Laporan Pendahuluan
Laporan Pendahuluan
Infark serebri adalah kematian neuron-neuron, sel glia dan sistem pembuluh darah
yang disebabkan kekurangan oksigen dan nutrisi. Berdasarkan penyebabnya Infark dapat
dibagi menjadi 3, yaitu:
2. ETIOLOGI
1. Emboli
2. Aterombosis aortokranial
3. Hipotensi berat dalam waktu lama
4. Vasospasme yang dapat disebabkan oleh migren,ensefalopati hipertensif
Penyebab yang paling jarang adalah arteritis, kompresi otak dengan iskemia sekunder,
oklusi vena atau abnormalitas di dalam darah.
1) Penyakit jantung
Antara infark otak dan infark jantung memiki beberapa kesamaan (a) keduanya
disebabkan oleh aterosklerosis (b) hipertensi merupakan factor resiko kuat untuk
keduanya. (c) ada kecenderungan bahwa keduanya terjadi bersama – sama infark
jantung 3 x lebih sering ditemukan pada penderita yang meninggal dengan
infark otak dari pada perdarahan otak atau kanker.
1
2) Hipotensi
Bila tekanan perfusi menurun maka arteriole serebral akan mengalami dilatasi.
Apabila vasodilatasi maksimal, autoregulasi akan terganggu atau berhenti maka
aliran darah otak (ADO) berkurang sejalan dengan tekanan perfusi. Wilayah otak
diantara arteri – arteri serebral besar akan terlebih dahulu mengalami oligemia.
Wilayah kematian atau kerusakan sel – sel otak sebagai akibat dari hipotensi berat
dan berkepanjangan ditentukan oleh keseimbangan antara kerentanan selektif
wilayah otak yang terkena dan penerimaan ADO.Pola infark demikian ini juga
dipengaruhi oleh berbagai anomali dan stenosis yang disebabkan oleh
ateromatosis.
3) Cardiac arrest
Begitu terjadi cardiac arrest maka otak mungkin tetap normal atau hanya
menunjukan sedikit pembengkakan.Bagaimanapun juga wilayah tertentu dan
substansia grisea mengalami degenerasi yang jelas.Kombinasi antara
aterosklerosis serebral dan hipotensi bukanlah penyebab utama terjadinya infark
otak, walaupun kadang – kadang dapat terjadi hal yang demikian. Dalam satu seri
hanya 5,2 % penderita mengalami infark otak yang disebabkan oleh hipotensi
sebagai akibat dari cardiac arrest.
2
3. PATOFISIOLOGI
Infark serebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) yang
menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat dan durasi penurunan Cerebral
Blood Flow (CBF) kemungkinan berhubungan dengan jejas yang terjadi. Jika suplai darah ke
otak terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di otak akan berubah. Setelah satu menit
terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5 menit terganggu dapat terjadi infark.
Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak dapat diperbaiki dengan cepat, kerusakan
kemungkinan bersifat reversibel.
Dalam keadaan iskemik, kadar kalium akan meningkat disertai penurunan ATP dan
kreatin fosfat. Akan tetapi, perubahan masih bersifat reversibel apabila sirkulasi dapat
kembali normal. Ion kalium yang meninggi di ruang ekstraseluler akan menyebabkan
pembengkakan sel astroglia, sehingga mengganggu transport oksigen dan bahan makanan ke
otak. Sel yang mengalami iskemia akan melepaskan glutamat dan aspartat yang akan
menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel.
Akumulasi asam laktat pada jaringan otak berperan dalam perluasan kerusakan sel.
Akumulasi asam laktat yang dapat menimbulkan neurotoksik terjadi apabila kadar glukosa
darah otak tinggi sehingga terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan iskemia.
3
PENURUNAN JARINGAN CEREBRAL
ISKEMIA
HIPOKSIA
VOLUME CAIRAN
BERTAMBAH
Asam laktat meningkat Pompa Na dan K gagal
Na dan K influk
TIK Meningkat
4
4. MANIFETASI KLINIK
Yang paling umum adalah difisit neurologic yang progresif. Pemburukan situasi secara
bertahap terjadi pada sepertiga jumlah penderita, dua pertiga lainnya muncul sebagai transien
iskemic attacks (TIA) yang kemudian berkembang menjadi deficit neurologic menetap.
