Anda di halaman 1dari 11

OBJEK KEBUDAYAAN SUKU DAYAK

Makalah sebagai tugas Kebudayaan Indonesia yang di ampuh oleh dosen


Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum

KELOMPOK II :
Adfan Syah Finalta : 40020519650063
Alif Maulana Rahman : 40020519650023
Ananda Wibisono : 40020519650051
Muhammad Nur Wahid : 40020519650029

PROGRAM STUDI BAHASA ASING


SEKOLAH VOKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019

1
Kata Pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami selaku kelompok VI panjatkan ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga diucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi serta
bekerjasama dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini yang merupakan
tugas kebudayaan Indonesia bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca
mengenai objek kebudayaan suku dayak. Namun terlepas dari itu, kami memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

Semarang,
Kamis, 26 September 2019

Kelompok II

2
DAFTAR ISI
JUDUL………………………..……………………………………………………….1
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………4
B. Rumusan Masalah………………………………………………...4
C. Tujuan Penulisan……………………………………………….....5
D. Studi Pustaka………………………………………………...........5

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Suku Dayak…………………………………………...6
B. Sejarah Suku Dayak………………………………………………6
C. Sistem Religi…………………………………………...................7
D. Bahasa………………….................................................................8
E. Lembaga Adat……………………….............................................8
F. Sistem Kekerabatan.........................................................................9
G. Adat Istiadat Suku Dayak................................................................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan…………………………………………………........11
B. Daftar Pustaka……………………………………………………11

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini
dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi
penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut
agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.
Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara berkembang,
kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol karya daerah, asset kas
daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya ilmiah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang mengedepankan budaya leluhurnya,
sehingga kebudayaan tersebut sebagai ritual ibadah mereka dalam menyembah
sang pencipta yang dilatarbelakangi kepercayaan tradisional yang disebut
Kaharingan.
Sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Tiwah sebagai salah satu
kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju Propinsi Kalimantan Tengah yang pada
mulanya sebuah tradisi kepercayaan masyarakat Kaharingan. Berbagai macam
prosesi yang terjadi pada acara tersebut, diantaranya: Ngayau (penggal kepala),
ritual Tabuh (tidak tidur selama dua malam dengan diselingi minum.
Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah yang terkait lebih
dengan mengambil judul “Objek Kebudayaan Suku Dayak”.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa masyarakat Suku Dayak Ngaju masih melaksanakan Upacara


Tiwah?
2. Bagaimana sistem kekerabatan Suku Dayak?

4
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui kebiasaan masyarakat Suku Dayak.


2. Untuk mengetahui kegiatan adat Suku Dayak.

D. Studi Pustaka

1. Internet

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Suku Dayak

Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk pesisir Pulau Borneo diberi
kepada penghuni padalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei,
Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengan, dan Kalimantan Selatan.
Budaya masyarakat Dayak adalah budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama
sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
“perhuluan” atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.

B. Sejarah Suku Dayak

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal
di pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan
oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri
sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif.
Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti
seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau
pantang mundur.
Pada tahun 1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang
merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras
mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan
melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku
Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang
Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin
mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa
kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah
Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri
sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku
berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak,
sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai
yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 .
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian
masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam

6
yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu sekitar
tahun 1608.
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya
sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar.
Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai,
masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi,
Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan.
Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming
tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang
pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa
Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era
Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak
dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya
berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung
berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh
sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV
Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk
Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun
1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok.
Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei)
yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir,
mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963).

C. Sistem Religi

Religi asli suku Dayak tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat
dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari,
orang dayak tidak pernah menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan
adat. Sistem religi ini bukanlah sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh
orang-orang pada umumnya.
Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang
dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di
bukit bawakng . Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka
memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga

7
seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia
dengan Tuhan (Jubata).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan
segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan
bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah jika seorang
Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan
Melayu atau orang Laut.

