Anda di halaman 1dari 10

`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid


Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran

Okky Purnia Pramitasari


*)
Mahasiswa FKM UNDIP, **)Dosen Bagian Epidemiologi dan Penyakit Tropik
FKM UNDIP

ABSTRAK
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran
pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan masih merupakan
penyakit endemik di Indonesia. Dari laporan Rumah Sakit Umum Daerah
Ungaran tahun 2006 hingga 2011, demam tifoid selalu menempati peringkat
pertama Morbiditas 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap di RSUD Ungaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor risiko kejadian
penyakit demam tifoid pada penderita yang dirawat di RSUD Ungaran pada
bulan Juli-September 2012. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
observasional, dengan metode pendekatan kasus-kontrol. Responden pada
penelitian ini berjumlah 50 orang kelompok kasus dan 50 orang kelompok
kontrol. Pengambilan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Uji
statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan
terjadinya demam tifoid adalah jenis kelamin laki-laki dengan nilai p = 0,002, OR
= 3,84, CI 95% =1,61 – 9,161; kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan
dengan nilai p = 0,001, OR = 6,769, CI 95% = 2,447 – 18,726; kebiasaan jajan
atau makan di luar penyediaan rumah dengan nilai p = 0,001, OR = 7,765, CI
95% = 3,135 – 19,231; sumber air bersih yang digunakan untuk minum sehari-
hari dari sumur p = 0,045, OR = 2,253, CI 95% = 1,011 – 5,019. Sedangkan
umur dan tingkat pendidikan responden bukan merupakan faktor risiko demam
tifoid pada penderita yang dirawat di RSUD Ungaran. Bagi instansi terkait,
diharapkan dapat melakukan penyuluhan kesehatan mengenai pencegahan
penyakit demam tifoid sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit
demam tifoid.

Kata kunci : Faktor risiko, demam tifoid, kasus-kontrol

LATAR BELAKANG
Demam tifoid adalah suatu Besarnya angka pasti kasus
penyakit infeksi sistemik bersifat akut demam tifoid di dunia sangat sulit
pada usus halus yang disebabkan oleh ditentukan karena penyakit ini dikenal
Salmonella enterica serotype typhi mempunyai gejala dengan spektrum
(Salmonella typhi).1,2,3 Demam tifoid klinis yang sangat luas. Data WHO
ditandai dengan gejala demam satu tahun 2003 memperkirakan terdapat
minggu atau lebih disertai gangguan sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
pada saluran pencernaan dengan atau seluruh dunia dengan insidensi
tanpa gangguan kesadaran.4,5,6 600.000 kasus kematian tiap tahun.9
Penyakit ini masih sering dijumpai Berdasarkan Profil Kesehatan
secara luas di berbagai negara Indonesia tahun 2009, demam tifoid
berkembang terutama yang terletak di atau paratifoid menempati urutan ke-3
daerah tropis dan subtropik.7,8 dari 10 penyakit terbanyak pasien
1
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

