Anda di halaman 1dari 40

Nurani Tahfidh

Home

Tentang Kami

Landasan

Visi Misi

Struktur Organisasi

Sistem Pendidikan

Staff Pengajar

Aktifitas Santri

Gallery

Santri

Pengumuman

PSB Online

Prosedur Pendaftaran Santri Baru

Rincian Biaya Pendaftaran Santri Baru

Formulir Pendaftaran Online

Blog

Contact Us

Motivasi Praktis Menghafal Al-Quran

AUGUST 6, 2015

home / artikel / motivasi praktis menghafal al-quran

????????????????????????????????????

Belajar dan menghafal al-Quran selama ini identik dengan aktifitas para santri yang sedang bergelut
dengan pelajaran ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren, sementara para pelajar dan mahasiswa
lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu umum dan teknologi modern. Mungkin
terbilang langka mahasiswa hafal al-Quran ataupun dosen hafal al-Quran.

Padahal kalau mau berkaca pada sejarah ilmuan-ilmuan muslim yang fenomenal dalam bidang
filsafat dan sains pada abad pertengahan Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh
orang-orang yang mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal dan menguasai al-Quran. Ibnu
Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi dll, mereka adalah sosok ilmuan yang komplit, rumus-rumus
fisika, kimia, astronomi dikuasai, tafsir, hadis, fiqh juga dipahami secara mendalam.
Apa rahasianya? Ternyata memang saat itu ada tradisi yang kuat bahwa hafal dan faham al-Quran itu
merupakan “harga mati” (tidak boleh ditawar) sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-
ilmu lainnya. Hal ini tercermin dalam tulisan Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Al-Majmu”:

ُ‫حىف ر‬
‫ظ اىلقرُىرآْغن اىلبعغزىيغز بفرُهبو‬ ‫ئ غبغه غ‬ ُ‫ بوأوورُل بماَ بيىببتغد ر‬:‫حىفغظ بوالتتىكبراغر بوالرُمبطاَبلبعغة غباَىلببهتم بفاَىلبهمم‬
‫ بوغفيِ ال غ‬:‫بوبيىنببغغىى أبىن بيىببدأ غمىن رُدرُرىوغسغه بعبلى البمبشاَغيغخ‬
ُ‫ر‬ ‫ى‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ى‬ ‫ب‬ ‫ى‬
‫ف لب بيىعلرُمىوبن البحغدىيث بوالغفقبه إل لغبمىن بحغفظ القىرآْبن‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ُ‫ر‬
ُ‫أبهمم الرُعلىوغم بوبكاَبن الوسل ر‬ ‫ب‬

“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran,
karena ia adalah ilmu yang terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan
fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. “Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri,
1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66

Dan menurut pengamatan penulis, sejumlah mahasiswa yang menghafal al-Quran ataupun yang
telah hafal, memiliki tingkat kecerdasan dan kreatifitas lebih dibanding lainnya. Rektor Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, dalam acara
wisuda 2008 pernah menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun terakhir peraih predikat
mahasiswa terbaik selalu diraih oleh mahasiswa yang hafal al-Quran. Hal yang sama juga dibuktikan
oleh keluarga Bapak Mutammimul Ula. Kesepuluh putra putrinya yang sedang menghafal al-Quran
itu rata-rata menjadi pelajar dan mahasiswa terbaik di sekolah mereka masing-masing.

Oleh karena itu tidak heran bila ada testimoni yang mengejutkan dari Dr. Abdul Daim al-Kaheel dari
Kuwait. Beliau menulis dalam Artikel yang berjudul: Asrar al-Ilaj bi istima’ ila al-Quran dalam situs
pribadinya: www.kaheel7.com, sebagai berikut:

‫ث‬‫ِ بوبهبذا بماَ بحبد ب‬،‫ئ أون اىلغىسغتبماَبع إلبى اىلقرُىرآْغن غببشىكلل رُمىسبتغمرر رُيبؤتدىي إلبى غزبياَبدغة قرُىدبرغة اىلغىنبساَغن بعبلى اىلغىببداغع‬ ُ‫ك بعغزىيغزىي البقاَغر ر‬ ‫بورُيىمغكرُنغنىيِ أىن أ رُىخغببر ب‬
‫خلببل بيىوم أبىو بيىوبمىيغن بفبقطى‬ ‫ى‬
‫ث غعلغميِل غ‬‫ِ ببىيبنبماَ البن أقرُىورُم غبغكبتاَببغة ببىح ل‬،‫حىيلح‬ ‫جىيرُد غكبتاَبببة رُجىمبللة غببشىكلل ب‬
‫ص غ‬ ُ‫ر‬
‫ت لب أ غ‬ ‫ى‬ ‫ب‬
ُ‫حىفغظ اىلقرُىرآْغن أذرُكرُر أونغنىيِ رُكىن ر‬
‫ِ بفبقىببل غ‬،ِ‫بمغعبي‬
‫ل‬

Bisa saya informasikan pada para pembaca yang terhormat bahwa mendengarkan ayat al-Quran
secara kontinyu akan menambah kemampuan berinovasi, sebagaimana yang terjadi pada diri saya.
Sebelum hafal al-Quran, saya masih ingat, saya kesulitan menulis satu kalimat dengan baik dan benar,
sementara sekarang saya mampu menulis karya ilmiah hanya dalam kurun waktu satu sampai dua
hari saja.

Untuk itu, kehadiran artikel ini dirasa penting untuk memotivasi dan mengarahkan mahasiwa yang
belum atau sedang menghafalkan al-Quran agar mereka bergairah untuk menghafal dan harapannya,
mereka kelak menjadi generasi Islam yang unggul dan mumpuni, sebagai “reinkarnasi” dari Al-
Ghazali, Ar-Razi, Ibnu Miskawaih dll. Salah satu tahapan utama dan pertama adalah menjadikan para
mahasiswa muslim mau menghafal dan memahami al-Quran.

Berikut ini motivasi dan alasan-alasan ringan, realistis, praktis, tentang mengapa al-Quran itu penting
untuk dihafal oleh mahasiswa.

1. Otak, semangat, dan kesempatan Anda sekarang berada di masa keemasan


Kalau Anda seorang mahasiswa, pasti usia Anda masih dalam kisaran 18-24 tahun. Usia tersebut
masuk dalam kategori usia subur dan produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk
menghafal. Terkait ini dengan usia ini, Syekh Alwi al-Haddad –dalam bukunya “Sabilul Iddikar”
(matan kitab An-Nashaih ad-Diniyyah) mengatakan:

‫بوأىعبجبزهرُ اىلبفبخاَرُر بفلب بفبخاَبر‬

‫إبذا بببلبغ اىلبفبتى غعىشغرىيبن بعاَماَ ا‬

‫ت ماَ ب غعىش ب‬
‫ت غمىن ببىعغدغهونىه‬ ‫بفل رُسىد ب‬

‫إبذا بلىم بترُسىد فيِ بلبياَليِ الوشبباَ ى‬


‫ب‬

Ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggaan, maka tidak akan muncul
kebanggaan lagi

Ketika engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya setelah
itu selama hidupnya.

Dengan kata lain, “hari ini” bagi seorang remaja adalah miniatur kesuksesan di masa yang akan
datang. Bila “hari ini” dalam diri seorang remaja telah tumbuh benih-benih kompetensi, integritas,
kepemimpinan, etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10 tahun atau 15 tahun yang akan datang,
sudah menjadi orang sukses sesuai dengan yang dia kerjakan sekarang.

2. Bersyukurlah, tidak banyak orang yang bisa baca al-Quran

Mensyukuri anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia sebagai hamba Allah. Allah
memberikan anugerah kepada hambanya sesuai takaran takdir yang dibarengi dengan ikhtiar
maksimal. Oleh karenanya, kadar karunia yang Allah berikan kepada hambanya berbeda-beda satu
sama lain. Allah berfirman (QS. An-Nahl:71):

‫ض غفيِ الترىزغق‬
‫ضرُكىم بعبلى ببىع ل‬ ‫بو و‬
‫ارُ بف و‬
‫ضبل ببىع ب‬

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki,
Rizki itu bisa berupa harta, anak, kesehatan, ilmu dan persaudaraan. Kalau anda hari ini kemampuan
membaca ayat-ayat al-Quran dengan baik, syukuri itu sebagai bagian dari rizki Allah. Tidak banyak
orang yang bisa membaca al-Quran, hanya orang pilihanlah yang diberi kemampuan itu.

Nabi bersabda:

‫بمىن رُيغرغد ارُ غبغه بخىيارا رُيبفتقىهرُه غفيِ التدىيغن‬

Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka dia memeiliki pemahaman dalam
agama

Pengalaman saya (penulis) mengajar matakuliah PAI (pendidikan Agama Islam) di beberapa kampus
di kota Malang, rata-rata 80% dari mereka belum bisa baca al-Quran padahal usia mereka berkisar
18-20 tahun. Belum lagi kemampuan baca al-Quran masyarakat umum non mahasiswa, tentu lebih
banyak lagi. Jika kita tergolong orang yang bisa baca al-Quran, maka bersyukurlah dengan cara yang
lebih produktif. Adakalanya dengan memperbanyak bacaan al-Quran, meningkatkan pemahaman
kandungannya atau meneruskannya ke jenjang tahfidz (menghafalkan).

Mungkin tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila kemampuan baca al-Quran yang dimiliki itu tidak
diamalkan secara istiqamah. Sebagaimana pisau, ia tidak akan berarti apa-apa bila tidak digunakan
untuk keperluan memotong. Allah memberikan ilmu hakikatnya bukanlah sebagai tujuan (goal) tapi
semata alat (medium) untuk sampai pada tujuan. Sedang tujuan akhirnya adalah pengamalan serta
pengajaran al-Quran itu sendiri.

3. Betapa banyak orang yang merindukan untuk menjadi penghafal al-Quran

Saya banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam, akademisi yang ada di kota Malang. Mereka
sekarang sudah jadi orang hebat, dihormati, memiliki penghasilan tinggi. Di antara mereka ada yang
bercerita pada saya: ”mas, saya sampai sekarang ini masih mendambakan untuk bisa hafal Al-Quran,
tapi pada usia setua ini apa masih bisa? Bahkan, salah seorang dosen saya di S3 UIN Maliki Malang,
dengan usia di atas 50 tahun, mengatakan: “saya sekarang menghafalkan al-Quran, berapapun
dapatnya tidak masalah, sebab Allah menghargai proses bukan hasil. Cita-cita saya sebelum
meninnggal, kalau bisa semua ayat al-Quran sudah pernah dihafal agar memori otak yang Allah
ciptakan ini pernah terisi dengan file-file al-Quran.” Bukankah otak atau hati yang berisi al-Quran
tidak akan disiksa oleh Allah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
‫ا بلىن رُيبعتذ ب‬
(ِ‫ب بقىلاباَ بوبعى اىلقرُىرآْبن )رواه الدارمي‬ ‫ف اىلرُمبعلوبقبة بفإغون ب‬
‫ح ب‬ ‫ إونرُه بكاَبن بيقرُىورُل غاىقبررُؤىوا اىلقرُىرآْبن بوبل بيرُغورونرُكىم بهغذغه اىلبم ب‬: ‫عن أبيِ أماَمة‬
‫صاَ غ‬

Bacalah al-Quran, jangan sekali engkau tertipu dengan mushaf yang tergantung ini, karena Allah tidak
akan menyiksa hati yang berisi al-Quran (HR. Ad-Darimi)

Demikian juga salah seorang pembantu rektor di Universitas Negeri Malang, secara implisit bertanya
hal yang hampir sama pada saya, yaitu tentang tata cara menghafal dan menjaga al-Quran di usia
dewasa. Dua tahun yang lalu, saya mengikuti acara khataman di rumah Ustdaz Asrukin (Dosen Ilmu
Perpustakaan UM), di sana bertemu orang “sepuh” dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal al-
Quran sejak usia 55 tahun, waktu itu baru bisa menghafal 25 juz. Di Pesantren Darul Quran Singosari
Malang, juga pernah kedatangan santriwati berusia 50-an tahun dari daerah Tanggul kota Jember.
Teman saya, seorang ibu dua anak masih menyempatkan diri setoran hafalan al-Quran seminggu
sekali di Pesantren Nurul Ulum Kebonagung Malang. Mungkin mereka yang merindukan menjadi
penghafal al-Quran tersebut sudah pernah mencoba tapi gagal, atau mungkin karena kesibukannya
tidak sempat menghafal. Jadi, kalau hari ini Anda menghafal, berarti Anda telah melakukan sesuatu
yang banyak dirindukan orang lain. Kalau mereka baru bermimpi, Anda sudah melakukannya,
berbahagialah!