Deficit neurologic pada otak biasanya mencapai maksimum dalam 24 jam pertama. Umur
lanjut, hipertensi, koma komplikasi cardiorepirasi, hipoksia, hipercapnia, dan hiperfentilasi
neurogenic merupaka factor prognosis yang tidak menggembirakan.Infark diwilayah arteri
serebri media dapat menimbulkan edema masif dengan herniasi otak; hal demikian ini
biasanya terjadi dalam waktu 72 jam pertama pasca infark.
Pilihnya fungsi neural dapat menjadi 2 minggu pasca infark dan pada akhir minggu ke 8
akan dicapai pemulihan maksimum. Kematian meliputi 24% dalam satu bulan pertama.
Kemudian untuk hidup jelas lebih baik pada kasus infark otak dari pada perdarahan, tetapi
kecacatan akan lebih berat pada infark otak karena perdarahan akan mengalami resolusi dan
meninggalkan jaringan otak dalam keadaan utuh; sementara itu infark merusak neuron-
neuron yang terkena.
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Dan penyebabnya harus segera ditegakkan dalam beberapa jam pasca awitan agar terapi
yang tepat dapat segera diberikan. Hal ini merupakan pemeriksaan diagnostic secara
sistematik.Sebelum terapi diberikan maka hasil-hasil pemeriksaan urin, darah, EKG, CT-
scan, laju endap darah, profil koagulasi, dan hitung jenis sudah harus diproleh.
1) Pemeriksaan Radiologi
CT-Scan
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Lumbal Pungsi
2) Patologi Anatomi
Makroskopik
Mikroskopik
5
6. PENATALAKSANAAN
Penanganan penderita infark otak bergantung pada tahap perkembangannya. Dalam hal
ini diperlukan klasifikasi yang tepat, apakah itu suatu TIA, Refersible Ischemic Neurologic
Deficit (RIND) atau complete strok. Yang terakhir ini tidak didasarkan atas beratnya defist
neurologic melainkan stabilitas deficit neurologic. Sebegitu jauh sampai saat ini belum ada
terapi yang efektif; namun demikian upaya-upaya dibawah ini dapat dipertimbangkan.
1) Tahap akut
Hampir seluruh penderita infark otak harus di rawat di rumah sakit (RS), sebagai kasus
darurat, masalah dalam masa ini adalah edema otak, kejang, atau komplikasi sistemik
misalnya ketidak seimbangan cairan elektrolit, pneumonia, gangguan jantung. Pada
infark serebelum dengan edema yang massif dapatterjadi hidrosefasul obstruksif; hal
demikian ini memerlukan pemasangan pirau ventri-kulo-peritonial.
a. Hemodilusi
6
bersamaan diberikan bahan plasma/exspanding untuk mencegah terjadinya
hipovolemia. Bahan yang sering dipake adalah dekstran dengan berat molekul
rendah.Terapi ini bersifat selektif.
b. Antikoagulan
Edema pada infark otak, terutama jika terjadi oklusi arteri serebri media, sulit
untuk dikontrol.Kortikosteroid bermanfaat untuk edema intertisial, hal ini terdapat
pada neoplasma.Cairan hyperosmolar misalnya gliserol, manitol, urea, kurang
efektif untuk infark iskemik. Hal ini disebabkan oleh dua alasan :
Nimodipin merupakan salah satu jenis antagosis kalsium yang diharapkan dapat
mencegah membanjirnya kalsium dalam sel (calcium influx). Pada awalnya,
nimodipin diberikan secara co-infus dengan bantuan syringe-pump, dengan dosis
2-2,5 ml/jam, bergantung pada tekanan darah pederita selama 5 hari. Dosis tinggi
dapat menurunkan tekanan darah yang tentunya akan menyebabkan bertambah
beratnya gejala neurologic. Nimodipine akan memberikan hasil yang baik jika
diberikan secara dini, kurang dari 6 jam pasca awitan. Nimodipine dapat diteruskan
secara peroral dengan dosis 120-180 mg/hari.
e. Pentosifilin
7
pasca awitan,dalam bentuk infus dan bukan dalam bentuk bolus intravena.
Diberikan dengan dosis 15 mg/kg BB/hari, selama seminggu.
