Anda di halaman 1dari 11

TINDAK KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH

BUPATI JOMBANG

Disusun oleh :

NAMA : Lelytha Ziadha A’yunina

NIM : 165030101111065

Kelas : BIROKRASI (F)

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
BAB I

1.1. Latar Belakang


Dizaman sekarang semakin hari semakin banyak masyarakat yang
menginginkan sesuatu yang mudah dan cepat. Dikarenakan banyak masyarakat
yang lebih mementingkan sesuatu yang dirasa cukup efektif dan efisien dalam
pengerjaannya dan juga mementingkan sesuatu hal yang dirasa cukup
menguntungkan bagi dirinya sendiri. Sehingga hal ini membuat mindset
masyarakat sedikit berubah dari sebelumnya yaitu masyarakat sekarang lebih
menginginkan sesuatu hal itu tanpa bergerak banyak tapi mendapatkan sesuatu hal
yang banyak. Dan hal tersebut tidak dipungkiri bahwa masyarakat biasanya
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan
mudah dan cepat. contoh yang akhir akhir ini terjadi yaitu kasus korupsi.

Korupsi dari bahasa latin : “corruption” dari kata kerja “corrumpere”


yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara
harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politis maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan public yang
dipercayakan kepada mereka. Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang
busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan
menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral,
sifat dan keadaan yang busuk,jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan
politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah
kekuasaan jabatannya.
Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit
dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk
yang memerlukan kemampuan berpikir aparat pemeriksaan dan penegakan hokum
disertai pola perbuatan yang sedemikian rapi. Oleh karena itu, perubahan
dan perkembangan hukum merupakan salah satu untuk mengantisipasi
korupsi. tersebut. Karena korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas
masalah, antara lain masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup
serta budaya, lingkungan sosial, sistem ekonomi, politik dan sebagainya.
Dalam menghadapi karakteristik demikian maka salah satu cara memberantas
tindak pidana korupsi yang selama ini diketahui adalah melalui sarana hukum
pidana sebagai alat kebijakan kriminal dalam mencegah atau mengurangi
kejahatan.
Banyak kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini mendapatkan putusan
yang cukup ringan, dalam hal ini kasus-kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia dan khususnya kasus-kasus korupsi yang terjadi di kabupaten
Jombang Jawatimur yang dilakukan oleh Bupati nya sendiri yang diduga
menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.
Korupsi merupakan fenomena yang masih memerlukan perhatian lebih karena
merupakan kejahatan luar biasa yang dampaknya sangat merugikan masyarakat.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Menurut Lopa (1996: 1) dalam Nurdjana (2005: 31-32),
ketidakberdayaan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah
dan penegak hukum bukan disebabkan oleh lemahnya undang-undang, melainkan
karena faktor kelemahan sistem. Faktor kelemahan sistem merupakan produk
integritas moral. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam perbaikan sistem
tergantung pada integritas moral, karena yang memiliki pemikiran bahwa sistem
harus diperbaiki adalah orang yang bermoral. Orang yang berilmu namun tidak
bermoral tidak akan terdorong untuk memperbaiki sistem, bahkan akan
menggunakan kesempatan dari kelemahan sistem tersebut.
BAB II

2.1. STUDI KASUS

Liputan6.com, Sidoarjo - Bupati nonaktif Jombang Nyono Suharli divonis tiga tahun
enam bulan penjara dengan denda sebesar Rp 200 juta, subsider dua bulan penjara.
Putusan ini terbilang ringan dari tuntutan jaksa KPK. Sebelumnya, Nyono dituntut
delapan tahun penjara dengan denda Rp 300 juta, subsider tiga bulan kurungan penjara.
Putusan terhadap mantan ketua DPD Partai Golkar Jatim itu dibacakan oleh ketua Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Unggul Warso Mukti.

"Terdakwa terbukti bersalah telah menerima suap terkait pengangkatan Inna Silestowati
sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan yang merangkap sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan
Jombang, serta dugaan pemberian uang untuk perizinan rumah sakit," ungkap Majelis
Hakim, Unggul Warso Mukti dalam amar putusannya, Selasa (4/9/2018).

Nyono dinilai melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Terdakwa diputus tiga tahun enam bulan dengan denda sebesar Rp 200 juta, subsider
dua bulan penjara," ucap Unggul.

Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak
politik selama tiga tahun terhitung setelah menjalani masa hukuman.

