2.1.1 Pendahuluan
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP
disebabkan karena defisiensi macro nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi
pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro nutrient kepada defisiensi micro nutrient,
namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30%) sehingga
memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP.1
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat energi dan
zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi
(AKG). Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan anak
hanya nampak kurus karena ukuran berat badan anak tidak sesuai dengan berat badan anak
yang sehat. Anak dikatakan KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan
menurut umur (BB/U) baku World Health Organization-National Center for Health Statistics
(WHO-NCHS) ,1983. KEP ringan apabila BB/U 70% sampai 79,9% dan KEP sedang apabila
BB/U 60% sampai 69,9%.2
Penyakit Kurang Energi Protein (KEP) merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama
pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dan kebanyakan di negara-negara sedang
berkembang. Bentuk KEP berat memberi gambaran klinis yang khas, misalnya bentuk
kwashiorkor, bentuk marasmus atau bentuk campuran kwashiorkor marasmus. Pada
kenyataannya sebagian besar penyakit KEP terdapat dalam bentuk ringan. Gejala penyakit
KEP ringan ini tidak jelas, hanya terlihat bahwa berat badan anak lebih rendah jika
dibandingkan dengan anak seumurnya.2
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang masih menghadapi masalah
kekurangan gizi yang cukup besar. Kurang gizi pada balita terjadi karena pada usia tersebut
kebutuhan gizi lebih besar dan balita merupakan tahapan usia yang gizi. Masalah gizi sampai
pada saat ini masih menjadi masalah ditimgkat nasional adalah gizi kurang pada balita,
anemia, gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dan kurang vitamin A. Masalah
tersebut masih terdapat disebagian besar kabupaten/kota dengan faktor penyebab yang
berbeda
Menurut data direkam medik RSU Dr. Soetomo surabaya, kejadian KEP pada balita(usia 1-5
tahun) pada tahun 2004 sebanyak 1445 anak balita(19,45%), dengan gizi kurang sebanyak
1235 anak balita (19,35%) dan gizi buruk sebanyak 210 anak balita(0,1%).2
2.1.2 Etiologi
Penyebab KEP sangat banyak dan bervariasi. Beberapa faktor bisa berdiri sendiri atau terjadi
bersama-sama. Faktor tersebut adalah faktor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, gangguan
metabolisme, penyakit jantung bawaan atau penyakit bawaan lainnya. Pada daerah pedesaan
biasanya faktor sosial, ekonomi dan pendidikan yang sering berpengaruh, KEP timbul pada
anggota keluarga rumah tangga miskin oleh karena kelaparan akibat gagal panen atau
hilangnya mata pencaharian sehingga mempengaruhi pemberian asupan gizi pada anak. Di
daerah perkotaan tampaknya yang sering terjadi karena adanya gangguan sistem saluran
cerna dan gangguan metabolisme sejak lahir, atau malnutrisi sekunder. Gangguan ini bisa
karena penyakit usus, intoleransi makanan, alergi makanan, atau penyakit metabolisme
lainnya.3,4
Selain itu, ketidaktahuan karena tabu, tradisi atau kebiasaan makan makanan tertentu, cara
pengolahan makanan dan penyajian menu makanan di masyarkat serta pengetahuan ibu juga
merupakan salah satu faktor terjadinya kurang gizi termasuk protein pada balita, karena
masih banyak yang beranggapan bila anaknya sudah merasa kenyang bearti kebutuhan gizi
mereka telah terpenuhi.1
2.1.3 Patofisiologi
Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang disebabkan banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat
digolongkan menjadi tiga faktor penting yaitu: tubuh sendiri (host), kuman penyebab (agent),
dan lingkungan (environment). Faktor diet memegang peranan penting, tetapi faktor lain juga
ikut menentukan.5
Tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok
atau energi. Kemampuan tubuh untuk menggunakan karbohidrat, protein, dan lemak
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan. Karbohidrat (glukosa)
dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh
untuk menyimpan karbohidrat sangat terbatas. Akibatnya, katabolisme protein terjadi dengan
menghasilkan asam amino yang segera diubah menjadi karbohidrat. Selama puasa, jaringan
lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol, dan keton bodies. Otot dapat menggunakan
asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau terjadi kekurangan makanan yang
kronis. Tubuh akan mempertahankan diri untuk tidak memecah protein lagi setelah kira-kira
kehilangan separuh dari tubuh.5
2.1.4 Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP. Tingkat
KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang dan KEP III disebut KEP berat.
KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama
penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan
klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di
setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara
tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis.2
Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 dapat
diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu Overweight, normal, KEP I(ringan), KEP II
(sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan
indeks berat badan menurut umur.2
Klasifikasi
Malnutrisi sedang Malnutrisi Berat
edema Tanpa edema Dengan edema
BB/TB -3SD s/d -2 SD < -3 SD
TB/U -3SD s/d -2 SD < -3 SD
Manifestasi klinis KEP berbeda-beda tergantung derajat dan lama deplesi protein, energi, dan
umur penderita juga tergantung oleh hal lain seperti adanya kekurangan vitamin dan mineral
yang menyertainya. Pada KEP ringan dan sedang yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2
KEP ringan dan sedang sering ditemukan pada anak–anak dari 9 bulan sampai usia 2 tahun,
tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar.
Berikut tanda–tanda KEP ringan dan sedang dilihat dari pertumbuhan yang terganggu dapat
diketahui melalui :
Pada KEP Berat gejala klinisnya khas sesuai dengan defisiensi zat tersebut. KEP berat ini
terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya marasmic kwasiokor.
1. Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh, wajah sembab
dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut dan
rontok, cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah
ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis), sering disertai
penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
2. Marasmus, ditandai dengan : sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit, wajah seperti
orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada,
perut cekung, iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan diare.
2.1.6 Komplikasi
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan mineral. Karena
begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu dan begitu luasnya fungsi
dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak. Pengaruh marasmus
bisa terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering terganggu
adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati, pankreas, ginjal, jantung, dan gangguan
hormonal.3
Marasmus dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Stuart
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral dan zat
gizi lainnya mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di
susunan saraf. Hal itu berakibat terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru atau mielinasi
sel otak terutama usia di bawah tiga tahun, sehingga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan mental dan kecerdasan anak. Walter tahun 2003 melakukan penelitian
terhadap 825 anak dengan malnutrisi berat ternyata mempunyai kemampuan intelektual lebih
rendah dibandingkan anak yang mempunyai gizi baik.3
Sel otak terbentuk sejak trimester pertama kehamilan, dan berkembang pesat sejak dalam
rahim ibu. Perkembangan ini berlanjut saat setelah lahir hingga usia 2-3 tahun, periode
tercepat usia enam bulan pertama. Setelah usia tersebut praktis tidak ada pertumbuhan lagi,
kecuali pembentukan sel neuron baru untuk mengganti sel otak yang rusak. Dengan demikian
diferensiasi dan pertumbuhan otak berlangsung hanya sampai usia tiga tahun.3
Kekurangan gizi pada masa kehamilan akan menghambat multiplikasi sel janin, sehingga
jumlah sel neuron di otak dapat berkurang secara permanen. Sedangkan kekurangan gizi pada
usia anak sejak lahir hingga tiga tahun akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan sel glia dan proses mielinisasi otak. Sehingga kekurangan gizi saat usia
kehamilan dan usia anak sangat berpengaruh terhadap kualitas otaknya.3
Gizi kurang pada usia di bawah dua tahun akan menyebabkan sel otak berkurang 15-20%,
sehingga anak yang demikian kelak kemudian hari akan menjadi manusia dengan kualitas
otak sekitar 80-85%. Anak yang demikian tentunya bila harus bersaing dengan anak lain yang
berkualitas otak 100% akan menemui banyak hambatan.3
Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita marasmus, yaitu sekitar 55%.
Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti tuberkulosis, radang paru,
infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi
karena pada marasmus sering mengalami gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga
mudah terjadi infeksi atau bila terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat
hingga mengancam jiwa.3
Kematian mendadak karena gangguan jantung, disebabkan karena gangguan otot jantung
yang sering terjadi pada penderita marasmus. Tampilan klinis yang tampak adalah atrofi
ringan pada otot jantung. Hal tersebut dapat mengakibatkan cardiac output menurun,
gangguan sirkulasi, hipotensi, gangguan irama jantung (bradikardi), sehingga tangan dan kaki
terasa dingin dan pucat.3
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis KEP dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk mengetahui penyebabnya
harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan makan serta riwayat penyakit yang
lalu.5
Dasar diagnosis7 :
Langkah diagnosis:
Stabilisasi
Pastikan apakah ada gangguan fungsi vital (penurunan kesadaran, presyok, gangguan
kardiovaskuler dan pernafasan)/tanda bahaya yang mengancam kehidupan penderita seperti
hipoglikemia, hipotermia, infeksi berat (sepsis) dan dehidrasi/ gangguan keseimbangan
cairan, elektrolit dan asam basa
Transisi
Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi, mulai pemberian makanan peroral dengan
menilai keadaan diare dan memperhatikan kemampuan makan, digesti, dan absorpsi dari
saluran cerna.
Rehabilitasi
Pastikan tidak ada gejala pada stadium stabilisasi/ transisi, kemampuan makan baik
2.1.7 Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap marasmus dapat dilakukan dengan baik bila penyebabnya
diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana yang baik untuk pelayanan
kesehatan dan penyuluhan gizi8.
Pemberian ASI sampai umur dua tahun merupakan sumber energi yang paling baik
untuk bayi.
Ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang bergizi pada umur enam bulan
ke atas.
Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan dan
kebersihan perorangan.
Pemberian imunisasi.
Mengikuti program KB untuk mencegah kehamilan yang terlalu sering.
Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat, merupakan
upaya pencegahan jangka panjang.
§
Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang endemis
kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.
Setiap manusia tentu membutuhkan protein agar tetap hidup dan berkembang. Protein adalah
pondasi sel pada manusia. Protein merupakan zat pembangun jaringan tubuh. Kurang energi
protein ( KEP ) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan energi, protein atau keduanya
tidak tercukupi.
Sidrom Kwasiorkor terjelma manakala defisiensi lebih menampakkan dominasi protein, dan
Marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah. Kombinasi kedua bentuk
ini, marasmik kwasiorkor juga tidak sedikit, meskipun sulit menentukan kekurangan apa
yang lebih dominan.
Kurang energi protein dikelompokkan menjadi KEP primer dan sekunder. Ketiadaan pangan
melatarbelakangi KEP primer yang mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang
mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan, dan peningkatan kebutuhan dan atau
kehilangan zat gizi, dikategorikan sebagai KEP sekunder.
Setidaknya ada 4 faktor yang melatarbelakangi KEP, yaitu : masalah sosial, ekonomi, biologi
dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan sosial ekonomi, merupakan akar dari
ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, kumuh dan tidak sehat serta
ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan.
Komponen biologi yang menjadi latarbelakang KEP antara lain : malnutrisi ibu, baik sebelum
maupun selama hamil, penyakit infeksi serta diet rendah energi dan protein. Seorang ibu yang
mengalami KEP selama kurun waktu tersebut pada gilirannya akan melahirkan bayi berberat
badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan yang cukup, bayi KEP tersebut tidak akan mampu
mengejar ketertinggalannya, baik kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah
lahir.
Kurang energi protein sesungguhnya berpeluang menyerang siapa saja, terutama bayi dan
anak yang tengah tumbuh kembang. Marasmus sering menjangkit bayi yang baru berusia
kurang dari 1tahun, sementara kwasiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia
18bulan.
Jadi KEP (Kekurangan Energi Protein) yaitu ketika tubuh kekurangan energi dan protein.
Sehingga kita harus memeperhatikan kebutuhan energi dan protein kita dalam kehidupan
sehari-hari dengan memperhatikan pola makan kita
BATASAN
KEP adalah gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori, serta
sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain.
PATOFISIOLOGI
KEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-
hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta adanya
kekurangan dari beberapa nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi primer bila kejadian KEP akibat
kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi,
pendidikan serta rendahnya pengetahuan dibidang gizi.Malnutrisi sekunder bila kondisi
masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama, seperti kelainan
bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan
kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan
nutrisi.Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan
makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran
cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses
katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan
meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini
terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor
(malnutrisi akut/”decompensated malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal
bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD,
maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat
teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisikronik/compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi :
gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin,
penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.