rawat inap di rumah sakit tahun 2009 disease tidak jauh berbeda dengan
yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang penularan melalui air atau water borne
meninggal 1.747 orang dengan Case disease, hanya ada di antaranya yang
Fatality Rate sebesar 1,25%.10 secara langsung berada dalam zat
Sedangkan berdasarkan Profil makanan atau unsur makanan yang
Kesehatan Indonesia tahun 2010 dimakan.14,15,16
demam tifoid atau paratifoid juga Faktor risiko demam tifoid yang
menempati urutan ke-3 dari 10 juga mungkin berperan antara lain
penyakit terbanyak pasien rawat inap sanitasi lingkungan yang buruk (tidak
di rumah sakit tahun 2010 yaitu menggunakan jamban saat buang air
sebanyak 41.081 kasus, yang besar, kualitas sumber air bersih
meninggal 274 orang dengan Case buruk), hygiene perorangan yang
Fatality Rate sebesar 0,67 %.11 buruk (tidak mencuci tangan sebelum
Menurut Riset Kesehatan Dasar makan), mengkonsumsi makanan
Nasional tahun 2007, prevalensi tifoid (sayuran) dalam kondisi mentah dan
klinis nasional sebesar 1,6%. Sedang minum air yang tidak direbus terlebih
prevalensi hasil analisa lanjut ini dahulu.2,17,18,19
sebesar 1,5% yang artinya ada kasus Berdasarkan alasan-alasan di atas,
tifoid 1.500 per 100.000 penduduk peneliti merasa tertarik untuk
Indonesia.12 Tifoid klinis dideteksi di melakukan penelitian di RSUD
Provinsi Jawa Tengah dengan Ungaran mengenai faktor-faktor risiko
prevalensi 1,61 % dan tersebar di apa sajakah yang berhubungan
seluruh Kabupaten atau Kota dengan dengan kejadian demam tifoid pada
prevalensi yang berbeda-beda di penderita yang dirawat di RSUD
setiap tempat. Prevalensi tifoid di Ungaran.
Kabupaten Semarang sebesar 0,8%.13
RSUD Ungaran merupakan salah SUBJEK DAN METODE
satu rumah sakit rujukan bagi Penelitian ini merupakan
penderita tifoid di Kabupaten penelitian analitik dengan desain case-
Semarang. Selain fasilitas rawat jalan, control. Populasi penelitian ini adalah
RSUD Ungaran juga menyediakan pasien baru rawat inap di RSUD
fasilitas rawat inap. Diagnosis demam Ungaran. Sampel terdiri dari sampel
tifoid di RSUD Ungaran ditegakkan kasus dan kontrol. Sampel kasus yaitu
dengan pemeriksaan laboratorium penderita baru yang didiagosis demam
yaitu Uji Widal. Penyakit demam tifoid tifoid dengan tes widal positif yang
selalu menduduki peringkat pertama dirawat di RSUD Ungaran bulan Juli-
Morbiditas 10 Penyakit Terbanyak September 2012. Sedangkan sampel
Rawat Inap RSUD Ungaran dari tahun kontrol yaitu penderita baru yang
2006 - 2011. dirawat di RSUD Ungaran dengan tes
Demam tifoid, faktor risiko widaal negatif pada bulan Juli-
utamanya adalah penanganan September 2012. Jumlah sampel
makanan oleh penjamah makanan sebanyak 100 orang, 50 orang kasus
yang terinfeksi sehingga disebut food dan 50 orang control.
borne disease. Yang dimaksud dengan Variabel terikat adalah kejadian
penyakit bawaan makanan adalah demam tifoid. Variabel bebas terdiri
penyakit umum yang dapat diderita dari jenis kelamin, umur, tingkat
seseorang akibat memakan sesuatu pendidikan, kebiasaan cuci tangan
makanan yang terkontaminasi mikroba sebelum makan, kebiasaan jajan atau
pathogen kecuali keracunan. makan di luar rumah dan sumber air
Sebenarnya kelompok food borne bersih yang biasa digunakan