D. Bahasa

Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana’ serta damea/jare dan yang serumpun.
Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan
kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan
bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan.
Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti
(Landak) yang memakai bahasa ahe/nana’ terbagi lagi ke dalam bahasa behe,
padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke
(Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa’, songga batukng-ngalampa’ dan
angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan
percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang
dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata
Indonesia yang diadopsi dan kemudian “di-Dayak-kan”. Misalnya ialah bahasa ahe
asli: Lea, bahasa ahe sekarang: saparati. Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi
muda mudah dimengerti karena mirip dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu.

E. Lembaga Adat

Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah
komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang disebut
Binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampong . Masing-
masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak
dapat mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala desa). timanggong
memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala dusun) dan pangaraga (ketua
RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn.

8
F. Sistem Kekerabatan

Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem


bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang
anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada
sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi
tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak
merusak keturunan.

G. Adat Istiadat Suku Dayak

Di bawah ini ada beberapa adat istiadat suku dayak yang masih terpelihara hingga
kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang
yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak
berasal dari pedalaman Kalimantan. Salah satu objek kebudayaan Suku Dayak,

1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara
yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke
Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil
yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Ritual tiwah merupakan upacara adat kematian yang dilaksanakan penganut
Hindu Kaharingan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Ritual ini
bertujuan untuk mengantar arwah (liaw) menuju tempat asal (lewu tatau) bersama
Ranying (dewa tertinggi dalam kepercayaan Kaharingan).
Ritual tiwah sangat sakral dan penting dalam mengantar jiwa seseorang ke
tingkat kehidupan selanjutnya. Masyarakat Dayak Ngaju percaya apabila mereka
belum melakukan prosesi tiwah bagi keluarganya, arwah orang yang
meninggal akan tetap berada di dunia dan tidak dapat menuju ke lewu tatau.
Itu sebabnya, bagi masyarakat Dayak Ngaju, mengadakan ritual tiwah wajib
hukumnya, terutama apabila almarhum masih menganut kepercayaan Kaharingan.
Biasanya ritual tiwah ini dilaksanakan setelah masa panen padi. Hal ini sesuai
dengan irama kehidupan masyarakat dayak Ngaju.
Pelaksanaan ritual tiwah berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Itu
sebabnya, upacara adat kepercayaan Kaharingan ini membutuhkan biaya yang
cukup besar. Biaya tersebut digunakan untuk memenuhi persyaratan upacara
sakral Tiwah, di antaranya untuk menyediakan makanan, hewan kurban, sesaji,
dan juga membuat sandung. Biaya untuk membuat sandung saja bisa memakan
biaya puluhan juta rupiah.
Yang memimpin pelaksanaan upacara tiwah adalah para belian, yaitu para
tetua yang biasa memimpin upacara adat. Dalam upacara ini, belian menyanyikan
kisah-kisah suci tentang asal-usul dan silsilah orang Ngaju, yang disebut sasana

9
bandar. Nyanyian yang berlangsung berjam-jam ini dapat diiringi musik sejenis
kendang dan gong.
Upacara adat tiwah merupakan salah satu tradisi penguburan yang unik
dan berkembang menjadi warisan budaya masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah. Keberadaan upacara tiwah diyakini telah berlangsung sejak
masa prasejarah hingga masa sekarang.

10
BAB III
PENUTUP

Demikian penulisan makalah tentang Objek Kebudayaan Suku Dayak. Harapan


penulis semoga penulisan makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Selama melaksanakan
perkuliahan dan kegiatan ini, maka penulis atau penyusun dapat membuat kesimpulan
yaitu sebagai berikut.
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis data pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang diangkat yaitu antara
lain:

1. Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai


kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena
dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang
ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka
beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi
keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka.
2. Sistem kekerabatan Suku Dayak yaitu menggunakan sistem parental (ayah
dan ibu).

B. Daftar Pustaka

http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/03/nyangahatn.html

http://stefanusakim.blogspot.com

11

Anda mungkin juga menyukai