Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Sastra berdasarkan Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif merupakan pendekatan paling penting dalam


khazanah teori sastra sekaligus menjadi sumber lahirnya sejumlah teori
sastra yang terkenal, terutama yang menggunakan konsep dasar struktural.
Pendekatan objektif dicetuskan oleh ilmuwan sastra, M.H Abrams,
disamping pendekatan ekspresif, pendekatan pragmatik, dan pendekatan
mimetik. Dalam bukunya The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and
the Cirictical Tradition (1971: 26-29) Abrams menjelaskan bahwa
pendekatan objektif merupakan pendekatan yang menitikberatkan
perhatian pada karya sastra, membebaskan diri dari pengaruh unsur luar
karya sastra. Pendekatan objektif Abrams ini sama pengertiannya dengan
pendekatan intrinsik yang dicetuskan Rene Wellek dan Austin Warren
yang diuraikan secara panjang-lebar pada Bagian Keempat buku mereka
Teori kesusastraan (1993: 155-363)

Pendekatan objektif merupakan teori sastra yang memandang karya


sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari
siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus
dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai
struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Dalam karya sastra
prosa (fiksi), misalnya, yang dicari dan ditelaah adalah unsur-unsur
intrinsik, seperti tema, plot, tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, gaya
bahasa, dan sebagainya. Pendekatan objektif ini menjadi sumber lahirnya
sejumlah teori sastra, termasuk teori naratologi, teori dekonstruksi, dan
teori psikoanalisis yang akan diperkenalkan berikut ini.

3
4

B. Teori Naratologi

Dalam buku Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dijelaskan


bahwa naratologi berasal dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita,
perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi disebut juga teori
wacana, teori narasi, dan teori tekstual. Secara definitif teori naratologi
adalah seperangkat konsep mengenai cerita (narasi) dan struktur
penceritaan (plot atau alur) yang terdapat dalam karya sastra (Ratna,
2013:302). Salah satu tokoh yang menonjol dalam mengembangkan teori
ini adalah Rolland Barthes yang lahir di Cherbourg pada tahun 1915 dan
meninggal dunia pada tahun 1980. Tujuan teori naratologi adalah untuk
menganalisis atau mengkaji karya sastra dalam bentuk narasi atau wacana.
Objek yang dianalisis dalam teori ini juga konsep-konsep yang
disesuaikan dalam konteks dan kompetensi wacana. Dalam analisis prosa
(novel dan cerpen) atau drama, misalnya, bagaimana tokoh dan penokohan
terbentuk. Demikian juga tema dan pandangan dunia, gaya dan gaya
bahasa, plot dan alur, dan lain-lain, adalah dalam bentuk analisis wacana
atau analisis penceritaan itu sendiri.

Pada zaman modern teori naratologi dibedakan menjadi dua


macam, yaitu ;

1. teori naratologi strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an)

Teori yang memberikan insensitas pada oposisi biner, dengan


sejumlah tokoh yang berpengaruh, antara lain Claude Levi-Strauss,
Tzvetan Todorov, A.J Greimas, dan lain-lain.

2. teori naratologi pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang)

Teori yang melakukan dekonstruksi dikotomi tersebut, dengan


sejumlah tokoh yang berpengaruh, antara lain Rolland Barthes, Gerard
Gennette, Jonathan Culler, Umberto Eco, dan lain-lain.
5

C. Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata de dan


construktio. Kata de memiliki arti ke bawah, pengurungan, atau terlepas
dari, sedangkan kata Construktio berarti bentuk, susunan, hal menyusun,
dan hal mengatur. Dekonstruksi dalam sastra dapat diartikan sebagai
pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, yakni
teori strukturalisme.
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang
Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di
Perancis. Pandangan filsafat dekonstruksi Derrida ini mempunyai
pengaruh yang sangat kuat dalam era pascatrukturalisme. Istilah tersebut
sama pengetiannya dengan dekonstruksi (konsep filsafat Derrida), karena
membangun teori atas dasar konsep-konsep strukturalisme semiotika
Ferdinand de Saussure dengan menentang dan merusak konsep-konsep itu.
Mereka melacak konsep-konsep strukturalisme klasik sampai ke akar-
akarnya, merombaknya dan menentangnya dengan pandangan baru. Itulah
teori dekonstruksi atau teori pascastrukturalisme.
Teori ini mula-mula berkembang di Perancis oleh kelompok
penulis Tel Quel dengan tokoh utama Jacques Derrida dan tokoh lainnya
Julia Kristeva. Para pengikut teori ini mencanangkan perang terhadap teori
strukturalisme yang bersifat global dan totalitarian. Kaum strukturalisme
klasik berpendapat bahwa teks adalah sesuatu yang sudah bulat, utuh, dan
otonom. Sebaliknya, menurut teori dekonstruksi (pascastrukturalisme),
bahasa bukan lagi semacam jendela yang transparan terhadap kenyataan
asli yang belum dibahasakan. Menurut Derrida, tidak ada kenyataan
objektif yang bisa dibahasakan. Demikian pula, tidak ada ungkapan bahasa
dengan arti tertentu. Bahasa tidak mencerminkan kenyataan melainkan
menciptakan kenyataan.