4. Tidak banyak orang yang punya niat dan mulai menghafal

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kemampuan baca al-Quran yang sudah ada selama ini
seharusnya ditingkatkan, sebagai ungkapan rasa syukur pada Allah. Demikian juga, bila kita hari ini
sudah punya niat untuk menghafal dan sudah mulai menghafal, maka bersyukurlah, sebab tidak
banyak orang yang mendeklarasikan diri untuk berkomitmen menghafal (nawaitu) dan mulai
melakukannya.

Rasa syukur itu semestinya dimanifestasikan secara konkrit dalam bentuk upaya maksimal
meneruskan hafalan itu hingga paripurna (tuntas). Ibarat biji tanaman, setelah ditancapkan ke dalam
tanah, ia harus kontinyu disiram dan dipupuk sampai tumbuh dan berkembang subur lalu berbuah.

5. Tidakkah kita malu dengan anak balita yang hafal al-Quran

Belum lama ini di situs Youtube terpampang seorang anak balita brilian yang membaca al-Quran bil
ghaib. Dialah Abdurrahman Farih dari Al-Jazair (yang saat direkam baru berusia tiga tahun). Siapakah
orang tua yang tidak bangga memiliki anak sesholih dan secerdas dia. Di Indonesia, orang tua yang
anaknya terjaring dalam DACIL (Audisi Dai Cilik) saja bangganya bukan kepalang. Hal yang perlu
menjadi catatan kita, dalam usia semuda itu si Farih telah memulai dan melaksanakan hafalan hingga
tuntas.

Bagaimana dengan Anda? Sudah berapa usia Anda? Bila hari ini usia Anda sudah di atas 18 tahun dan
belum nawaitu untuk menghafal atau belum tuntas dalam menghafal, patutlah Farih menjadi
”cambuk”, agar anda merasa malu dan tergerak untuk memulai. Kapan lagi memulai, jangan pernah
menunda sebuah niat suci. Motivasi tidak ada jaminan datang dua kali. Bisa jadi, niat yang
pelaksanaannya tertunda akan menguap dan sirna selamanya.

Jangan putus asa bila di usia sekarang Anda belum sukses, masih ada beberapa tahun menuju usia 23
tahun dimana sepanjang itu al-Quran lengkap diturunkan. Atau mungkin usia Anda sudah di atas 30
tahun, jangan putus asa untuk menghafal sebab Rasulullah mulai menerima wahyu dan menghafal
baru di usia 40 tahun. Kalau usia anda di usia 55 tahun belum selesai menghafal, jangan putus ada
karena Rasulullah tuntas menerima wahyu di usia 61 tahun.

6. Tidak inginkah kita membahagiakan orang yang selama ini rela menderita untuk kita

Setiap kali terlahir anak manusia, pasti di sana ada orang yang ikut bersuka cita menyambut
kehadiran sang bayi. Siang malam tercurah kasih sayangnya. Dialah ayah dan ibu kita. Sang anak
tumbuh menjadi besar lalu menjadi remaja, tak pernah lepas dari belaian kasih sayang orang tua
terutama ibu. Mereka rela menderita demi kebahagiaan sang anak. Keringat dan air mata menghiasi
keikhlasan mereka dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya.

Mahasiswa yang sedang studi jauh dari orang tua, terkadang tidak banyak tahu tentang penderitaan
orang tua di rumah, bagaimana mereka membanting tulang, berhutang rupiah kesana kemari demi
kelangsungan studi putra putrinya yang berada di perantauan, nun jauh di sana. Si anak sering tidak
diberitahu tentang suka duka orangtua yang di rumah, agar tidak tak terganggu konsentrasi mereka.
Namun, si anak mesti merasakan dan peka akan suka duka orang tua tersebut. Harapannya, dari sana
akan muncul empati serta simpati dari anak, untuk kemudian berupaya untuk memberikan balas
budi kepada orang tua kelak di kemudian hari.

Dengan menghafal al-Quran, kita ingin memanjakan orang tua supaya mereka bisa bangga dan
terhibur. Rata-rata orang tua sudah merasa senang manakala anaknya berprestasi dan berperilaku
baik, tawaddu’, dibanding semata-mata ”pamer kekayaan”. Paling tidak, dalam bayangan orang tua,
ketika mendengar anaknya hafal al-Quran, kelak pahala baca al-Quran dari anak tak kan pernah putus
dan akan senantiasa menerangi kubur mereka dengan cahaya al-Quran.
Rasulullah bersabda:

‫ بقاَبل » بمىن بقبرأب اىلقرُىرآْبن بوبعغمبل غببماَ غفيغه أ رُىلغب ب‬-‫اغ –صلى ا عليه وسلم‬
‫س بوالغبداهرُ بتاَاجاَ بيىوبم‬ ‫بعىن بسىهغل ىبغن رُمبعاَلذ اىلرُجبهغنتى بعىن أبغبيغه أبون بررُسوبل و‬
(‫ت المدىنبياَ )رواه أبو داود‬ ‫س غفى رُبرُيو غ‬ ‫ضىوغء الوشىم غ‬ ‫ضىورُؤهرُ أبىحبسرُن غمىن ب‬
‫اىلغقبياَبمغة ب‬

Barang siapa yang membaca al-Quran dan mengamalkan isinya maka pada hari kiamat kedua orang
tuanya akan diberi mahkota yang cahayanya lebih indah daripada sinar matahari di dunia.

7. Begitu indahnya, jika kubur orang tua kita selalu bersinar lantaran al-Quran yang selalu kita baca

Sebagai orang beriman, kita meyakini akan adanya siksa kubur dan akherat. Juga kita meyakini bahwa
al-Quran yang kita baca pasti akan sampai pada orang yang telah meninggal. Cepat atau lambat
orang tua kita pasti berpulang ke hadirat ilahi rabbi. Alangkah indahnya, jika kubur orang tua kita
yang sempit dan gelap, bertaburkan cahaya al-Quran. Orang yang hafal al-Quran secara umum
memiliki intensitas bacaan yang lebih tinggi dibanding dengan yang tidak, sehingga peluang untuk
mendoakan dan mengirimkan pahala pada orang tua, lebih terbuka.

Abu Ja’far meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa orang mukmin itu apabila diletakkan di
dalam kuburnya maka kuburnya itu dilapangkan 70 hasta, ditaburi harum-haruman dan ditutup
dengan kain sutera. Apabila ia hafal sebagian dari Al-Qur’an maka apa yang dihafalnya itu menerangi
seluruh kuburnya, dan apabila ia tidak hafal, maka ia dibuatkan cahaya seperti matahari di dalam
kuburnya. Ia bagaikan pengantin baru yang tidur dan tidak dibangunkan kecuali oleh isteri yang
sangat dicintainya. Kemudian ia bangun dari tidurnya seakan-akan ia belum puas dari tidurnya itu.

8. Betapa inginnya kita mendapatkan pendamping yang lidahnya selalu basah dengan al-Quran

Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah berkata:

‫ب أبىن رُيبعاَغملرُىو ب‬
‫ك غبغه‬ ‫س غببماَ رُت غ‬
‫ح م‬ ‫بعاَغمغل الوناَ ب‬

Perlakukan orang lain dengan sesuatu yang kau ingin diperlakukan seperti itu.
Bila kau ingin dapat hadiah, seringlah memberi hadiah pada orang lain. Sebaliknya bila kau ingin
disakiti oleh orang lain, sakiti dia. Ungkapan tersebut senada dengan hadis nabi:

(‫ب أبىن رُيىؤبتى إغبلىيغه )رواه مسلم‬ ‫س الوغذي رُي غ‬


‫ح م‬ ‫بوىلبيأى غ‬
‫ت إغبلى الوناَ غ‬

Lakukan pada orang lain sesuatu yang dia suka diperlakukan seperti itu.

Kecenderungan banyak orang, mereka ingin memperoleh pasangan hidup yang sempurna
(cantik/tampan, pandai, setia, kaya dsb). Sementara, tidak banyak yang memperindah dirinya dengan
sifat-sifat sempurna semacam itu. Termasuk hal yang diidamkan oleh mayoritas muslim/muslimah
adalah memiliki istri atau suami yang mahir atau hafal al-Quran. Begitu indah rasanya, apabila dalam
keluarga yang dimotori oleh suami atau istri, ada gema lantunan ayat suci al-Quran yang tak pernah
putus. Dengan demikian, suasana rumah akan terasa sejuk penuh aura kedamaian dan bertebarkan
cahaya qurani.

Rumah sebagai sebuah lembaga informal untuk mendidik putra putri yang salih shalihah dan akan
sukses, manakala anak-anak meneladani hal-hal baik yang dilakukan orangtuanya. Dari sini, banyak
contoh yang bisa dipaparkan. Keluarga alm. KH. Amir Singosari Malang, enam anaknya hafal al-
Quran, kel. Drs. Mutammimul Ula di Bekasi, 10 anaknya hafal al-Quran dll.

Hanya saja, sebaiknya ketergantungan kita dengan orang lain dihilangkan. Daripada mengharap
pasangan kita yang ideal, lebih baik mengidealkan diri kita sendiri. Daripada bermimpi mendapatkan
jodoh penghafal al-Quran yang susah terrealisasi, lebih baik kita sendiri menjadi penghafal al-Quran,
why not? Alih-alih mengharap dan mencari, kita malah diharap dan dicari orang lain, insyaallah.

9. Begitu indahnya, jika kita membesarkan anak-anak kita dengan gema dan aura al-Quran

Mereka yang hari ini sukses, jadi orang besar, jadi orang baik, pasti mereka dididik dengan pola asuh
yang benar. Mereka pernah kecil, mengalami masa kanak-kanak yang indah dan menyenangkan. Kita
semua juga ingin anak-anak kita hidup demikian.

Tentu, dimulai dari orang tuanya. Sapu yang bersih akan dengan mudah membersihkan tempat kotor.
Sapu yang kotor malah mengotori tempat bersih. Orangtua yang hafal al-Quran berpotensi
menciptakan generasi yang hafal al-Quran juga. Di saat anak-anak masih tidur menjelang tiba waktu
Subuh, kita bangunkan mereka dengan nada-nada al-Quran. Konon, alam bawah sadar anak (otak
pada gelombang teta) akan terus merekam suara-suara luar meski mereka terlelap tidur.
Meninabobokkan bayi, sembari memperdengarkan alunan kalam ilahi, sungguh memberikan energi
positif yang luar biasa.

