Anda di halaman 1dari 6

Gradasi Kehidupan

Tok! Tok! Tok!

Kepalan tangan mungil gadis itu mengayun dan mengetuk pintu kayu yang sudah
keropos dimakan usia.

“Siapa?” Seru seseorang dari dalam rumah.

Gadis itu tak menjawab. Terlampau malu, barangkali. Lalu, pintu terbuka.

Seorang gadis dengan kaos merah polos dan celana hitam tiga perempat menampakkan
diri dengan wajah penuh tanda tanya. Ia mengernyitkan kening. Diam dalam beberapa detik.
Memastikan apa yang ada di depannya ada nyata. Gadis itu membenarkan kacamata yang
merosot ke hidungnya. Sekali lagi, memastikan.

“A-Amel?!” Ucapnya terbata-bata.

**

Salsa menaruh secangkir teh hangat dan sepotong kue di atas meja, tepat di depan tamu
barunya. Lalu, ia duduk di hadapan tamu barunya itu, Amel.

2 menit berlalu.

“Mmm.... Sa.” Amel membuka obrolan, setelah daritadi hanya melamun menunggu
Salsa membuka percakapan. Salsa hanya mengangkat kedua alisnya, memberi isyarat agar
Amel melanjutkan kata-katanya. “A-aku... Pertama, aku mau minta maaf sama kamu buat
semua yang pernah aku lakuin ke kamu. Aku tau pasti berat buat kamu maafin aku. Tapi,
dengar dulu. Aku tau, aku nggak tau diri. Apalagi soal kemarin siang aku ngunci kamu dikamar
mandi sampai sore, padahal kamu ada pelajaran tambahan. Terus, waktu aku nyiram kamu di
tengah-tengah lapangan, dilihat orang banyak, dan aku pergi gitu aja. Aku juga pernah bikin
kamu dipanggil guru BK karena kesalahan yang nggak pernah kamu lakuin. Dan semua hal
yang.... jahat. Aku minta maaf, Sa. Memang nggak semudah itu, tapi...”

“Tapi?”

Amel menghela napas. “Tapi, kali ini aku bener-bener butuh kamu, Sa.”

Salsa diam saja. Ia membenarkan posisi duduknya.


Amel menerawang wajah lawan bicaranya. Mengamati apakah gadis dihadapannya itu
terganggu.

“J-jadi... gini... Sa... Kemarin, aku sampai rumah jam 2 pagi, karena habis kelayapan
dulu. Sampai rumah, Papaku marah-marah. Paginya... kamu tau, Sa?” Lagi-lagi, Salsa hanya
mengangkat alis. “Papaku, Mamaku, supir, pembantu, bahkan kucing peliharaan aku nggak
ada. Rumahku sepi. Banget.”

“Memang mereka pada kemana?”

“Bukan cuma pada kemana, Sa. Tapi, semua barang-barangnya juga nggak ada.
Handphone aku, kunci mobil, barang-barang dikamarku, semuanya nggak ada. Cuma ada aku,
kasur, dan lemari kamar. Untung ada bajunya, sedikit.”

Salsa mengamati Amel lebih rinci. Memang benar, Amel datang hanya dengan sebuah
ransel dan sendal jepit.

“Dan aku cuma dititipin surat sama Papa. Katanya, mereka udah berangkat ke Inggris
dan pindah ke sana. Rumah itu udah dijual. Gila, kan?! Aku tadi pagi udah datang ke rumah
Rita. Dia nggak nerima aku dengan alasan dia diancam Papa untuk nggak nerima aku. Terus,
ke rumah Ghea. Ke rumah Dian. Ke rumah Seli. Ke rumah Rania. Semuanya! Tapi, nggak ada
yang nerima aku. Terus, ternyata disebalik surat itu, Papaku bilang aku harus ke rumah kamu.
Aku hampir aja mutusin menggelandang di jalan. Tapi, kamu harus ngargain aku, Sa. Cewek
mana yang nggak gengsi datang ke rumah orang yang sering dibully-nya. Iya, kan, Sa?”

Salsa diam sejenak. Lalu, menjawab, “jadi, maksud kamu...”

Salsa terkejut. Tiba-tiba saja Amel turun dari kursi dan bersimpuh di hadapan Salsa
seolah memohon sesuatu.

