukan pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara
sebelum, selama, dan setelah menjabat, termasuk meminta keterangan baik
dari mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun para
pengusaha, dengan tetap memperhatikan prinsip praduqa tak bersalah dan
hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan Komisi Pemeriksa terdiri
atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencerminkan independensi atau
kemandirian dari lembaga ini.
Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para Penyelenggara
Negara, antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya
sebelum dan setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam undang-
undang ini berlaku bagi Penyelenggara Negara, masyarakat, dan Komisi
Pemeriksa sebagai upaya prefentif dan represif serta berfungsi sebagai
jaminan atas ditaatinya ketentuan tentang asas-asas urnum
penyelenggaraan negara, hak, dan kewajiban Penyelenggara Negara, dan
ketentuan lainnya sehingga dapat diharapkan memperkuat norma
kelembagaan, moralitas individu dan sosial.
B. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota
dilaksanakan oleh kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dan
DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Penyelenggara pemerintahan
daerah tersebut dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah
berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara. Berikut
dijelaskan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang menjadi
rangkaian artikel terkait pemerintahan.
Asas penyelenggaraan pemerintahan negara disebutkan dalam beberapa
peraturan perundang-undangan negara kita, diataranya dalam UU RI No.
28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
3
dari KKN. Dalam Pasal 3 UU tersebut menyebutkan asas umum
penyelenggaraan negara terdiri dari asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. Baca juga
: Sistem Pemerintahan.
Kemudian disebut pula sebagai asas-asas umum pemerintahan yang
baik berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang tentang Perubahan atas
UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dimana dalam penjelasannya
disebutkan :
“yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah
meliputi atas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara,
keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas, sebagai
dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebes dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”.
Disamping itu, dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, asas-asas umum pemerintahan yang baik tersebut dijadikan asas
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi:
“penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum
Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: asas kepastian hukum, asas
tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas
keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas
akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas”.
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti UU No. 32 Tahun 2004
menyebutkan bahwa kepala daerah, dan DPRD dibantu oleh Perangkat
Daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah berpedoman pada asas
penyelenggaraan pemerintahan negara terdiri atas :
1. Kepastian Hukum
Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan

4
peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggara negara.
2. Tertib Penyelenggara Negara
Tertib penyelenggara negara merupakan asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam
pengendalian penyelenggara negara.
3. Kepentingan Umum
Asas tersebut merupakan asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Keterbukaan
Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia.
5. Proporsionalitas
Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Profesionalitas
Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Akuntabilitas
Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Efisiensi
Asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya
dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai hasil kerja yang
terbaik.

5
9. Efektivitas
Asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya
guna.
10. Keadilan
Asas keadilan adalah bahwa setiap tindakan dalam
penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
C. Peranan Politik Hukum dalam Penyelenggaraan Negara.
Peranan politik hukum dalam penyelenggaraan negara sangat
diperlukan karena dalam menata sebuah negara yang demokrasi mestinya
mempunyai berbagai tujuan tertentu.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, sebagaimana dikutip
oleh R.E.S.Fobia dalam kuliah Politik Hukum pasca sarjana UKSW
Salatiga, bahwa politik hokum sebagai legal policy yang telah ditentukan
atau akan dilakukan oleh Pemerintah Nasional Indonesia, mempunyai
tujuan sebagai berikut :
1. Pembangunnan hukum, yang menyangkut pembuatan materi-
materi hokum serta pembaharuan materi agar lebih menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.
2. Pelaksanaan berbagain ketentuann hukum termasuk penegakan
fungsi lembaga penegak hukum dan pembinaan para penegak
hukum.
Sehingga dengan demikian sebagai asumsi dasar dari politik hukum yaitu:
1. Politik hukum dasar pijakan yang sangat kuat yang mana
ditetapkan oleh negara harus juga memiliki visi, misi, dan tujuan
yang akan dicapai oleh negara tersebut.
2. Kebijakan hukum yang diambil merupakan penjabaran lebih lanjut
sebagai arahan bagi suatu negara untuk melakukan review-review
terhadap ketentuan hukum yang ada.
3. Agar seluruh proses tersebut terlaksana dengan baik.