Demikian juga, ketika mengantar dan menjemput anak sekolah, tak henti-hentinya orang tua
memandu hafalan anak. Lebih-lebih lagi, waktu anak-anak sakit selalu dibacakan doa-doa dan ayat
al-Quran untuk memohon kesembuhan mereka. Berkunjung ke makam famili dan orang sholih, kita
ajari mereka mendoakan dan membacakan al-Quran serta pada even-even penting lainnya.

10. Suatu ketika, kita pasti menjadi dewasa lalu tua, apa kegiatan kita di saat-saat menyongsong ajal
tersebut?

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa masa tua adalah masa dimana orang rentan terhinggap banyak
penyakit, semua organ tubuh sudah berkurang fungsi dan powernya. Mata sudah mulai kabur,
pendengaran juga tidak setajam dahulu. Mungkin pada usia itu, kita sudah pensiun dari pekerjaan,
rumah sudah bagus, harta melimpah, sehingga tidak lagi membutuhkan aktivitas kerja lagi. Dalam
kondisi seperti ini, apakah Anda betah berjam-jam duduk di depan televisi saja atau hanya jalan-jalan
ringan mengelilingi rumah, meski harta melimpah. Lalu mana aktivitas ibadahnya?

Seusai shalat wajib di masjid tentu berdzikir lalu pulang ke rumah begitu seterusnya. Mau baca al-
Quran mata tidak lagi jelas, apalagi menghafal. Relakah masa tua kita hanya seperti itu? Tidakkah kita
ingin setiap hembusan nafas yang keluar dari mulut kita adalah untaian kalimat al-Quran. Setiap
detakan jantung bernilai sepuluh kebaikan lantaran satu huruf al-Quran yang kita baca. Siang dan
malam hari, juz demi juz terdendangkan dengan merdu. Semua itu mustahil terjadi apabila
seseorang tidak hafal al-Quran. Meski mata tak mampu melihat lekukan huruf-huruf al-Quran, tetapi
hati sangat tajam dan pikiran terus bersinar, mampu menangkap lafadz dan makna al-Quran.
Keistiqamahan semacam ini insyaallah menjamin kita untuk menghembuskan nafas terakhir dengan
khusnul khatimah, amin.

Rasulullah saw menganjurkan agar “kepulangan kita” kelak kepada Allah dalam kondisi membawa al-
Quran, beliau bersabda:

‫ا غببشىيِلء أبىف ب‬
(‫ضرُل غموماَ بخبربج غمىنرُه بيىعغنىيِ اىلقرُىرآْبن )رواه الحاَكم عن أبيِ ذر الغفاَري‬ ‫إونرُكىم لب رُتىربجرُعىوبن إلبى غ‬

Sesungguhnya kalian tidak dikembalikan kepada Allah dengan membawa sesuatu yang lebih utama
dibanding sesuatu yang keluar dari Allah yaitu al-Quran.
11. Maukah “rapot merah” amal kita “dikatrol” oleh al-Quran?

‫(اىقبررُءوا اىلقرُىرآْبن بفإغونرُه بيأىغتى بيىوبم اىلغقبياَبمغة بشغفياعاَ لب ى‬


‫صبحاَغبه )رواه مسلم عن أبيِ أماَمة‬

Bacalah al-Quran, niscaya dia kan datang pada hari kiamat sebagai penolong pembacanya.

Hadis ini memberikan garansi kepada para pembaca al-Quran atau orang yang mendalami al-Quran.
Garansi tersebut cukup melegakkan kita semua, sebagai hamba Allah yang penuh salah dan dosa. Di
hari ketika harta dan tahta tidak lagi mampu menyelamatkan kita dari kobaran api neraka.

Anak dan saudara juga tak kuasa menolong dari dalamnya jurang jahannam, saat itulah al-Quran
datang sebagai syafi’ (penyelamat). Hari itu tak ada yang kita butuhkan melainkan rahmat Allah dan
amal baik yang tulus kita lakukan. Allah memberikan 10 tiket surga kepada penghafal al-Quran yang
juga pengamal isinya, untuk dibagikan pada keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah:

‫ قاَل رسول ا صلى ا عليه و سلم مـبىن بقبرأب اىلقرُىرآْبن بواىسبتىظبهبرهرُ بفأ ببحول بحبلبلرُه بوبحوربم بحبرابمرُه أىدبخبلرُه ارُ غبغه اىلبجونبة‬: ‫عليِ بن أبيِ طاَلب قاَل‬
(‫ت بلرُه الوناَرُر )رواه الترمذي‬ ‫بوبشوفبعرُه غفىيِ بعىشبرلة غمىن أبىهغل ببىيغتغه رُكلتغهىم بوبجبب ى‬

Barang siapa membaca dan menghafal al-Quran lalu menghukumi halal dan haram berdasar al-
Quran, maka Allah akan memasukkannya ke surga dan memberi hak untuk menolong 10 keluarganya
yang telah dipastikan masuk neraka.

12. Betapa inginnya kita selalu berhujjah dengan al-Quran dalam disiplin ilmu apapun

Hampir semua perguruan tinggi Islam di timur tengah mensyaratkan calon mahasiswanya hafal al-
Quran minimal tiga juz untuk jurusan non keislaman dan mahasiswa non Arab, dan 15 juz untuk
jurusan keislaman bagi mahasiswa dari negara-negara Arab. Persyaratan tersebut didasarkan pada
pertimbangan akademis-ilmiyah. Sebagai calon intelektual muslim, mahasiswa muslim diharapkan
mampu mengkolaborasikan ilmu umum dengan ilmu agama dan mensinergikan ayat qur’aniyyah
dengan ayat kauniyyah.

Faktor inilah yang menambah tingkat urgensi hafalan. Orang yang hafal sangat berpotensi untuk
paham arti kandungannya. Mereka yang hafal dan paham, berpotensi memiliki kapasitas dalam
melakukan istinbath hukum serta proses istidlal secara cepat dan akurat.
Al-Quran menopang disiplin ilmu apapun. Ayat-ayat yang terkait ilmu-ilmu sosial, budaya, seni,
sangat melimpah dalam al-Quran. Kita mendambakkan sosok seperti al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina,
mereka jadi orang jenius dan kapabel dalam bidangnya masing-masing setelah menghafal al-Quran.
Al-Quran yang telah terpatri dalam diri mereka, mampu menginspirasi untuk memunculkan karya
monumental mereka yang abadi hingga kini. Dalam otak dan jiwa mereka seakan terdapat
ensiklopedia besar nan lengkap. Ia siap diartikulasikan kapan saja, di mana saja dan dalam bidang
apapun. Terlebih lagi untuk hal-hal yang bersinggungan dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh,
tafsir, hadis dsb.

Mengamati sejarah keilmuan para fuqaha, mufassirin, muhadditsin yang populer, hampir tidak
diketemukan dari mereka, orang yang tidak hafal al-Quran. Bahkan rata-rata mereka hafal al-Quran
di usia anak-anak. Misalnya, Imam Syafii hafal al-Quran di usia 7 tahun.

13. Betapa sejuknya hati, bila Al-Quran menghiasi setiap kegiatan dalam keseharian kita

Kesejukan dan kedamaian hati bisa disebabkan oleh banyak hal. Adakalanya kedamaian hati muncul
karena ketercukupan materi dan keterpenuhan kebutuhan finansial. Bisa juga kedamaian hati itu
datang melalui dzikir dan membaca al-Quran. Sebagaimana firman Allah: Ingatlah dengan mengingat
Allah hati menjadi tenang. Artinya, semakin banyak kita membaca al-Quran, semakin lama pula
tingkat kedamaian yang menyelimuti kita.

Al-Quran bisa dibaca secara fleksibel kapan saja; pagi, siang, sore, petang, malam, tengah malam,
saat senang, saat susah. Demikian juga, ia bisa dibaca dimana saja; di atas sajadah, di atas kasur, di
atas kendaraan, sambil jalan, sambil beraktifitas. Fleksibilitas tersebut hanya dapat dilakukan bila
yang bersangkutan hafal al-Quran secara lancar.

Kehadiran teknologi canggih saat ini sangat membantu meminimalisir kesalahan. Dengan teknologi
audio digital, kita dapat mendengarkan al-Quran secara utuh melalui piranti MP3 portable yang
terhubung dengan earphone mini. Teknologi visual juga tidak kalah canggih, al-Quran sekarang sudah
bisa diinstall dalam perangkat ponsel, Ipad, Iphone maupun Blackberry. Dengan kata lain, hafalan
yang kurang lancar, bukan sebuah kendala, sebab bisa diatasi dengan perangkat canggih tersebut.

14. Yakinlah bahwa Al-Quran akan menolong kita selama kita juga menolong Al-Quran
Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), sekaligus mukjizat nabi Muhammad terbesar. Mengikuti
pesan-pesan yang terdapat dalam al-Quran hakikatnya adalah taat pada Allah dan rasulnya. Ikut
memelihara al-Quran berarti ikut merealisasikan janji Allah dalam al-Quran: Sesungguhnya kamilah
yang menurunkan al-Quran dan kamilah yang menjaganya.

Dalam ayat tersebut, terdapat kata “inna” yang berarti kami, padahal yang dimaksud adalah Allah.
Sebagian mufassir mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah pelibatan manusia dalam rangka
penjagaan Allah terhadap al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hukum menghafal al-Quran itu fardlu
kifayah. Keputusan hukum tersebut diantaranya didasarkan pada ayat di atas.

Hal senada dengan itu, firman Allah: Jika kalian membantu Allah pastilah Allah akan membantu
kalian. Dengan kata lain kalau kalian membantu al-Quran maka al-Quran akan membantu kalian.
Betapa banyak orang yang hidupnya bahagia sejahtera, lantaran mencurahkan perhatiannya untuk
belajar dan mengajarkan al-Quran. Bentuk perjuangan tertinggi dalam membantu al-Quran adalah
menghafalkannya. Untuk itu yakinlah, setelah kita bersusah payah menghafalkan al-Quran kelak
hidup kita akan ditata langsung oleh Allah.

15. Tidak banyak, orang yang mendapatkan fasilitas hidup seperti kita. Apa wujud terima kasih kita?

Rasa syukur yang mendalam atas sebuah nikmat mampu menginspirasi untuk berbuat lebih baik.
Dengan menyadari karunia Allah berupa kemampuan baca al-Quran atau berupa rizki yang cukup,
seseorang pasti ingin mengungkap rasa syukurnya kepada pemberi karunia tersebut, yaitu Allah swt.
Syukur yang hakiki adalah mengarahkan karunia tersebut sesuai dengan yang dikehendaki Allah.

Lalu bagaimana mensyukuri karunianya yang berupa kemampuan baca al-Quran? Sepakat atau tidak
sepakat harus diakui bahwa di sekeliling kita sangat langka orang yang bisa baca al-Quran dengan
baik dan benar. Secara tersirat dapat dipahami bahwa Allah memang memilih diantara hambanya
orang-orang yang dititipi al-Quran. Orang pilihan pastilah orang yang terpercaya. Orang yang
terpercaya pastilah ia orang yang terbaik. Allah berfirman:

‫ضرُل اىلبكغبيرُر‬
‫ك رُهبو اىلبف ى‬ ‫ت غبإغىذغن و‬
‫اغ بذلغ ب‬ ‫صمد بوغمىنرُهىم بساَغبمق غباَىلبخىيبرا غ‬
‫صبطبفىيبناَ غمىن غعبباَغدبناَ بفغمىنرُهىم بظاَلغمم لتبنىفغسغه بوغمىنرُهم ممىقبت غ‬ ‫رُثوم أبىوبرىثبناَ اىلغكبتاَ ب‬
‫ب الوغذيبن ا ى‬
٣٢:‫﴾﴿فاَطر‬

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Adapun bentuk rasa syukur tersebut adalah memperbanyak membaca atau menghafalkannya atau
memahami isi kandungannya atau melakukan ketiganya. Orang yang diberikan kemampuan
membaca dengan baik, hakikatnya dia baru diberi media untuk menjadi orang baik. Sama halnya
orang yang diberi kail untuk memancing atau pisau untuk memotong. Kail dan pisau tersebut oleh si
pemberi bukan untuk hiasan. Si pemberi sebetulnya sedang menanti kapan kail dan pisau tersebut
dipakai. Si pemberi akan merasa puas apabila kedua alat tersebut benar-benar telah dipakai untuk
kebaikan. Demikian juga kemampuan baca al-Quran, ia hanya sebuah media (wasilah), sementara
tujuan diberikannya karunia tersebut adalah dengan membaca sebanyak-banyaknya,
menghafalkannya, dan memahami kandungannya.