“Please, Sa. Maafin aku. Ijinin aku tinggal di sini. Sampai aku berhasil kuliah di
Inggris. 8 bulan lagi, kok.”

“Kuliah di Inggris?”

“Iya, Sa. Papa bakal berangkatin aku ke Inggris kalau aku berhasil diterima disalah satu
universitas di sana.”

“Hah?” Salsa makin terkejut. Terlebih mengingat Amel adalah seorang gadis pemalas
yang selalu mendapat peringkat terakhir di kelasnya.
“I know it’s impossible, Sa. Tapi, aku janji, deh. Setelah 8 bulan, entah aku keterima
atau nggak di sana, aku bakal pergi dari rumahmu. Ya, Sa?”

**

Genap dua minggu Amel tinggal di rumah Salsa. Banyak perubahan yang terjadi. Amel tidak
lagi berteman dengan geng-nya. Bukan, bukan karena dia ngambek gara-gara teman-temannya
itu tidak mau menerimanya. Tapi, belakangan Amel lebih sering terlihat di perpustakaan
ketimbang di kantin atau kelas ketika jam istirahat. Hasilnya, nilai ulangan matematikanya
kemarin, dapat 90. Hal ajaib yang terjadi dalam hidup Amel untuk pertama kalinya.

Malam itu, Amel sudah berbaring di ranjang kamar Salsa. Membaca buku. Tebal.
Serius sekali.

“Baca apa, Mel?” Tanya Salsa, seraya duduk di kaki ranjang dan mengecek ponselnya.

Amel tidak menjawab. Terlalu serius, mungkin.

“Mel?”

“Ya buku, lah, oon!”

Salsa terkejut, sekaligus jengkel. Ia menghayalkan seribu satu cara untuk mengusir
gadis itu dari rumahnya. Tapi, sayang, ia terlalu kasihan padanya. Meskipun kelakuan Amel
belum berubah sepenuhnya, tapi, setidaknya ia menjadi sedikit lebih baik. Sedikit. Seujung
kuku, kalau kata Salsa.

“Sorry, kalau kebiasaan aku yang itu, udah permanen.” Ujar Amel seraya mendelik ke
arah Salsa, seolah menerawang pikiran Salsa mengenai dirinya. “Pasti kamu ngomong: gila ini
orang nggak tau terimakasih banget. Udah dikasih tumpangan, pinjam barang-barang gue,
nambah-nambah biaya listrik gue, bahkan pakai peralatan gue. Iya, kan?”

Salsa menghela napas panjang. Ia hanya tersenyum, memaksa. Daripada menjawab iya.

“Buku apa, ngomong-ngomong?” Salsa melirik buku tebal bersampul merah di tangan
Amel. Tapi, ia tidak bisa membaca judulnya karena terhalang jemari Amel.

“Oh, ini? Ini dari perpus.” Amel menyingkirkan jemarinya yang menghalangi judul
bukunya.
Salsa membaca dengan seksama. Buku itu berjudul “BACA INI KAMU PASTI
KULIAH KE LUAR NEGERI DIJAMIN 100%” dengan tulisan best seller di pojok kanan
atasnya.

“K-kamu serius mau kuliah di Inggris?”

“Terus aku mau menggelandang disini, gitu?” Lagi, salsa diam saja. Jengkel. “Buku ini
tuh bagus banget, Sa. Santai dan ringan. Ada motivasinya, cara-cara dapatkan beasaiswa,
bahkan dikasih teknis pendaftarannya gimana, mulai dari cara mandiri sampai melalui
konsultan pendidikan. Mau?”

Salsa menggeleng. Meremehkan.

“Wah, awas aja sampai aku keterima.”

**

3 tahun kemudian.

Genap 4 jam Salsa terjaga di depan komputernya. Waktu sudah menunjukkan pukul 1
dini hari. Namun, ia masih terus berjuang menyelesaikan tugas kuliahnya, yang telah ditunda
selama 2 bulan. Ia menghela napas panjang, lalu menghembuskannya, dan melanjutkan tarian
jemarinya di atas papan keyboard. Sesekali ia melirik ke bingkai foto yang ada di samping
laptopnya. Terdapat foto dirinya dengan Amel 3 tahun yang lalu, tepat ketika hari kelulusan.
Keduanya mengenakan kebaya abu-abu dan sanggul rambut. Tampak bahagia sekali. Salsa
tersenyum simpul.