"Adapun yang meringankan terdakwa, selama ini dia telah kooperatif dan
mengembalikan sejumlah kerugian negara. Adapun yang memberatkan terdakwa adalah
kewenangannya sebagai kepala daerah yang tidak mendukung program pemerintah dalam
memberantas korupsi," Unggul menjelaskan.

Nyono Suharli mengembalikan kerugian negara senilai Rp 275 juta kepada KPK. Uang
itu berasal dari beberapa pihak terkait dana suap.

KPK Banding

Sementara itu, terkait putusan tersebut, jaksa KPK menyatakan banding. "Kami ajukan
banding yang mulia," kata jaksa penuntut umum KPK, Wawan Yunarwanto.

Terdakwa Bupati Jombang nonaktif itu terjerat kasus dugaan korupsi suap untuk
menetapkan Inna Silistyowati sebagai kepala Dinas Kesehatan definitif.

Total suap yang diberikan kepada Nyono Suharli berjumlah Rp 275 juta. Pihak KPK
menyita uang Rp 25 juta dan 9.500 dolar AS dalam bentuk pecahan. Selain Nyono, KPK
juga mengamankan pemberi suap Inna Silistyowati yang menjabat sebagai Plt Kepala
Dinas Kesehatan Jombang.

2.2. ANALISIS KASUS

Studi kasus diatas mengenai kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati
Kabupaten Jombang Jawatimur. Dalam kasus tersebut Bupati Jombang yang bernama
Nyono tersebut merasa bahwa dirinya ini tidak bertindak korupsi karena menurutnya
memang setiap tahun dana sebesar 5% dari kesehatan ini digunakan Nyono untuk
memperhatikan kehidupan anak yatim piatu yang berada di Kabupaten Jombang ini.
Akan tetapi dari pihak KPK nya telah menelusuri bahwa Bupati jombang ini terbukti
melakukan tindak pidana korupsi sebesar 275 juta, dan dalam kasus ini KPK telah
memeriksa sebanyak 31 saksi dari unsur anggota DPRD Kabupaten Jombang 2014-
2019, asisten I Pemkab Jombang, Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (PMPTSP) Kabupaten Jombang, dan Kabid Pelayanan Perizinan Dinas PMPTSP
Kabupaten Jombang. KPK juga pernah memeriksa kepala rumah sakit, dokter, kepala
puskesmas di Kabupaten Jombang, dan PNS lainnya di pemerintah Kabupaten
Jombang. Akan tetapi dari pihak KPK nya sendiri member keringanan kepada Bupati
Kabupaten jombang ini, karena dirasa Bupati Kabupaten jombang ini sudah kooperatif
dengan kasus ini, karena sudah mengembalikan uang yang merugikan Negara sebesar
275 juta tersebut. Sehingga Bupati Kabupaten Jombang ini hanya dihukum tiga tahun
enam bulan penjara dengan denda sebesar Rp 200 juta, subsider dua bulan penjara.
Putusan ini terbilang ringan dari tuntutan jaksa KPK, Sebelumnya, Nyono dituntut
delapan tahun penjara dengan denda Rp 300 juta, subsider tiga bulan kurungan penjara.
BAB III

3.1. TEORI

Jan Remmelink (2003: 6) yang menyatakan hukum pidana adalah hukum


(tentang penjatuhan) sanksi : ihwal penegakan norma-norma (aturan-aturan) oleh
alat-alat kekuasaan (negara) yang ditujukan untuk melawan dan memberantas
perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut lebih tampak disini
dibandingkan dengan bidang-bidang hukum lainnya, semisal hukum sipil. Lebih lanjut
Jan Remmelink (2003: 7), menyatakan umumnya sanksi itu muncul dalam bentuk
pemidanaan, pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa
yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar aturan hukum. Jan Remmelink
(2003: 7) mengemukakan juga, bahwa instansi kekuasaan yang berwenang, hakim
pidana, tidak sekadar menjatuhkan sanksi, namun juga menjatuhkan tindakan
(maatregel) untuk pelanggaran norma yang dilakukan karena salah dan kadangkala
juga karena kelalaian.

Dalam konteks kerugian keuangan negara sebagai akibat tindak pidana korupsi
maka pengembalian dapat diartikan pemulihan ke keadaan semula kerugian
keuangan negara dengan proses atau cara-cara tertentu. Bahwa tindak pidana korupsi
sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Tindak pidana korupsi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi (Nuansa Aulia, 2008: 23).