GEJALA KLINIS
1. Kwashiorkor, ditandai dengan : edema, yang dapat terjadi di seluruh tubuh, wajah
sembab dan membulat, mata sayu, rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung,
mudah dicabut dan rontok, cengeng, rewel dan apatis, pembesaran hati, otot mengecil
(hipotrofi), bercak merah ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement
dermatosis), sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.
2. Marasmus, ditandai dengan : sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit, wajah seperti
orang tua, cengeng dan rewel, kulit keriput, jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada,
perut cekung, iga gambang, sering disertai penyakit infeksi dan diare.
DIAGNOSIS
1. Klinik : anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang, serta penyakit yang
pernah diderita) dan pemeriksaan fisik (tanda-tanda malnutrisi dan berbagai defisiensi
vitamin)
3. Anthropometrik : BB/U (berat badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur),
LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan),
LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan)
4. Analisis diet
Klasifikasi :
DIAGNOSA BANDING
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor maupun marasmik-kwashiorkor perlu
dibedakan dengan :
- Sindroma nefrotik
- Sirosis hepatis
- Pellagra infantil
PENATALAKSANAAN
1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14 atau sebelum
keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan vit. A dengan
dosis :
Tetes mata khloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10
hari
Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
Tatalaksana :
3. Parasit/cacing
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat antihelmintik
lain.
4. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan
formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis
merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan
tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan
Ro-foto toraks. Bila positip atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman
pengobatan TB.
3. Tindakan kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan
keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena,
sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan kadar
dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama.
Evaluasi setelah 1 jam :
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan status
hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas
untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian
Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam,
selanjutnya mulai berikan formula khusus (F-75/pengganti).
Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam hal ini,
berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah
sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah
pemberian formula (F-75/pengganti)
2. Anemia berat
Hb < 4 g/dl
Transfusi darah :
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ’packed red cells’ untuk transfusi dengan
jumlah yang sama.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak
dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan
diulangi pemberian darah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alleyne G.A.O., Hay R.W., Picau D.I., Stanfield J.P., White head R.G., 1977. The
ecology and pathogenesis of protein–energic malnutrition. Dalam : Alleyne GAO, Hay
RW, Picau DI et al, eds. Protein–energy malnutrition. London : Edward Arnold Ltd, 8-24.
2. Baker SS, 1997. Protein Energy Malnutrition in The hospitalized Pediatric Patient. In :
(Walker WA, Watkins JP, eds). Nutrition in Pediatrics : Basic Science and Clinical
Applications, 2nd ed : BC.Decker Inc. Publisher; London , 162-168.
3. Barness L.A., Curran J.S., 1996. Nutrition. Dalam : Berhman R.E., Kligman R.M.,
Jenson H.B., eds. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke lima belas. Philadelphia : W.B.
Saunders Co, 141-161.
4. Colon RF, 1993. Clinical and laboratory assesssment of the malnourished child. In :
Suskind RM, Suskind LL eds. Textbook of pediatric nutrition, 2nd ed. Raven Press Ltd ;
New York : 191-205.
5. Farthing MJG, Keusen GT, 1985. In : Arneil GC, Metcoff J, eds. Pediatric Nutrition 1st
ed. Butterworths. London : 194-218.
6. Golden M.H.N., 2001. Severe malnutrition. Dalam : (Golden MHN ed). Childhood
Malnutrition : Its consequences and management. What is the etiology of kuashiorkor?
Surakarta : Joint symposium between Departement of Nutrition & Departement of
Paediatrics Faculty of Medicine, Sebelas Maret University and the Centre for Human
Nutrition, University of Sheffielob UK, 1278-1296.
7. Kodyat, BA, 1995. Masalah Gizi masyarakat dan program penanggulangannya. Dalam :
Samsudin, Nasar SS, Sjarif DR, ed. Masalah gizi ganda dan tumbuh kembang anak.
Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI
XXXV; 11-12 Agustus 1995; Balai Penerbit FKUI Jakarta, 12-31.
8. Krause MV, Mohan LK, 1996. Nutritional deficiency disease. In : Krause MV, Mahan
LK, eds. Food, nutrition, and diet therapy. 9th ed. W.B. Saunders Co. Philadelphia : 387-
420.