16. Mulailah dari nol, karena ia pengganda setiap bilangan. Mulailah dari niat, karena ia menjadi
penentu setiap sukses.

Banyak orang mendambakan suatu cita-cita dan memimpikan cita-cita tersebut tergapai dengan
mudah tanpa pengorbanan. Tak terhitung mereka yang kagum dengan para penghafal al-Quran. Tak
terhitung pula mereka berkeinginan untuk menjadi penghafal al-Quran. Hanya saja tidak banyak dari
mereka yang menindaklanjuti keinginan tersebut dalam bentuk aksi nyata. Terkait dengan fenomena
ini Ibn Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan:

‫ك اىلبعبواغئبد‬ ‫ك اىلبعبواغئرُد بوأبىن ب‬


‫ت بلـىم بتىخغرىق غمىن بنىفغس ب‬ ‫ف بتىخغررُق بل ب‬
‫بكىي ب‬

Bagaimana mungkin engkau mendapatkan keluarbiasaan (khoriqul adah) kalau engkau tidak
mengeluarkan dirimu dari kebiasaan

Setiap kesuksesan pasti diawali dari sebuah perjuangan dan pengorbanan. Setiap perjuangan dalam
meraih kesuksesan pastilah akan berhadapan dengan sekian banyak rintangan. Bukankah dalam
agama sendiri -menurut al-Quran- terdapat banyak jalan mendaki (aqabah)? Dan Allah menjanjikan
surga bagi orang yang melewati aqabah terbut.

Bila Anda sekarang ini memiliki keinginan untuk menghafal al-Quran, syukurilah itu karena ia adalah
obor yang membantu kita melewati gelapnya lorong panjang menuju taman surgawi yang abadi.
Jangan pernah rasa cinta dan motivasi tersebut redup dan memudar lalu padam. Pelihara obor itu
agar lebih terang dan semakin terang. Obor yang padam akan susah menyala kembali. Obor yang
padam tidak dapat dipastikan kapan ia menyala kembali dan tidak ada jaminan untuk menyala
kembali.
Untuk itu mulailah dari sekarang, jangan pernah menunda kesempatan emas karena ia tidak akan
pernah datang untuk kedua kalinya. Mulailah selalu dengan niat dan komitmen tinggi. Niat laksana
angka nol yang menggandakan jumlah bilangan. Tanpa angka nol, tidak mungkin ada angka sepuluh,
seratus, seribu dan seterusnya. Sebagaimana juga tidak mungkin ada urutan ke sepuluh tanpa
dimulai dari urutan pertama. Artinya untuk mengejar cita-cita suci, perlu sebuah niat dan komitmen
yang mantap, baru setelah itu memulai tahap I, tahap terendah yang mesti dilalui.

Mustahil, bila ada orang hafal al-Quran 30 juz secara instan, alias bim salabim, dalam hitungan hari.
Jangan bermimpi berlebihan bahwa Anda bisa hafal al-Quran melalui jalan ladunni (pemberian
langsung dari Allah), sehingga waktu habis untuk mencari wirid kesana kemari dan mengamalkannya
berbulan-bulan, sementara kegiatan menghafalnya tidak ada sama sekali. Imam Ar-Raghib Assirjani
pernah mengatakan:

(ِ‫حىفغظغه بفلب بيىببقى غفيِ الوذاغكبرغة إلو بقلغىيلا )الراغب السرجاَني‬


‫بماَ لبىم بيىبرُذىل رُجىهادا غفيِ غ‬

Barang siapa yang tidak mengerahkan sekuat tenaga untuk menghafal, maka tidak akan tersisa di
otaknya kecuali hanya sedikit.

Saya bersama rombongan JQH (Jamiyyah Qurro’ wal Huffadz, kini bernama HTQ) Universitas Islam
Negeri Malang tahun 2006 berkunjung ke beberapa pesantren di daerah Mojokerto dan Jombang.
Dalam kunjungan tersebut, kami sempat menanyakan perihal wirid/doa yang mempercepat hafalan.
Tak satupun dari para masyayikh yang kami kunjungi memberikan ijazah doa/wirid. Sebaliknya
mereka justru mengatakan bahwa doa yang paling mustajab adalah al-Quran itu sendiri. Mereka
lebih menekankan pada para santri yang sedang menghafal untuk fokus hafalan secara istiqomah dan
menjauhi wirid-wirid khusus yang panjang. Pepatah Arab mengatakan:

‫ضرُة اىلبيىوغم بخىيمر غمىن بدجاَ ببجغة اىلبغغد‬


‫ببىي ب‬

Lebih baik mengharap telur yang ada di hari ini dari pada mengharap ayam tapi masih besok adanya

17. Akankah kita menyerah sebelum pertandingan benar-benar selesai?

Tiap orang memiliki daya tahan (endurence) dan fokus yang berbeda-beda dalam menghafal,
sehingga tidak jarang para santri itu berhenti di tengah perjalanan alias belum tuntas 30 juz, kendati
banyak juga yang selesai tuntas. Terkadang ketidaktuntasan tersebut dipengaruhi oleh faktor
eksternal, misalnya lingkungan menghafal yang kurang kondusif dan lemahnya dukungan keluarga.
Bisa juga masalah muncul dari lemahnya motivasi internal.

Sejak awal, mestinya santri atau mahasiswa mengidentifikasi kemampuan dirinya. Apakah dia
memiliki daya tahan dan fokus yang kuat? Apa dia juga memiliki motivasi yang tinggi? Proses
identifikasi tersebut dilakukan dengan cara menghafal juz 30 terlebih dahulu. Juz 30 atau yang lebih
dikenal dengan juz ‘amma memiliki karakteristik ayat dan surat yang pendek-pendek. Tentu dengan
karakteristik seperti ini, juz 30 menjadi lebih mudah dihafal dibanding juz-juz lain dalam al-Quran.
Dengan kemudahan tersebut, seorang santri akan mampu meraba sendiri kemampuan
menghafalnya. Kalaupun dia terhenti di tengah jalan, tidak akan sia-sia. Sebab, suratnya pendek-
pendek dan banyak berguna untuk menjadi imam shalat, minimal efektif untuk dijadikan wirid atau
bacaan rutin harian.

Ibarat bangunan rumah, bangunan yang sudah lengkap; ada dinding, pagar serta atap, ia akan
bertahan lama meski tidak dihuni dan tidak terawat. Demikian juga hafalan. Ketika seseorang
menghafal satu surat secara utuh, biasanya akan awet atau tahan lama, meski lama tidak dibaca.
Resikonya menghafal juz 1 pada tahap awal akan mudah hilang seandainya terhenti di pertengahan
juz.

18. Dengarlah rintihan orang yang ingin menghafal, namun tidak tercapai

Diakui ataupun tidak, menghafal al-Quran itu bagi umumnya kaum muslimin maupun muslimat
merupakan naluri. Ia akan muncul dan tenggelam sesuai lingkungan dan situasi yang melingkupinya.
Naluri itu kadang menjelma menjadi sebuah cita-cita dan harapan, layaknya kekayaan, jabatan dan
popularitas. Cita-cita tersebut akan berubah menjadi menyakitkan manakala tidak tercapai.

Beberapa teman yang dulu ingin menghafal, rata-rata mereka menyesali kenapa keinginan tersebut
dulu tidak direalisasikan dalam wujud usaha. Lebih-lebih, mereka yang pernah menghafal dan belum
tuntas, atau pernah hafal namun kini pergi entah ke mana, seumur hidup mereka akan diliputi
rintihan dan penyesalan. Mereka seakan hidup dalam fatamorgana yang tiada henti dan pengandaian
yang tak berujung; seandainya dulu saya begini dan begitu, niscaya saya akan seperti mereka yang
sukses menghafal.

Sebelum kita merasakan pahitnya penyesalan, mari optimalkan potensi dan maksimalkan ikhtiyar.
Tentu perjuangan di awal itu beratnya luar biasa. Penyesalan selalu berada di akhir cerita dan tak
akan pernah muncul di awalnya. Demikian pula, indahnya kesuksesan itu hanya bisa dinikmati di
akhir masa penantian panjang. Kata pepatah: berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian,
bersusah-susah dahulu lalu bersenang-senang kemudian.
19. Jangan tunda, hidup ini selalu dipenuhi dengan kata “ternyata” dan “tiba-tiba”

Waktu ini kadang menyerupai fatamorgana. Dari jauh kelihatan indah, seakan kita masih memiliki
kesempatan 1000 tahun yang tiap detiknya bisa diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun,
ternyata waktu yang kita miliki begitu singkat dan sesak dengan berbagai kesibukan harian yang
teknis. Fatamorgana di atas akan meninabobokkan setiap orang, terlebih jika ingin melakukan
kegiatan besar yang positif. Itulah ujian tiap orang yang ingin sukses.

Saat menghafal al-Quran, mahasiswa kadang begitu santai dalam melangkah. Alasan mereka, nanti
saja kalau perkuliahan agak sedikit longgar, tugas kuliah terselesaikan semua, atau nanti saja kalau
liburan panjang datang, akan menghafal sebanyak-banyaknya bila mungkin akan “bertapa” demi
menyelesaikan hafalan. Sikap “taswif” (menunda-nunda) ini merupakan penyakit menular yang
sangat ganas, serta penyebab utama dari setiap kegagalan menghafal.

Harus disadari, bahwa waktu kita secara matematis masih terbentang luas, sebenarnya hanyalah
waktu bayangan bukan waktu yang sebenarnya. Misalnya; pada hari Minggu besok saya tidak ada
kegiatan mulai pagi sampai malam sehingga jadwal menghafal hari Sabtu ini ditunda dulu lantaran
agak sibuk. Marilah ditelaah contoh kasus penundaan di atas. Manusia oleh Allah tidak diberi
kemampuan untuk mengetahui takdir di esok hari. Kita semestinya tidak mengandalkan waktu yang
belum muncul di hari ini. Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi di esok hari, diantaranya:

a. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada teman sakit yang butuh pertolongan kita

b. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba tubuh kita meriang/sakit

c. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada kabar kurang baik dari keluarga yang membuat kita
susah

d. Pada pagi hari tiba-tiba ingin berolah raga atau main musik

e. Pada pagi hari, tiba-tiba ingin masak bersama teman atau mencuci baju

f. Pada siang hari, tiba-tiba ada acara televisi yang sangat bagus
g. Pada siang hari, tiba-tiba teman akrab lama datang

h. Pada siang hari, tiba-tiba ingin posting facebook atau menjawab email

i. Pada sore hari, tiba-tiba ingin bersih-bersih ruangan dan taman

j. Pada sore hari, tiba-tiba HP/komputer kita bermasalah yang butuh penanganan segera

k. Pada sore hari, tiba-tiba motor kita ditilang oleh polisi

l. Pada sore hari, tiba-tiba tetangga kita meninggal dunia

m. Pada sore hari tiba-tiba ingin cari makan yang enak

n. Pada sore hari tiba-tiba muncul rasa malas atas terkantuk ingin tidur

Dan masih ada ratusan kemungkinan lain yang menggagalkan kita untuk melakukan kegiatan di hari
itu. Masihkah kita suka menunda?