2
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

responden untuk minum sehari-hari. mengkonsumsi makanan siap saji atau


Pengambilan data dengan wawancara makanan warung yang biasanya
menggunakan kuesioner. Data yang banyak mengandung penyedap rasa
diperoleh kemudian dianalisis dan kehigienisan yang belum terjamin,
menggunakan uji chi-square dengan dibanding wanita yang lebih suka
derajat kepercayaan (Convidence memasak makanan sendiri sehingga
Interval) 95% dan α sebesar 0,05 atau lebih memperhatikan komposisi dan
5%. kebersihan makanannya. Kebiasaan
ini menyebabkan pria lebih rentan
HASIL DAN PEMBAHASAN terkena penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti tifoid bila
Hubungan Jenis Kelamin dengan makanan yang dibeli kurang higienis.
Kejadian Demam Tifoid Berdasarkan pembahasan tersebut
dilihat dari segi pola makanan pria
Tabel 1. Hubungan Jenis Kelamin lebih rentan terkena penyakit daripada
dengan Kejadian Demam Tifoid wanita.21
Jenis Kasus Kontrol Jumlah
Kelamin F % f % F % Hubungan Umur dengan Kejadian
Laki-laki 2 52 11 22 37 37 Demam Tifoid
6
Perempua 2 48 39 78 63 63 Tabel 2. Hubungan Umur dengan
n 4 Kejadian Demam Tifoid
Jumlah 5 100 50 100 10 10 Kasus Kontrol Jumlah
Umur
0 0 0 f % f % f %
p value = 0,002 ; OR = 3,841 (1,61– ≤ 20 6 12 5 10 11 11
9,161) tahun
< 20 4 88 45 90 89 89
Dari hasil penelitian dapat tahun 4
diketahui presentase kejadian demam Jumlah 5 100 50 100 10 10
tifoid pada kasus yang berjenis 0 0 0
kelamin laki-laki lebih tingi p value = 0,749; OR 1,227 (0,349 –
dibandingkan kasus yang berjenis 4,316)
kelamin perempuan. Berdasarkan
analisis signifikansi menggunakan chi- Umur diukur dari jumlah ulang
square test didapatkan nilai p = 0,002 tahun yang dihitung dari tahun
(<0,05) artinya secara statistik kelahiran sampai saat ini. Dalam
menunjukkan bahwa variabel jenis penelitian ini, hasil analisis bivariat
kelamin berhubungan dengan kejadian antara variabel umur dengan kejadian
demam tifoid. Nilai OR = 3,841 (95% demam tifoid diperoleh nilai p value =
CI = 1,61-9,161) artinya risiko kejadian 0,749 lebih besar dari 0,05 sehingga
demam tifoid pada orang yang berjenis menunjukkan tidak ada hubungan
kelamin laki-laki lebih tinggi 3,841 kali yang bermakna secara statistik antara
dibandingkan orang yang berjenis umur dengan kejadian demam tifoid.
kelamin perempuan. Pada penelitian ini, kasus demam
Hal ini bisa terjadi karena aktivitas tifoid terbanyak diderita oleh pasien
laki-laki lebih banyak di luar rumah berumur lebih dari 20 tahun. Hal ini
dibandingkan dengan perempuan. Hal berbeda dengan kebanyakan kasus
ini sesuai dengan penelitian yang demam tifoid di area endemis bahwa
dilakukan oleh Maria Holly H dkk.20 distribusi usia responden terbanyak
Selain itu pria juga lebih banyak pada kelompok usia 3 – 19 tahun.9
3
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Age-specific attack rates demam n


tifoid mencerminkan paparan Rendah 3 70 30 60 65 65
organisme dan perkembangannya dari 5
respon imun protektif. Di daerah Tinggi 1 30 20 40 35 35
endemik, anak-anak antara usia 1 dan 5
5 tahun berada pada risiko tertinggi Jumlah 5 100 50 100 10 10
perkembangan infeksi S. Typhi karena 0 0 0
memudarnya antibodi pasif yang p value = 0,295; OR=1,556 (0,679 –
diperoleh dari ibu dan berkurangnya 3,561)
imunitas yang diperoleh.22
Osler mengamati bahwa demam Teori tersebut tidak sesuai dengan
tifoid merupakan penyakit dari remaja hasil penelitian di RSUD Ungaran yang
yang lebih tua dan dewasa muda, dan memperlihatkan bahwa tidak ada
data terbaru yang berasal dari studi hubungan yang bermakna antara
pasien rawat inap di negara tingkat pendidikan dengan kejadian
berkembang mendukung observasi ini. demam tifoid ( p value = 0,295 ). Hal
Namun, dalam beberapa tahun tersebut memberi arti bahwa tingkat
terakhir, studi-studi prospektif pasien pendidikan seseorang belum
rawat jalan di daerah endemik telah menjamin dimilikinya pengetahuan
menunjukkan bahwa insidensi demam tentang demam tifoid dan
tifoid tertinggi pada remaja dan pencegahannya.
dewasa muda, sedangkan kejadian Hal ini sejalan dengan penelitian
demam tifoid secara keseluruhan yang dilakukan Aris Suyono yang
berdasarkan kultur darah yang menyebutkan bahwa secara statistik
dikonfirmasi sebagai penyakit ini variabel pendidikan tidak berhubungan
umumnya tertinggi pada anak-anak dengan kejadian demam tifoid (p value
kurang dari 9 tahun dan menurun =0,086) dikarenakan bahwa informasi
secara signifikan pada akhir remaja.2 tentang demam tifoid lebih banyak
diperoleh dari luar pendidikan formal.
Hubungan Tingkat Pendidikan Tidak semua jenjang pendidikan
dengan Kejadian Demam Tifoid formal dari tingkat dasar sampai
dengan perguruan tinggi memberikan
Menurut Notoatmodjo (2003), materi yang berhubungan dengan
tingkat pendidikan seseorang dapat kesehatan kecuali pendidikan formal
meningkatkan pengetahuannya kejuruan di bidang kesehatan. 24
tentang kesehatan. Pendidikan akan
memberikan pengetahuan sehingga Hubungan Kebiasaan Mencuci
terjadi perubahan perilaku positif yang Tangan Sebelum Makan dengan
meningkat. Semakin tinggi tingkat Kejadian Demam Tifoid
pendidikan formal semakin mudah
menyerap informasi termasuk juga Tangan adalah bagian dari tubuh
informasi kesehatan, semakin tinggi manusia yang paling sering
pula kesadaran untuk berperilaku berhubungan dengan mulut dan
hidup sehat.23 hidung secara langsung, sehingga
tangan menjadi salah satu penghantar
Tabel 3. Hubungan Tingkat Pendidikan utama masuknya kuman penyebab
dengan Kejadian Demam Tifoid penyakit ke dalam tubuh manusia.
Salah satu kebiasaan yang dapat
Tingkat Kasus Kontrol Jumlah meminimalisir jumlah kuman di tangan
Pendidika f % f % f % kita yaitu cuci tangan. Walaupun cuci
4
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