Menurut petunjuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara adalah


berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan oleh sesuatu tindakan melanggar
hukum/kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar dugaan dan
di luar kemampuan manusia (force majeure) (M. Tuanakotta, 2009: 79). Kerugian
negara yang diakibatkan oleh faktor force majeure merupakan pengaruh dari
konsep ekonomi. Pengertian kerugian negara/daerah menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, BAB I Ketentuan Umum,
Pasal 1 angka 22 adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata
dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai (Pressindo, 2009: 43). Pengertian kerugian negara tersebut pada titik
tertentu mempunyai kesamaan dengan pengertian kerugian negara dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal
3, terutama dari sisi penyebabnya yaitu timbulnya kerugian negara disebabkan
oleh perbuatan melawan hukum.
BAB IV

4.1. SOLUSI

Dengan kasus seperti diatas penulis memberikan saran agar nantinya tidak
terjadi kasus yang sama seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Seharusnya
para birokrat membuat sebuah kebijakan yang jelas adanya dan alurnya. Agar tidak
terjadi tumpang tindih kebijakan. Seperti yang dilakukan oleh Bupati Kabupaten
Jombang yang menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi
tetapi hanya melakukan kebiasaan yaitu memangkas dana sebesar 5% dari dana
yang dialokasikan untuk kesehatan dengan hal tersebut tidak bisa dikatakan tidak
korupsi karena tidak ada landasan kebijakan yang dibuat untuk hal tersebut halal
untuk dilakukan. Dan juga seharusnya para birokrat lebih selektif lagi dan lebih
mementingkan kepentingan umum ketika ingin melakukan sesuatu hal. Dan juga
lebih hati hati ketika ingin menempatkan seseorang dalam jabatan tertentu.
Seharusnya melewati seleksi terlebih dahulu dan dilihat bobot dan bibitnya. Tidak
boleh asal menempatkan seseorang di jabatan tertentu apalagi hanya sekedar untuk
menerima sebatas imbalan yang menguntungnya dirinya saja.
BAB V
5.1. KESIMPULAN

Dengan studi kasus yang sudah dijelaskan sebelumnya penulis menarik


kesimpulan bahwa sebagai seorang birokrat yang baik seharusnya memiliki moral yang
tinggi dan juga memiliki rasa bertanggung jawab yang tinggi atas pekerjaan yang
diembannya. Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu ditindak lanjuti agar tidak semakin
menyebar luas kesmua lapisan masyarakat. Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan
yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi
bermuka majemuk yang memerluhkan kemampuan berpikir aparat pemeriksaan dan
penegak hukum disertai pola perbuatan yang sedemikian. Dan birokrasi yang baik adalah
birokrasi yang dilandasi oleh sebuah kebijakan yang jelas dan akurat. Tidak hanya
seorang pemimpin saja yang mengetahui kebijakan tersebut tetapi kebijakan tersebut
dibuku kan dan di sah kan oleh DPRD agar tidak terjadi tumpang tindih. Akan tetapi
dalam kasus ini KPK juga sangat kooperatif dalam menangani kasus ini. Karena yang
seharusnya hukumannya selama 8 tahun penjara dan di denda sebesar 300 juta akan tetapi
jaksa penuntun umum melihat bahwa hukuman ini terlalu berat untuk Bupati Kabupaten
Jombang karena Bupati Kabupaten Jombang sudah mengembalikan kerugian Negara
sebesar 275 juta tersebut kepada Negara.
DAFTAR PUSTAKA

http://e-journal.uajy.ac.id/4159/3/2MIH01373.pdf

http://www.tribunnews.com/nasional/2018/02/05/korupsi-bupati-jombang-uang-
kutipan-dari-34-puskesmas-itu-sumbangan-untuk-anak-yatim diakses pada tanggal 12
Desember 2018 pukul 18.45 WIB

https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/teori-teori-
penyebab-korupsi diakses pada tanggal 12 Desember 2018 pukul 18.55 WIB

e-journal.uajy.ac.id/4159/3/2MIH01373.pdf

https://www.liputan6.com/news/read/3636246/terbukti-korupsi-bupati-jombang-
nonaktif-divonis-3-tahun-penjara diakses pada tanggal 12 Desember 2018 pukul 19.00 WIB

https://nasional.kompas.com/read/2018/02/05/19185281/dari-kasus-bupati-jombang-
kpk-temukan-kelemahan-sjsn. diakses pada tanggal 12 Desember 2018 pukul 19.15 WIB

https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/10332861/bupati-jombang-akan-
segera-disidang-terkait-kasus-dugaan-suap diakses pada tanggal 12 Desember 2018 pukul
19.20 WIB

Anda mungkin juga menyukai