20. Mimpikan kebaikan agar jadi kenyataan, nyatakan kebaikan agar jadi mimpi indah

Hampir setiap orang memiliki “mimpi” dan cita-cita untuk menjadi sesuatu atau memiliki sesuatu.
Namun, kondisi fisik, psikologis, sosial kerapkali menenggelamkan mimpi itu. Sebetulnya orang yang
memiliki “mimpi sukses” itu tergolong orang yang hebat, sebab tidak semua orang punya mimpi.
Mimpi itu termasuk ingin hafal al-Quran. Anugerah Allah yang berupa “mimpi untuk hafal al-Quran”
jangan pernah disia-siakan. Lakukan penguatan “mimpi” tersebut agar menjadi motivasi kuat dengan
banyak membaca kisah-kisah para pengahafal al-Quran serta hikmah-hikmah menghafal.

Dengan demikian, motivasi menjadi kuat dan bisa menggerakkan anggota tubuh untuk
meralisasikannya menjadi kenyataan. Disini diperlukan metode dan strategi, supaya mimpi itu tidak
dibelokkan menjadi angan-angan hampa belaka. Yakinlah setelah mimpi itu terwujud, tentu hari-hari
kita begitu indah bersama al-Quran bagaikan mimpi yang membuai angan dan memanjakan
khayalan.

21. Awali dari diri sendiri, kalau kita mendambakan sebuah keluarga “Qur’ani”

Kita tentu tergiur dengan kesuksesan keluarga bapak Mutammimul Ula yang kesepuluh anaknya hafal
al-Quran, atau ingin meniru Abdurrahman Farih dan Husein Thababai yang mana di usia balita
mereka sudah hafal al-Quran. Kita juga ingin rumah selalu bergaung suara al-Quran dari mulut anak-
anak.

Hanya saja, semua harus dimulai dari diri kita (suami, istri, bapak, ibu). Bagaimana mungkin anak-
anak akan mengikuti jejak orangtuanya, sementara orangtua tak memberi contoh pada mereka.
Orangtua yang hafal al-Quran akan dengan mudah mengenalkan dan membiasakan hafalan pada
putra-putrinya di manapun mereka berada. Mungkin setiap berangkat sekolah, anak dituntun untuk
menghafal surat-surat pendek. Pasti tanpa terasa dalam kurun waktu satu tahun saja, anak akan hafal
lebih dari satu juz. Hal ini sulit terrealisasi bila orangtua belum mulai menghafal sejak sekarang.
Memang, orangtua yang punya hafalan itu mendatangkan efek domino yang luas, bukan semata
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain terutama keluarga dekatnya.

B. Manajemen Menghafal al-Quran

Ada fakta bahwa tidak semua orang yang memiliki niat untuk menghafalkan al-Quran mampu
merealisasikan niatnya, juga tidak semua orang yang menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak
semua orang yang hafal 30 juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar dan baik. Demikian juga,
tidak semua hafidz diberikan karunia untuk menjadikan hafalannya sebagai dzikir yang selalu
dilantunkannya secara istiqamah sampai akhir hayatnya. Untuk itu, perlu kiranya seorang mahasiswa
melakukan pengaturan (manajemen) secara sistematis, agar target yang direncanakan bisa tercapai.

1. Manajemen waktu

Pada dasarnya pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal, sangat tergantung kepada kenyamanan
dan kondisi pribadi masing-masing. Akan tetapi dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra, disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
‫ِ بواىسبتغعيرُنوا غباَىلبغىدبوغة بوالورىوبحغة بوبشىيِلء غمبن المدىلبجغة‬،‫ِ بوأبىبغشرُروا‬،‫ِ بفبستدرُدوا بوبقاَغررُبوا‬،‫ِ بوبلىن رُيبشاَود التديبن أببحمد إغول بغبلببرُه‬،‫إغون التديبن رُيىسمر‬

“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia
akan sampai, makanya amalkan agama ini dengan benar, perlahan-lahan, dan berilah kabar gembira,
serta gunakan waktu pagi, siang dan malam (untuk mengerjakannya)” ( HR Bukhari )

Umumnya, orang yang menghafalkan al-Quran di pesantren-pesantren menghabiskan waktu 3-4


tahun dengan program takhashshus (tahfidz intensif/sebagian besar waktunya untuk menghafal).
Sebenarnya, kalau seseorang mampu mengatur waktu dengan baik, pasti akan jauh lebih cepat dari
waktu tersebut. Misalnya, dalam sehari dia menambah hafalan dua halaman, maka dalam kurun
waktu sepuluh bulan (atau max. 12 bulan) sudah tuntas 30 juz. Atau paling tidak, jika perhari
menambah hafalan baru setengah halaman, maka dalam waktu 40 bulan (3 tahun 4 bulan atau max.
4 tahun) bisa tuntas semua. Tentu, dengan syarat setiap waktu terbuang harus diganti atau dirangkap
tanpa kompromi.

Untuk konteks mahasiswa, pengaturan waktu memang lebih rumit dibanding dengan peserta
program takhashshus di pesantren. Mahasiswa memiliki beban ganda yang berat. Terkait dengan
perkuliahan, dia harus mempersiapkan matakuliah setiap hari (min. 1 jam), mengikuti perkuliahan
(rata-rata 4 jam sehari selama 5 hari), mempersiapkan ujian UTS, UAS (min. 2 jam), menyelesaikan
tugas membuat makalah individu atau kelompok (min. 5 jam). Berikut ini gambaran perbandingan
kegiatan harian antara mahasiswa peserta program tahfidz dan mahasiswa non tahfidz:

Tabel 1: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa non Tahfidz dalam 24 Jam

Kegiatan

Alokasi waktu

Prosentase

Persiapan materi kuliah, ujian dsb

2 jam

8,3 %
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb

4 jam

16, 6 %

Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb

1 jam

4,1 %

Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb

2 jam

8,3 %

Istirahat, sholat, makan dsb

3 jam

12,5 %

Tidur

8 jam

33 %

Cuci/setrika baju, membersihkan kamar, kerja bakti dsb


2 jam

8,3 %

Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb

2 jam

8,3 %

Total

24 jam

100 %

Tabel di atas menunjukkan betapa longgarnya waktu mahasiswa untuk belajar, ibadah, santai dan
istirahat. Dengan alokasi seperti ini saja mahasiswa yang komitmen dan konsisten melakukan
kegiatan ilmiah dan diniyah, pasti akan mencapai kesuksesan.

Adapun mereka yang mengambil program tahfidz penuh (30 juz), harus menyisihkan waktunya min. 9
jam perhari dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 2: Durasi Ideal Waktu Mahasiswa Tahfidz

Kegiatan

Durasi

Penambahan hafalan baru 1 hal


1 jam

Pengulangan hafalan baru 1/2 juz

1 jam

Setoran hafalan

2 jam

Pengulangan/murajaah harian 3 juz

2 jam

Latihan fashohah, terjemah, tafsir

1 jam

Total

9 jam

Setelah waktu untuk tahfidz ditambahkan dalam kegiatan harian, maka komposisi waktu kegiatan
menjadi seperti berikut:

Tabel 3: Alokasi Waktu untuk Mahasiswa Tahfidz Setelah Pengurangan

Kegiatan
Alokasi waktu

Prosentase

Persiapan materi kuliah, ujian dsb

1 jam (2-1 jam)

4,1 %

Mengikuti perkuliahan, seminar dsb

2 jam (4-2 jam)

8,3 %

Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb

1 jam

4,1 %

Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb

1 jam (2-1 jam)

4,1 %

Istirahat, sholat, makan dsb

2 jam (3-1 jam)


8,3 %

Tidur

5 jam (8-3 jam)

20,8 %

Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb

2 jam

8,3 %

Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb

1 jam (2-1 jam)

4,1 %

Tahfidz

9 jam

37,5 %

Total

24 jam
100 %

Dari tabel di atas, secara jelas diketahui bahwa mahasiswa yang akan menghafalkan al-Quran penuh
(30 juz) harus siap melakukan riyadlah (latihan lahir batin) dan mujahadah (latihan hidup prihatin)
yang mungkin sangat melelahkan. Tidur yang biasanya memakan waktu 8 jam dalam sehari semalam,
harus dikurangi menjadi 5 jam. Demikian juga semua kegiatan yang sifatnya rekreatif, penyaluran
hobbi semaksimal mungkin dikurangi, apalagi sekadar ngrumpi, ngobrol, cuci mata dan sebagainya,
mutlak harus ditinggalkan. Apabila seorang mahasiswa memiliki tekad kuat untuk menghafal penuh,
maka sebaiknya disusun target secara sistematis sebagaimana contoh di bawah ini:

Contoh target program hafalan 30 juz (dari nol) selama 4 tahun kuliah

Bulan ke

1-2

3-4

5-6

7-8

9-10

11-12

Tahun pertama

(semester 1-2)

Fashahah binnadhar

juz 1-10
Fashahah binnadhar

juz 11-20

Fashahah binnadhar

juz 21-30

Tahfidz Juz 1

Tahfidz Juz 2

Tahfidz Juz 3

Tahun kedua

(semester 3-4)

Tahfidz juz 4-5

Tahfidz juz 6-7

Tahfidz Juz 8-9

Tahfidz Juz 10-11

Tahfidz Juz 12-13

Tahfidz Juz 14-15


Tahun ketiga

(semester 5-6)

Tahfidz Juz 16-17

Tahfidz Juz 18-19

Tahfidz Juz 20-21

Tahfidz Juz 22-23

Tahfidz Juz 24-25

Tahfidz Juz 26-27

Tahun keempat

(semester 7-8)

Tahfidz Juz 28

Tahfidz Juz 29

Tahfidz Juz 30

Murajaah juz 1-10

Murajaah

Juz 11-20
Murajaah juz 21-30

Pada tahun pertama (semester 1 dan 2) biasanya mahasiswa mendapat beban matakuliah yang
banyak (sekitar 24 sks), belum lagi program intensif bahasa dan matrikulasi yang padat, sehingga
dirancang enam bulan pertama (semester 1) mahasiswa hanya latihan fashahah, tajwid, dan tanda
waqaf saja, mulai juz awal sampai khatam, kemudian pada semester kedua mulai menghafal sedikit
demi sedikit, yakni dalam setiap dua bulan ditargetkan satu juz saja.

Pada tahun kedua ditargetkan satu bulan satu juz saja, berarti minimal perhari harus menambah
hafalan satu halaman sehingga dalam waktu 20 hari (dengan asumsi satu juz ada 20 halaman untuk
al-Quran pojok mushaf Madinah atau terbitan menara kudus), sudah genap satu juz dan sisanya
dipakai untuk melancarkan.

Setelah mahasiswa memasuki semester 7-8, biasanya mereka sangat disibukkan oleh program KKN,
PPL, penulisan skripsi. Untuk itu target hafalan dikurangi dari dua menjadi satu juz dalam dua bulan.
Pada enam bulan terakhir pada tahun keempat, terdapat sisa waktu yang cukup untuk
menyelesaikan target atau kalau sudah selesai, mereka harus banyak melakukan murajaah dengan
harapan dalam setiap dua bulan (dari 6 bulan terakhir) mampu melancarkan minimal sepuluh juz
yang telah dihafal. Bisa saja, melakukan pentashihan ke beberapa guru al-Quran di beberapa pondok
pesantren.