Ah, gadis itu, apa kabarnya?

Tiba-tiba, ada notifikasi di laptopnya. Kiriman e-mail. Klik. Salsa membukanya dan
melupakan sebentar tugas kuliahnya itu.

From : ameliaagustine24@gmail.com

To : salsa.annisaaaa@gmail.com

Subjek : Hi, Salsa!!!!!!

Hai, Salsa!!!! Gila sa, disini dingin banget.. Apa kabar luuu? Gue baik-baik aja kalo
lu mau tau. Hehe. Gimana kuliahnya, calon bu dokter? Hahaha. Gilaaaaaaa. I’m so proud of
you, Sa. Temen gue jadi dokter omegat! Temen yang waktu SMA sering gue buli. Lucu kalo
diingat. Bagi gue sih lucu. Bagi lu, mungkin kagak ya hahaha. Gue udah jarang denger kabar
mereka lagi, Sa, temen-temen gue. Si Rita, Dian, Ghea, Rania, sama Seli. Pada kemana, ya?
Ahh peduli amat.

Sa, let me tell you the truth. Gue kadang kesulitan belajar di sini, Sa. It’s totally
different sama Indonesia. Gue kadang nggak bisa ngikutin. Dan sekarang gue disuruh bikin
esai yang harus dipresentasiin 2 hari lagi. Di depan sepuluh dosen. Aduhhhh gue nggak ngerti
apa-apa, Saaaaa. Tapi, Papa bilang ke gue kalo kuliah gue failed, gue bakal dinikahin.
Hahaha. Kagak ding, gue bakal dikembaliin ke Jakarta, the place where i should have lived.
Doain aja yakkkk.

Btw, paket gue udah nyampe belum? Kalo udah nyampe please don’t tell anyone, ya,
gue ngirim apaan!!! Luv you ma best!

Oh iya, dapat salam dari Papa. Sama Harry, hahaha. Gue makin jatuh hati sama dia,
Sa. Gantengnya nggak kira-kira. Dannnn you know kemarin dia beliin gue makanan. Fork,
sih. Dan nggak gue makan. Tapi, setidaknya dia peduli sama gue kan, Sa????? Lu kapan, Sa,
dapet calon? Apa perlu gue pilihin, nih? Hahaha.

Sincerely,

Amelia Agustine.

Salsa cengar-cengir sendiri membacanya. Seraya mengingat-ingat 3 tahun lalu sebelum


mereka pisah. Siang hari pukul 12 siang, Amel jingkrak-jingkrak di kamarnya ketika hasil
perjuangannya masuk ke salah satu universitas di Inggris tidak sia-sia. Amel langsung
menghubungi Papanya lewat e-mail Salsa. Hari itu juga, Papanya membelikannya tiket pesawat
terbang sekaligus memberi cek yang dititipkan ke pegawai kantornya dulu sewaktu masih di
Indonesia. Cek tersebut berisi nominal yang amat besar, untuk Salsa, sebagai tanda
terimakasih, katanya. Lusanya, Amel langsung berangkat ke Inggris setelah 2 hari kelayapan
bersama Salsa mengelilingi Jakarta. Selepas Amel pergi, keduanya hanya berkomunikasi
melalui e-mail, karena Amel masih belum diizinkan pegang handphone. Walaupun ia sudah
banyak berubah dan telah menunjukkannya pada Papanya, namun, Amel tetap saja Amel.
Gadis kasar dan cuek.

Sampai di bandara London Heathrow, Amel langsung memeluk Papa dan Mamanya
girang. Papanya amat bangga padanya. Di sana, semua fasilitas Amel sudah tersedia. Ia hanya
perlu kuliah yang benar dan lulus.
BIODATA PENULIS

Nama : Hasna Nur Aulia

Tempat Tanggal Lahir : Cirebon, 29 November 1999

Nomor telepon : 081223033254

E-mail : hasnasilfana@gmail.com

Instagram : @hsna.29

Pekerjaan : Pelajar

Anda mungkin juga menyukai