Tahap rehabilitasi
a. Fisioterapi dimulai sedini mungkin, bahkan segera setelah terjadi senganan. Pada
tahap ini fisioterapi sudah dapat dikerjakan lebih intensif, tetap dengan
mempetimbangkan penyakit sistemik yang sekiranya dapat memberat dengan
latihan-latihan selama fisioterapi.
b. Obat-obat untuk tahap ini cukup beragam dengan titik tangkap yang berbeda:
pentoksifilin (2x400mg), codergocrini mesylate (3-4,5 mg/hari), nicergolin
(30mg/hari), nimodipine (120-180 mg/hari), naftydrofuril (300-400mg/hari),
dipiradamol (75-150 mg/hari), aspirin (100-200 mg/hari). Untuk memeberikan obat
tadi diperlukan perhatian khusus tentang kondisi fisik, laboratorik, dan juga kontra-
indikasinya.
c. Pemberian anti konvulsan perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus infark kortikal.
Disamping itu, neuron-neuron yang rusak akibat infark dapat merubah sifatnya,
menjadi lebih mudah terangsang dan akibatnya adalah terjadi konvulsi fokal atau
umum.
8
dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan
airway. Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas dengan
memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal kollar untuk immobilisasi
servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari
segala sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang patah
dan lain-lain. Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow
Coma Scale) < 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen
tidak mencapai 90%.
b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara
napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
c) Feel (raba)
2) Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada
yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest
dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing)
sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita dan
harus segera di evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk
dan pergerakan dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke
dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-
takipneu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang
saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya
ventilasi yang adekuat
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk
mempertahankan cardiac output walaupun stroke volum menurun
b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan
diastolik)
9
c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah
hipotensi
d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan balut tekan
pada daerah tersebut
e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal MAE
(Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau
darah mengalir keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial)
f) Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya
koagulopati dan gangguan irama jantung.
4) Disability
a) GCS setelah resusitasi
b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5) Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh
penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling dengan harus
menghindari terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS)
b. Secondary Survey
1) Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi
rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala,
massa, pembengkakan, nyeri tekan, fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut,
massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas
leher.
2) Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan
kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik
pada saat dada bergerak atau pada saat diem, terutama sewaktu dilakukan
pengamatan pergerakan pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama
pernapasan.
10
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada
dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan
tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui sistem
bronkopulmonal selama seseorang berbicara)
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara
(pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran udara.
Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-paru dan rongga
pleura.
3) Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultan
untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan
(heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi
jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan
area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan
tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi pada area jantung jarang
dilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat pada hasil foto torak
anteroposterior.
4) Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas
bersangkutan, antara lain :
a) Cedera pembuluh darah.
b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c) Crush injury.
d) Sindroma kompartemen.
e) Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a) Pusasi arteri tidak teraba.
b) Pucat (pallor).
c) Dingin (coolness).
d) Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e) Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”.
11
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala sedapat
mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda dapat
meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai
5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang menyertai cedera
kepala dapat menurunkan insidensi ARDS.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
b. Nyeri kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
c. Resiko: Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
anoreksia
d. Kerusakan mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
e. Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik.
3. INTERVENSI
Dx : Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ; infark
Tujuan : Perfusi jaringan cerebral efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam dengan KH:
- Vital Sign normal.
- Tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (takikardi, Tekanan darah turun
pelan2)
- GCS E4M5V6
Intervensi :
1. Monitor Vital Sign
2. Monitor tingkat kesadaran.
3. Monitor GCS
4. Tentukan faktor penyebab penurunan perfusi cerebral
5. Pertahankan posisi tirah baring atau head up to 30°
6. Pertahankan lingkungan yang nyaman
7. Kolaborasi dengan tim kesehatan. Pemberian terapi oksigen
12
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri
terkontrol atau berkurang dengan kriteria hasil :
- Ekspresi wajah rileks
- Skala nyeri berkurang
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
1. Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
2. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
3. Observasi reaksi abnormal dan ketidaknyamanan
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
5. Pertahankan tirah baring
6. Ajarkan tindakan non farmakologi dalam penanganan nyeri
7. Kolaborasi pemberian analgesic sesuai program
13
- Kekuatan otot meningkat
- Tidak terjadi kontraktur
Intervensi :
1. Kaji tingkat mobilisasi fisik klien.
2. Ubah posisi secara periodik.
3. Lakukan ROM aktif/pasif.
4. Dukung ekstremitas pada posisi fungsional.
5. Kolaborasi dengan ahli fisio terapi
14
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono, Mahar. Sidharta, Priguna. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian
Rakyat
Ngoerah, I Gst Ng Gd. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya. Airlangga
University Press
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta
Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta.
15