Contoh alokasi waktu di atas berlaku juga untuk para penghafal dari kalangan mahasiswi, dengan
asumsi mereka mengikuti pendapat yang membolehkan wanita yang menstruasi membaca al-Quran
seperti Imam Malik dan Imam Ibnu Taimiyah. Namun bagi mereka yang konsisten dengan pendapat
yang mengharamkan membaca al-Quran, perlu ada penyesuaian jadwal dan perbedaannya tidak
terlalu signifikan, misalnya dari target 2 juz perbulan dirubah menjadi 1,5 juz. Bisa juga target
akhirnya sama yaitu selesai dalam waktu 4 tahun, hanya saja jumlah penambahan hafalan harian di
tambah, dari satu halaman perhari menjadi 1,5 halaman. Intinya perencanaan itu penting untuk
mengawal dan mengarahkan usaha kita agar sesuai cita-cita dan tujuan.

Adapun waktu yang sangat tepat untuk melakukan murajaah (pengulangan) hafalan adalah waktu di
sela-sela mengerjakan shalat–shalat sunnah, baik di masjid maupun di kamar ma’had/kos. Hal ini
dikarenakan saat shalat seseorang fokus menghadap Allah, inilah yang membantu kita dalam
melancarkan hafalan. Berbeda ketika di luar shalat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam
satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang matanya melihat ke kanan atau kiri, atau akan melihat
obyek yang dianggap menarik, atau bahkan mungkin seseorang akan menghampirinya dan
mengajaknya ngobrol. Berbeda dengan orang yang sedang shalat, temannya yang punya kepentingan
kepadanya-pun terpaksa harus menunggu hingga shalat usai dan tidak berani mendekat.

Target dan Beban Menghafal


Target selesai Waktu Menghafal Waktu Melancarkan Hafalan perhari Murajaah perhari

1 tahun 300 hari 65 hari 30 baris (2 halaman) min 5 juz

2 tahun 600 hari 130 hari 15 baris (1 halaman) min 2 juz

3 tahun 900 hari 195 hari 10 baris (2/3 halaman) min 1,5 juz

4 tahun 1200 hari 260 hari 7.5 (1/5 halaman) min 1 juz

5 tahun 1500 hari 325 hari 6 baris min 1 juz

6 tahun 1800 hari 65 hari 5 baris (1/3 halaman) min 1 juz

2. Manajemen strategi/metode

Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al-Quran, Masing-masing
orang akan mengambil metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Di sini akan disebutkan
dua metode yang sering dipakai oleh sebagian penghafal, dan terbukti sangat efektif, yaitu:

Metode Pertama: Menghafal satu persatu halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara
Kudus). Kita membaca satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga atau lima kali, setelah itu kita
baru mulai menghafal. Setelah hafal satu halaman, baru kita pindah kepada halaman berikutnya
dengan cara yang sama. Dan hindari pindah ke halaman berikutnya dalam kondisi hafalan yang labil
(belum kuat), agar beban hafalan baru tidak menumpuk.

Metode Kedua : Menghafal ayat per ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau
lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke
ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begitu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi
sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat
sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan
pada metode pertama.

Untuk menunjang kualitas bacaan dan hafalan, kita melakukan tasmi’(memperdengarkan) kepada
seorang ustadz Al-Quran, agar beliaau membenarkan bacaan kita yang salah. Ini dimaksudkan untuk
meminimalisir kesalahan yang timbul.

Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan seluruh panca indera yang kita miliki.
Maksudnya kita menghafal bukan hanya dengan mata saja, akan tetapi juga membaca dengan mulut
kita, dan kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan tulis, sebagaimana
yang diterapkan di sebagian daerah di Maroko, yakni dengan menuliskan hafalan di atas papan kecil
yang dipegang oleh murid, setelah mereka menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci
dengan air.

Menggunakan satu jenis mushaf Al-Quran juga dapat menguatkan hafalan. Jangan sekali-kali pindah
dari satu jenis mushaf kepada yang lain. Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita lihat.
Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini,
sudah dihimbau oleh penyair dalam tulisannya :

ِ‫ك اىلبباَغقىي‬
‫ف رُعىمغر ب‬ ‫ظ بقىببل اىل رُرُذغن بماَ رُتىب غ‬
‫صرُر بفاَىخبتىر لغبنىفغس ب‬
‫ك رُم ى‬
‫صبح ب‬ ُ‫اىلبعىيرُن بتىحبف ر‬

“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga, maka pilihlah satu mushaf untuk anda
selama hidupmu. “

Ada beberapa model penulisan mushaf, di antaranya adalah: Mushaf Madinah atau terkenal dengan
Al-Quran pojok, satu juz dari mushaf ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap
halaman dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah (Mushaf Pojok) ini paling banyak dipakai oleh
para pengahafal Al-Quran, banyak dibagi-bagikan oleh pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji.
Cetakan-cetakan Al-Quran sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Untuk penerbit
Indonesia, ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren tahfidh Al-Quran yaitu
terbitan Menara Kudus.

Faktor lain yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih).
Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih), hafalannya
cendeung tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat yang ada di juz lima misalnya akan
terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang semestinya ada di surat Al-Ma-idah akan terbawa ke surat Al-
Baqarah, dan begitu seterusnya. Di bawah ini ada beberapa contoh ayat-ayat serupa (mutasyabihah)
yang seseorang sering melakukan kesalahan ketika menghafalnya :

‫ بوبماَ أ رُغهول غبغه لغبغىيغر و غ‬è ﴿‫ا غبغه‬


1- (173 ‫ا﴾ البقرة‬ ‫ )بوبماَ أ رُغهول لغبغىيغر و غ‬115 ‫ِ و النحل‬،145 ‫ِ والنعاَم‬، 3 ‫الماَئدة‬

2- (‫اغ بوبيىقرُترُلوبن الونغبتيين بغير الحق‬ ‫ك غبأ بونرُهىم بكاَرُنوا بيىكفرُرُروبن غبآِبياَ غ‬
‫ت و‬ ‫ )ذلغ ب‬21 ‫ِ آْل عمران‬،61 ‫ البقرة‬è (‫آْل )بوبيىقرُترُلوبن النبياَء بغير حق‬
112 ‫عمرن‬.

Untuk melihat ayat–ayat mutasyabihat seperti ini secara lebih lengkap boleh dirujuk buku–buku
Mutasyabihat Al-Quran, karya Abul Husain bin Al Munady,Pedoman Ayat Mutasyabihat, karya KH.
Mustain Syafi’i dll.

3. Manajemen istiqamah
Setelah Al-Quran dihafal secara penuh (30 juz), seringkali seorang hafidz disibukkan oleh studinya,
kegiatan rumah tangga atau sibuk dengan pekerjaan, sehingga kerap kali Al-Qur’an yang sudah
dihafalnya beberapa tahun, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Yang terpenting dalam hal ini
bukanlah menghafal, karena banyak orang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang sangat
singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita melestarikan hafalan tersebut agar
tetap terus ada dalam dada kita.

Sering diungkapkan bahwa tugas seorang hafidz adalah menjaga hafalan. Istilah “menjaga hafalan”
ini sebenarnya cenderung negatif, sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu tugasnya seperti
petugas security (Satpam) yang hanya menjaga dan tidak menikmati apa yang dijaganya. Bayangan
yang muncul di benak masyarakat umum, bahwa menghafal al-Quran itu identik dengan menambah
beban hidup menjadi lebih berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan “melestarikan hafalan
atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai sarana hiburan
diri.

Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin
pada awalnya saja. Karena, untuk melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah
yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara
untuk menjaga hafalan Al-Quran, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya.

Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam shalat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah
meninggalkan shalat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar
terasa lebih ringan, hendaknya setiap shalat dibagi menjadi dua bagian, sebelum shalat dan
sesudahnya. Misalnya, sebelum shalat: sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila
dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum azan agar waktu untuk
mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah shalat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da
shalat atau dzikir pagi pada shalat shubuh dan setelah dzikir selepas shalat Asar. Seandainya saja, ia
mampu mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak seperempat juz dan sesudah shalat
seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia boleh mengulangi hafalannya sebanyak dua juz
setengah.

Dengan model istiqamah seperti ini, bisa jadi seseorang mampu mengkhatamkan hafalannya setiap
dua belas hari sekali, tanpa menyita waktunya sedikitpun. Kalau dia mampu menyempurnakan
setengah juz setiap hari pada shalat malam atau shalat-shalat sunnah lainnya, berarti dia bisa
menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan mampu mengkhatamkan Al-Quran pada setiap sepuluh
hari sekali. Banyak para ulama terdahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali.
Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam hari saja, yaitu ketika ia mengerjakan
shalat tahajjud. Biasanya dia menghabiskan shalat tahajjudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu,
selama dua jam itu berapa juz yang ia sanggup baca. Menurut ukuran umum, hafalan yang lancar,
bisa menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti, selama dua jam dia boleh
menyelesaikan dua sampai tiga juz, dengan dikurangi waktu sujud, ruku, dan duduk tasyahhud.
Ada juga sebagian orang yang mengulangi hafalannya dengan cara masuk dalam majlis para
penghafal Al-Quran. Kalau majlis tersebut diadakan setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib
mendengarkan hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta mampu
mengkhatamkan Al-Quran setiap lima belas hari sekali.

4. Manajemen tempat

Tempat yang kondusif akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kesuksesan menghafal.
Mereka yang tinggal di lingkungan yang acuh tak acuh atau bahkan anti mendengar lantunan al-
Quran, akan merasa canggung untuk menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka yang tinggal di
pesantren khusus tahfidz, akan merasakan sebuah lingkungan yang kondusif, mau menghafal kapan
saja dan di mana saja dan dengan cara apapun, dan hal itu tidak ada problem.

Secara umum, tempat yang paling kondusif untuk menghafal adalah masjid. Namun, kadang masing-
masing orang memiliki selera dan tingkat kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan alternatif
tempat lain yang sunyi, seperti: di sawah, sungai, pesisir, makam, terutama makam ulama-ulama
terkenal, seperti makam syeikh Hasyim Asyari Jombang yang sering dipakai tempat menghafal oleh
santri-santri Pesantren “Madrasatul al-Quran”.

Bagi seseorang yang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi soal. Sebab, ia bisa melakukan
murajaah di manapun; di atas pesawat terbang, motor, mobil atau di tempat keramaian sekalipun.
Terutama, saat mushaf al-Quran sudah dapat dimasukkan ke ponsel (HP), dengan begitu tidak ada
lagi rasa “sungkan” membawa dan membaca al-Quran di tengah kerumunan massa. Tentu, itu
dilakukan dengan suara pelan yang tidak mengusik atau menyita perhatian orang lain.

C. Meluruskan 10 Mitos Seputar Menghafal al-Quran

Setiap orang yang mau menghafal al-Quran pasti akan dihantui mitos (keyakinan tak berdasar),
sebelum melangkah. Mitos tersebut kadang berdampak pada melemahnya motivasi atau harapan
yang berlebihan usai hafal al-Quran nantinya. Sering terjadi, ketika anak minta izin pada orangtuanya
untuk mulai menghafal al-Quran, orang tua melarang atau tidak merestuinya akibat perspektif yang
salah tentang dunia hafalan.

Jadi mitos itu bisa meruntuhkan mental diri sendiri dan juga mampu meruntuhkan mental orang lain.
Kedua dampak tersebut sama-sama merugikan mereka yang akan menghafal. Anehnya, mitos
tersebut justru muncul dari orang yang belum memiliki pengalaman menghafal sama sekali. Dengan
kata lain, mereka telah menyesatkan orang lain akibat ketidaktahuan mereka. Berikut ini mitos-mitos
yang harus diluruskan.