tangan merupakan suatu hal yang menggunakan alat makan (sendok,


sederhana yang biasa kita lakukan tapi garpu). Namun, penggunaan alat
sangat besar manfaatnya. Penelitian makan tidak selalu dilakukan oleh
yang dilakukan oleh Girou et al., responden saat makan karena secara
(2002) membuktikan bahwa cuci tidak sadar peluang penggunaan
tangan dapat menurunkan jumlah tangan secara langsung masih bisa
kuman di tangan hingga 58%. Secara terjadi sehingga memungkinkan
individu cuci tangan dapat kuman-kuman patogen termasuk
meningkatkan hieginitas yang dapat Salmonella typhi yang ada di jari-jari
berpengaruh terhadap kesehatan.25 tangan ikut tertelan bersama makanan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
Tabel 4. Hubungan Kebiasaan hasil penelitian Arief Rakhman dkk,
Mencuci Tangan Sebelum Makan yang menyimpulkan bahwa terdapat
dengan Kejadian Demam Tifoid hubungan faktor risiko yang
Cuci Kasus Kontrol Jumlah berpengaruh antara kebiasaan cuci
Tangan f % f % f % tangan tidak pakai sabun sebelum
Tidak 2 48 6 12 30 30 makan (p = 0,002 OR= 2,625 CI 95%;
4 1,497 <OR< 4,602) dengan kejadian
Ya 2 52 44 88 70 70 demam tifoid pada orang dewasa usia
6 > 16 tahun yang di rawat inap di RSUD
Jumlah 5 100 50 100 10 10 dr H Soemarmo Sosroatmodjo
0 0 0 Kabupaten Bulungan, Kalimantan
p value = 0,001; OR= 6,769(2,447– Timur.26
18,726) Hasil penelitian lain yang serupa
dengan hasil penelitian Yoyok Dwi
Dalam penelitian ini diperoleh p Santoso dkk, mengenai faktor risiko
value = 0,001 dan mempunyai nilai OR kejadian demam tifoid di Kabupaten
sebesar 6,769 (CI 95% = 2,447 < OR < Purworejo, menyimpulkan bahwa
18,726) menunjukkan adanya kebiasaan tidak cuci tangan sebelum
hubungan antara kebiasaan mencuci makan dan mencuci tangan dengan
tangan sebelum makan dengan tidak menggunakan sabun merupakan
kejadian demam tifoid pada penderita faktor risiko terjadinya demam tifoid. 27
yang dirawat di RSUD Ungaran. Besar Penelitian terdahulu yang dilakukan
risiko untuk terkena demam tifoid oleh Gassem dkk menunjukkan
adalah 6,769 kali pada pasien yang adanya hubungan yang bermakna
tidak memiliki kebiasaan mencuci antara kebiasaan mencuci tangan
tangan sebelum makan. Alasan dengan kejadian demam tifoid. 28
responden tidak mencuci tangan Pencucian tangan dengan sabun
sebelum makan yaitu mereka merasa dan diikuti dengan pembilasan akan
malas dan enggan untuk mencuci banyak menghilangkan mikroba yang
tangan karena mereka yakin secara terdapat pada tangan. Tangan yang
fisik tangan mereka bersih dari kotor atau terkontaminasi dapat
kotoran. Walaupun secara visual memindahka bakteri dan virus
tangan kita terlihat bersih dari kotoran, pathogen dari rubuh, tinja atau sumber
bukan berarti tangan kita terbebas dari lain ke makanan. Kombinasi antara
kuman patogen penyebab penyakit. Di aktivitas sabun sebagai pembesih,
samping itu, responden yang tidak penggosokan dan aliran air akan
memiliki kebiasaan cuci tangan menghanyutkan partikel kotoran yang
berpendapat bahwa mereka tidak perlu banyak mengandung mikroba.29
cuci tangan karena mereka makan
5
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Kebiasaan mencuci tangan dengan menyebabkan makanan tersebut dapat