10. Lees MH, et al, 1965. Relative hypermetabolism in infants with congenital heart disease
and undernutrition. Pediatrics 36 : 183-91.
11. Mc Laren Ds, 1991. Nutritional Assessment and Survellance. In : (Mc Laren et. al. eds).
Text Book of Paediatric Nutrition 3rd ed. Churchill Livingstone. Edinburgh : 309-317.
12. Puone T, Sanders D, Chopra M , 2001. Evaluating the Clinical Management of Severely
Malnourished Children. A Study of Two Rural District Hospital. Afr Med J 22 : 137-141.
13. Soedarmo P., Sediaoetama, A.D., 1977. Penyakit-penyakit gizi salah (Malnutrition).
Dalam : Ilmu gizi : Masalah gizi Indonesia dan perbaikannya. Dian Rakyat Jakarta, 225-
248.
15. World Health Organization, 1983. Measuring in nutritional status : guidelines for
assessing the nutritional impact of supplementary feeding programmes for vulnerable
groups. Geneva.
B. ANEMIA
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau
jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal.
Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen
dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam
sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang
diperlukan tubuh .
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Penyebab Anemia
2 Gejala
3 Diagnosa
4 Lihat pula
5 Pranala luar
o Perdarahan hebat
o Akut (mendadak)
o Kecelakaan
o Pembedahan
o Persalinan
o Pecah pembuluh darah
o Kronik (menahun)
o Perdarahan hidung
o Wasir (hemoroid)
o Ulkus peptikum
o Kanker atau polip di saluran pencernaan
o Tumor ginjal atau kandung kemih
o Perdarahan menstruasi yang sangat banyak
o Meningkatnya penghancuran sel darah merah
o Pembesaran limpa
o Kerusakan mekanik pada sel darah merah
o Reaksi autoimun terhadap sel darah merah:
Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
Sferositosis herediter
Elliptositosis herediter
o Kekurangan G6PD
o Penyakit sel sabit
o Penyakit hemoglobin C
o Penyakit hemoglobin S-C
o Penyakit hemoglobin E
o Thalasemia
[sunting] Gejala
Gejala-gejala yang disebabkan oleh pasokan oksigen yang tidak mencukupi kebutuhan ini,
bervariasi. Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa
melayang. Jika anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kekurangan konsumsi pangan bukanlah hal baru, namun masalah ini
dalam hal pengelolaan makanan yang baik sesuai dengan standar gizi kesehatan.
Salah satu upaya yang mempunyai dampak cukup penting terhadap peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah peningkatan status gizi yang merupakan salah
Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) khususnya Gondok telah lama
dikenal di Indonesia.Hal ini terlihat dari adanya patung-patung tokoh pewayangan yang
ditampilkan dengan leher yang membesar karena Gondok.Tidak hanya dalam pewayangan
dalam kehidupan nyatapun di beberapa daerah dengan mudah dapat di jumpai penderita
Gondok.
GAKY merupakan salah satu permasahan gizi yang sangat serius, karena dapat
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa pengaruh/dampak GAKY begitu luas,
sejak masih dalam kandungan, setelah lahir sampai dewasa. Yang sangat menghawatirkan
akibatnya pada susunan syaraf pusat, karena akan bepengaruh pada kecerdasan dan
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh dampak kekurangan Yodium terhadap tumbuh kembang anak..
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gizi adalah zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang mempunyai nilai sangat
Garam Beryodium adalah suatu garam yang telah diperkaya dengan KIO3 (Kalium Iodat)
GAKY merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan karena kekurangan Yodium, akibat
kekurangan Yodium ini dapat menimbulkan penyakit slah satu yang sering kita kenal dan
2.2.Gejala
Gejala yang sering tampak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan , seperti
- Reterdasi mental
- Gangguan pendengaran
- Gangguan bicara
2.3.Klasifikasi
1. Grade 0 : Normal
Dengan inspeksi tidak terlihat, baik datar maupun tengadah maksimal, dan
2. Grade IA
Kelenjar Gondok tidak terlihat, baik datar maupun penderita tengadah maksimal, dan
palpasi teraba lebih besar dari ruas terakhir ibu jari penderita.