1. Menghafal itu banyak cobaan dan godaan

Konon, cobaan orang yang menghafal al-Quran itu banyak, seperti mengidap penyakit, gangguan
lingkungan, musibah keluarga. Sebenarnya sering sekali orang yang sedang menghafalkan al-Quran
itu jatuh sakit, tetapi itu lebih diakibatkan faktor eksternal. Mungkin saja kurang olahraga, sedikit
gerak, makan tidak teratur menjadi penyebabnya. Jadi, jangan dikaitkan penyakit yang menimpa
dengan proses menghafal.

Bila terpaksa kita harus mencari-cari korelasi antara penyakit dengan hafalan, maka akan terjadi
lompatan berpikir dan rekayasa logika yang panjang. Misalnya: “Orang yang menghafal
menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk. Duduk dalam jangka waktu lama akan
mengendapkan lemak dan melambatkan sirkulasi darah. Darah yang terhambat berdampak pada
lemahnya fungsi syaraf dan motorik organ. Lemahnya fungsi syaraf mengakibatkan konsentrasi
berkurang dan sering pusing. Pusing dalam kurun waktu lama akan mengakibatkan instabilitas kinerja
organ lainnya. Inilah yang disebut sakit.” Jika logika itu yang dipakai, maka aktifitas apapun
berpotensi datangnya penyakit.

Tak kalah dahsyatnya, konon penghafal al-Quran itu selalu mendapat godaan dari lawan jenis dan
maksiat lainnya, terutama saat menghafal surat an-Nisa (wanita). Ini juga mitos yang sama sekali tak
berdasar. Pengalaman banyak penghafal al-Quran ternyata tidak mengalami kejadian itu. Seandainya
fakta itu ada, kemungkinan besar orang yang bersangkutan telah membawa benih-benih asmara itu
sebelum mulai menghafal. Akibatnya, kejenuhan menghafal atau akumulasi keteledoran
menjadikannya mencari selingan aktifitas lain sebagai pelarian dan pelampiasan. Menyatukan dua
fokus (bercinta dengan menghafal) jelas sangat sulit dan memunculkan masalah baru, yaitu asmara
amburadul, hafalan juga hancur. Semakin amburadul, semakin seseorang mencari pelampiasan yang
lebih dalam lagi.

2. Jangan menghafal, kalau lupa, dosanya besar

Konon pengahafal al-Quran itu dosanya besar, bila melupakan ayat yang pernah dihafalnya. Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Anas bin Malik:

َ‫ِ بفلبىم أببر بذىناباَ أبىعبظبم غمىن رُسوبرلة غمبن القرُىرآْغن أبىو آْبيلة رُأوغتيبهاَ بررُجمل رُثوم بنغسبيبها‬،ِ‫ب أ رُومغتي‬
ُ‫ت بعلبويِ رُذرُنو ر‬
‫ض ى‬
‫بورُعغر ب‬
Saya diperlihatkan dosa umatku, maka saya tidak melihat dosa yang lebih besar dibanding dengan
surat dan ayat dari al-Quran yang dihafal oleh seseorang lalu ia melupakannya.

Hadis ini menurut al-Albani tergolong dlaif, sehingga dia tidak bisa dijadikan pegangan untuk
landasan hukum (halal dan haram). Meski demikian, hadis tersebut masih dapat digunakan untuk
motivasi kebaikan (fadlail a’mal). Hadis ini ditujukan tidak hanya pada mereka yang hafal 30 juz saja,
tetapi mereka yang hafal satu surat pendek pun, bahkan satu ayatpun kena, apabila pada akhirnya
hafalan tersebut dilupakan. Dahulu ketika masih belajar di TPQ atau MI, MTs begitu banyak pelajar
yang hafalan ayat atau surat, sebagai persyaratan kelulusan atau penunjang nilai, bila kini ternyata
hafalan itu banyak yang menguap (tidak hafal lagi), ia juga menjadi sasaran (khitab) dari hadis
tersebut.

Hanya saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Lupa telah menjadi ciri dari makhluk Allah yang
bernama manusia. Pertanyaan adalah lupa yang seperti apa yang dianggap dosa besar itu?
Adakalanya lupa disengaja, adakalanya juga tidak disengaja. Disengaja artinya melakukan suatu
kecerobohan/kesembronoan secara sadar lalu berdampak pada hilangnya ayat/surat dari al-Quran.
Tidak disengaja artinya segala upaya untuk melanggengkan hafalan telah dilakukan secara kontinyu,
namun masih ada saja huruf yang kurang, kata yang tak terbaca atau bahkan terlewatinya satu ayat
al-Quran tanpa ada kesengajaan. Jelas kesalahan karena faktor ketidaksengajaan itu akan diampuni
oleh Allah, karena di luar kekuatan manusia. Mustahil dijumpai di dunia ini, selain Rasulullah, orang
yang menghafal 30 juz tanpa salah/lupa sama sekali. Sementara orang yang sembrono, mungkin
dalam waktu sekian bulan tidak memurajaah hafalannya, jelas ini sama halnya menghina Allah. Sang
pencipta telah memberi karunia agung berupa hafal al-Quran, lalu karunia itu diterlantarkan. Jadi
subtansi masalahnya bukan pada lupanya tapi pada kecerobohannya itu.

Ada logika yang kurang benar pada kata: jangan menghafal, nanti khawatir lupa. Mestinya dibalik:
menghafallah agar selalu ingat. Begitu sulitnya kita memurajaah sekian banyak ayat dan surat yang
berserakan (sesuai hafalan acak sejak masa kecil dulu). Sementara itu, dengan menghafal
keseluruhan, semua ayat yang berserak akan terhimpun teratur dan tertib dari awal hingga akhir dan
termurajaah secara rutin. Ungkapan: jangan menghafal, hakikatnya adalah perasaan pesimis kalah
yang ditularkan kepada orang lain, sebelum peperangan sungguh-sungguh dimulai. Bisa jadi, orang
yang dilarang menghafal itu punya potensi besar menghafal cepat dan bagus, sehingga melarang
orang lain menghafal hakikatnya mengkebiri hak orang untuk sukses menjalani kehidupan dunia dan
akherat.

Semestinya anjuran menghafal atau tidak menghafal harus datang dari kyai atau ustadz yang sukses
menghafal dan memahami persis psikologi menghafal, bukan kyai atau ustadz yang belum pernah
atau gagal menghafal. Ibarat dokter, semakin ia kompeten dan memiliki gelar spesialis, semakin ia
punya kewenangan untuk mengidentifikasi penyakit tertentu dan memberi resep, serta pasien juga
tidak merasa was-was ketika ditangani dokter tersebut.
3. Menghafal itu butuh waktu lama

Konon proses menghafal itu butuh waktu yang sangat lama, betulkah? Sering pertanyaan seputar
durasi waktu menghafalkan seperti ini muncul. Ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut sangat
bervariasi mulai dari yang super cepat (kurang dari 10 bulan) sampai yang paling lambat di atas 10
tahun, bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Jika jawabannya bervariasi, maka tidak bisa
diklaim bahwa menghafal itu pasti memakan waktu lama.

Animo masyarakat muslim terutama di perkotaan untuk menghafal al-Quran kian besar dan tak
terbendung, sementara pada saat yang sama mereka dihadapkan pada tuntutan hidup faktual
(bekerja, menikah, membesarkan anak, meniti karir, melanjutkan studi, berorganisasi). Lagi-lagi,
persoalan yang muncul adalah cukupkah dalam waktu terbatas (1 tahun, 2 tahun dst) semua
keinginan itu berjalan simultan.

Memang benar, menghafal al-Quran termasuk kategori Extra Ordinary Memorization(EOM), proyek
menghafal yang luar biasa banyaknya, sekitar 600 (full) halaman dengan ratusan kata yang mirip dan
ratusan kata non Arab di dalamnya. Dibutuhkan kolaborasi antara psikis, fisik, transeden yang kokoh
untuk melakukannya. Ketenangan psikis dibutuhkan agar kerja otak untuk proses menghafal tidak
terganggu, fokus dan stabil dalam jangka waktu yang panjang. Fisik yang sehat ikut juga berkontribusi
menjaga stabilitas psikis, kinerja mekanis tubuh. Menggerakkan mulut untuk membaca, tangan
membuka mushaf dibutuhkan kinerja mekanis tubuh yang sehat. Peran transendental
(keyakinan/keimanan), meski kerja di belakang layar, adalah mengatur harmoni psikis dan fisik
sekaligus mensupplay tenaga yang maha dahsyat. Seringkali aspek transedental ini mendominasi dan
mengambil alih peran psikis dan fisik. Contoh banyak sekali orang buta yang hafal al-Quran, tidak
jarang orang yang berbaring sakit sukses menghafal.

Pengalaman membuktikan bahwa perencanaan yang baik dalam menghafal dapat mempercepat
tuntasnya hafalan. Tak terhitung jumlahnya para santri tahfidz di Indonesia yang hafal al-Quran
kurang dari satu tahun, bahkan di Saudi Arabia ada seorang perempuan yang menyelesaikan hafalan
30 dalam waktu satu bulan. Jadi, menghafal itu tidak harus lama, ia bisa cepat asalkan diorganisir
sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan antara murajaah hafalan baru dan lama, terjadi
efektifitas pemanfaatan waktu 24 jam dalam sehari semalam.

4. Menghafal itu membuat pikiran tumpul dan lemah dalam pemahaman

Konon penghafal al-Quran itu kecerdasannya berkurang. Mereka tidak mampu menguasai kitab
kuning, jadi sarjana dll. Mitos tersebut hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan hafalan sebagai
ghayah (tujuan) bukan wasilah (media/jembatan). Hafalan sebagai tujuan artinya ketika tujuan itu
tercapai maka berhentilah segala upaya yang terkait menghafal. Bagi mereka yang penting adalah
lancar membaca dan banyak undangan acara khatmil Quran, sehingga tidak ada lagi upaya untuk
mendalami bacaan (ilmu qiraat), mempelajari isi kandungannya (tafsir), menggali hukum yang ada di
dalamnya (ayatul ahkam), atau mengkaitkan ayata-ayat al-Quran dengan ilmu pengetahuan lain
(munasabah). Penghafal seperti ini jelas kehilangan harapan untuk menggali khazanah ilmu al-Quran
sehingga kecerdasan otak dan akal menjadi tumpul dan tak terasah. Apa yang ia baca laksana mantra
yang hebat meski tak memahami isinya.

Berbeda dengan mereka yang menjadikan hafalan sebagai wasilah saja. Tujuan utama menghafal
bagi mereka adalah menguasai sumber hukum Islam, menjadikan al-Quran sebagai sumber inspirasi
sekaligus pedoman hidup. Kelompok ini tergolong kelompok mayoritas. Hampir semua ulama besar
di Timur Tengah hafal al-Quran. Ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Seakan di sini ada dikotomi,
ulama al-Quran dan ulama kitab kuning. Juga ada asumsi bahwa ulama al-Quran kurang kompeten
dalam menguasai kitab kuning, sebaliknya juga demikian ulama kitab kuning dianggap tidak ada yang
hafal al-Quran.

Menurut Abdud Daim al-Kaheel, orang yang hafal al-Quran itu pasti otaknya lebih cerdas dan
intelegensinya meningkat. Ia sendiri menceritakan bisa menjadi cerdas akibat menghafal al-
Quran.Proses menghafal hakikatnya proses pengasahan otak dalam waktu yang sangat lama. Otak
yang telah terasah ini jelas menjadi lebih cerdas dari sebelumnya.