baik dan benar yang sesuai dengan menjadi media bagi suatu bibit
langkah-langkah anjuran WHO serta penyakit. Penyakit yang ditimbulkan
menggunakan sabun merupakan hal oleh makanan yang terkontaminasi
yang penting dalam pencegahan disebut penyakit bawaan makanan
penularan penyakit oro-fekal. Dalam (food-borned diseases), salah satu di
penelitian ini, responden tidak antaranya demam tifoid.31
melakukan kebiasaan cuci tangan Kebiasaan jajan atau makan di luar
dengan baik sehingga rentan untuk penyediaan rumah berarti
tertular penyakit demam tifoid. mengkonsumsi makanan atau
minuman yang bukan buatan sendiri.
Hubungan Kebiasaan Jajan atau Dengan demikian, pembeli sebagian
Makan di Luar Rumah dengan besar tidak mengetahui cara
Kejadian Demam Tifoid pengolahan bahan baku makanan
menjadi bahan yang siap santap yang
Tabel 5. Hubungan Kebiasaan Jajan dilakukan oleh penjamah makanan.
atau Makan di Luar Rumah dengan Dengan kata lain, perilaku penjamah
Kejadian Demam Tifoid makanan ikut berperan dalam
Kebiasaa Kasus Kontrol Jumlah menentukan suatu makanan sehat
n Jajan f % f % f % atau tidak. Perilaku penjamah
Ya 3 66 10 20 43 43 makanan juga dapat menimbulkan
3 risiko kesehatan, dalam arti perilaku
Tidak 1 34 40 80 57 57 penjamah makanan yang tidak sehat
7 akan berdampak pada higienitas
Jumlah 5 100 50 100 10 10 makanan yang disajikan. Sebaliknya,
0 0 0 perilaku penjamah makanan yang
p value= 0,001; OR= 7,765 (3,135– sehat dapat menghindarkan makanan
19,231) dari kontaminasi atau pencemaran dan
keracunan.32
Makanan merupakan kebutuhan Dari hasil penelitian dapat
mendasar bagi keberlangsungan hidup diketahui bahwa responden yang
manusia. Makanan yang dikonsumsi memiliki kebiasaan jajan atau makan
beragam jenis dengan berbagai cara di luar penyediaan rumah (43%) dan
pengolahannya. Makanan-makanan yang tidak memiliki kebiasaan jajan
tersebut sangat mungkin menjadi atau makan di luar penyediaan rumah
penyebab terjadinya gangguan dalam (57%). Untuk responden penderita
tubuh kita sehingga kita jatuh sakit. demam tifoid lebih banyak pada
Salah satu cara untuk memelihara kelompok yang memiliki kebiasaan
kesehatan adalah dengan jajan atau makan di luar penyediaan
mengkonsumsi makanan yang aman, rumah, yaitu sebesar 66% dan untuk
yaitu dengan memastikan bahwa responden yang tidak memiliki
makanan tersebut dalam keadaan kebiasaan jajan/makan di luar
bersih dan terhindar dari penyediaan rumah sebesar 34 %.
wholesomeness (penyakit). Banyak Berdasarkan analisis tabulasi silang
sekali hal yang dapat menyebabkan menggunakan Chi-square didapatkan
suatu makanan menjadi tidak aman, nilai p value = 0,001 dan nilai OR =
Salah satu di antaranya dikarenakan 7,765 yang berarti kebiasaan jajan
terkontaminasi.30 atau makan di luar penyediaan rumah
Kontaminasi yang terjadi pada merupakan faktor risiko dari kejadian
makanan dan minuman dapat
6
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