3. Grade IB
Kelenjar Gondok dengan inspeksi datar tidak terlihat, tetapi terlihat dengan tengadah
maksimal dan dengan palpasi teraba lebih besar dari Grade IA.
4. Grade II
Kelenjar Gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan dengan palpasi
5. Grade III
Kelenjar Gondok cukup besar, dapat terlihat pada jarak 6 meter atau lebih.
1. Pada Fetus
- Abortus
- Steel Birth
- Kretin Neuroligi
- Kretin Myxedematosa
- Defek Psikomotor
2. Pada Neonatal
- Hipotiroid
- Gondok Neonatal
- Juvenile Hipothyroidesm
4. Pada Dewasa
- Hipotiroid
Mengingat dalam garam beryodium terdapat unsure natriun, maka konsumsi garam
beryodium harus dibatasi.Kelebihan mengkonsumsi natrium dapat memicu timbulnya Stroke yaitu
2.6.Kebutuhan Yodium
PEMBAHASAN
Waniata hamil didaerah Endemik GAKY akan mengalami berbagai gangguan kehamilan
antara lain :
- Abortus
normal
- Setiap Penderita Kretinisme akan mengalami defisit sebesar 50 Point dibawah normal.
Terjadinya defisit IQ Point pada gilirannya akan berdampak pada program wajib belajar 9
tahun, karena banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pelajaran dan mengalami
drop out.
Dampak social yang ditimbulkan oleh GAKY berupa terjadinya gangguan perkembangan
mental, lamban berpikir, kurang bergairah sehingga orang semacam ini sulit dididik dan di
motivasi.
Gaky akan mengalami gangguan metabolisme sehingga badannya akan merasa dingin dan
lesu sehingga akan berakibatnya rendahnya produktivitas kerja, yang akan mempengaruhi hasil
pendapatan keluarga.
3.2. Permasalahan
5. Pengawasan mutu garam yodium belum dilaksanakan secara menyeluruh dan terus
menerus serta belum adanya sangsi tegas bagi produksi garam non yodium.
terpencil.
2. Adanya pengawasan mutu terhadap produksi garam beryodium oleh instansi terkait.
6. Melakukan pelacakan kasus dan survey desa bermasalah secara cepat jika ditemukan
kasus Gondok.
3.4. Penanggulangan
1. Memberikan kapsul Yodium bagi ibu hamil terutama daerah endemik gondok.
2. Penyuluhan tentang Yodium secara kontinue.
3. Kerjasama Lintas sektoral tentang pembagian garam yodium secara gratis di daerah
endmik gondok.
4. Peningkatan konsumsi bahan pangan yang mengandung yodium seperti sayuran dan
ikan laut.
5. Cek up secara teratur bagi penderita gondok jika mempunyai per masalahan dengan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. GAKY merupakan masalah gizi yang sangat serius, karena dapat menyebabkan berbagai
kecerdasan.
4. Penaggulangan yang paling baik untuk gangguan akibat kekurangan yodium adalah
sekitar 75 mikrogram/ hari dan kebutuhan Yodium bagi ibu menyusui mencapai 200
mikrogram/hari.
4.2. Saran
1. Diharapkan adanya peran serta aktif masyarakat dalam menggunakan garam yodium.
DAFTAR PUSTAKA
Notoatmodjo Soekidjo,Prof.Dr, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta,Jakarta 1996
Lisdiana, Ir, Waspada Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Gizi, Trubus Agriwidaya, Bandar Lampung
1998
Lisdiana, Ir, Waspada Terhadap Kelebihan dan Kekurangan Gizi, Trubus Agriwidaya, Bandar Lampung
Deskripsi
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan sekumpulan gejala yang timbul
akibat kekurangan Iodium. Sebagaimana diketahui Iodium adalah mineral yang terdapat di
alam. Iodium berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan dan perkembangan, salah satunya
adalah untuk meningkatkan kecerdasan. Risiko kekurangan Iodium berpengaruh terhadap
perkembangan otak.
Kekurangan Iodium pada ibu hamil dapat menyebabkan peningkatan kematian janin. Pada
anak remaja dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan mental. Pada orang
dewasa dapat menyebabkan penyakit gondok