6
D. Politik Hukum
Merupakan kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau
telah dilaksanakan pemerintah secara nasional. Oleh sebab itu esensi dari
hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat
imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen (keinginan,
keharusan), melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam das
sein (kenyataan) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam
implementasiya dan penegakannya.
Terbentuk dan berfungsinya sistem hukum yang mantap,
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan
kemajemukan tata hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian,
ketertiban, penegakan, dan pertinmbanagan hukum yang mendukung
pembangunan Nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan
prasarana yang memadai serta masyarakat yang ada dan taat hukum.
Perkembangan politik hukum dalam konfigurasi politik dan sistem
pemerintahan, fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik saat ada
peluang yang leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran
politik disominasi oleh kaum elit penguasa, maka fungsi hukum
berkembanng sangat lamban.
E. Contoh Kasus Penyelenggaraan Negara
Korupsi Politik di Kasus e-KTP
Sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda
Penduduk berbasis Elektronik (E-KTP) 2011-2012 digelar di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (9/3)
yang lalu. Pada sidang perdana tersebut, duduk sebagai terdakwa yaitu
Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, dan
mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.
Kasus korupsi e-KTP sendiri, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp
2,3 triliun (kompas.com, 09/03/17).
7
Sebelumnya, KPK telah memeriksa 283 orang sebagai saksi.
Mereka terdiri dari politisi, pengusaha, hingga pejabat dan mantan pejabat
di Kementerian Dalam Negeri. Diduga, ada sejumlah nama, termasuk
anggota DPR RI periode 2009-2014, yang disebut dalam dakwaan. Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berharap tidak
terjadi guncangan politik akibat perkara dugaan korupsi pengadaan Kartu
Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Sebab, perkara korupsi yang
merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun itu diduga kuat melibatkan nama-
nama besar (kompas.com, 3/3).
Melihat adanya dugaan nama-nama politisi dan mantan pejabat
yang terseret dalam kasus E-KTP ini, maka dapat kita pahami bahwa
kekuasaan memiliki potensi besar untuk disalahgunakan. Sebagaimana
pendapat Robert Klitgaard (2000) yang menyatakan bahwa korupsi bisa
berarti menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Senada dengan
Klitgaard, H. A. Brasz sebagaimana dikutip oleh Mochtar Lubis dan James
C Scott menyatakan korupsi sebagai penggunaan yang korup dari
kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada
kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan
tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas
dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah (Bunga Rampai Korupsi,
LP3ES, 1995).
Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara dalam kasus E-
KTP dapat dikatakan sebagai praktik korupsi politik. Korupsi politik
secara sederhana dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dalam
pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pejabat negara
yang terlibat dalam korupsi politik biasanya menggunakan kewenangan
yang ada ditangannya untuk mendapatkan keuntungan, baik material
maupun non material.
Definisi korupsi politik sendiri menurut Kamus Internasional
Hukum dan Legal adalah penyalahgunaan kekuasaaan politik oleh
8
pemimpin pemerintahan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan
korupsi politik juga berarti melakukan tindakan korupsi untuk
mempertahankan kekuasaan. Namun, penggunaan kekuasaan untuk tujuan
lain misalnya represi terhadap lawan politik dan penggunaan polisi secara
brutal tidak termasuk korupsi politik. Korupsi politik terjadi pada tingkat
tertinggi dalam suatu sistem politik, dan dapat dibedakan dari administrasi
dan korupsi birokrasi. Dia juga dapat dibedakan dari bisnis dan korupsi
sektor privat (https://definitions.uslegal.com/p/political-corruption/,
13/3/17).
Korupsi politik dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, akumulasi
dan ekstraksi di mana pejabat pemerintah menggunakan dan
menyalahgunakan kekuasaan yang ada ditangannya untuk mendapatkan
keuntungan dari sektor privat, dari pajak pemerintah, dan dari sumber
ekonomi secara besar-besaran. Contohnya adalah korupsi yang dilakukan
sebagai rent-seeking di mana para calon pemimpin mencari modal
keterpilihannya melalui janji pemberian proyek tertentu kepada pemodal
politiknya ketika dia menjabat. Kedua adalah mengambil keuntungan dari
sumber-sumber seperti dana publik untuk menyelamatkan dan
memperkuat kekuasaannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan
memberikan dukungan dan patronasi politik kepada kelompok tertentu.
Termasuk didalamnya adalah distribusi keuangan dan material
yang memberikan manfaat, keuntungan dan memanjakan pihak tertentu
(https://definitions.uslegal.com/p/political-corruption/, 13/3).
Penulis menilai bahwa praktik korupsi politik yang dilakukan politisi
maupun pejabat lembaga tinggi negara merupakan tindakan berbahaya
yang mengancam masa depan bangsa ini. Hal ini dikarenakan praktik
korupsi politik berdampak pada, pertama, menurunkan kepercayaan publik
terhadap partai politik. Kedua, menurunkan kepercayaan terhadap lembaga
tinggi negara. Ketiga, menurunkan kualitas lembaga tinggi negara dalam
menjalankan peranannya. Kemudian yang keempat, menurunkan
kepatuhan hukum di mata masyarakat.
9
Melihat persoalan yang terjadi dalam kasus korupsi yang
melibatkan pimpinan maupun pejabat lembaga tinggi negara, diperlukan
kebijakan yang lahir dari kebijaksanaan guna mengatasi korupsi yang
semakin sistemik di negeri ini. Oleh karena itu, pertama, diperlukan
pengawasan yang ketat oleh masyarakat sipil terkait rekrutmen atau
penerimaan pimpinan maupun pejabat di lembaga tinggi negara. Kedua,
mendorong partai politik untuk memperkuat komitmennya dalam
pemberantasan korupsi. Ketiga, melakukan pelaporan dan publikasi
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), secara berkala.
LHKPN diharapkan ke depan, tidak hanya dilaporkan pada saat pertama
kali menjabat, mutasi, promosi dan pensiun. Tapi LKHPN juga dilaporkan
secara berkala setiap saat pada masa jabatanya tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://www.theindonesianinstitute.com/korupsi-politik-di-kasus-e-ktp/
http://robertndun.blogspot.com/2013/12/politik-hukum-dalam-
penyelenggaraan.html
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_28_99.htm

11

Anda mungkin juga menyukai

  • Bonus Demografi
    Bonus Demografi
    Dokumen10 halaman
    Bonus Demografi
    BaringinCorah Tapi Takseindahdulu
    Belum ada peringkat
  • PEMBAHASAN
    PEMBAHASAN
    Dokumen11 halaman
    PEMBAHASAN
    BaringinCorah Tapi Takseindahdulu
    Belum ada peringkat
  • PEMBAHASAN
    PEMBAHASAN
    Dokumen11 halaman
    PEMBAHASAN
    BaringinCorah Tapi Takseindahdulu
    Belum ada peringkat
  • Tugas Akhir
    Tugas Akhir
    Dokumen77 halaman
    Tugas Akhir
    BaringinCorah Tapi Takseindahdulu
    Belum ada peringkat