demam tifoid pada pasien rawat inap dengan secara langsung dengan
di RSUD Ungaran. makanan dan berpendidikan lebih
Perilaku penjamah makanan rendah dibanding restoran dan
berpengaruh terhadap kontaminasi warung.2
makanan.33 Seorang penjamah
makanan dianjurkan untuk melakukan Hubungan Sumber Air Bersih
perilaku sehat yang berhubungan dengan Kejadian Demam Tifoid
dengan penanganan makanan antara
lain cuci tangan sebelum menjamah Tabel 6. Hubungan Sumber Air Bersih
atau mengolah makanan. Hal ini dengan Kejadian Demam Tifoid
dimaksudkan karena tangan dapat Sumber Kasus Kontrol Jumlah
menjadi media perantara bagi Air Bersih f % f % f %
penularan penyakit infeksi dan kulit, Sumur 2 58 19 38 48 48
dan juga merupakan tempat yang 9
subur untuk perkembangbiakan PDAM 2 42 31 62 52 52
bakteri.29 1
Alat makan merupakan salah satu Jumlah 5 100 50 100 10 10
faktor yang memegang peranan di 0 0 0
dalam menularkan penyakit, sebab p value = 0,045; OR= 2,253(1,011 –
alat makan yang tidak bersih dan 5,019)
mengandung mikroorganisme dapat
menularkan penyakit lewat makanan, Air rumah tangga yang tidak
sehingga proses pencucian alat makan memenuhi kualitas kesehatan
sangat berarti dalam membuang sisa cenderung sebagai sarana
makanan dari peralatan yang penyebaran berbagai penyakit,
menyokong pertumbuhan diantaranya adalah penyakit demam
mikroorganisme dan melepaskan tifoid. Untuk berbagai keperluan hidup,
mikroorganisme yang hidup.32 air bersih harus memenuhi beberapa
Pedagang kaki lima atau syarat baik syarat fisik maupun syarat
pedagang di warung-warung tenda bakteriologis.34
biasanya mencuci alat-alat makan Dalam penelitian ini, hasil analisis
dengan ala kadarnya. Mereka bivariat memperlihatkan ada hubungan
seringkali tidak menggunakan sabun yang bermakna secara statistik
dan air mengalir. Bahkan, pedagang dengan kejadian demam tifoid dengan
tersebut sering didapati hanya nilai OR 2,253 (p-value=0,045). Berarti
menggunakan air yang ditampung di orang yang memiliki sumber air bersih
dalam ember untuk mencuci alat dari sumur (bukan dari penyediaan
makan dan air bilasan tersebut PDAM) mempunyai risiko terkena
digunakan berulang kali tanpa diganti. penyakit demam tifoid sebesar 2,253
Sejalan dengan hasil penelitian ini, kali dibandingkan dengan orang yang
Volard et all mengatakan makanan di rumahnya memiliki penyediaan air
yang didapat dari pedagang makanan bersih dari PDAM.
pinggir jalan berhubungan signifikan Sebanding dengan hasil penelitian
dengan penularan demam tifoid ini, menemukan bahwa mengkonsumsi
(OR=3,34) dan juga dalam studinya air non PDAM untuk keperluan sehari-
yang lain menemukan bahwa hari akan meningkatkan peluang
pedagang makanan atau minuman terkena demam tifoid (OR=29,18 95%
kaki lima atau keliling lebih sering tidak CI: 2,12<OR<400,8) dibandingkan
mencuci tangan sebelum dengan mengkonsumsi air PDAM.28
mempersiapkan makanan, kontak

7
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Jarak sumber air bersih yang tentang hygiene sanitasi makanan,