5. Pengahafal al-Quran itu malas bekerja

Karena ada kekhawatiran hafalannya hilang, umumnya penghafal al-Quran fokus dalam setiap
waktunya untuk murajaah, sehingga tidak ada waktu untuk bekerja. Kadang tradisi terbiasa tidak
bekerja itu terbawa sampai masa tua, selalu merasa canggung untuk bekerja kasar, sehingga
terbentuk opini bahwa penghafal al-Quran itu priyayi, dan priyayi itu minta dihormati dan enggan
melakukan pekerjaan berat atau kasar. Betulkah demikian?

Jelas mitos di atas tidak benar meski pada kenyataannya sebagian kecil masih ada yang seperti itu.
Nama besar seorang “penghafal al-Quran” kadang membuat silau diri sendiri. Kesilauan itu akhirnya
membebani diri sendiri secara berlebihan. Beberapa pesantren tahfidz di Indonesia sudah banyak
yang menerapkan kurikulum tertentu untuk merubah mindset negatif tersebut dan berupaya
menetralisir tabiat “gede rumongso” di kalangan para santrinya. Sebagai contoh: alm. KH. Mustain
Syamsuri (pendiri PP. Tahfidz Darul Quran Singosari Malang) melatih santrinya untuk berwirausaha
dengan cara memperkerjakan mereka sebagai tukang bangunan, penjual snack keliling, sopir angkot
dan sebagainya seusai setoran al-Quran di pagi hari. Dari aspek penampilan, para santri diminta
untuk tidak mengenakan simbol kesantriannya (kopiyah, sarung, sorban, baju koko) ketika mereka
sedang bekerja. Dari kurikulum interpreneurship tersebut, lahir para alumni yang tidak canggung
bekerja kasar dan keras dalam segala bidang kehidupan. Di antara mereka ada penjual rokok keliling,
juru parkir, makelar mobil, dosen, guru dan lain. KH. Mustain pernah berpesan: “Hafalan al-Quran itu
bukan sumber maisyah (ekonomi), ia semata karunia tuhan dan hanya dipersembahkan untuk-Nya.
Ketika bermuamalah dengan orang lain, lupakan status “penghafal al-Quran” itu bergaullah seperti
umumnya orang dari aspek acara bicara, cara berpakaian, cara bekerja.”
Jadi penghafal al-Quran itu mestinya memiliki etos kerja tinggi, pekerja keras. Lalu apa dengan
bekerja itu tidak mengganggu murajaah harian mereka? Seperti halnya dzikir, murajaah al-Quran
-sesuai ayat al-Quran- itu bisa dilaksanakan dalam kondisi berdiri, duduk maupun berbaring.
Penghafal al-Quran harus pandai-pandai cari tempat atau cari waktu untuk murajaah yang sama
sekali tidak mengganggu aktifitas kerja maupun muamalah. Dengan demikian, hafalan al-Quran itu
tidak menghalangi orang sedikitpun untuk menjadi orang sukses melalui aktifitas kerja harian.

6. Membaca dengan hafalan itu mereduksi pahala mata (untuk melihat tulisan mushaf)

Konon pengahafal al-Quran itu pahalanya lebih sedikit dibanding pembaca al-Quran dengan mushaf,
karena tidak seluruh anggota tubuh ikut aktif pada proses membaca. Padahal, masing-masing peran
dari organ tubuh dalam membaca al-Quran itu mendatangkan pahala sendiri-sendiri. Mata melihat
mushaf ada pahalanya, telinga mendengar ada pahalanya dan mulut melantunkan ayat juga ada
pahalanya.

Memang benar Imam Ghazali dan Qadli Husein (tokoh pada madzhab Syafi’I) berpendapat tentang
hal yang sama dengan penjelasan di atas bahwa membaca mushaf itu lebih afdal daripada membaca
hafalan. Tetapi yang perlu juga dipahami, kalau melihat mushaf saja pahala, bagaimana dengan
proses penyimpanan dan reproduksi memori al-Quran melalui otak, apa peran otak tidak ada
pahalanya? Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya “at-Tibyan” keutamaan membaca mushaf
daripada membaca hafalan itu terjadi manakala dari aspek kekhusyuan, perenungan makna itu sama
baiknya. Berarti kalau dengan membaca hafalan itu seseorang semakin khusu’ dan mampu
mentadabburi daripada membaca mushaf, maka membaca hafalan lebih afdal, demikian juga
sebaliknya.

Dari aspek lain, setiap huruf al-Quran yang dibaca bernilai sepuluh kebaikan. Jadi semakin banyak
ayat dibaca, semakin banyak pula pahala yang didapat. Hanya umumnya penghafal al-Quran
frekwensinya baca al-Quran-nya relatif lebih banyak dibanding dengan mereka yang tidak hafal.
Sebetulnya tidak ada larangan seorang penghafal itu membaca mushaf, sebagaimana tidak ada
keharaman pembaca mushaf untuk menghafal al-Quran. Keduanya tidak saling bertentangan, bila
bosan menghafal, ya membaca, Jika bosan membaca, ya menghafal, begitu seterusnya.

7. Penghafal al-Quran itu bacaanya tidak bagus (kurang tartil)

Konon penghafal al-Quran itu tidak ada yang membaca secara tartil, karena terbiasa baca cepat dan
mempercepat putaran 30 juz dalam beberapa hari saja. Pernyataan tersebut benar bila tidak
digeneralisir. Yakni, memang ada yang demikian, namun ada juga yang bacaannya bagus, murottal
sebagaimana ditunjukkan oleh para imam masjid di Mekkah dan Madinah. Di Indonesia, para peserta
MHQ (musabaqah hifdzil quran) umumnya memiliki hafalan dan bacaan yang bagus dan murottal.

Bila ukuran penilaian itu dari acara khataman di kampung-kampung, jelas ini tidak fair karena hanya
kasuistik dan temporer. Motivasi membaca cepat (hadr) semata memenuhi tuntutan pengundang
agar khatam 30 juz dalam waktu maksimal 10 jam (3 juz perjam). Guru besar ilmu qiraat di IIQ
Jakarta pernah berpesan: baca cepat itu boleh asal tidak seringa, hanya sebatas “tombo kangen”
(pelepas dahaga kerinduan).

Dalam tingkatan bacaan (maratib al-Qiraah), diperbolehkan baca cepat asalkan masih sesuai kaidah
tajwid, inilah yang disebut dengan tingkatan hadr. Artinya cepat atau lambat itu diperbolekan bila
terbalut dengan prasyarat yang bernama tartil (segala bacaan yang sesuai kaidah). Imam Ali bin Abi
Thalib berkata: tartil itu memperbaiki bacaan huruf dan mengetahui tempat wakaf. Kecepatan
membaca yang di luar batas wajar (hadzramah) bagaimanapun juga tidak diperkenankan dalam
membaca al-Quran, inilah yang menurut Imam Nawawi termasuk bacaan yang diharamkan.

8. Menjaga hafalan itu lebih berat dari menghafal awal

Konon menghafal itu lebih mudah daripada menjaganya. Sebagian orang termasuk para orangtua
tidak mengizinkan anaknya atau familinya untuk menghafal al-Quran dengan dalih menjaga hafalan
itu berat, bahkan lebih berat dari menghafal itu sendiri. Mitos ini bisa menjadi virus mematikan bagi
siapa saja akan menghafal. Virus ini lebih mengedepankan pesimis daripada optimisnya. Anehnya
virus ini lebih sering dihembuskan oleh orang yang belum pernah menghafal, dia hanya memandang
dari kejauhan dan silau sebelum mendekat.

Padahal begitu masifnya penghafal al-Quran yang merasakan manisnya madu berdzikir al-Quran,
sejuknya dekapan untaian al-Quran. Ibarat makanan, delapan jam saja kita tidak mengkosumsinya,
tubuh terasa lemah, rindu dan ingin mendekat. Demikian halnya, bagi penghafal al-Quran sehari saja
bibir mereka tidak basah dengan nada al-Quran, terasa sangat lapar dan dahaga. Ia bagai oase di
tengah panasnya cuaca padang pasir, mampu menyejukkan hati yang gundah serta menyegarkan
pikiran yang galau.

9. Sebelum menghafal itu wajib izin pada orang tua/guru

Konon sebelum menghafal al-Quran itu wajib minta restu orang tua/guru, agar mendapatkan ridlo
Allah. Mitos ini mengandung unsur benar dan juga sekaligus salah. Unsur benarnya adalah orang tua
merasa dihargai dengan permohonan izin tersebut dan restu mereka menjadikan langkah anak
semakin mantab, serta doa orang tua/guru memberikan sumbangan energi dahsyat pada kesuksesan
anak/murid. Unsur salahnya adalah bila segala bentuk kebaikan itu harus minta izin orang tua, maka
begitu beratnya tugas anak. Seringkali ketidaktahuan orang tua tentang hal ikhwal hafalan,
mematahkan asa anak untuk menghafal.

Semua orang tua/guru ingin anaknya/muridnya bahagia dalam belajar (dengan makan cukup, tidur
nyenyak, ibadah nyaman), sementara menghafal itu proses berat dan melelahkan, sehingga kadang
orang tua/guru tidak mengizinkan anaknya/muridnya menghafal. Hindarilah pertanyaan yang apabila
dijawab justru kita berat melaksanakannya, itu pesan al-Quran. Anak yang minta izin, kemudian
orang tua tidak mengizinkan, tidak etis anak menentang keputusan orang tua. Kekhawatiran terbesar
dari mitos keharusan izin ini adalah hilangnya motivasi diri anak/murid untuk menghafal, padahal
motivasi ini harta berharga yang sulit dicari dan susah ditumbuhkan kembali ketika memudar dan
tenggelam.

Solusi terbaik adalah jalan tengah, seorang anak sebaiknya jangan minta izin, tetapi minta saran,
itupun bila dipandang orang tua/guru tersebut memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
memadai tentang seluk beluk menghafal al-Quran.

10. Penghafal al-Quran itu layak dihormati

Konon orang yang hafal al-Quran itu kemanapun selalu dihormati orang lain, disanjung dan dipuja.
Seakan rizkinya mengalir deras tanpa kerja berat. Mitos ini menjadi pemicu motivasi banyak orang
untuk menghafal al-Quran. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengamatan dari orang yang bersangkutan
kepada seorang tokoh yang dihormati dan kebetulan hafal al-Quran. Sah-sah saja motivasi awal
menghafal seperti itu, namun sebaiknya dalam perjalanan selanjutnya mitos tersebut sedikit demi
sedikit harus dirubah.

Ada beberapa alasan kenapa harus dirubah, yaitu: (1) menuntut ilmu dan ibadah harus dilandasi
keikhlasan semata karena Allah, (2) adalah hak orang lain untuk menilai apakah kita layak atau tidak
untuk dimuliakan, (3) harapan yang berlebihan dapat mengakibatkan shock berat (stress), bila tidak
tercapai, (4) tidak semua orang yang menghafal itu tuntas 30 juz, dan tidak semua yang tuntas itu
berkualitas bagus dan lancar, kualitas hafalan yang bagus dan lancar, tidak serta merta mendapatkan
pujian atau sanjungan.

Fokus penghafal al-Quran harus diarahkan untuk ta’abbud dan taqarrub pada Allah, serta menyelami
dalam dan luasnya samudara ilmu Allah melalui al-Quran. Dapat cercaan tidak emosi dan terus
introspeksi, dapat pujian tetap rendah hati. Berharaplah pujian dan kemuliaan langsung dari pemilik
al-Quran yaitu Allah swt.

Wassalam, Selamat berjuang semoga sukses


Post navigation

DR H.M Ilyas Marwal, MA

Anda mungkin juga menyukai