Untuk menjelaskan pandangan Deridda tentang hal diatas, Taum


(1997 : 44) memberi contoh dalam sastra Indonesia. Misalnya, roman Siti
6

Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Sebetulnya roman itu tidak


mencerminkan keadaan masyarakat Minangkabau tahun 1920-an pada
waktu roman itu disusun Marah Rusli. Kesan seolah-olah keadaan
masyarakat itu sungguh hadir dalam keseluruhan cerita roman itu
disebabkan oleh kemampuan bahasa pengarang untuk menghadirkan yang
tidak ada menjadi seolah-olah ada. Jadi, bahasa itulah yang “menciptakan
kenyataan”, bukan sebaliknya bahasa yang mencerminkan kenyataan. Di
dalam teks roman itu, tidak ada tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa, yang
ada tidak lain adalah bentuk-bentuk bahasa yang menciptakan tokoh-tokoh
dan peristiwa-peristiwa di dalam angan-angan para pembaca. Akan tetapi,
penciptaan angan-angan itu tidak sama pada setiap orang.

D. Teori Psikoanalisis

Psikoanalisis adalah teori sastra yang mengkaji unsur kejiwaan


para tokoh dalam karya sastra. Pencetus sekaligus tokoh kunci teori ini
adalah Sigmund Freud (1856-1939), seorang ahli neurologi (ilmu syaraf)
dan neuropsikiatri Sigmund Freud lahir di Austria, 6 Mei 1856, meninggal
dunia di London, 23 September 1939. Selain Sigmund Freud, tokoh teori
psikoanalisis lain yang patut disebutkan adalah Alfred Adler (1870-1937)
dan Carl Gustav Jung (1875-1961), keduanya murid utama Freaud.

Awalnya Freud menggambarkan kepribadian manusia ibarat


gunung es dengan bagian atas permukaan laut sebagai wilayah kesadaran
dan bagian yang berada di bawah permukaan laut sebagai wilayah
ketidaksadaran. Di antara kedua wilayah itu terdapat wilayah
prakesadaran. Model topologis itu kemudian diubah menjadi model
struktural, yang mana terdiri dari tiga unsur yaitu id, ego, dan superego. Id
merupakan bagian kepribadian yang paling primitif, dimana ego dan
superego selanjutnya akan terbentuk. Id menuntut segala keinginan dan
kebutuhannya terlaksana dengan segera. Pada sistem selanjutnya, Manusia
akan menyadari bahwa segala sesuatu yang diinginkan tidak selalu
7

terlaksana dalam waktu yang cepat dan terpuaskan segera. Hal inilah yang
disebut dengan ego. Ego menjadi perantara tuntutan id dan superego.
Superego adalah representasi internal dari nilai dan moral masyarakat yang
mencakup kesadaran individual serta citranya. Superego akan menilai
benar atau salahnya suatu tindakan. Apabila terjadi pelangaran nilai,
superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah.

Selain Freud, Tokoh psikoanalisis yang lain adalah Alfred Adler,


yang mengembangkan konsep organ inferioriti. Menurutnya, setiap
manusia pasti punya perasaan inferior karna kekurangannya sehingga
berusaha mencapai keunggulan atau melakukan kompensasi atas
perasaannya itu. Kompensasi ini bisa dalam bentuk menyesuaikan diri atau
membentuk pertahanan diri yang memungkinkannya mengatasi kelemahan
tersebut.
Disamping Alder, tokoh psikoanalisis lain yang juga terkenal
adalah Carl Gustav Jung (1875-1961), murid kesayangan Freud. Jung
menekankan pada aspek ketidaksadaran dengan konsep utamanya
collective unconscious. Konsep ini sifatnya transpersonal, ada pada
seluruh manusia dan menjadi dasar kepribadian manusia karena
didalamnya terkandung nilai dan kebijaksanaan yang dianut manusia.

Anda mungkin juga menyukai