terlalu dekat dengan jamban (sumber hygiene penjamah makanan dan
pencemar) merupakan salah satu sanitasi peralatan pada pedagang kaki
kemungkinan cara penyebaran bakteri lima dan pedagang di warung-warung
dan kuman penyakit, salah satunya makan untuk mengurangi
Salmonella typhi. Hal ini disebabkan kemungkinan terjadinya kontaminasi
oleh karena bakteri dari daerah makanan yang dapat menyebabkan
sumber kontaminasi menyebar penyakit demam tifoid.
maksimum 2-5 meter, kemudian
menyempit sampai 11 meter. REFERENSI
Kontaminasi bersifat searah dengan 1. Kidgell C, Reichard U, Wain J, et
aliran air tanah dan tidak sebaliknya. al. Salmonella typhi, the causative
Sehingga apabila jarak sumber air agent of typhoid fever, is
bersih dengan sumber pencemar approximately 50.000 years old.
terdekat kurang dari 10 meter, maka Infect Genet Evol. 2002;2:39-45.
semakin besar kemungkinan terjadiya 2. Vollaard AM, Ali S., van Asten
kontaminasi.35 Kuman S. typhi sering HAGH, et al. Risk Factor for
ditemukan di sumursumur penduduk Typhoid Fever and Paratyphoid
yang telah terkontaminasi oleh feses Fever in Jakarta, Indonesia.
manusia yang terinfeksi oleh kuman Journal of the American Medical
tifoid.36 Association. 2004;291:2607-15.
3. Widoyono. Penyakit Tropis
SIMPULAN Epidemiologi, Penularan,
Dari penelitian ini dapat Pencegahan dan
disimpulkan bahwa jenis kelamin laki- Pemberantasannya. 2002. Jakarta
laki, kebiasaan tidak cuci tangan : Erlangga.
sebelum makan, kebiasaan jajan atau 4. Soedarmo SS, Garna H, Garna H,
makan di luar rumah serta sumber air Hadinegoro SR. Buku Ajar Infeksi
bersih yang biasa digunakan untuk Penyakit dan Pediatri Tropis Edisi
minum sehari-hari yang berasal dari Ke-2. 2002. Jakarta : IDAI.
non PDAM merupakan faktor risiko 5. Dan L. Longo, Anthony S. Fauzy.
kejadian demam tifoid pada penderita Horrison’s Gastroenterology and
yang dirawat di RSUD Ungaran. Hepatology. 2010. China : The
Sedangkan umur dan tingkat McGraw-Hill.
pendidikan bukan merupakan faktor 6. Tumbelaka AR, Retnosari S.
risiko kejadian demam tifoid pada Imunodiagnosis Demam Tifoid.
penderita yang dirawat di RSUD Dalam : Kumpulan Naskah
Ungaran. Pendidikan Kedokteran
Disarankan perlunya peningkatan Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
hygiene perorangan khususnya Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI,
mencuci tangan dengan baik dan 2001:65-73.
benar saat sebelum makan, serta 7. Saxena V, Basu S, Sharma CL.
mengurangi kebiasaan jajan atau Perforation of the gall bladder
makan di luar penyediaan rumah, following typhoid fever-included
terutama di tempat atau warung- ileal perforation. Hongkong Med J.
warung yang kurang memenuhi syarat 2007;13:475-477.
kesehatan untuk mengurangi risiko 8. Saxe JM, Cropsey R. Is operative
terjadinya penyakit demam tifoid. management effective in
Selain itu, bagi dinas terkait perlu treatment of perforated typhoid?
memberikan penyuluhan kesehatan Am J Surg. 2005;189:342-344.

8
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

9. World Health Organization. 16. WHO. Penyakit Bawaan


Background document : The Makanan. Foodborne Disease: A
diagnosis, treatment and Focus For Health Education
prevention of typhoid fever. Terjemahan. Jakarta: EGC, 2005.
WHO/V&B/03.07.Geneva : World 17. Ram PK, A. Naheed, W.A Brooks
Health Organization, 2003:7-18. et al. Risk factor for typhoid fever
10. Kementerian Kesehatan Republik in a Slum in Dhaka, Bangladesh.
Indonesia. Profil Kesehatan Epidemiol. Infect, 2007;135:458-
Indonesia 2009. Jakarta : 465.
Kementerian Kesehatan Republik 18. Tran HH, G.Bujune, B.M Nguyen,
Indonesia 2010 (online) J.A Rottingen and RF Grais et al.
(http://www.depkes.go.id/downloa Risk Factors Associated with
ds/PROFIL_KESEHATAN_INDON Typhoid Fever in Son La
ESIA_2009.pdf diakses tanggal Province, Northern Vietnam.
11 September 2011) Trans R. Soc. Trop. Med. Hyg,
11. Kementerian Kesehatan Republik 2005;99:440-450.
Indonesia. Profil Kesehatan 19. Mochammad H, Mirjam B, Stella
Indonesia 2010. Jakarta : et al. Risk Factors for Clinical
Kementerian Kesehatan Republik Typhoid Fever in Rural South-
Indonesia 2011 (online) Sulawesi, Indonesia. International
(http://www.depkes.go.id/downloa Journal of Tropical Medicine, 2009
ds/PROFIL_KESEHATAN_INDON 4 (3) : 91-99.
ESIA_2010.pdf diakses tanggal 20. Herawati MH, Ghani L, Pramono
11 September 2011) D. Hubungan Faktor Determinan
12. Badan Litbangkes Departemen Dengan Kejadian Demam Tifoid di
Kesehatan RI. Laporan Riset Indonesia Tahun 2007
Kesehatan Dasar Nasional 2007. (Association of Determinant
Jakarta:Departemen Kesehatan, Factors with Prevalence of
2008 (online) Typhoid in Indonesia). Media
(http://www.k4health.org/system/fil Peneliti dan Pengembang
es/laporanNasional%20Riskesdas Kesehatan. 2009; 19 (4):165-173.
%202007.pdf diakses tanggal 15 21. Martiwi, et al. 2008. Isu
November 2011) Kesehatan Gender, Makalah Ilmu
13. Badan Litbangkes Departemen Sosial dan Masalah Kesehatan,
Kesehatan RI. Laporan Riset FIK-UI, Jakarta.
Kesehatan Dasar Provinsi Jawa 22. Saha SK, Baqui AH, Hanif M, et
Tengah 2007. al: Typhoid fever in Bangladesh:
Jakarta:Departemen Kesehatan, Implications for vaccination policy.
2008 (online) Pediatr Infect Dis J 20(5):521–
(http://www.dinkesjatengprov.go.id 524, 2001.
/download/mi/riskesdas_jateng20 23. Notoatmodjo, Soekidjo.
07.pdf diakses tanggal 15 Pendidikan dan Perilaku
November 2011) Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta,
14. Nasry Noor, Nur..Pengantar 2003
Epidemiologi Penyakit Menular. 24. Suyono, Aris. Hubungan Sanitasi
Jakarta : Rineka Cipta, 2006. Lingkungan dan Hygiene
15. Slamet, Juli Soemirat. Kesehatan Perorangan dengan Kejadiaan
Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Demam Tifoid di Puskesmas
Mada University Press, 2009. Bobotsari Kabupaten Purbalingga,
2006.

9
`

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT 2013,


Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

25. Girou, E., Loyeau, S., Legrand, P., Jenderal Pemberantasan Penyakit
Oppein, F., Buisson, CB., 2002, Menular dan Penyehatan
Efficacy of Handrubbing with Lingkungan. Jakarta.2004.
anAlcohol Based Solution versus 34. Enjang, I. Ilmu Kesehatan
Standard Handwashing with Masyarakat. Bandung : Citra
Antiseptic Soap: randomised Aditya; 2000.
clinical trial. BMJ 325: 362-5. 35. Machfoed, I. Menjaga Kesehatan
26. Rakhman A, Humardewayanti R, Rumah Dari Berbagai Penyakit.
Pramono D. Faktor – Faktor Yogyakarta : Fitramaya: 2004.
Risiko Yang Berpengaruh 36. Centers for Disease Control and
Terhadap Kejadian Demam Tifoid Prevention, Salmonella and
Pada Orang Dewasa. Berita drinking water from private wells.
Kedokteraan Masyarakat. 2009; Healthy water, Department of
25(4):167-175. Health and Human Services,
27. Santoso YD, Kushadiwijaya H, 2003:1-2.
Loehoeri S. Faktor Risiko
Kejadian Demam Tifoid di
Kabupaten Purworejo. Berita
Kedokteraan Masyarakat. 2006;
22(4):180-189.
28. Gassem M, Dolmans MWV, M K,
Djokomoeljanto R. Poor Food
Hygiene And Housing Risk Factor
For Typhoid Fever In Semarang,
Indonesia. Tropical Medicine and
International Health. 2001;6:484-
490.
29. Purnawijayanti, Hasinta A.
Sanitasi Higiene dan Keselamatan
Kerja dalam Pengolahan
Makanan. Yogyakarta : Penerbit
Kanisisus; 2001.
30. Thaheer, Hermawan. 2005,
Sistem Manajemen HACCP
(Hazard Analysis Critical Control
Point), PT. Bumi Aksara, Jakarta.
31. Susanna, Dewi dan Budi Hartono.
2003, ‘Pemantauan Kualitas
Makanan Ketoprak dan Gado-
Gado di Lingkungan Kampus UI
Depok Melalui Pemeriksaan
Bakteriologis’ Makara Seri
Kesehatan 7(1) : 21-29.
32. Adam M, Moetarjemi Y, Dasar-
dasar keamanan makanan untuk
petugas kesehatan. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 2004.
33. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Higiene sanitasi
makanan dan minuman. Direktorat

10

Anda mungkin juga menyukai